Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

KUNCI SUKSES ADALAH KEBERSAMAAN (2)

KUNCI SUKSES ADALAH KEBERSAMAAN (2)
Saya sungguh merasakan bahwa tidak ada keberhasilan yang dicapai oleh individu-individu. Kesuksesan selalu merupakan buah dari kebersamaan dan kerja keras. Bolehlah seseorang mengklaim memiliki kesuksesan, akan tetapi hakikat kesuksesan itu hanya tercapai berkat kerja orang lain. Itulah sebabnya, saya selalu menyatakan bahwa kesuksesan merupakan buah dari kerja keras dan kebersamaan yang dilakukan oleh banyak orang. Succeeding together.
Kebersamaan hanya akan tumbuh jika terdapat di dalamnya rasa kepercayaan atau trust. Tidak akan mungkin akan terjadi kebersamaan jika di dalam diri kita tidak ada rasa kepercayaan antara satu dengan lainnya. Makanya, kunci kebersamaan itu ialah bagaimana kita mengelola saling kepercayaan tersebut. Saya sungguh merasakan bahwa dengan adanya saling kepercayaan, maka akan memunculkan perasaan dan sikap untuk menjadi satu kesatuan.
Akhir-akhir ini, yang hilang di antara kita ialah saling kepercayaan itu. Kita dengan mudah untuk saling mencurigai dan merasa tidak sejalan. Jika kita tidak sejalan, lalu bisa kita lakukan tindakan yang justru akan menghancurkan kebersamaan itu. Kita tidak mau untuk saling duduk bersama membicarakan apa sesungguhnya kekurangan dan kelemahan kita. Bahkan kita tidak bisa untuk saling menshare tentang apa yang menjadi kelemahan dan kekurangan kita dan orang lain juga dengan mudahnya menuduh dan menghakimi terhadap apa yang tidak diketahuinya dengan seksama. Kita sering “menghakimi” yang kelihatan di luar dan kita tidak tahu apa yang sebenarnya.
Mentalitas “kecurigaan” seakan menjadi bagian tidak terpisahkan di dalam ruang birokrasi, ruang public dan ruang kebersamaan. Itulah sebabnya terjadi proses pendegradasian terhadap kebersamaan tersebut. Kita tidak bisa karena ketiadaan kebersamaan. Kita tidak bisa berhasil karena kita tidak mengupayakan kebersamaan untuk mencapai keberhasilan. Inilah penyakit sosial yang sesungguhnya kita derita di era sekarang ini.
Dengan mudahnya orang melakukan “pengaduan masyarakat”. Bahkan terkadang tidak berdasarkan atas kajian dan pembahasan yang mendalam, lalu dengan mudahnya kita lempar persoalan itu di public. Media sosial dapat menjadi media untuk menyebarkan banyak hal termasuk keadaan internal kita. Dewasa ini ada kenyataan kita kehilangan “kekitaan” kita. Muncul suatu era di mana dengan mudah “kekitaan” itu diganti dengan “keakuan” yang berlebihan.
Bullying dan penghakiman dilakukan di mana-mana. Pembunuhan karakter dilakukan di sembarang tempat. Ujaran kebencian menjadi cita-cita dan sebagainya. Semua dilakukan dengan kesadaran bahwa yang dilakukannya itu adalah kebenaran. Jadi tidak ada lagi ruang terbuka bagi kita untuk mendiskusikan dan membahas “masalah” yang dianggapnya sebagai “kekeliruan” tersebut. Ruang diskusi itu telah diganti dengan ruang dumas yang dianggapnya sebagai senjata untuk mencari kebenaran.
Saya sesungguhnya berharap agar setiap ada sesuatu yang dianggap sebagai “kekeliruan” maka sebaiknya dibicarakan internal terlebih dahulu. Kita tuntaskan secara internal. Kita harus bisa menyelesaikannya secara internal. Saya tetap berkeyakinan bahwa dengan membicarakannya secara internal, maka “masalah” atau “kekeliruan” itu akan bisa diingatkan atau dibenahi. Kita harus memiliki basis asumsi yang kuat bahwa hanya dengan duduk bersama, maka benang ruwet itu akan bisa diuraikan pemecahannya.
Jangan pernah ada di antara kita yang menjadikan “kekeliruan” yang tidak disengaja itu meniadi senjata kita untuk “membully” atau “menghabisi” kawan kita sendiri. Jangan pernah ada pemikiran bahwa kekeliruan itu bisa dijadikan senjata untuk merusak reputasi kawan kita sendiri. Bayangkan bahwa jika kita melakukan hal yang seperti itu, bisa jadi suatu ketika kita akan merasakan hal yang sama. Meskipun kita berkeyakinan bahwa balasan abadi itu ada di kehidupan kelak, akan tetapi kita juga meyakini bahwa di dunia ini juga akan bisa terjadi balasan atas hal yang kita lakukan. Di dalam konsepsi Jawa dikenal istilah”ngunduh wohing pakarti” atau “menuai balasan atas perilaku kita”. Siapa yang menebar kebaikan, maka akan mendapatkan kebaikan, dan siapa yang menebar kejelekan juga akan menuai kejelekan. Siapa yang menabur angin akan menuai badai.
Di dalam dunia birokrasi, maka selalu ada pengelolaan program dan kegiatan, memenej uang dan anggaran. Maka dipastikan bahwa akan selalu ada “dugaan” yang terkait dengan anggaran dan program tersebut. Maka untuk menjaga agar anggaran dan program itu sesuai dengan aturan dan regulasi, maka selayaknya setiap pengelola anggaran dan program agar membangun trust terhadap lainnya.
Di dalam konteks ini, maka transparansi dan akuntabilitas anggaran dan program menjadi ukurannya. Ajaklah bicara semua stake holder kita. Ajaklah mereka membicarakannya, ajaklah mereka untuk merasa sebagai program bersama dan ajaklah mereka semua untuk selalu di dalam kebersamaan. Prasangka hanya akan muncul karena mereka tidak merasa dilibatkan di dalam program atau kegiatan yang seharusnya mereka terlibat di dalamnya.
Jika kebersamaan sudah dilakukan, saya yakin bahwa semua akan merasakan bahwa semua capaian dan keberhasilan adalah milik kita bersama. Dan saya tetap berkeyakinan bahwa dengan kebersamaan hal-hal yang paling sulit dilakukan pun akan bisa dilakukan.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..