Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MEREKONSTRUKSI KURIKULUM FAKULTAS DAKWAH

MEREKONSTRUKSI KURIKULUM FAKULTAS DAKWAH
DALAM BINGKAI INTEGRASI ILMU:
Bagaimana KKNI bisa diselaraskan?

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

A. Pengantar
Ketika saya belajar Manajemen Pendidikan Tinggi di Mc-Gill University, tahun 2006 yang lalu, saya memperoleh kesempatan untuk mendapatkan buku yang saya kira tetap menarik untuk diperbincangkan, yaitu karya editan Alenoush Saroyan dan Cheryl Amundsen. Buku ini merupakan upaya untuk mendokumentasikan workshop yang dilakukan di Mc-Gill’s dan diberi judul Rethinking Teaching in Higher Education (2004).
Lalu akhir-akhir ini saya juga mendapatkan buku yang ditulis oleh Fareed Zakaria dengan judul In Defense of Liberal Education (2015) yang saya kira juga buku yang sangat bagus untuk memberikan gambaran bahwa pendidikan memang sedang mengalami proses perubahan yang tidak sedikit, dan bagaimana mempertahankan Liberal Education.
Kemudian, saya juga mendapatkan buku baru tentang Era Industri 4.0 yang selama ini dianggap sebagai tantangan bagi perguruan tinggi. Buku yang ditulis bersama-sama oleh para pakar pendidikan dan diedit oleh Nancy E. Gleason, dengan judul Higher education in the Era of The Fourth Industrial Revolution (2018), yang menggambarkan bagaimana perguruan tinggi harus menghadapi Era Industri 4.0 dimaksud.
Saya lalu menulis di blog saya tentang “kegamangan” saya manakala saya harus kembali ke mengajar di UIN Sunan Ampel. Ada beberapa tulisan yang saya hadirkan mengenai “kegamangan” tersebut di tengah perubahan dunia yang semakin cepat sementara itu kita belum sepenuhnya berkesadaran untuk menghadapinya. Dari sinilah saya sebenarnya berkeinginan untuk merunut apa masalah kita dan apa yang bisa dilakukan oleh kita yang mendarmabhaktikan kehidupan ini untuk pengembangan SDM Indonesia dalam menjemput masa Indonesia Emas tahun 2045.

B. Masalah pembelajaran
Ada beberapa proposisi yang saya kira cukup kuat memiliki rujukan empiris dalam melihat dan mengamati program pembelajaran kita itu. Tentu saja hal ini adalah pandangan subyektif saya sebagai orang yang cukup lama tidak mengajar –6,5 tahun—berada di dalam kubangan birokrasi yang lebih banyak mengurus administrasi dari pada melakukan penguatan dan pemberdayaan SDM. Tentu saja, proposisi ini sangat layak untuk dicermati, apakah relevan atau tidak relevan dengan kenyataan empiris di institusi pendidikan kita ini.
Pertama, sistem pembelajaran kita masih bercorak konvensional, artinya belum terjadi perubahan yang signifikan terkait dengan bagaimana menjemput masa depan mahasiswa yang lebih baik. Jika kita amati, maka program pembelajaran kita masih merupakan kelanjutan saja dari cara mengajar di pendidikan menengah. Kita belum memiliki karakteristik pembelajaran khusus pendidikan tinggi. Cara mengajar kita masih sarat dengan proses ceramah dan tanya jawab dan hal ini terus kita lestarikan sebagai program pembelajaran yang terbaik. Mungkin masih bisa disebut lecturer focus atau lecturer centered. Kedua, program pembelajaran kita masih “theoretical orientation” yaitu pembelajaran dengan lebih banyak untuk memberikan pengetahuan teoretik. Mahasiswa memang mengetahui banyak teori bahkan sangat banyak teori, akan tetapi miskin pengayaan lapangan atau pengayaan eksperimentasi teori yang diterimanya. Pendidikan lebih banyak transfer of knowledge ketimbang to understanding atau to discover the empirical problem base on theoretical frame work atau bisa memecahkan masalah dengan teori-teori yang diajarkan tersebut. Ada semacam lack between theoretical and practical orientation.
Ketiga, kurikulum kita belum base on the capacity building. Kapasitas dimaksudkan bukan sekedar memiliki pengetahuan tentang sesuatu akan tetapi bagaimana yang bersangkutan mampu untuk menerapkan sesuatu yang menjadi pengetahuannya. Jadi selain dia memahami apa yang menjadi bahan atau materi perkulihannya, juga haruslah memahami bagaimana pengetahuannya tersebut menjadi pemandu bagi penyelesaian yang memadai untuk kehidupan diri dan masyarakatnya.
Keempat, prinsip di dalam konstruksi kurikulum kita ialah lebih banyak tahu tentang sesuatu dan bukan lebih tahu mendalam tentang sesuatu. Hal ini bisa dibuktikan dengan banyaknya mata kuliah yang diharuskan mahasiswa untuk lulus. Seakan-akan mahasiswa harus memiliki segalanya tetapi hanya sepenggal-sepenggal. Rasanya semuanya ingin diberikan sehingga mahasiswa itu menjadi “serba tahu”. Padahal yang sesungguhnya dibutuhkan di era “capability” atau “professionality” adalah tahu mendalam dan memahami mendalam. Sehingga dia akan bisa menjadikan pengetahuannya atau pemahamannya itu untuk memandu praktek kehidupan yang akan dijalaninya.
Kelima, pendidikan lebih mengutamakan hard skilled ketimbang soft skilled. Di dalam konteks ini, maka mahasiswa dijejali dengan banyak mata kuliah dengan ukuran lulus dan hal itu dianggap sebagai ukuran kelulusannya. Sebagaimana diketahui bahwa yang sungguh banyak berperan di dalam kesuksesan seseorang bukanlah hard skilled akan tetapi justru soft skilled.
Keenam, kegiatan-kegiatan di kampus perlu difokuskan pada apa yang sesungguhnya menjadi tujuan kita mendirikan lembaga pendidikan. Tujuannya tentu ialah mencerdaskan kehidupan bangsa dengan pendidikan berkulitas agar terjadi kepuasan pelanggan atau bahkan loyalitas pelanggan. Kegiatan kita harus “by design”. Perlu dilakukan perubahan untuk membangun perecanaan pendidikan yang lebih searah dengan “RPJMN tahun 2019-2024”. Termasuk juga rendahnya keinginan untuk mengarusutamakan integrasi ilmu yang sebenarnya menjadi main mandate dari berdirinya UIN Sunan Ampel.
Ketujuh, mahasiswa kurang dirangsang untuk berpikir kritis-konstruktif untuk menemukan sesuatu. Mahasiswa hanya mengerjakan tugas apa yang diberikan oleh dosen tanpa berupaya menyajikan sesuatu yang baru, sehingga banyak di antara mereka yang berbuat apa adanya saja. Semestinya mereka dirangsang untuk menemukan atau to discover konsep, aplikasi atau apapaun yang merupakan hasil kerjanya. Mahasiswa seharusnya didorong untuk bekerja bersama dalam suatu team work, karena ini adalah tuntutan zaman.

C. Apa yang seharusnya dilakukan?
Sebagaimana gambaran di atas, maka seharusnya perguruan tinggi melakukan banyak perubahan, baik yang menyangkut tata kelola, peningkatan kualitas maupun perluasan akses dan pemerataan pendidikan serta mempersiapkan mahasiswa untuk menghadapi era yang akan datang. Tahun depan kita akan memulai renstra baru dalam RPJMN 2019-2024, yang secara gamblang sudah dijelaskan ada sebanyak 17 bidang yang menjadi garapan pemerintah dan masyarakat Indonesia. Empat di antaranya yang mendasar ialah: Indonesia tanpa kemiskinan, Indonesia tanpa kelaparan, Indonesia sehat dan pendidikan berkualitas. Untuk hal ini, maka diperlukan beberapa solusi, antara lain ialah:
Pertama, peningkatan kualitas pendidikan. Issu yang dikembangkan bukan lagi perluasan akses pendidikan, akan tetapi kualitas pendidikan. Oleh karena itu semua komponen di dalam pendidikan harus memulai berpikir bagaimana membangun pendidikan yang berkualitas. Misalnya kualitas akademis, kualitas akreditasi, kualitas dosen, kualitas sarana prasarana pendidikan, kualitas mahasiswa dan juga kualitas tenaga kependidikan.
Apa yang dipikirkan oleh Fareed Zakaria saya kira tetap relevan, di tengah upaya untuk memvokasikan dunia pendidikan, tetapi tetap saja institusi pendidikan harus berpikir tentang “learning to think”. Menghasilkan orang yang suka berpikir dan berbuah pada adanya inovasi-inovasi tentu sangat menarik. Kehadiran Go-Jek, Go-Pay, Go-Food, saya kira adalah paduan antara berpikir dengan kreativitas.
Kedua, menghadapi tantangan Teknologi Informasi. Kita sedang menghadapi tantangan teknologi informasi di era industri 4.0. Kita harus berpikir, bagaimana menyongsong era Artifisial Intelligent ini dengan pendidikan yang tetap memiliki masa depan. Pendidikan harus menyajikan yang menjadi ciri khas manusia, yaitu mengajarkan nilai, keyakinan, berpikir kritis, kerja sama dan mencintai atau memahami manusia lainnya.
Kita membutuhkan satu konsep yang penting untuk dunia pendidikan menghadapi tantangan era industry sekarang ialah yang saya sebut sebagai discovery learning yang dapat saya gambarkan secara sederhana sebagai proses pembelajaran yang bertujuan dan menghasilkan produk pembelajaran yang memadai sesuai dengan bidang atau disiplin ilmu yang dikajinya dengan tujuan mendorong mahasiswa untuk menemukan secara bersama-sama tentang sesuatu yang baru. Jadi, ada proses untuk menemukan dan ada hasil temuannya. Saya terus terang terinspirasi oleh Jack Ma (2018), yang menyatakan bahwa peserta didik harus diajar untuk bekerja sama untuk berpikir independent, atau di dalam pemikiran Fareed Zakaria sebagai pendidikan untuk menghasilkan pemikiran. Jadi pemaduan antara learning for discovery dengan learning for thinking, atau ada yang menyebutnya sebagai collaborative learning (Sirikit Syah dan Martadi, 2011).
Ketiga, yang tidak kalah mendasar ialah merumuskan pohon keilmuan di dalam kurikulum sesuai dengan levelingnya masing-masing. Mana yang science (ilmu, teori, konsep), mana yang knowledge (pengetahuan), mana yang know how (pengetahuan praktis) dan mana yang skilled (keterampilan). Jadi, harus dibedakan levelingnya sehingga kita bisa mengukur keahlian macam apa yang sesungguhnya dibutuhkan. Di dalam konsepsi saya, maka ada dimensi teoretik, ada dimensi praksis keahlian dan ada dimensi teknik yang lebih jelas. Masing-masing harus dibagi secara proporsional dengan mempertimbangkan, misalnya pemikiran PM. Malaysia, yang menyatakan bahwa selayaknya kurikulum itu 50 persen teori dan 50 persen adalah keahlian praksis. Makanya perlu kita analisis atau mapping apakah kurikulum kita sudah seperti itu atau sebaliknya.
Keempat, merumuskan isi mata kuliah. Di dalam konteks ini, sebagaimana Alenous Saroyan and Cheryl Amundsen (2006), maka yang dibutuhkan ialah untuk menguji isi mata kuliah dengan melakukan identifikasi dan menggambarkan konsep mata kuliah yang penting dan dalam hubungannya dengan yang lain, lalu harus digambarkan secara jelas saling hubungan tersebut dan mencoba menempatkan mata kuliah tersebut dalam konteks yang lebih luas dalam aspek akademis. Yang tidak kalah penting ialah bagaimana merumuskan student goals and learning outcome. Di sini harus dibedakan mana yang masuk ke dalam kategori cognitive domain, affective domain dan psychomotor. Misalnya di dalam konteks cognitive domain ialah pengetahuan, konprehensive, aplikasi, synthesis dan evaluation. Sedangkan yang masuk dalam affective domain ialah menerima, merespon, menilai komitmen dan mengorganisasikan system nilai. Dan yang masuk ke dalam psychomotoric domain ialah tampilan keterampilan yang cukup.
Kelima, Dan di dalam kerangka KKNI, maka profile dari alumni PTKI itu seharusnya menggambarkan kenyataan “sesuai dengan ideologi Negara dan budaya Bangsa Indonesia, maka implementasi sistem pendidikan nasional dan sistem pelatihan kerja yang dilakukan di Indonesia pada setiap level kualifikasi mencakup proses yang menumbuhkembangkan afeksi sebagai berikut :
• Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
• Memiliki moral, etika dan kepribadian yang baik di dalam menyelesaikan tugasnya
• Berperan sebagai warga negara yang bangga dan cinta tanah air serta mendukung perdamaian dunia
• Mampu bekerja sama dan memiliki kepekaan sosial dan kepedulian yang tinggi terhadap masyarakat dan lingkungannya
• Menghargai keanekaragaman budaya, pandangan, kepercayaan, dan agama serta pendapat/temuan orisinal orang lain
• Menjunjung tinggi penegakan hukum serta memiliki semangat untuk mendahulukan kepentingan bangsa serta masyarakat luas.
Last but not least ialah bagaimana memikirkan tentang integrasi ilmu. Jika misalnya belum bisa dalam konteks integrasi, sekurang-kurang mendialogkan antara sains dan agama. Jadi, bagaimana kita menyajikan kurikulum yang di dalamnya ada dialog mendalam, sebagaimana yang dilakukan oleh UIN Sunan Kalijaga atau seperti yang diinsiatifkan oleh Balitbang dengan menerbitkan dialog antara fisika, kimia, biologi dan sebagainya dengan konsepsi Al Qur’an. Dan saya rasa kita bisa.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..