Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

YERUSALEM DALAM DAHAGA PERDAMAIAN (2)

YERUSALEM DALAM DAHAGA PERDAMAIAN (2)
Benturan politik antara Israel dengan Palestina nyaris terjadi sepanjang perjalanan kedua negara ini. Untuk dewasa ini, saya kira benturan politik yang sangat lama hanya terjadi di dataran kelahiran agama Semitic, Yahudi, Nasrani dan Islam.
Sebagaimana diketahui bahwa Jerusalem adalah tempat suci tiga agama besar dunia, yaitu: Yahudi, Nasrani dan Islam. Di Jerusalem, tempat kelahiran Nabi Isa, atau di dalam Agama Nasrani disebut sebagai Yesus Kristus, lalu Nabi Musa sebagai cikal bakal Agama Yahudi, dan juga keberadaan Masjid al Aqsha sebagai tempat suci Agama Islam. Masjid ini bahkan pernah dijadikan kiblat untuk melakukan shalat oleh Nabi Muhammad saw.
Melihat kenyataan historis ini, maka pantaslah jika Yerusalem menjadi arena “perebutan” antar agama besar di dalam tradisi Semitis. Orang Nasrani beranggapan bahwa Yerusalem adalah kota sucinya, sebab Yesus Kristus dilahirkan di sini. Orang Yahudi menganggap bahwa disinilah kaum Yahudi memiliki tradisi keyahudiannya dan umat Islam memiliki sejarah terkait dengan Masjid al Aqsha yang disucikan. Dengan demikian Yerusalem merupakan kota dengan tiga tradisi agama yang berbeda dan masing-masing memiliki klaim kebenaran yang secara ideologis akan terus dipertahankan.
Di dunia ini ada banyak perang yang disebabkan oleh berbagai masalah terkait dengan negara lain atau juga internal negara yang bersangkutan. Misalnya kasus India dan Pakistan, kasus Afghanistan yang melibatkan Rusia dan negara Barat lainnya, kasus ISIS di Syria dan Iraq, Kasus Houthi dan beberapa kasus di Eropa Timur, seperti Serbia, Chechnya dan juga kasus di beberapa negara di Afrika. Namun demikian, kasus yang memiliki rentang panjang dalam penyelesaiannya ialah masalah Jalur Gaza yang melibatkan Palestina dan Israel.
Masalah jalur Gaza ini rasanya menjadi pekerjaan rumah negara-negara di dunia yang selama ini dikenal sebagai juru runding dan juru penyelesai masalah ini. Amerika Serikat yang selalu memiliki standart ganda atau double speak selalu berada di belakang Israel. Pembangunan pemukiman di Jalur Gaza yang dilakukan oleh Israel dan selalu mendapatkam kecaman dari negara lain, akan tetapi juga terus dilakukan oleh Israel. Pembangunan perumahan oleh Israel seakan menandai akan penguasaan jalur Gaza tersebut bagi dirinya.
Sementara itu Palestina nyaris tidak pernah mendapatkan dukungan dari negara-negara Barat di dalam memperjuangkan kemerdekaannya dan memperoleh keadilan di dalam mengusung kemerdekaannya. Politik double speak yang dilakukan oleh Amerika dan Sekutunya menegaskan bahwa mereka memberikan support kepada Israel untuk meneruskan penguasaannya atas Jalur Gaza, yang sesungguhnya ada juga hak dari pemerintah Palestina.
Konflik di Jalur Gaza tentu tidak secepatnya selesai, sebab negara-negara di Teluk juga berada di dalam konflik mereka masing-masing. Yang diharapkan oleh Palestina tentu adalah dukungan mutlak dari negara Liga Arab. Akan tetapi dengan konflik antar negara di Timur Tengah tentu merupakan masalah yang tidak memudahkan dukungan tersebut diperoleh secara memadai. Pasca konflik di Iraq dan Syria yang disebabkan oleh ISIS, maka konflik di Timur Tengah juga meluas. Arab Saudi yang selama ini tidak melakukan tindakan konflik dengan negara-negara tetangganya, maka sekarang juga terlibat konflik dengan Yaman. Lalu juga konfliknya dengan Kelompok Houthi yang pro Iran. Meskipun tidak terlibat konflik terbuka dengan Iran, akan tetapi kontestasi dengan Iran juga terus berlangsung.
Suasana konfliktual ini dibaca oleh Trump untuk berani melakukan tindakan dengan menentukan Yerusalem sebagai Ibukota Israel. Dengan memberikan pengakuan ini, maka perdagangan senjata di Timur Tengah akan kembali menghangat dan keuntungannya tentu adalah untuk Amerika Serikat. Jadi Trump memiliki insting bisnis yang kuat di dalam hal ini, dan proyek bisnis senjatanya akan kembali untung besar.
Bayangkan dengan konflik ini, maka Israel, Mesir, Arab Saudi dan negara-negara Timur Tengah lainnya akan membutuhkan senjata cukup banyak dan tentu akan menggantungkan harapannya pada pemasok senjata, ialah Amerika. Dengan demikian ada tiga keuntungan yang diperoleh Trump di dalam hal ini. Pertama, Trump memenuhi janji kampanyenya akan menjadikan Yerusalem sebagai Ibukota Israel dan hal itu akan dipenuhinya sekarang dan sekaranglah saatnya. Kedua, Trump dapat memainkan jual beli senjata untuk kepentingan melestarikan konflik di Timur Tengah. Konflik di negara-negara Timur Tengah tentu akan sangat menguntungkan Amerika dalam penjualan senjata. Ketiga, dengan kebijakannya ini, maka Amerika akan tetap menjadi “pengendali” bagi konflik di dalam suatu kawasan atau bahkan antar kawasan. Jadi, konflik di Timur Tengah bukan tidak mungkian disebabkan oleh global game yang didesign oleh Amerika Serikat.
Dan yang paling menderita tentu adalah Palestina sebab negara ini hanya memperoleh dukungan pernyataan dan tidak memperoleh dukungan untuk mempertahankan negerinya dari serangan demi serangan Israel dengan senjata modernnya. Di sinilah gerakan intifadah itu memiliki maknanya. Serangan dengan ketapel relawan Palestina melawan tentara dengan senjata-senjata otomatis dari Israel.
Jadi, konflik Palestina dan Isarel di Jalur Gaza, Yerusalem dan penguasaan Isarel atas tanah-tanah Palestina lainnya juga tidak akan segera berakhir. Jadi unjuk rasa atau pernyataan-pernyataan yang diserukan oleh dunia termasuk umat Islam, rasanya hanya akan berlalu seiring angin yang juga terus berlalu.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..