• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MEMAHAMI BUDAYA ORGANISASI

MEMAHAMI BUDAYA ORGANISASI
Oleh: Prof. Dr. H. Nur Syam, MSI
Guru Besar Sosiologi UIN Sunan Ampel Surabaya

Pengantar
Mungkin saja istilah yang lebih tepat ialah budaya berorganisasi. Dengan menggunakan istilah berorganisasi, maka jelaslah bahwa yang dijadikan sebagai sasaran ialah pelaku budaya dalam berorganisasi. Jadi bukan organisasinya akan tetapi para pelaku organisasi. Jadi yang sesungguhnya dikaji ialah perilaku orang dalam berorganisasi dilihat dari perspektif budaya.
Jika di dalam konteks ini menggunakan konsepsi budaya organisasi, saya kira ini adalah kelaziman yang sudah menjadi kebiasaan saja. Dengan demikian, memakai istilah budaya organisai atau budaya berorganisasi, hakikatnya memiliki kesamaan sebab yang dikaji hakikatnya ialah pelaku budaya organisasi. Saya tidak mempersoalkan istilah budaya organisasi atau budaya berorganisasi, yang penting kita memaklumi bahwa yang dijadikan sasaran kajiannya ialah para pelaku budaya atau manusia yang melakukan tindakan berorganisasi.

Konsepsi antropologis dan budaya organisasi
Di dalam buku saya: “Madzab-Madzab Antropologi” (LKIS, 2009), saya jelaskan bahwa dunia antropologi memiliki beberapa madzab atau aliran. Yang pertama ialah madzab evolusionisme yaitu bagian dari ilmu antropologi yang mengkaji perubahan-perubahan budaya di dalam suatu masyarakat. Misalnya mengkaji tentang perubahan budaya secara evolusioner, baik yang bercorak sinkronik maupun diakronik. Yang sinkronik, misalnya mengkaji budaya dengan mengkaji budaya yang sama pada waktu yang berbeda, sedangkan yang diakronik ialah mengkaji perubahan budaya dalam waktu yang sama dalam lokasi yang berbeda. Contoh untuk yang sinkronik ialah mengkaji budaya Jawa pada masyarakat Jawa pada kurun waktu tertentu dan membandingkannya dengan waktu yang berbeda. Sedangkan yang diakronik ialah mengkaji budaya dalam waktu bersamaan antara orang Jawa di Jawa dengan orang Jawa di luar Jawa.
Kedua, Madzab Kognitifisme ialah mengkaji pengetahuan budaya pada suatu masyarakat tertentu, misalnya mengkaji tentang pengetahuan budaya pada masyarakat Samin di Bojonegoro, Jawa Timur. Metode yang digunakan ialah dengan wawancara mendalam dan juga dimungkinkan dengan metode observasi terlibat.
Ketiga, Madzab Interpretif ialah mengkaji tentang makna kebudayaan dalam suatu komunitas atau masyarakat berdasarkan pattern for behavior atau pattern of behaviournya. Misalnya, makna agama Jawa atas penelitian yang dilakukan oleh Clifford Geertz. Jadi yang dikaji ialah bagaimana orang Jawa menggunakan pengetahuan budayanya yang berupa pattern for behavior dan kemudian dipadukan dengan pattern of behavior. Metode penelitian yang digunakan ialah wawancara mendalam dan observasi terlibat.
Budaya organisasi tentu memiliki rujukan dengan berbagai madzab di dalam antropologi ini. Oleh karena itu menjadi penting untuk memahami berbagai madzab antropologi dalam kerangka memperkaya wawasan. Untuk memahami mengenai budaya dan perilaku organisasi, maka yang bersangkutan harus paham benar mengenai pohon keilmuan seperti ini.

Budaya organisasi
Apa yang dimaksud dengan budaya organisasi? Pertanyaan ini mengacu kepada definisi yang diperlukan sesuai dengan pemahaman antropologi yang menjadi induknya. Bagi kita bahwa setiap definisi apapun tentang budaya harus selalu mengacu kepada pemahaman kita tentang madzab antropologi mana yang digunakan. Jadi, yang harus diperhatikan ialah aliran atau madzab mana yang diikutinya.
Saya mengartikan budaya organisasi dengan mengikuti cara kerja dan pemahaman Clifford Geertz tentang pengertian kebudayaan tersebut. Jadi saya akan menggunakan konsepsi Geertz tentang budaya, yaitu memiliki dua cakupan, kebudayaan sebagai pola bagi tindakan dan pola dari tindakan (Nur Syam, Madzab-Madzab Antropologi, 2009). Kita tentu bisa saja memilih mana yang dianggap relevan untuk merumuskan definisi yang dianutnya.
Dengan demikian, pengertian budaya organisasi ialah seperangkat pengetahuan yang dijadikan sebagai pedoman untuk melakukan interpretasi atas tindakan tentang organisasi sebagai wadah yang digunakan untuk mencapai tujuan kebersamaan. Seperangkat pengetahuan ini berisi norma, nilai, struktur dan sistem yang menjadi pedoman manusia untuk melakukan tindakan dalam organisasi dan apa yang menjadi kenyataan atau realitas yang dilakukan oleh manusia di dalam organisasi dimaksud.
Di dalam definisi ini, kiranya terdapat beberapa hal yang perlu diketahui, yaitu: pengetahuan manusia tentang norma, nilai, struktur dan sistem yang menjadi kesepahaman bersama, pengetahuan budaya tersebut dijadikan sebagai pedoman dalam melakukan tindakan, yang di dalam konteks ini ialah tindakan berorganisasi. Lalu, sebagai pedoman, maka manusia melakukan tindakannya akan bisa ditafsirkan dari pedomannya itu, sehingga untuk memahami apa tindakan tersebut haruslah dipahami dari subyek pelaku tindakan.
Sebagai interpretasi atas tindakan, maka pedoman atau pattern for behavior tersebut hanya dapat dipahami oleh subyek pelaku kebudayaan dalam berorganisasi, sehingga orang lain, misalnya peneliti atau pengkaji hanya dapat memahaminya apabila orang tersebut melakukan wawancara mendalam atau observasi terlibat. Di dalam konteks ini, sebagai seorang peneliti, kita tidak dapat u menafsirkan tindakan siapapun tanpa melakukan pengkajian mendalam dan memahami tindakannya berdasarkan atas pemahaman subyek pelaku organisasi.

Kajian terhadap budaya organisasi
Sebagaimana diketahui bahwa di dalam setiap organisasi dipastikan terdapat norma, nilai, struktur, sistem dan tindakan manusia di dalam organisasi. Oleh karena itu untuk mengkaji budaya organisasi mesti juga dengan melakukan kajian terhadap norma, nilai, struktur organisasi, sistem organisasi dan tindakan orang yang terlibat di dalamnya.
Untuk mengkaji struktur organisasi, maka yang diperlukan ialah mengkaji terhadap pertanyaan, seperti bagaimana nilai dan norma dibuat dan disepahami, bagaimana pedoman tersebut digunakan di dalam membuat struktur organisasi, bagaimana penentuan struktur dibuat, bagaimana penetapan struktur diberlakukan, dan bagaimana mereka menyusun struktur organisasi termasuk di dalamnya ialah hakekat makna struktur tersebut di dalam kerangka pencapaian tujuan bersama.
Kemudian, terkait dengan sistem organisasi maka pertanyaan yang bisa diajukan ialah bagaimana antar subsistem di dalam organisasi bisa bekerja untuk mencapai tujuan bersama, bagaimana sistem tersebut bekerja secara sendiri-sendiri di dalam sistem organisasi yang lebih besar, bagaimana mekanisme untuk membangun kebersamaan antar subsistem dan bagaimana makna sistem tersebut bagi pencapaian tujuan bersama.
Yang juga tidak kalah menarik untuk diperbincangkan ialah bagaimana organisasi tersebut bisa berkembang sebagai sarana atau institusi yang digunakan untuk mencapai tujuan bersama. Adakah mekanisme penyelesaian masalah atau berbagai pertentangan, rivalitas dan konflik di dalam organisasi. Termasuk di dalamnya ialah bagaimana organisasi tersebut survive di tengah berbagai perubahan sosial yang tentu terus terjadi.
Sebagai kajian yang bercorak interpretif, maka yang sangat mendasar ialah bagaimana orang yang berada di dalam organisasi tersebut memaknai tindakan-tindakannya di dalam keseluruhan struktur dan system organisasi dalam rangka mencapai tujuan kebersamaan dan produk kebersamaan. Jadi yang sesungguhnya ingin dipahami ialah bagaimana mereka memaknai tindakannya di dalam organisasi.

Refleksi
Secara konseptual dapat dinyatakan bahwa budaya organisasi sesungguhnya dapat dirunut pemahamannya dari antropologi interpretative yang berusaha untuk memahami budaya manusia dalam suatu institusi tertentu di dalam kerangka mencapai tujuan bersama.
Untuk memahami budaya organisasi maka yang dijadikan sebagai subyek kajian ialah individu di dalam organisasi di dalam memahami norma, nilai, struktur dan system organisasi yang didasarkan atas pemahaman para pelakunya. Para peneliti hanya dapat memahami tindakan pelaku organisasi jika yang bersangkutan melakukan wawancara mendalam atau observasi terlibat dengan para pelaku budaya organisasi.
Wallahu a’lam bi al shawab.

MENGEMBANGKAN TATA KELOLA PENDIDIKAN ISLAM

MENGEMBANGKAN TATA KELOLA PENDIDIKAN ISLAM
DI INDONESIA MENUJU INDONESIA EMAS

Prof. Dr. H. Nur Syam, MSi

A. Pengantar
Dunia pendidikan kita sedang menghadapi tantangan yang tidak sedikit. Bahkan bisa jadi 1001 tantangan. Bagi orang yang ingin menghadapi banyak tantangan maka masuklah di dunia pendidikan. Baik yang terkait dengan masalah internal maupun masalah eksternal. Semua bisa memacu adrenalin kita untuk terus berjuang agar setiap masalah atau tantangan bisa diselesaikan dengan cara-cara yang beradab.
Sesungguhnya, manusia memang hidup di tengah tantangan, hambatan dan masalah. Selama manusia masih hidup, maka selama itu pula manusia harus bergelut dengan hal-hal itu. Jadi, artinya manusia selalu di dalam kubangan masalah, hambatan dan tantangan yang akan terus dan terus diselesaikan baik secara individual maupun kelompok.
Persoalan pendidikan merupakan masalah yang kompleks. Dunia pendidikan merupakan kompleksitas kehidupan dalam kerangka menyiapkan generasi di masa depan yang lebih baik. Apalagi Indonesia sedang menghadapi Tahun Emas Indonesia, 2045, yang tentu saja harus disiapkan generasi penyambung estafeta kepemimpinan bangsa yang bisa lebih baik dari generasi sekarang. Dan tugas itu diemban oleh dunia pendidikan.

B. Tantangan Dunia Pendidikan
Dari sekian banyak tantangan pendidikan, saya hanya akan menyampaikan yang mendasar saja, sebab tidak mungkin kita elaborasi keseluruhan tantangan, hambatan dan masalah pendidikan yang sangat kompleks tersebut. Makanya di dalam kesempatan ini, saya hanya menyampaikan tiga tantangan pendidikan Indonesia, yang sungguh kompleks untuk menyikapi dan aksinya.
Nyaris tidak ada ahli pendidikan yang menolak bahwa pendidikan merupakan instrument terbaik dalam rangka pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas. Andal dalam kecerdasan rasional, kecerdasan emosional, kecerdasan sosial dan kecerdasan spiritual. Semua itu hanya bisa diraih jika pendidikan dapat menyajikan yang terbaik bagi para anak didik kita di masa sekarang. Era sekarang ini adalah tahun-tahun emas untuk menyiapkan generasi muda kita dalam menyongsong Indonesia yang memiliki kebersamaan, kerja keras dan hebat.
Tiga tantangan tersebut dapat saya formulasikan sebagai berikut: Pertama, tantangan penguatan kualitas pendidikan. Sebagaimana diketahui bahwa di dalam Rencana Strategis atau RPJMN 2019-2024 adalah era peningkatan kualitas pendidikan. Ada empat saja yang ingin saya sampaikan, yaitu: Indonesia tanpa kemiskinan, Indonesia tanpa kelaparan, Indonesia sehat dan pendidikan berkualitas. Saya akan membahas yang terakhir, pendidikan Indonesia berkualitas.
Pendidikan Indonesia belum sedemikian baik, sebab rangking kita di dalam Education Development Index masih berada di level tengah. Berada di dalam rangking 69 dari seluruh negara yang disurvey. Sedangkan dari aspek Global Competitiveness Index (GCI) masih berkutat di peringkat 41 dalam tahun-tahun terakhir, di mana pada tahun sebelumnya pernah berada di peringkat 34 dunia. Ada penurunan rangking disebabkan negara lain juga berkembang cepat dalam mengejar ketertinggalannya di bidang competitiveness. Dari aspek Human Development Index juga kualitas kita berada di atas 100. Tepatnya ialah rangking 113 dari 188 negara di dunia. Profile ini yang harus menjadi perhatian kita semua, sebab kita sudah menyepakati bahwa pendidikan merupakan instrument terbaik untuk peningkatan kualitas manusia Indonesia.
Meskipun peringkat kita turun secara internasional, akan tetapi dilihat dari perkembangan setiap tahun meningkat. IPM kita naik 0,90 persen dibandingkan dengan tahun 2016. Pada tahun 2017 IPM kita sebesar 70,81. Jadi menurut BPS bahwa perkembangn tersebut menggambarkan bahwa secara internasional memang menurun, akan tetapi secara nasional terdapat perkembangan yang signifikan. Negara lain meskipun naik peringkatnya, akan tetapi secara nasional masih kalah dibandingkan dengan indeks kenaikan IPM Indonesia.
Kedua, tantangan era industry 4.0, yang sudah di depan mata, sementara penyikapan kita terhadap era baru ini masih biasa-biasa saja. Nyaris kita tidak terpikir bagaimana menghadapi era baru yang disebut sebagai revolusi industry 4.0 tersebut. Era revolusi Industri 4.0 tersebut ditandai dengan semakin menguatnya inovasi di bidang Artificial Intelligent (AI) seperi banyaknya robot pintar yang menjadi pesaing manusia di dalam dunia pekerjaan. Berdasarkan perkiraan para ahli, maka tahun 2030 akan terdapat sebanyak 800 juta jenis pekerjaan yang akan ditangani oleh robot. Jadi, suatu kenyataan bahwa robot akan memaksa manusia menjadi penganggur, sebab banyaknya pekerjaan yang akan dilakukannya. Dengan kata lain, bahwa nanti manusia akan melawan terhadap produk teknologi hasil ciptaannya sendiri. “When The Machine do Everything”. Makanya, pendidikan harus diarahkan untuk menjawab tantangan ini agar ke depan kita siap menghadapinya dengan kepala tegak.
Ketiga, tantangan peningkatan kualitas pendidikan. Harus juga disadari bahwa kita sedang menghadapi kenyataan tentang kualitas pendidikan Islam yang belum optimal. Di satu sisi terdapat tingkat pendidikan berbasis internasional yang bagus, sementara terdapat kualitas pendidikan yang masih kembang kempis. Hidup segan mati tak mau. Ada institusi pendidikan Islam yang sangat baik dalam program pendidikannya sementara juga didapati lembaga pendidikan yang belum memiliki program unggulan. Disparitas itu bisa dilihat dari kualitas pendidik, kualitas sarana prasarana pendidikan, kualitas proses pembelajaran dan sebagainya.
Di tingkat pendidikan tinggi saja bisa dilihat bahwa yang memperoleh gelar doktor sebagai ukuran kualitas tenaga pendidik, baru sebesar 11,11 persen yang bergelar doktor. Idealnya tentu harus 30 persen. Jumlah tenaga pendidik di PTKI sebesar 31.500 orang sementara yang doktor baru mencapai angka 3500 orang. Dan jumlah professor sebanyak 419 profesor. Atau sejumlah 11,97 persen untuk yang bergelar doktor. (https://nujateng.com). Dari sisi akreditasi, juga masih memerlukan penguatan. Jika menggunakan standart PTKIN, maka terdapat sebanyak 169 Prodi teakreditasi A, 718 Prodi terakreditasi B dan sebanyak 299 Prodi terakreditasi C. (Jurnal Walisongo.ac.id).
Yang tidak kalah menarik adalah kualitas managerial atau tata kelola lembaga pendidikan Islam. Di dalam banyak hal, saya kira tata kelola lembaga pendidikan Islam masih bercorak konvensional. Artinya, bahwa lembaga pendidikan dikelola apa adanya, tanpa mempertimbangkan bagaimana lembaga pendidikan yang modern. Tentu ada di antaranya yang sudah menggunakan tata kelola baru yang mengadaptasi perubahan, tetapi tentu jumlahnya tidak banyak. Di dalam konteks ini, maka untuk menyongsong Indonesia Emas, 2045, tentu diperlukan antisipasi dari perspektif peningatan kualitas kelembagaan dan program pembelajaran agar bonus demografi yang sering didengungkan akan memberi untung jangan sampai menjadi buntung.

C. Apa Yang Bisa Dilakukan?
Kita sudah memiliki banyak inovasi terkait dengan upaya untuk menjawab tantangan kependidikan menuju era Indonesia Emas, 2045. Ada banyak hal yang sudah dilakukan akan tetapi saya kira dari perspektif tata kelola rasanya masih ada beberapa hal yang harus kita upayakan secara optimal.
Pertama, peningkatan kualitas pendidikan melalui program 5000 doktor. Saya kira program ini sangat menjanjikan dan akan berdampak pada peningkatan kualitas dosen dengan pendidikan terbaik. Jumlah ini saya kira perlu dipertimbangkan mengingat bahwa persentase dosen dengan gelar doktor baru 11,11 persen. Belum lagi kualitas pendidikan para guru yang juga memerlukan sentuhan optimal untuk peningkatan kualitasnya.
Problem guru saya kira juga tidak sederhana, misalnya tentang distribusi guru yang tidak merata, persebaran guru mata pelajaran yang tidak berimbang. Masih banyak mismatch dalam pengangkatan guru dalam jabatan professional. Problem ini tentu bertali temali dengan kualitas guru dan dosen yang rasanya memang masih memerlukan penguatan kualitasnya. Misalnya jumlah professor yang masih minim, hanya 11,97 persen.
Kedua, untuk mengatasi program pembelajaran yang masih konvensional, kiranya diperlukan satu konsep baru, yang saya sebut sebagai program discovery learning, yaitu program pembelajaran yang bertujuan untuk menemukan “sesuatu”, berupa hasil penelitian, hasil rekayasa teknologi, hasil upaya pengabdian dan sebagainya. Jadi siswa atau terutama mahasiswa harus diajarkan agar mereka menemukan produk akademis atau teknis selama pembelajaran berlangsung. (periksa: “discovery Learning” dalam nursyam.uinsby.ac.id). Selain itu juga diperlukan penguatan soft skilled untuk memberikan kapasitas lebih kepada terutama mahasiswa. (periksa “The Power of Soft Skilled”, dalam nursyam.uinsby.ac.id).
Ketiga, di dalam tata kelola, saya kira masih penting untuk meninjau kembali penerapan “Total Quality Management” sebagai basis penyelenggaran pendidikan Islam. Saya merasakan bahwa kata kunci memberikan “kepuasan pelanggan” akan tetap menjadi basis managerial di dalam pengelolaan pendidikan Islam. Semakin besar “kepuasan pelanggan” akan semakin besar peluang lembaga pendidikan tersebut berkualitas.
Masyarakat kelas menengah Indonesia, sedang mencari lembaga-lembaga pendidikan yang berkualitas dan hal ini harus dipenuhi oleh lembaga pendidikan Islam. Masyarakat sebagai pelanggan eksternal perlu untuk memperoleh kepuasan sehingga mereka mempercayai terhadap kualitas pendidikan Islam dimaksud.
Berikut adalah bagaimana cara kerja “Total Quality Management”, yang kiranya dapat diterapkan pada lembaga pendidikan kita. Jika kita perhatikan pada gambar di bawah ini, sesungguhnya lembaga pendidikan Islam bisa mengadaptasi TQM sebagai salah satu tool untuk mengembangkannya. Total Quality Management is an extensive and structured organization management approach that focuses on continuous quality improvement of products and services by using continuous feedback. Joseph Juran was one of the founders of total quality management just like William E. Deming.

Gambar diadaptasi dari https://www.toolshero.com/wpcontent/uploads/2014/03/total-quality-management-tqm-toolshero.jpg

Wallahu a’lam bi al shawab.

MEMAHAMI PERILAKU ORGANISASI

MEMAHAMI PERILAKU ORGANISASI
Oleh: Prof. Dr. H. Nur Syam, MSi
Guru Besar Sosiologi UIN Sunan Ampel Surabaya

Pengantar
Saya memang secara sengaja menggunakan istilah memahami dalam konteks bahwa kita sesungguhnya adalah orang yang sedang belajar tentang organisasi dan segala pernak-perniknya. Manusia sesungguhnya merupakan makhluk yang diberikan oleh Allah swt, Tuhan yang Maha Kuasa, untuk dapat memahami gejala-gejala alam yang bersifat kauniyah. Dengan bekal kemampuan yang diberikan oleh Allah berupa kecerdasan dalam segala jenisnya, maka manusia memang memiliki kemampuan untuk memahami hal-hal dimaksud.
Berorganisasi sebagai bagian dari kecenderungan manusia yang bersifat kodrati memang dapat dipahami dari perilaku manusia-manusia yang berada di dalam organisasi itu. Dari perilaku manusia yang terlibat secara aktif maupun pasif, maka para ahli lalu bisa memahaminya berbasis pada kajian-kajian atau penelitian-penelitian yang memungkinkan perilaku tersebut teramati lalu dipahami atau dijelaskan.

Pengertian Perilaku organisasi
Di dalam kerangka untuk membuat definisi atau pembatasan, maka sering kali kita melakukannya dengan menguraikan satu persatu istilah yang ingin didefinsikan. Perilaku organisasi memiliki dua kata yang kemudian dirangkaikan, yaitu perilaku dan organisasi. Hakikat perilaku sesungguhnya dapat dilihat dari berbagai disiplin keilmuan, misalnya sosiologi, antropologi, politik, ekonomi dan sebagainya.
Secara sosiologis, perilaku ialah suatu bentuk hubungan antara individu dengan individu atau individu dengan komunitas atau individu dengan masyarakat yang menghasilkan perubahan-perubahan atau juga keteraturan-keteraturan. Di dalam konteks ini, maka dikenal istilah perubahan sosial dan keteraturan sosial. Semua ini merupakan produk dari perilaku manusia dalam berhubungan satu dengan lainnya.
Secara antropologis bahwa perilaku merupakan relasi antara individu dengan individu atau individu dengan komunitas atau individu dengan masyarakat yang menghasilkan produk kebudayaan, baik perubahan kebudayaan, pengetahuan kebudayaan maupun makna kebudayaan. Jadi, kebudayaan adalah produk relasi antar manusia.
Secara ekonomis, perilaku merupakan relasi antara manusia dengan manusia atau relasi antara manusia dengan komunitas atau relasi antara manusia dengan masyarakatnya yang memproduk penghasilan atau pendapatan, pengeluaran atau belanja dan produk-produk benda-benda atau pikiran-pikiran yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan ekonomi. Di dalamnya akan selalu terdapat institusi-institusi yang dijadikan sebagai medan ekonomi atau economic sphere yang memungkinkan kehidupan dapat berlangsung.
Secara politis, perilaku ialah relasi antar manusia dengan manusia atau relasi antar manusia dengan komunitas atau relasi antar manusia dengan masyarakat yang terkait dengan akses kekuasaan atau artikulasi kepentingan politik. Produk yang dihasilkan ialah kebijakan-kebijakan politik atau kebijakan-kebijakan public yang merupakan wujud dari artikulasi kepentingan dimaksud. Produk perilaku politik ialah terwujudnya negara atau pemerintahan dengan berbagai instrument di dalamnya.
Lalu apa yang disebut sebagai perilaku organisasi? Bagi saya, perilaku organisasi ialah relasi antara individu dengan individu atau antara individu dengan komunitas atau relasi antara individu dengan masyarakat dalam suatu wadah kebersamaan yang berbentuk lembaga atau institusi untuk membangun kebersamaan.
Secara sengaja saya memasukkan istilah lembaga atau institusi meskipun ada yang membedakannya. Lembaga sosial berkonotasi wadah yang dijadikan sebagai tempat untuk mencapai tujuan kebersamaan, sedangkan institusi lebih soft memberikan gambaran di dalamnya terdapat sistem, nilai, norma, dan aturan-aturan perilaku yang mengikat relasi di dalamnya atau di luarnya. Itulah sebabnya saya nyatakan bahwa lembaga adalah piranti kerasnya, sedangkan institusi ialah piranti lunaknya.
Di dalam definisi ini, maka terdapat beberapa konsep yang harus dipahami, yaitu: relasi sosial bahwa di dalam organisasi selalu terdapat relasi-relasi yang bercorak relatif stabil berbasis pada sistem, nilai atau norma yang dibakukan secara bersama. Lalu wadah yaitu perangkat keras dan lunak yang terdapat di dalam organisasi yang di dalamnya terdapat relasi-relasi sosial dimaksud. Baik, organisasi formal atau informal dipastikan bahwa di dalamnya akan terdapat piranti keras dan lunak yang mengikat semuanya. Sebagai wadah kebersamaan, maka setiap orang yang berada di dalam organisasi akan bersepakat tentang apa yang menjadi tujuan mereka itu. Di sinilah memungkinkan bahwa di setiap organisasi akan selalu terdapat consensus di antara anggota-anggotanya. Consensus sosial merupakan kunci untuk membangun kebersamaan. Tanpa consensus sosial maka tidak akan mungkin sebuah kebersamaan akan terbangun. Negara, misalnya adalah hasil consensus semua warga bangsa yang direpresentasikan oleh para wakilnya untuk memutuskan dalam mengambil kebijakan bagi kesejahteraan masyarakat. Negara diciptakan hakikatnya ialah untuk membangun kebersamaan dalam mencapai kesejahteraan.
Kita sungguh beruntung memiliki founding fathers yang begitu cemerlang di dalam menetapkan falsafah, bentuk dan dasar bagi negara Indonesia. Jika kita cermati di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, maka tujuan bernegara ialah untuk melindungi segenap warga negara, untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat dan untuk membangun perdamaian abadi. Kita harus mengapresiasi terhadap keputusan politik yang telah dikonsensuskan oleh para founding fathers negeri ini.
Memang belum seluruh pokok pikiran sebagaimana tertuang di dalam Pembukaan UUD 1945 tersebut terjawab dengan memadai. Misalnya yang mendasar ialah tentang kesejahteraan rakyat. Upaya pembangunan sudah dilakukan semenjak Indonesia merdeka, tentu dalam skala dan cakupan yang masih diperdebatkan. Akan tetapi tentu kita dapat merasakan bahwa sudah terdapat upaya nyata untuk membangun bangsa. Misalnya jumlah orang miskin yang terus menurun, lalu jumlah lapangan kerja yang juga semakin membaik dan pelayanan kesehatan yang semakin memadai. Hanya saja yang masih menjadi problem adalah tentang rasio gini yang belum beranjak lebih baik. Jurang antara yang kaya dan miskin masih cukup menganga. Pelayanan pendidikan juga semakin membaik, misalnya dengan program Kartu Indonesia Pintar (KIP), Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan sebagainya.

Struktur organisasi
Organisasi formal maupun informal selalu memiliki struktur organisasi. Jika struktur dalam organisasi dibuat berdasarkan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, maka untuk organisasi informal tidak harus seperti itu. Bisa saja untuk menentukan siapa pengurusnya dan siapa pemimpinnya cukup dengan musyawarah dan mufakat. Sebagaimana organisasi informal Persatuan Warga Ronggolawe Tuban, maka penentuan siapa yang akan memimpin organisasi ini cukup dengan musyawarah saja. Jadi sangat tergantung kepada bagaimana musyawarah tersebut dilaksanakan.
Di dalam organisasi formal, maka penentuan pengurus atau juga kepemimpinan organisasi ditentukan berdasarkan persyaratan yang ketat. Bahkan terkadang dilakukan secara demokratis, one man one vote. Organisasi politik, misalnya tentu sangat ketat di dalam penentuan pimpinan organisasinya. Ada pentahapan-pentahapan yang dilalui, misalnya musyawaran daerah dan musyawarah pusat, sesuai dengan cakupan dan otoritas yang dimilikinya. Di dalam menentukan ketua atau pengurus organisasi, biasanya dilakukan dengan pemungutan suara dan untuk menentukan pengurus organisasi dilakukan atas pilihan formatur yang bekerja untuk memilih nama-nama yang dianggap kapabel. Keputusan yang diambil bersifat mengikat dan memperoleh pengabsahan dari sistem yang sudah disepakati.
Berdasarkan teori kepemimpinan, misalnya Max Weber, bahwa ada jenis kepemimpinan dengan otoritas yang dimilikinya. Kepemimpinan kharismatis ialah kepemimpinan dengan corak otoritas yang bersifat adikodrati. Pengabsahan kekuasaannya, ditentukan oleh adanya kelebihan yang dimiliki oleh pemimpin dimaksud. Ia dipilih untuk menjadi pemimpin karena kelebihan yang bersangkutan dalam menyelesaikan atau menemukan sesuatu yang bercorak adikodrati. Misalnya, kemampuan menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh masyarakat pada saat tersebut.
Kemudian kepemimpinan tradisional ialah kepemimpinan yang pengabsahannya didasarkan atas keturunan pemimpin sebelumnya. Biasanya bercorak langsung dari pemimpin sebelumnya kepada pemimpin sesudahnya. Dalam sistem pemerintahan yang bercorak monarkhi, maka anak seorang raja atau ratu dipastikan akan menjadi succesornya. Contoh, kerajaan di Arab Saudi, Thailand, Inggris dan sebagainya di mana orang tuanya menjadi raja atau ratu, maka salah satu anaknya akan menjadi penggantinya. Demikian seterusnya.
Lalu, kepemimpinan legal-formal ialah pengabsahan kepemimpinan berdasar atas pilihan rasional dan legal formal. Seseorang dipilih untuk menjadi pemimpin karena kapasitas dan kapabilitasnya serta mendapatkan pengakuan dari sistem yang dibangun untuk kepentingan tersebut. Dunia birokrasi atau orrganisasi formal lainnya selalu menggunakan aturan-aturan formal berupa regulasi yang sudah disahkan sebelumnya.
Menurut Max Weber, bahwa perubahan kepemimpinan tersebut berjalan secara linear, artinya dari kepemimpinan kharusmatis ke tradisional ke legal formal. Akan tetapi di dalam contoh di pesantren situasinya sungguh berbeda. Tidak selalu linear, akan tetapi bercorak sirkular. Ada kepemimpinan tradisional-karismatis dan juga ada kepemimpinan legal-formal tradisional. Dalam kasus beberapa pesantren misalnya bisa dilihat ada kepemimpinan tradisional, akan tetapi juga sekaligus bercorak kharismatis. Demikian pula sebenarnya adalah kepemimpinan tradisional tetapi legal formal adanya. Jadi terdapat model atau pola kepemimpinan campuran di antara berbagai pengabsahan otoritas tersebut.

Refleksi
Dunia organisasi dan kepemimpinan memang sudah berubah dan perubahan tersebut sesungguhnya ialah mengikuti arus perubahan zaman yang memang mengharuskan perubahan terjadi. Secara konseptual dapat dinyatakan bahwa manusia sebagai makhluk sosial sebenarnya tidak hanya membutuhkan organisasi sebagai tempat untuk mengaktualkan tujuan bersama, akan tetapi juga membutuhkan kepemimpinan yang relevan dengan zamannya.
Di tengah perubahan sosial tersebut, manusia memiliki kemampuan untuk terus melakukan adaptasi sebagai bagian dari kepemilikan inteligensi yang memang lengkap sebagai wujud kekhalifahan yang dipercayakan Allah swt kepada manusia.
Wallahu a’lam bi al shawab.

MEREKONSTRUKSI KURIKULUM FAKULTAS DAKWAH

MEREKONSTRUKSI KURIKULUM FAKULTAS DAKWAH
DALAM BINGKAI INTEGRASI ILMU:
Bagaimana KKNI bisa diselaraskan?

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

A. Pengantar
Ketika saya belajar Manajemen Pendidikan Tinggi di Mc-Gill University, tahun 2006 yang lalu, saya memperoleh kesempatan untuk mendapatkan buku yang saya kira tetap menarik untuk diperbincangkan, yaitu karya editan Alenoush Saroyan dan Cheryl Amundsen. Buku ini merupakan upaya untuk mendokumentasikan workshop yang dilakukan di Mc-Gill’s dan diberi judul Rethinking Teaching in Higher Education (2004).
Lalu akhir-akhir ini saya juga mendapatkan buku yang ditulis oleh Fareed Zakaria dengan judul In Defense of Liberal Education (2015) yang saya kira juga buku yang sangat bagus untuk memberikan gambaran bahwa pendidikan memang sedang mengalami proses perubahan yang tidak sedikit, dan bagaimana mempertahankan Liberal Education.
Kemudian, saya juga mendapatkan buku baru tentang Era Industri 4.0 yang selama ini dianggap sebagai tantangan bagi perguruan tinggi. Buku yang ditulis bersama-sama oleh para pakar pendidikan dan diedit oleh Nancy E. Gleason, dengan judul Higher education in the Era of The Fourth Industrial Revolution (2018), yang menggambarkan bagaimana perguruan tinggi harus menghadapi Era Industri 4.0 dimaksud.
Saya lalu menulis di blog saya tentang “kegamangan” saya manakala saya harus kembali ke mengajar di UIN Sunan Ampel. Ada beberapa tulisan yang saya hadirkan mengenai “kegamangan” tersebut di tengah perubahan dunia yang semakin cepat sementara itu kita belum sepenuhnya berkesadaran untuk menghadapinya. Dari sinilah saya sebenarnya berkeinginan untuk merunut apa masalah kita dan apa yang bisa dilakukan oleh kita yang mendarmabhaktikan kehidupan ini untuk pengembangan SDM Indonesia dalam menjemput masa Indonesia Emas tahun 2045.

B. Masalah pembelajaran
Ada beberapa proposisi yang saya kira cukup kuat memiliki rujukan empiris dalam melihat dan mengamati program pembelajaran kita itu. Tentu saja hal ini adalah pandangan subyektif saya sebagai orang yang cukup lama tidak mengajar –6,5 tahun—berada di dalam kubangan birokrasi yang lebih banyak mengurus administrasi dari pada melakukan penguatan dan pemberdayaan SDM. Tentu saja, proposisi ini sangat layak untuk dicermati, apakah relevan atau tidak relevan dengan kenyataan empiris di institusi pendidikan kita ini.
Pertama, sistem pembelajaran kita masih bercorak konvensional, artinya belum terjadi perubahan yang signifikan terkait dengan bagaimana menjemput masa depan mahasiswa yang lebih baik. Jika kita amati, maka program pembelajaran kita masih merupakan kelanjutan saja dari cara mengajar di pendidikan menengah. Kita belum memiliki karakteristik pembelajaran khusus pendidikan tinggi. Cara mengajar kita masih sarat dengan proses ceramah dan tanya jawab dan hal ini terus kita lestarikan sebagai program pembelajaran yang terbaik. Mungkin masih bisa disebut lecturer focus atau lecturer centered. Kedua, program pembelajaran kita masih “theoretical orientation” yaitu pembelajaran dengan lebih banyak untuk memberikan pengetahuan teoretik. Mahasiswa memang mengetahui banyak teori bahkan sangat banyak teori, akan tetapi miskin pengayaan lapangan atau pengayaan eksperimentasi teori yang diterimanya. Pendidikan lebih banyak transfer of knowledge ketimbang to understanding atau to discover the empirical problem base on theoretical frame work atau bisa memecahkan masalah dengan teori-teori yang diajarkan tersebut. Ada semacam lack between theoretical and practical orientation.
Ketiga, kurikulum kita belum base on the capacity building. Kapasitas dimaksudkan bukan sekedar memiliki pengetahuan tentang sesuatu akan tetapi bagaimana yang bersangkutan mampu untuk menerapkan sesuatu yang menjadi pengetahuannya. Jadi selain dia memahami apa yang menjadi bahan atau materi perkulihannya, juga haruslah memahami bagaimana pengetahuannya tersebut menjadi pemandu bagi penyelesaian yang memadai untuk kehidupan diri dan masyarakatnya.
Keempat, prinsip di dalam konstruksi kurikulum kita ialah lebih banyak tahu tentang sesuatu dan bukan lebih tahu mendalam tentang sesuatu. Hal ini bisa dibuktikan dengan banyaknya mata kuliah yang diharuskan mahasiswa untuk lulus. Seakan-akan mahasiswa harus memiliki segalanya tetapi hanya sepenggal-sepenggal. Rasanya semuanya ingin diberikan sehingga mahasiswa itu menjadi “serba tahu”. Padahal yang sesungguhnya dibutuhkan di era “capability” atau “professionality” adalah tahu mendalam dan memahami mendalam. Sehingga dia akan bisa menjadikan pengetahuannya atau pemahamannya itu untuk memandu praktek kehidupan yang akan dijalaninya.
Kelima, pendidikan lebih mengutamakan hard skilled ketimbang soft skilled. Di dalam konteks ini, maka mahasiswa dijejali dengan banyak mata kuliah dengan ukuran lulus dan hal itu dianggap sebagai ukuran kelulusannya. Sebagaimana diketahui bahwa yang sungguh banyak berperan di dalam kesuksesan seseorang bukanlah hard skilled akan tetapi justru soft skilled.
Keenam, kegiatan-kegiatan di kampus perlu difokuskan pada apa yang sesungguhnya menjadi tujuan kita mendirikan lembaga pendidikan. Tujuannya tentu ialah mencerdaskan kehidupan bangsa dengan pendidikan berkulitas agar terjadi kepuasan pelanggan atau bahkan loyalitas pelanggan. Kegiatan kita harus “by design”. Perlu dilakukan perubahan untuk membangun perecanaan pendidikan yang lebih searah dengan “RPJMN tahun 2019-2024”. Termasuk juga rendahnya keinginan untuk mengarusutamakan integrasi ilmu yang sebenarnya menjadi main mandate dari berdirinya UIN Sunan Ampel.
Ketujuh, mahasiswa kurang dirangsang untuk berpikir kritis-konstruktif untuk menemukan sesuatu. Mahasiswa hanya mengerjakan tugas apa yang diberikan oleh dosen tanpa berupaya menyajikan sesuatu yang baru, sehingga banyak di antara mereka yang berbuat apa adanya saja. Semestinya mereka dirangsang untuk menemukan atau to discover konsep, aplikasi atau apapaun yang merupakan hasil kerjanya. Mahasiswa seharusnya didorong untuk bekerja bersama dalam suatu team work, karena ini adalah tuntutan zaman.

C. Apa yang seharusnya dilakukan?
Sebagaimana gambaran di atas, maka seharusnya perguruan tinggi melakukan banyak perubahan, baik yang menyangkut tata kelola, peningkatan kualitas maupun perluasan akses dan pemerataan pendidikan serta mempersiapkan mahasiswa untuk menghadapi era yang akan datang. Tahun depan kita akan memulai renstra baru dalam RPJMN 2019-2024, yang secara gamblang sudah dijelaskan ada sebanyak 17 bidang yang menjadi garapan pemerintah dan masyarakat Indonesia. Empat di antaranya yang mendasar ialah: Indonesia tanpa kemiskinan, Indonesia tanpa kelaparan, Indonesia sehat dan pendidikan berkualitas. Untuk hal ini, maka diperlukan beberapa solusi, antara lain ialah:
Pertama, peningkatan kualitas pendidikan. Issu yang dikembangkan bukan lagi perluasan akses pendidikan, akan tetapi kualitas pendidikan. Oleh karena itu semua komponen di dalam pendidikan harus memulai berpikir bagaimana membangun pendidikan yang berkualitas. Misalnya kualitas akademis, kualitas akreditasi, kualitas dosen, kualitas sarana prasarana pendidikan, kualitas mahasiswa dan juga kualitas tenaga kependidikan.
Apa yang dipikirkan oleh Fareed Zakaria saya kira tetap relevan, di tengah upaya untuk memvokasikan dunia pendidikan, tetapi tetap saja institusi pendidikan harus berpikir tentang “learning to think”. Menghasilkan orang yang suka berpikir dan berbuah pada adanya inovasi-inovasi tentu sangat menarik. Kehadiran Go-Jek, Go-Pay, Go-Food, saya kira adalah paduan antara berpikir dengan kreativitas.
Kedua, menghadapi tantangan Teknologi Informasi. Kita sedang menghadapi tantangan teknologi informasi di era industri 4.0. Kita harus berpikir, bagaimana menyongsong era Artifisial Intelligent ini dengan pendidikan yang tetap memiliki masa depan. Pendidikan harus menyajikan yang menjadi ciri khas manusia, yaitu mengajarkan nilai, keyakinan, berpikir kritis, kerja sama dan mencintai atau memahami manusia lainnya.
Kita membutuhkan satu konsep yang penting untuk dunia pendidikan menghadapi tantangan era industry sekarang ialah yang saya sebut sebagai discovery learning yang dapat saya gambarkan secara sederhana sebagai proses pembelajaran yang bertujuan dan menghasilkan produk pembelajaran yang memadai sesuai dengan bidang atau disiplin ilmu yang dikajinya dengan tujuan mendorong mahasiswa untuk menemukan secara bersama-sama tentang sesuatu yang baru. Jadi, ada proses untuk menemukan dan ada hasil temuannya. Saya terus terang terinspirasi oleh Jack Ma (2018), yang menyatakan bahwa peserta didik harus diajar untuk bekerja sama untuk berpikir independent, atau di dalam pemikiran Fareed Zakaria sebagai pendidikan untuk menghasilkan pemikiran. Jadi pemaduan antara learning for discovery dengan learning for thinking, atau ada yang menyebutnya sebagai collaborative learning (Sirikit Syah dan Martadi, 2011).
Ketiga, yang tidak kalah mendasar ialah merumuskan pohon keilmuan di dalam kurikulum sesuai dengan levelingnya masing-masing. Mana yang science (ilmu, teori, konsep), mana yang knowledge (pengetahuan), mana yang know how (pengetahuan praktis) dan mana yang skilled (keterampilan). Jadi, harus dibedakan levelingnya sehingga kita bisa mengukur keahlian macam apa yang sesungguhnya dibutuhkan. Di dalam konsepsi saya, maka ada dimensi teoretik, ada dimensi praksis keahlian dan ada dimensi teknik yang lebih jelas. Masing-masing harus dibagi secara proporsional dengan mempertimbangkan, misalnya pemikiran PM. Malaysia, yang menyatakan bahwa selayaknya kurikulum itu 50 persen teori dan 50 persen adalah keahlian praksis. Makanya perlu kita analisis atau mapping apakah kurikulum kita sudah seperti itu atau sebaliknya.
Keempat, merumuskan isi mata kuliah. Di dalam konteks ini, sebagaimana Alenous Saroyan and Cheryl Amundsen (2006), maka yang dibutuhkan ialah untuk menguji isi mata kuliah dengan melakukan identifikasi dan menggambarkan konsep mata kuliah yang penting dan dalam hubungannya dengan yang lain, lalu harus digambarkan secara jelas saling hubungan tersebut dan mencoba menempatkan mata kuliah tersebut dalam konteks yang lebih luas dalam aspek akademis. Yang tidak kalah penting ialah bagaimana merumuskan student goals and learning outcome. Di sini harus dibedakan mana yang masuk ke dalam kategori cognitive domain, affective domain dan psychomotor. Misalnya di dalam konteks cognitive domain ialah pengetahuan, konprehensive, aplikasi, synthesis dan evaluation. Sedangkan yang masuk dalam affective domain ialah menerima, merespon, menilai komitmen dan mengorganisasikan system nilai. Dan yang masuk ke dalam psychomotoric domain ialah tampilan keterampilan yang cukup.
Kelima, Dan di dalam kerangka KKNI, maka profile dari alumni PTKI itu seharusnya menggambarkan kenyataan “sesuai dengan ideologi Negara dan budaya Bangsa Indonesia, maka implementasi sistem pendidikan nasional dan sistem pelatihan kerja yang dilakukan di Indonesia pada setiap level kualifikasi mencakup proses yang menumbuhkembangkan afeksi sebagai berikut :
• Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
• Memiliki moral, etika dan kepribadian yang baik di dalam menyelesaikan tugasnya
• Berperan sebagai warga negara yang bangga dan cinta tanah air serta mendukung perdamaian dunia
• Mampu bekerja sama dan memiliki kepekaan sosial dan kepedulian yang tinggi terhadap masyarakat dan lingkungannya
• Menghargai keanekaragaman budaya, pandangan, kepercayaan, dan agama serta pendapat/temuan orisinal orang lain
• Menjunjung tinggi penegakan hukum serta memiliki semangat untuk mendahulukan kepentingan bangsa serta masyarakat luas.
Last but not least ialah bagaimana memikirkan tentang integrasi ilmu. Jika misalnya belum bisa dalam konteks integrasi, sekurang-kurang mendialogkan antara sains dan agama. Jadi, bagaimana kita menyajikan kurikulum yang di dalamnya ada dialog mendalam, sebagaimana yang dilakukan oleh UIN Sunan Kalijaga atau seperti yang diinsiatifkan oleh Balitbang dengan menerbitkan dialog antara fisika, kimia, biologi dan sebagainya dengan konsepsi Al Qur’an. Dan saya rasa kita bisa.

Wallahu a’lam bi al shawab.

BERORGANISASI SEBAGAI KEBUTUHAN SOSIAL

BERORGANISASI SEBAGAI KEBUTUHAN SOSIAL
Oleh: Prof. Dr. H. Nur Syam, MSI
Guru Besar Sosiologi UIN Sunan Ampel Surabaya

Pengantar
Manusia sesungguhnya memiliki tiga kebutuhan dasar yang mesti harus dipenuhi. Tiga kebutuhan dasar tersebut ialah: Kebutuhan biologis, seperti: makan, minum, berketurunan, mempertahankan diri dan sebagainya. Sementara itu kebutuhan sosial ialah kebutuhan manusia untuk memenuhi hasrat berkelompok, bersahabat, bermitra kerja dan termasuk berorganisasi. Kebutuhan integrative ialah kebutuhan untuk berkasih sayang, memberikan yang terbaik bagi orang lain, keinginan beragama dan sebagainya.
Berorganisasi ialah bagian dari kebutuhan sosial yaitu kebutuhan manusia yang asasi untuk hidup berkelompok, membangun kebersamaan, membangun kehidupan bersama, memperoleh pengakuan, kebutuhan dipimpin atau memimpin dan sebagainya. Di dunia ini nyaris tidak ditemui orang yang bisa hidup sendiri untuk memenuhi kebutuhannya. Seminimal-minimalnya kebutuhan, maka pastilah orang tersebut membutuhkan kebersamaan dengan orang lain. Maka, sesungguhnya kebutuhan bersyarikat, berkumpul, membangun organisasi adalah kebutuhan dasar manusia yang memang bersifat azali atau karena takdir Tuhan menciptakannya seperti itu.
Ditinjau dari factor yang menyebabkan orang berkeinginan untuk berorganisasi atau bersyarikat atau berkumpul dapat dilihat dari dua aspek, yaitu aspek internal dan aspek eksternal. Yang internal ialah keinginan dari dalam diri manusia itu sendiri untuk berkumpul, bersyarikat atau berorganisasi. Sedangkan dari aspek eksternal, misalnya dorongan untuk memanfaatkan perkumpulan, persyarikatan atau organisasi untuk berekspressi diri tentang kemampuan, dan dorongan untuk berkuasa dan sebagainya.

Pengertian dan jenis organisasi
Lalu apa yang dimaksud dengan organisasi? Saya berpendapat bahwa organisasi ialah kumpulan orang atau sekumpulan individu dalam suatu wadah tertentu untuk mencapai tujuan kebersamaan. Jadi setiap organisasi mengindikasikan adanya tiga syarat yaitu: adanya sejumlah orang di dalam organisasi itu dan seperti biasanya maka di dalamnya mestilah terdapat siapa yang menjadi pemimpinnya dan siapa yang menjadi anggotanya. Di masa lalu, pemimpin ditunjuk karena “kelebihan” apapun yang dimilikinya. Bisa karena kekuatan fisik, bisa karena kekuatan adikodrati dan bisa juga karena kemampuannya untuk menyelesaikan masalah bersama.
Sebagai contoh, di masa lalu seorang pemimpin hadir karena kemampuannya untuk mengorganisir pasukan dalam peperangan. Selalu ada panglima-panglima perang yang menjadi pemimpin dalam suatu kelompok. Dia menjadi pemimpin tentu karena keahliannya dalam menyusun strategi peperangan dan kekuatannya yang luar biasa dalam memimpin pasukan. Dialah Sang Hero yang memenangkan peperangan. Ada nama misalnya Salahuddin Al Ayyubi dalam perang 100 tahun antara Orang Islam dengan Orang Kristen. Ada Richard Lion Heart dalam peperangan itu dan sebagainya. Tetapi juga ada pemimpin dalam damai, misalnya kala Nabi Yusuf menjadi pemimpin Mesir karena keahliannya dalam perekonomian dan pertanian. Dia menjadi raja karena berhasil mengangkat kesejahteraan bangsa Mesir di kala itu. Di dalam sejarah Nusantara dikenal nama Mahapatih Gajahmada, Hang Tuah, Teuku Umar, Cut Nyak Din, Pangeran Diponegoro, dan sebagainya. di dalam sejarah Nusanatara, mereka adalah pra pahlawan yang membela negara dan bangsanya dalam melawan pra musuhnya.
Tentu juga ada organisasi yang jumlah anggotanya sangat variatif tergantung pada besar atau kecilnya organisasi dimaksud. Ada organisasi dengan cakupan yang sangat luas, bahkan internasional dan ada juga organisasi dengan lingkup lokal bahkan sangat lokal. Semua ini menggambarkan bahwa di dalam setiap organisasi selalu ada sejumlah orang yang berkumpul dengan varian tugas dan fungsinya masing-masing.
Kemudian ada wadah atau lembaga yang menjadi tempat berkumpul. Tempat tentu tidak selalu dalam konteks fisik. Artinya bahwa yang dimaksud dengan wadah atau tempat ialah simbol yang menggambarkan bahwa mereka bersatu atau berkumpul dalam suatu ikatan yang relative tetap. Wadah tersebut merupakan ikatan yang bisa mempersatukan mereka dalam jangka waktu yang relative lama dan tetap.
Yang juga penting bahwa setiap perkumpulan, persyarikatan, atau organisasi selalu dibangun karena adanya kesamaan tujuan. Jadi dipastikan bahwa mereka berkumpul atau berorganisasi tentu difasilitasi atau didasari oleh tujuan bersama untuk kepentingan bersama. Di dalam konsepsi sosiologis ada yang disebut dyad, maka setiap ada dua orang yang bertemu dipastikan bahwa mestilah membicarakan atau ingin membangun kebersamaan. Dan di kala masuk orang ketiga, maka terjadilah yang disebut sebagai tryad dan seringkali menumbuhkan pertentangan bahkan konflik.
Dilihat dari jenisnya, maka kita mengenal ada organisasi formal dan organisasi informal. Yang formal tentu ditandai dengan adanya beberapa persayaratan penting, yaitu: adanya hirarkhi atau ada pemimpin, dan anggota serta ada tugas, pokok dan fungsi. Lalu adanya struktur organisasi, adanya regulasi yang biasanya dalam bentuk anggaran dasar (AD) dan anggaran rumah tangga (ART), dan kemudian ada pengakuan atau recognisi dari lembaga yang berwenang. Di dalam konteks organisasi formal di Indonesia maka mestilah memperoleh pengakuan dari Kementerian Hukum dan HAM (kemenkumham). Selain itu juga harus mematuhi segala regulasi atau peraturan perundang-undangan yang terkait dengan organisasi formal tersebut.
Sebagaimana sudah dijelaskan, bahwa tujuan organisasi formal ialah untuk menjalankan fungsi kebersamaan sesuai dengan apa yang menjadi consensus kebersamaan. Misalnya organisasi politik, maka yang menjadi kebersamaannya ialah untuk mewujudkan artikulasi kepentingan politik. Sebagai contoh, Partai Politik (PPP, Golkar, PDIP, PKS, Hanura, Gerindra, PKB dan sebagainya). Kemudian, organisasi ekonomi, misalnya: Gapeksi, Gapensi, HIPMI, ISEI, WTO, AFTA, dan sebagainya. Lalu, organisasi keagamaan, misalnya: NU, Muhammadiyah, Aisyiah, Muslimat, Fatayat, MUI, KWI, DGI, PHDI, Matakhin, Perti, Persis, PUI, dan sebagainya. Organisasi kepemudaan dan kemahasiswaan, misalnya: PMII, HMI, PMKRI, GMNI, Anshor, IPNU, IPPNU, IPM, dan sebagainya. Organisasi sosial, misalnya: Himpunan Tani Indonesia, Himpunan Kaum Wreda, Rukun Tetangga, Rukun Warga dan sebagainya.
Selain itu juga terdapat organisasi informal. Yaitu organisasi yang dibentuk oleh sekelompok individu dengan tujuan tertentu tetapi tidak memiliki persyaratan khusus. Misalnya ketentuan hirarkhi, ketentuan kepemimpinan, persyaratan struktur, dan juga pengakuan atau legalitas dari negara. Organisasi ini ada karena tuntutan warga atau komunitas atau masyarakat untuk membentuk kebersamaan karena ikatan yang dibuat oleh mereka sendiri. Biasanya bersifat kedaerahan, etnisitas, atau kesukuan. Contohnya adalah organisasi-organisasi atau perkumpulan atau pesamuan yang dibentuk untuk tujuan bersilaturahim atau sekedar bersama-sama membangun persaudaraan, misalnya Ikatan Warga Tuban di Jakarta, Ikatan Wong Solo di Jakarta, Pesamuan Kaum Buddhis, persaudaraan pesilat, Ikatan Mahasiswa Ronggolawe, Ikatan Persaudaraan Orang Bugis, Ikatan Orang Betawi, Persatuan Orang Padang di Jakarta dan sebagainya.
Selain pembagian di atas juga terdapat pembagian organisasi berdasarkan profesi. Yaitu organisasi yang dibikin untuk menghimpun para professional dengan tujuan untuk memperkuat posisi profesi yang mereka tekuni. Biasanya organisasi profesi ini memiliki kekuatan untuk memaksa para professional untuk terlibat di dalamnya. Misalnya Ikatan Dokter Indonesia (IDI), maka organisasi ini memiliki kekuatan untuk mengakui profesionalitas seseorang. Dokter dinyatakan sebagai dokter professional jika yang bersangkutan telah dinyatakan lulus atau bersertifikat sebagai anggota IDI. Di dalamnya terdapat Etika Profesi dan juga mengikat anggotanya untuk mematuhi terhadap profesinya dimaksud. Yang lain misalnya Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Ikatan Advokat Indonesia (IKADI), Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI), Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) dan sebagainya.

Refleksi
Secara konseptual dapat dinyatakan bahwa hakikat kehidupan manusia sesungguhnya merupakan kehidupan berkelompok. Sebagaimana fitrahnya, bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk bersekutu, berkelompok atau berkumpul untuk tujuan tertentu. Secara kodrati, manusia berkebutuhan untuk berorganisasi, baik dalam bentuknya yang formal atau informal dalam kerangka memenuhi hasrat keinginannya dalam mengakses kehidupan.
Berdasarkan kajian sosiologis-antropologis, bahwa kehidupan berkelompok merupakan sistem kehidupan tertua di dalam sejarah kehidupan manusia. Baik manusia pra sejarah maupun manusia modern, memiliki kecenderungan berkelompok sebagai kebutuhan yang tidak terhindarkan dalam kerangka untuk mengartikulasikan kepentingan bersama di dalam kehidupan.
Wallahu a’lam bi al shawab.