Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

YERUSALEM DALAM DAHAGA PERDAMAIAN (1)

YERUSALEM DALAM DAHAGA PERDAMAIAN (1)
Mungkin saya terlambat di dalam merespon terhadap masalah Yerusalem yang terjadi akhir-akhir ini. Tidak ada alasan yang patut saya jelaskan melalui tulisan ini, sebab memang benar-benar terlambat saya merespon akan hingar bingar keputusan Presiden Donald Trump atau disebut Trump saja atas upaya untuk memindahkan ibukota Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem.
Trump mengklaim bahwa keputusannya yang kontroversial ini hanyalah kelanjutan dari apa yang sudah diputuskan oleh para pendahulunya, Presiden Bill Clinton dan Barack Obama. Keduanya oleh Trump dianggap sudah mengungkapkan akan melakukan poerubahan ini, tetapi terhenti sampai pada retorika saja, dan dialah yang berani melakukannya. Trump tentu beranggapan bahwa dirinyalah yang berani melakukan tindakan ini.
Seluruh dunia sontak melawan Trump. Bahkan sekutunya Inggris, Perancis dan beberapa negara lainnya juga menolak tindakan Trump ini dan beranggapan bahwa Trump telah melakukan pengingkaran perjanjian damai yang mengharuskan bertemunya dua pihak: Palestina dan Israel. Tindakan Trump ini dianggap sebagai tindakan yang anti terhadap perdamaian di Jalur Gaza yang memang terus memanas.
Seluruh dunia melakukan pengecaman terhadap “tindakan nekad” Trump dengan pengakuan dan keinginan pemindahan Kedutaan Besar Amerika Serikat ke Yerusalem. Lalu, Organisasi Konferensi Islam (OKI) juga kemudian bersidang di Turki untuk menyamakan sikap dan tindakan dalam menghadapi keputusan Trump. Di dalam sidang yang dihadiri oleh seluruh komponen anggota OKI ini, maka diambil sikap tegas bahwa OKI menolak rencana Trump.
Bahkan Presiden Joko Widodo juga menegaskan bahwa tindakan Trump tersebut menyalahi terhadap perjanjian damai antara Palestina dan Israel. Beliau menyatakan bahwa rakyat Indonesia akan selalu bersama Palestina untuk mendapatkan haknya atas negara Palestina, secara adil dan damai. Menteri Luar Negeri, Retno L. Marsudi juga menyatakan hal yang sama, bahwa negara Indonesia akan selalu membantu pemerintah Palestina untuk mendapatkan haknya atas Yerusalem.
Di Indonesia, gerakan anti Trump dan Amerika Serikat juga terus berkobar. Di banyak kota kemudian terjadi unjuk rasa. Di kota-kota Kabupaten, seperti Jombang dan Situbondo, masyarakat juga sangat antusias untuk melakukan unjuk rasa. Para santri dan masyarakat menyuarakan aspirasinya untuk menolak rencana Trump dan menganggap Amerika Serikat sebagai negara yang pongah dan berlaku sewenang-wenang. Dianggapnya bahwa Trump secara sengaja merusak jalan damai yang sudah diupayakan oleh banyak pihak. Amerika Serikat sebagai “penghubung” perdamaian justru merusak jalan damai.
Kegeraman terhadap tindakan Trump tentu luar biasa. Di Jakarta atas prakarsa MUI juga melakukan tindakan unjuk rasa. Di Silang Monumen Nasional (Monas) berkumpul jutaan orang untuk memprotes terhadap tindakan kesewenangan Amerika Serikat dengan rencana Trump itu. Berbagai orasi yang disampaikan oleh para ulama juga menyuarakan hal yang sama. Tolak rencana Trump untuk menjadikan Yerusalem sebagai ibukota Israel.
Berbagai orasi yang diangkat oleh para ulama ini menggambarkan atas sikap kaum muslimin Indonesia atas perilaku Trump yang berlebihan dan menjadikan wilayah di Timur Tengah semakin tidak kondusif untuk membangun perdamaian. Kyai dan ulama yang selama ini tidak melakukan unjuk rasa, maka semua menjadi tergerak untuk membela Palestina.
Dari berbagai unjuk rasa ini, maka ada beberapa motif untuk melakukan unjuk rasa. Pertama, anggapan bahwa menciderai rakyat Palestina sama dengan menciderai umat Islam. Pandangan ini yang saya kira menempati posisi paling banyak dalam perilaku unjuk rasa di berbagai tempat. Masyarakat Islam beranggapan bahwa membela Palestina itu identic dengan membela Islam. Meskipun mereka ada yang mengetahui bahwa Palestina itu terdiri dari tiga kelompok: Muslim, Nasrani dan bahkan Yahudi, akan tetapi tetap saja mereka beranggapan bahwa pembelaan terhadap Palestina adalah pembelaan agama. Membela Allah dan Islam. Masjid al Aqsha adalah symbol Islam yang harus dibela.
Kedua, anggapan bahwa membela Palestina adalah membela kemanusiaan. Kelompok ini yang secara sistematik menyebarkan gagasan bahwa membela Palestina bukan membela agama tertentu, akan tetapi merupakan pembelaan terhadap kemanusiaan. Mereka sadar betul bahwa dengan menyatakan membela Palestina sama dengan membela agama tertentu, maka bisa menyebabkan terjadinya benturan antar agama di Indonesia.
Ketiga, kelompok ikutan yang tidak memiliki pandangan apapun. Yang penting bela Palestina. Kelompok ini hanya memiliki pandangan bahwa lawan mereka adalah Israel yang memang pantas untuk dimusuhi dan dihancurkan. Melawan Israel adalah kepastian yang tidak bisa diingkari. Pokoknya benci Israel atau benci Yahudi.
Sebagai orang yang sedikit memahami “peta” benturan politik antara Israel dan Palestina, maka kita tentu akan memilih pandangan kedua, dengan catatan bahwa pandangan ini memang lebih relevan untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..