Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

KUNCI SUKSES ADALAH KEBERSAMAAN (1)

KUNCI SUKSES ADALAH KEBERSAMAAN (1)
Akhir-akhir ini saya banyak memberikan masukan kepada jajaran ASN Kementerian Agama dalam tema-tema yang mengusung kebersamaan dalam mencapai tujuan. Tema ini saya anggap penting sebab saya kira hanya dengan kebersamaan saja, maka tujuan mulia untuk mengembangkan peran organisasi birokrasi (Kementerian/Lembaga) akan bisa tercapai.
Di dalam memberikan pembekalan terhadap ASN di UIN Sumatera Utara, di Kanwil Kemenag Sulawesi Selatan, di Kanwil Kemenag Jawa Timur dan juga di berbagai acara di Sekretariat Jenderal Kemenag selalu saja saya selipkan kata-kata yang memiliki kekuatan dahsyat untuk mengubah sesuatu ialah kebersamaan. Secara sengaja memang saya ungkapkan hal ini sebagai modalitas mental bagi ASN untuk berubah di era reformasi birokrasi.
Saya sampaikan fakta mengapa banyak masalah yang dihadapi oleh ASN di Kemenag yang dapat dikaitkan dengan penyebab ketiadaan kebersamaan. Ada banyak masalah yang terkait dengan hukum, sosial dan bahkan religious juga disebabkan oleh ketiadaan kebersamaan itu. Masalah-masalah internal dengan mudah dibawa ke luar. Ada banyak pengaduan dari seluruh wilayah di Indonesia, yang salah satunya disebabkan oleh ketiadaan kebersamaan.
Jika dilihat dari sisi kewilayahan, maka terdapat tiga wilayah Kemenag, yaitu: Kantor pusat, lalu kantor wilayah dan Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri (PTKN). Masing-masing memiliki kekhasannya sendiri, baik terkait dengan anggaran maupun tupoksinya dan juga varian masalah yang dihadapinya.
Saya akan membahas tentang perguruan tinggi sebagai ajang bagi kontestasi untuk memperebutkan kekuasan birokrasi. Perguruan tinggi tentu menjadi tempat yang ideal untuk membangun kepemimpinan di masa depan. Saya kira tak ada yang menyangkal bahwa melalui pendidikan tinggilah para kader bangsa ini akan menjadi tumpuan bangsa dan negara Indonesia. HampIr seluruh pemimpin negara di Indonesia dan bahkan di dunia dilahirkan dari dunia pendidikan tinggi. Semua tentu akan mengamini bahwa tempat terbaik sebagai “kawah condrodimuko” untuk menggodok calon pemimpin bangsa ialah lembaga pendidikan tinggi.
Jika dirunut secara historis, maka pemimpin bangsa seperti Soekarno, Mohammad Hatta, Mohammad Room, Mohammad Yamin, A.G, Pringgodigdo, Roeslan Abdul Ghani dan banyak lagi lainnya tentu berangkat sebagai aktivis di kala menjadi mahasiswa. Melalui interaksi dengan dunia pendidikan tinggi tersebut, maka mereka memiliki kemampuan analisis yang baik, dan kemudian mampu untuk menggerakkan aksi pada zamannya. Ir. Soekarno menggerakkan kemerdekaan Indonesia melalui gerakan-gerakan menyadarkan bangsanya agar merdeka. Dan jika dirunut lebih awal, maka pergerakan-pergerakan kesadaran berbangsa dan bernegara juga dibangun melalui pondasi pendidikan tinggi. Gerakan Boedi Oetomo, Gerakan Syarikat Islam, Soempah Pemoeda dan sebagainya juga diinspirasikan melalui aktivisme pemuda yang belajar di perguruan tinggi.
Bahkan di era akhir-akhir ini juga dengan sangat gamblang bahwa peran institusi pendidikan tingi sedemikian dominan untuk mengantarkan para alumninya untuk memasuki gerbang kehidupan masyarakat dengan aneka profesi dan keahliannya melalui serangkaian keterlibatannya di dalam organisasi-organisasi kemahasiswaan dan sosial kemasyarakatan. Makanya boleh saya nyatakan bahwa organisasi sosial kemahasiswaan dan organisasi sosial lainnya merupakan sekolah bagi calon pemimpin bangsa dalam level dan kapasitasnya.
Sedemikian idealkah institusi pendidikan tinggi. Ternyata juga tidak. Sebagai institusi yang didiami dan dihidupkan oleh manusia, maka institusi pendidikan tinggi juga memanggul kepentingan dari para pengelolanya. Di sini juga terdapat tarikan-tarikan politik yang tidak sedikit. Semuanya menggambarkan bahwa manusia tetap saja berada di dalam bingkai kepentingannya. Oleh karenanya, tarikan kepentingan baik bagi dirinya sendiri maupun kelompoknya tetaplah merupakan variabel kunci di dalam memaknai kehidupannya.
Saya ingin menggambarkan bagaimana tarikan kepentingan itu begitu dominan di dalam mengelola pendidikan tinggi, yang mestinya bisa menjadi institusi yang paling bergengsi di dalam mengelola kepentingan. Salah satu keunikan institusi pendidikan tinggi ialah pemilihan pimpinan perguruan tinggi. Di dalam kepemimpinan, maka perguruan tinggi berada di dalam konteks, organisasi sosial yang pemimpinnya dipilih bersama melalui cara-cara yang dianggap sebagai demokratis dan dunia birokrasi yang ketat dan terkontrol dengan kuat. Dalam hal ini sama halnya dengan menjadi bupati, gubernur dan juga presiden. Rector atau dekan adalah jabatan dalam tugas tambahan. Bukan sebagai pejabat structural.
Di dalam konteks pilihan pimpinan, maka terdapat kontestasi yang lebih terbuka. Di dalam konteks ini, maka selalu ada pemikiran kalah dan menang. Siapa mengalahkan siapa dan siapa memenangkan siapa. Meskipun pada tahap akhir yang menentukan adalah otoritas tertinggi di dalam Kementerian, tetapi tetap saja nuansa kontestasi itu tidak selesai. Bercak-bercak hitam inilah yang seringkali menjadi batu sandungan yang menyesakkan. Seringkali para pemenang akan menghadapi masalah yang tidak mengenakkan. Orang bisa saja dikuliti dari masa lalunya. Dari rekam jejaknya dan dari kehidupannya. Di sinilah awal mula terjadinya kontestasi tiada henti. Di sinilah letak permasalahan yang selama ini mendera institusi pendidikan tinggi.
Banyak masalah masa lalu yang diungkap dan kemudian menjadi problem eksternal yang bertujuan untuk merusaknya. Saya kira banyaknya masalah di lembaga pendidikan tinggi sekarang ialah masih bercokolnya kontestasi yang terus hidup di sini. Oleh karena itu, selama kontestasi tersebut tidak berhenti di kala pemimpin baru muncul, maka ketika itu pula sebenarnya jurang kerja sama nyaris tertutup.
Jika institusi pendidikan tinggi ingin membangun kemajuan, maka tidak ada lain kecuali membangun kesadaran bahwa kontestasi harus berakhir di kala pemimpin baru hadir dan kemudian seharusnya memperoleh dukungan banyak pihak.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..