• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

NU DAN PENEGASAN KEUTUHAN KEBANGSAAN

NU DAN PENEGASAN KEUTUHAN KEBANGSAAN

Salah satu yang menjadi consern NU dalam percaturan berbangsa dan bernegara ialah mengedepankan sikap penghargaan terhadap kebinekaan. NU memang sudah teruji di dalam kaitannya dengan pengembangan wawasan kebangsaan dan keumatan, keislaman dan keindonesiaan. Nyaris tidak ada yang meragukan komitmen NU untuk menjaga harmoni di tengah pluralitas dan multikulturalitas bangsa Indonesia.

Sesungguhnya, bangsa Indonesia adalah bangsa yang sangat menghargai kebinekaan. Bisa dibayangkan dengan jumlah suku dan bahasa serta pulau yang bertebaran dari Sabang sampai Merauke, sebuah keragaman yang saya kira tidak ada duanya di dunia ini, namun demikian dapat menjadi satu kesatuan dalam wujud berbangsa dan bernegara. Mereka semua menyatakan sebagai part of bangsa Indonesia dan menjadi penduduk negara Indonesia.

Jika kita hidup di wilayah pedesaan, maka mungkin saja kita tidak merasakan denyut perbedaan antara satu suku dengan lainnya, atau antara pemeluk agama yang satu dengan lainnya. Masyarakat pedesaan masih relative homogeen dalam sikap dan tindakan, ucapan dan perilaku. Mereka mengenal satu warga dengan lainnya, mereka hidup dalam dunia paguyuban dan saling mengenal satu dengan lainnya.

Namun jika kita hidup di wilayah perkotaan, apalagi kota metropolis seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Jogyakarta dan sebagainya, maka denyut nadi perbedaan atau heterogenitas itu sangat terasa. Ada perbedaan suku, agama, ras dan tindakan budayanya. Semua melambangkan bahwa Indonesia memang terdiri dari yang beraneka-ragam tersebut. Inilah keunikan Indonesia dilihat dari hubungan antar individu atau kelompok, yang pasti memunculkan perbedaan, rivalitas dan bahkan konflik.

Meskipun potensi untuk berbeda, berkontestasi dan konflik tersebut merupakan masalah yang potensial, akan tetapi sejauh ini dapat diredam sedemikian rupa. Para tokoh agama dengan berbagai forum yang diselenggarakan berhasil melakukan dialog yang dinamis dalam kerangka menggalang kebersamaan, khususnya kerukunan umat beragama. Melalui Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), maka problem-problem antar umat beragama dapat diredam dan diselesaikan secara memadai. FKUB yang merupakan representasi umat beragama dapat menjadi mediator dalam penyelesaian konflik di antara umat beragama. Selain merupakan representasi umat beragama juga menjadi representasi intern umat beragama. maka di dalam FKUB terdapat juga perwakilan NU, Muhammadiyah, dan organisasi Islam lainnya selain representasi umat agama selain Islam.

NU sebagai organisasi Islam tentu memiliki peran positif di dalam mendukung terhadap kerukunan umat beragama. Kita masih ingat sahabat-sahabat Banser dan Anshor yang menjaga gereja dalam acara Natalan, dan juga bagaimana komunikasi di antara mereka dijalin dengan sangat memadai. Makanya, NU bisa dinyatakan sebagai pelopor pembangunan harmoni umat beragama.

Munas Alim Ulama yang menjadi tempat berkumpulnya para kyai dan ulama NU dari seluruh Indonesia selalu memiliki agenda untuk membahas isu-isu kekinian, baik yang terkait dengan isu keagamaan, kenegaraan maupun sosial kemasyarakatan. Di dalam Munasnya di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al Azhar, Banjar, Jawa Barat dilakukan acara bahstul masail (03/03/2019) dan salah satu di antara rekomendasinya ialah agar kita menghindarkan diri dari pernyataan kafir-mengkafirkan umat agama lain. Hasil bahtsul masail ini memang bukan merupakan fatwa, akan tetapi merupakan himbauan dari para ulama NU agar tidak menggunakan kata kafir dalam menyebut umat agama lain.

Kata kafir memang secara lughawi berarti pengingkaran. Misalnya digunakan untuk menyatakan orang yang ingkar terhadap keberadaan Allah, bahkan juga mengingkari terhadap nikmat Allah. Penyebutan terhadap orang Nasrani di masa Rasulullah disebut dengan ahlul kitab. Sedangkan penyebutan kafir diperuntukkan bagi orang yang tidak bertuhan atau mengingkari keberadaan Tuhan. Akan tetapi di dalam konteks masyarakat Indonesia, maka kafir itu bermakna khusus ialah orang yang beragama selain Islam. Bahkan juga dikaitkan dengan orang yang membiarkan terhadap keberadaan agama lain tersebut.

Di dalam menjawab terhadap pandangan seperti ini, maka ulama NU menyepakati agar kata kafir tidak dipakai dalam relasi atau hubungan antar agama. Dengan demikian, di dalam menjalin komunikasi dan membangun kesepahaman dengan agama lain dalam konteks kebangsaan, maka NU menghimbau agar kata kafir tidak digunakan lagi dalam relasi antar umat beragama.

Melalui pandangan ini, maka jelas bahwa NU sebagai organisasi yang khas Nusantara memiliki kewajiban moral untuk menjaga dan mempertahankan keislaman dan keindonesiaan dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Jadi, sekali lagi NU menegaskan tentang peran pentingnya menjaga kerukunan umat beragama.

Wallahu a’lam bi al shawab.

NU DAN PENEGUHAN ISLAM NUSANTARA

NU DAN PENEGUHAN ISLAM NUSANTARA

Munas Alim Ulama dan Konferensi Besar NU di Pondok Pesantren Miftahul Huda al Azhar Banjar, Jawa Barat, saya kira berhasil secara konseptual untuk menyatakan sikapnya terhadap kritikan selama ini tentang Islam Nusantara. Sebagaimana diketahui bahwa tudingan miring tentang Islam Nusantara sebagai corak Islam baru itu nyaring terdengar khususnya di media sosial dan dilansir oleh kelompok yang secara diametral berseberangan dengan NU.

Ada anggapan bahwa NU dengan Islam Nusantaranya itu adalah kesesatan baru tentang Islam yang seharusnya dipandang secara universal satu dan tidak ada varian-varian lainnya. NU yang selama ini dianggap sebagai organisasi yang mengusung bidh’ah ditambah dengan bidhah baru dengan sebutan Islam Nusantara. Lengkaplah sudah tudingan NU sebagai organisasi yang “berseberangan” dengan Islam “murni” atau Islam “universal” sebagaimana konsepnya tersebut.

Di dalam forum Alim Ulama ini, (Kompas, 1/03/2019), KH. Said Aqil Siraj menjelaskan secara gamblang tentang “ma huwa Islam Nusantara” itu. Dinyatakannya bahwa Islam Nusantara bukan paham, bukan aliran, dan juga bukan sekte. Islam Nusantara ialah Islam yang menghormati budaya, menghormati tradisi yang ada selama tidak bertentangan dengan syariat Islam. Praktik Islam Nusantara ini sudah lama dilakukan oleh NU bahkan semenjak Islam masuk ke wilayah Nusantara. Puncak dari implementasi Islam Nusantara ialah keselarasan antara semangat kebangsaan dan keislaman. Pendiri NU, KH. Hasyim Asyari telah mengatakan bahwa cinta tanah air adalah bagian dari iman. Oleh karena itu, kesetiaan warga NU terhadap negara tidak bisa dipisahkan dari praktik serta paham keagamaan.

Sementara itu, Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail wilayah Jawa Timur, Ahmad Muntaha menyatakan bahwa Islam Nusantara dalam pengertian substansial adalah Islam ahlu sunnah wal jamaah yang diamalkan, didakwahkan serta dikembangkan sesuai dengan karakteristik masyarakat dan budaya Nusantara oleh para pendakwahnya.

Acara bahstul masail di dalam forum Munas Alim Ulama dan Konferensi Besar NU ini menyepakati tentang pentingnya mendakwahkan Islam Nusantara sebagaimana pemahaman orang NU sehingga masyarakat baik warga Nu maupun non warga NU dapat memahami apa yang sesungguhnya menjadi makna dari Islam Nusantara tersebut.

Islam Nusantara bukanlah Islam baru, akan tetapi hanyalah penyebutan tentang Islam yang berkembang dan melembaga di wilayah Nusantara. Jadi sebenarnya ialah Islam di Nusantara. Islam yang di saat memasuki kawasan ini sudah terdapat budaya yang mapan dan para auliya berhasil melakukan dialog kebudayaan, sehingga membentuk Islam dalam coraknya yang mengadaptasi terhadap budaya local, sejauh budaya local tersebut tidak bertentangan dengan syariat Islam secara general atau prinsip-prinsip Islam yang otentik.

Di dunia ini ternyata memang tidak terdapat wilayah yang vakum budaya. Semua telah terdapat budayanya sendiri-sendiri sesuai dengan pemahamannya terhadap dunianya, baik dunia kecil atau mikro kosmos atau dunia besar atau makro kosmos. Pemahaman itu telah melahirkan berbagai praktik budaya yang diyakini sebagai benar dan menjadi pedoman di antara mereka untuk bertindak dan bertingkah laku.

Di Indonesia, tatkala Islam masuk sudah ada budaya Hindu-Buddha, bahkan juga animisme dan dinamisme. Maka ketika Islam datang tentu saja harus dilakukan dialog atau proses saling memahami, dan inilah yang menyebabkan masyarakat local kemudian meninggalkan tradisinya tersebut dan menerima tradisi baru yang relevan dengan pemahamannya. Kemampuan untuk take and give antara Islam dan budaya local tersebut akhirnya menghasilkan Islam dalam coraknya yang “khas” dan inilah yang disebut sebagai Islam Nusantara atau Islam yang berkembang dan melembaga di Nusantara.

Jika secara umum dan hanya tataran luarnya yang dilihat, kiranya memang ada perbedaan dengan Islam di Arab Saudi, misalnya cara berpakaian, cara untuk mengekspresikan keberagamaannya dan instrument yang digunakan untuk beragama, akan tetapi sesungguhnya perbedaan tersebut hanyalah aspek luarnya saja dan bukan substansinya. Islam Nusantara secara substansial adalah Islam juga sebagaimana Islam di tempat lain, dalam kaitannya dengan tuhan, ritual umum dan juga ekspressi mendalam dari pengamalan agamanya.

Islam yang sekarang kita nikmati adalah buah karya dari para ulama Islam Nusantara yang secara cerdas dapat memasukkan ajaran Islam di dalam tradisi mereka, sehingga mereka kemudian menjadi umat Islam. Memasukkan Islam melalui kebudayaan ini pada akhirnya tidak menimbulkan benturan budaya, sehingga Islam datang dan melembaga dalam kedamaian dan bukan kekerasan.

Dengan demikian, Islam yang kita amalkan ini adalah Islam yang moderat atau yang wasathiyah sebagaimana yang dahulu diperjuangkan dan didakwahkan oleh para ulama Islam di Nusantara ini. Dan jika NU meneguhkannya sesungguhnya merupakan bentuk penghormatan terhadap para ulama yang dahulu berjuang untuk terwujudnya Islam di Nusantara.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

NU DAN PENEGUHAN NASIONALISME

NU DAN PENEGUHAN NASIONALISME

Dalam beberapa bulan terakhir, perbincangan tentang organisasi keagamaan lebih banyak dikaitkan dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Hal ini tentu saja dimaklumi karena sebentar lagi kita –sebagai bangsa Indonesia—akan memiliki gawe besar yaitu pilpres dan pileg tahun 2019. Pasaraya demokrasi ini akan tergelar sebentar lagi, tepatnya 17 April 2019.

Itulah sebabnya hiruk pikuk pilpres tentu banyak menyita media nasional, baik media cetak, media televisI maupun media online lainnya. Pertarungan juga semakin ketat terutama dengan semakin kuatnya penggunaan media online untuk meramaikan percaturan pilpres. Apalagi, salah satu kontestannya –wakil presiden Pak Jokowi ialah KH. Ma’ruf Amin—yang selama ini dikenal sebagai pimpinan NU sebagai Rais Am PBNU dan sekaligus juga Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI). Itulah sebabnya, pertarungan untuk berebut kursi presiden 2019-2024 menjadi semakin menarik karena keterlibatan orang penting di tubuh NU ini.

Sesungguhnya, NU telah menjadi organisasi yang independent dalam percaturan politik. Semenjak kembali ke Khittah 1926, maka NU secara organisasional memang telah menjadi organisasi yang independen dalam bidang politik, terutama dalam politik praktis. Namun, tentu saja keterlibatan NU secara individual masih bisa terjadi, apalagi hal ini menyangkut masa depan NU secara jam’iyah. Makanya, secara tidak langsung tarikan ke arah politik juga menjadi penguat.

Di Muhammadiyah –yang selama ini menerapkan politik alokatif—juga tidak bisa melepaskan benar-benar independensinya dalam pilpres. Misalnya dengan dukungan Pak Amin Rais yang merupakan tokoh Muhammadiyah dan juga Daniel Azhar, yang juga eksponen penting di tubuh Muhammadiyah. Keduanya, merupakan pendukung Pak Probowo-Sandi dan menjadi figure penting di dalam dukungannya kepada paslon No. 02 tersebut.

Oleh karena itu, saya tetap memiliki asumsi bahwa secara individual dua organisasi besar Islam ini bisa saling berkontestasi secara tidak langsung. Memang tidak secara terang-terangan melibatkan organisasinya, akan tetapi di dalam praktik politik pastilah keduanya memiliki keterikatan dengan tokoh-tokohnya. Asumsi ini akan bisa dilihat nanti pasca pilpres, yang tentu akan menghasilkan siapa yang akan menjadi pemenang.

Di tengah upaya kontestasi tidak langsung ini, maka NU menyelenggarakan acara Munas Alim Ulama dan Konferensi Besar NU di Pesantren Miftahul Huda Al Azhar, Banjar Jawa Barat, 28/2/2019. Acara besar ini dibuka oleh Presiden Joko Widodo dan rencana akan ditutup oleh Pak Jusuf Kalla, Wakil Presiden. Melihat yang datang di acara ini adalah paslon petahana, maka menjadi semakin jelas bagaimana NU sebagai organisasi keagamaan memasuki kawasan penting di dalam pilpres. Secara organisasional memang sangat layak NU menghadirkan Pak Jokowi dan Pak JK dalam perhelatan ini, sebab posisinya sebagai presiden dan wakil presiden. Akan tetapi dengan menggunakan framing analysis tentu bisa digambarkan bagaimana bentuk nyata dukungan NU terhadap pilpres kali ini.

Namun demikian, tentu ada catatan penting terkait dengan Munas Alim Ulama ini, yaitu memberikan dukungan yang kuat terhadap nasionalisme dan kebangsaan, yang saya kira menjadi ciri khas NU. Semenjak tahun 1985, NU telah memastikan bahwa NU adalah pendukung Pancasila yang utuh. Penerimaan atas Pancasila sebagai asas organisasi sosial keagamaan pada saat itu menjadi tonggak penting atas dukungan secara jam’iyah terhadap consensus kebangsaan, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI dan kebinekaan. NU memang tidak diragukan dalam pembelaannya terhadap nasionalisme dan kebangsaan di Indonesia.

Jika kita lihat perjalanan berikutnya, maka di dalam Munas NU di Jombang juga dipertegas tentang dukungan atas nasionalisme dan kebangsaan ini dengan konsepsi mengenai “Islam Nusantara”. Suatu konsepsi yang sebenarnya sudah banyak dijadikan sebagai bahan diskusi di kalangan ahli ilmu sosial, sebagai bagian dari pelabelan Islam di Indonesia yang memang memiliki ciri yang khas.

Namun demikian, kesalahan demi kesalahan pemahaman atas Islam Nusantara tersebut terus berlangsung, terutama di kalangan penganut Islam universal yang kebanyakan ialah para fundamentalis islam, yang di era sekarang menjadi pendukung Pak Prabowo-Sandi di dalam pilpres. Bagi mereka Islam itu satu tidak bisa dikaitkan dengan kewilayahan apalagi negara. Islam universal “bermimpi” bahwa di dunia itu hanya ada satu penafsiran atau pemahaman, yaitu Islam di dalam konsepsi atau penafsirannya.

Dukungan atas nasionalisme dan kebangsaan ini, saya kira menjadi wujud nyata bahwa NU mempertegas sikapnya atas keindonesiaan yang tidak luntur sedikitpun, terutama di dalam menghadapi serangan demi serangan kaum fundamentalisme yang semakin “kuat” pengaruhnya. Pembubaran HTI yang mendapatkan full support dari warga nahdhiyin menjadi indikasi bahwa NU secara vis a vis memang “menentang” terhadap upaya mendirikan khilafah Islamiyah, yang menjadi cita-cita kaum HTI.

NU telah menunjukkan kuatnya dukungan terhadap nasionalisme dan kebangsaan melalui forum-forum yang diselenggarakannya, dan hal ini sekali lagi dikuatkan kembali di dalam Munas Alim Ulama di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al Azhar di Banjar, Jawa Barat.

Wallahu a’lam bi al shawab.

NU DI PUSARAN POLITIK

NU DI PUSARAN POLITIK

Siapa yang tidak mengenal NU sebagai organisasi besar di Indonesia. semenjak 1926, NU telah berkhidmat bagi bangsa ini baik dalam bidang politik, sosial, budaya, ekonomi dan khususnya juga bidang keagamaan. NU memiliki sejarah panjang dalam merajut keindonesiaan dan di dalam mempertahankannya. NU telah memiliki fungsi yang sangat vital di dalam menjaga keindonesiaan itu dalam berbagai situasi yang menderanya.

NU sebagai jam’iyah tentu sudah cukup makan garam, khususnya di dalam menghadapi berbagai perbedaan, rivalitas dan bahkan konflik baik eksternal maupun internal. Di masa Orde Baru, NU selalu dipinggirkan oleh para penguasa, karena keterlibatannya di dalam dunia politik praktis, baik sebagai partai politik sendiri maupun dalam dukungannya terhadap partai politik lain, sebagai akibat fusi yang dilakukan oleh pemerintah.

NU bersama PNI, Masyumi dan PKI menjadi pemenang 4 (empat) besar dalam pemilu 1955, dan kemudian menjadi partai politik sendiri sampai terjadinya fusi partai politik, dan NU harus bergabung dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) semenjak tahun 1973. Di dalam PPP NU juga akhirnya dipinggirkan oleh rekan sejawatnya, John Naro cs, dan akhirnya memilih kembali ke khittah 1926 semenjak tahun 1985. Karena pemerintah sudah memiliki Golkar, maka NU yang tergabung di dalam PPP juga terus menerus dipinggirkan. Demikian pula PDI, yang akhirnya menjadi PDI Perjuangan atau PDIP.

Baru di akhir masa Orde Baru NU kembali memperoleh tempat yang selayaknya, sebagai akibat politik pragmatis yang dilakukan oleh pemerintah. Melalui pengakuan, Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi segenap organisasi, yang hal tersebut adalah bentuk dukungan kepada pemerintah, maka NU kembali dianggap sebagai organisasi sosial keagamaan yang memiliki kekuatan sebagai pendukung pemerintah.

NU memang tidak pernah jauh-jauh dari arena politik. Pasca kelengseran Soeharto, sebagai presiden ke dua, maka NU secara formal mendirikan partai politik, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang saat itu tentu meperoleh dukungan optimal dari seluruh jajaran NU, baik structural maupun kultural. Di saat itu juga terdapat konflik yang kreatif sebagaimana tantangan politik pada umumnya. Lahirnya Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) yang seumur jagung tentu menjadi catatan bagi perjalanan NU dalam relasinya dengan dunia politik.

Tentu semua paham, bahwa kehadiran PKB dapat mengantarkan keterpilihan Gus Dur sebagai presiden ke empat, meskipun juga tidak berumur panjang. Gerusan politik yang dilakukan oleh para lawan politiknya akhirnya memaksa Beliau harus mengakhiri jabatannya. Tetapi hal ini tentu menjadi bagian dari catatan manis NU dalam perjalanan keterlibatannya dengan dunia politik. Ada beberapa tokoh NU yang kemudian ingin tampil dalam kancah kepemimpinan nasional, seperti Gus Sholah dan Pak Hasyim Muzadi tetapi kandas di dalam pilihan presiden dan wakil presiden.

Akhirnya, keinginan untuk menjadikan orang NU untuk tampil di dalam kepemimpinnan nasional berhasil dengan tampilnya Pak Jusuf Kalla, meskipun secara structural bukanlah berada di dalam poros lingkaran NU akan tetapi secara kultural adalah orang NU. Beliau pernah menduduki jabatan di PBNU tetapi bukanlah pengurus harian yang menentukan. Makanya, duduknya Pak JK tentu menjadi bagian dari sejarah perjuangan NU dalam kancah politik.

Syahwat politik NU memang terus ada. Meskipun secara organisatoris sudah dinyatakan kembali ke Khittah 1926, akan tetapi keterlibatan NU sangat kentara. Misalnya dukungan terhadap pilkada, dan pilpres yang di dalamnya terdapat calon dari warga Nahdliyin.

Jika NU secara individual mendukung terhadap pasangan calon (paslon) saya kira memang sebuah kewajaran, sebab menjadi bagian dari pilihan rasional. Setiap warga negara yang sadar akan demokrasi pastilah akan melakukan tindakan pilihan politik, baik secara terang-terangan maupun tersembunyi. Semua pastilah memiliki syahwat politik yang diyakini sebagai “kebenaran”. Di dalam pilkada Jatim, yang mempertemukan Gus Ipul dan Bu Khofifah –keduanya adalah kader NU—maka posisi tokoh NU baik di jajaran pengurus tanfidziyah maupun syuriyah juga terbelah. Banyak kyai yang berseberangan secara politik. Bahkan begitu sengitnya pertarungan ini, maka juga memunculkan fatwa-fatwa politik yang dikeluarkan oleh tokoh-tokoh NU. Ada fatwa yang mendukung Gus Ipul dan ada fatwa yang mendukung Bu Khofifah. Sebuah politik warna-warni yang menarik. Semua menggambarkan pilihan rasional di tengah deru politik yang hingar bingar.

Bahkan pesantren juga ikut terlibat di dalamnya. Ada pesantren yang mendukung Bu Khofifah dan ada pesantren yang mendukung Gus Ipul. Secara terang-terangan para pengasuh pesantren ikut berkontestasi politik melalui dukungan demi dukungan. Jadi, para kyai sebagai orang NU, sekaligus juga pemimpin pesantren secara akurat mendukung terhadap paslon yang dianggapnya sesuai dengan pilihan politiknya.

Berdasarkan atas fakta ini, maka bisa digambarkan bahwa NU secara jami’iyah memang sudah mendeklarasikan diri sebagai independen akan tetapi personal pimpinan NU selalu terlibat di dalam arena politik. Hal ini yang saya kira menjadi “catatan khusus” tentang NU yang belum bisa menerapkan politik alokatif dalam kerangka pilihan politik. Pimpinan teras NU baik nasional maupun regional secara jelas mendukung terhadap paslon baik paslon presiden dan wakil presiden, maupun paslon gubernur dan wakil gubernur dan seterusnya.

Jadi, NU masih berada di dalam “kubangan” politik yang memang tidak bisa dihindarinya. Dan ini merupakan area “pilihan rasional” yang mendapatkan justifikasi di dalam kajian-kajian ilmu-ilmu sosial.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

POLITIK KEBANGSAAN DI ERA CYBER WAR

POLITIK KEBANGSAAN DI ERA CYBER WAR

Saya didapuk untuk menjadi narasumber dalam acara yang digelar oleh Forum Kebangsaan Jawa Timur (FKJ) di Gereja Bethani Surabaya, 19/01/19. Acara ini diselenggarakan oleh FKJ dibawah koordinasi A. Nur Aminuddin, Mantan Ketua Korcab PMII Jawa Timur. Hadir dalam acara ini, Ketua Forum Beda Tapi Mesra (FBM), KH. Ahmad Suyanto.

Sebagai narasumber selain saya ialah Letkol Infanteri Didik Supriyadi, mewakili Pangdam V Brawijaya, AKBP Wiwik yang mewakili Kapolda Jatim, Nyoman Anom Mediana (PHDI), Romo Bingki Irawan (Rohaniawan Khonghucu) dan yang mewakili Bu Dr. Hana Amalia Vandayanti (Pondok Kasih). Selain itu juga hadir dari Bawaslu dan pimpinan Majelis-Majelis Agama.

Di dalam kesempatan itu, saya menyampaikan tiga hal, yaitu: pertama, ucapan selamat dan apresiasi atas terselenggaranya acara “Proyeksi awal Tahun, Lounching Cyber Anti Hoaks, dan peringatan 9 Tahun Haul Gus Dur”. Acara yang sangat menarik terkait dengan gawe besar bangsa, yaitu pilihan anggota legislative (pileg) dan pilihan presiden (Pilpres) yang tinggal menunggu hari. Apa lagi acara ini dihadiri oleh semua elemen penganut agama dan juga tokoh-tokoh kebangsaan yang tidak diragukan komitmennya.

Kedua, kita sekarang sedang memasuki tahun politik, yaitu tahun pemilu untuk menentukan Indonesia lima tahun mendatang. Apa yang akan kita lihat lima tahun mendatang akan tercermin pada tahun ini, 2019. Itulah sebabnya tahun ini dianggap sebagai tahun krusial bagi bangsa ini dalam rangka menjemput masa depan yang lebih baik. Bagi bangsa ini upacara liminal lima tahunan, merupakan hal yang semestinya dianggap sebagai peristiwa politik yang tidak seharusnya disikapi dengan gegap gempita destruktif. Makanya, ada usulan agar dianggap sebagai tahun pemilu atau tahun pemilihan presiden saja dan bukan tahun politik.

Ada dua hal kekhawatiran menjelang tahun politik itu, yang pada tahun sebelumnya diprediksi akan meningkat dengan kuat, yaitu menguatnya politik aliran dan politik identitas. Tetapi berdasarkan kenyataan di lapangan, bahwa politik aliran sudah semakin surut, dan politik identitas juga semakin larut. Nyaris tidak kita jumpai perselisihan atau kontestasi yang dipicu oleh politik aliran. Semenjak diangkat konsepnya oleh Ruth McVey dan Clifford Geertz, politik aliran di Indonesia sudah tidak lagi tampak di permukaan. Tidak ada lagi penggolongan politik Hijau dan Merah, Santri dan Nonsantri atau Nasionalis. Bahkan dikenal konsep Religoius-Nasionalis. Jadi benar-benar sudah surut tentang penggolongan aliran sebagai basis kekuatan politik di Indonesia.

Lalu, politik identitas yang juga diprediksi akan menguat, terutama mengacu pada pilkada DKI, juga tidak didapatkan realitas empirisnya. Kontestasi yang didasari oleh sentiment agama, etnis dan kesukubangsaan juga tidak menjadi konsumsi yang mengharubiru terhadap perpolitikan nasional. Nyaris tidak dijumpai pemanfaatan sentiment keagamaan yang selama ini menjadi isu menarik di seputar pilpres. Demikian pula tentang sentiment etnis yang dikhawatirkan juga tidak menjadi issu yang krusial. Saya melihat ada banyak hal yang sudah disadari oleh masyarakat Indonesia di dalam menghadapi pemilu tahun 2019. Memang tidak didapati pemicu munculnya issue politik yang menyebabkan terjadinya respon negative terhadap masalah-masalah dimaksud.

Hanya saja yang masih menjadi problem kita ialah semakin menguatnya hoaks di tengah kehidupan kita. Di era cyber war ini memang kita tidak bisa menampik terjadinya perang media. Diketahui bahwa pembunuhan karakter, berita bohong, fitnah dan sebagainya merupakan bagian tidak terpisahkan dari cyber war. Dan media sosial menjadi andalan di dalam perang media. Memang masih kita lihat dengan kuat terjadinya hoaks menjelang pilpres. Masih dijumpai produksi hoaks yang terus berlanjut. Semua menggambarkan bahwa dunia teknologi informasi memang tidak bisa dipisahkan dari keberadaan hoaks ini.

Tentu saja kita berharap bahwa ke depan masyarakat ini akan semakin mengedepankan politik yang santun, politik yang beretika. Jangan sampai sinyalemen yang pernah disampaikan oleh KH. Hasyim Muzadi (alm) bahwa di Indonesia sedang terjadi “politik tanpa etika” masih terus berlanjut. Harus kita kikis keberadaan politik tanpa etika ini dengan mengedepankan dan kembali kepada hakikat masyarakat Indonesia yang sedari semula dikenal sebagai masyarakat yang religious dan mengedepankan tatakrama dan kesantunan atau kesopanan.

Ketiga, sebagai solusi atas beberapa hal di atas, maka yang diperlukan ialah memperbanyak agen yang memahami dirinya sebagai individu yang sadar pentingnya membangun literasi media. Dan bisa berperan sebagai bagian dari komunitas anti hoaks. Para agen ini harus selalu mengampanyekan “saring sebelum sharing, check and recheck sebelum share”. Kita sungguh mendambakan masyarakat Indonesia yang melek teknologi informasi akan tetapi dapat dimanfaatkan untuk hal-hal yang positif.

Selain itu, diperlukan upaya untuk merekonstruksi pembelajaran sejarah untuk anak-anak Indonesia. Mereka harus diajarkan tentang bagaimana beratnya upaya untuk memerdekakan Indonesia dengan menjadi Indonesia sebagai negara kesatuan berdasarkan atas Pancasila. Sejarah rakyat Indonesia untuk melepaskan diri dari penjajahan Belanda itu terjadi selama Belanda menjajah Indonesia. Perang Diponegoro yang dikenal sebagai Perang Jawa dan menghabiskan pundi-pundi keuangan Belanda tentu meninggalkan kesan yang luar biasa. Bagaimana ada seorang perempuan yang menyapu bekas-bekas tapak kaki kuda yang dilewati oleh Pangeran Diponegoro. Sebuah tindakan kecil tetapi memiliki makna besar. Cerita sejarah seperti ini bisa kita dengar dari para guru kita di masa lalu. Dan di era sekarang saya kira perlu rekonstruksi pembelajaran sejarah agar anak-anak Indonesia mengenal bagaimana para pejuang itu memerdekakan Indonesia.

Dan yang tidak kalah penting ialah statemen-statemen Gus Dur, yang begitu memberikan perhatian terhadap hubungan antar agama. Beliau menyatakan: “Indonesia bukan negara agama tetapi negara Beragama. Ada enam agama yang diakui di Indonesia. Jadi tolong hargai lima agama lainnya”. Disadari benar bahwa hanya dengan penghargaan terhadap lainnya, maka merajut harmoni dan kerukunan sebagai bangsa akan terwujud.

Dan semua itu dilakukan dalam rangka untuk mengembangkan Pancasila sebagai living ideology, dan karenanya diperlukan upaya untuk menjadikan Pancasila sebagai ideology yang hidup di dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Merenungkan kembali tentang pentingnya Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), saya kira penting di masa sekarang dan akan datang.

Wallahu a’lam bi al shawab.