• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

PEMILU 2019; KONTESTASI BELUM USAI

PEMILU 2019; KONTESTASI BELUM USAI

Ada yang menarik pasca pengumuman hasil Quick Count oleh lembaga-lembaga independent terkait dengan perolehan suara oleh masing-masing paslon cawapres 2019 atau antara Jokowi-Ma’ruf dengan Prabowo-Sandi. Hasil QC ini ternyata memenangkan pasangan Jokowi-Ma’ruf dengan perhitungan yang nyaris sama, yaitu bergerak antara 54 persen sampai 56 persen untuk pasangan Jokowi-Ma’ruf dan antara 44 persen sampai 46 persen untuk pasangan Prabowo-Sandi. Tentu bukan kebetulan, jika mereka seakan dengan suara yang hampir sama menyatakan kemenangan pasangan Jokowi-Ma’ruf dan kekalahan pasangan Prabowo-Sandi.

Reaksi pun bermunculan, baik dari Kubu Jokowi-Ma’ruf maupun Probowo-Sandi. Yang merasa menang dengan hasil QC juga langsung bereaksi dan yang kalah juga bereaksi sedemikian rupa. Biasa saja, yang menang merasa senang dan yang kalah merasa harus juga menjadi pemenang. Di dalam kehidupan ini, memang hanya ada dua sisi, menang dan kalah, senang dan sedih dan lainnya. Yang menang harus bertahan dengan kemenangannya dan yang kalah harus berupaya untuk membalik kekalahan menjadi kemenangan dengan sekuat tenaga. Ini bukanlah paradoks di dalam kehidupan, akan tetapi merupakan “kewajaran” saja di dalam kehidupan yang memang bercorak “patembayan”, “kontestasi” atau “pertarungan”.

Kontestasi tidak hanya khas era zaman sekarang, akan tetapi merupakan tradisi di dalam kehidupan. Di Yunani kuno juga sudah ada, misalnya kontestasi dengan berlari marathon antara Orang Sparta dan lainnya. Di dalam cerita pewayangan juga didapatkan sayembara untuk memperebutkan puteri keraton. Yang sangat tragis adalah ketika Pandita Wisrawa harus membantu puteranya Raja Danaraja untuk membeberkan permohonan Puteri Sukeksi tentang “Sastra Jendra Hayuningrat Panglebur Diyu”. Sebagai Bagawan yang sakti dan ahli ilmu pengetahuan, maka Resi Wisrawa dengan mudah membeber sastra itu, akan tetapi Dewi Sukeksi ternyata hanya mau dinikahi oleh Sang Resi dan bukan putranya Raja Danaraja. Kelak putra dan putri Wisrawa dari isterinya Dewi Sukeksi berperang melawan saudara tirinya, Raja Danaraja, dan Danaraja tewas di dalam pertempuran. Jadi, kontestasi ternyata sudah menjadi kelaziman di dalam kehidupan ini, baik secara simbolik seperti di dalam dunia pewayangan atau realitas sebagai di dunia empiris ini.

Saya kira, kontestasi sekarang juga sama polanya dengan di masa lalu. Yang membedakan adalah solusinya. Jika di masa lalu, banyak kontestasi yang berakibat pada perang fisik, maka sekarang bukan lagi dalam perang fisik tetapi perang media. Jadi yang membedakan adalah gaya dan pola yang digunakannya. Di masa lalu, kontestasi berujung perang antar individu, golongan, masyarakat dan bangsa. Di dalam Novel “Sutasoma” dijelaskan bagaimana Raja Sutasoma bernadzar untuk mempersembahkan kepala 100 raja di sekitar kerajaannya dan dipersembahkan kepada Batara Syiwa yang dipujanya. Supata atau nadzar ini tentu memantik kemarahan raja-raja sekitar dan akhirnya terjadilah peperangan yang tidak bisa dihindarkan.

Beda tentu saja dengan situasi pada era teknologi informasi. Di era proxy war, maka bukan perang fisik sebagaimana masa lalu, akan tetapi perang dengan menggunakan media dengan tujuan yang sama untuk membunuh. Jika perang fisik untuk membunuh jiwa, maka perang sekarang untuk membunuh karakter, menyebarkan kebencian, melakukan kebohongan (berita hoaks) dan sebagainya. Di pilpres 2019 semuanya sudah dimainkan. Antar kubu saling me

PILPRES 2019: PERTARUNGAN PENGGOLONGAN AGAMA

PILPRES 2019: PERTARUNGAN PENGGOLONGAN AGAMA

Tidak dapat dipungkiri bahwa secara simbolik terdapat pertarungan politik berbasis pada penggolongan agama, khususnya di dalam penganut Islam. Jika ditelisik lebih mendalam, maka akan dijumpai betapa pertarungan itu bukan sekedar ketepatan belaka akan tetapi memang didesain untuk peraihan kekuasaan politik. Saya melihat ada 4 (empat) penggolongan kepentingan politik dalam pilpres 2019, yang masing-masing berkontestasi untuk memperoleh kekuasaan politik melalui capres dan cawapres dalam pilpres 2019.

Di antara penggolongan tersebut ialah sebagai berikut:

Pertama, kelompok kanan Islam, yang direpresentasikan oleh oleh FPI dengan agenda memenangkan kekuasaan politik untuk memuluskan keinginannya mengganti presiden dalam tujuan mencapai ambisi politik untuk menegakkan “NKRI Bersyariah”. Begitu banyaknya kritikan bahwa mereka adalah orang yang anti NKRI dan akan mengganti dasar negara, Pancasila, maka digagaslah konsepsi yang semula dilansir oleh Habieb Rizieq Syihab dengan sebutan “NKRI Bersyariah”. Konsepsi ini memang merupakan upaya untuk menolak tuduhan kelompok FPI akan mendirikan negara Islam. Melalui konsepsi NKRI Bersyariah, maka mereka menerima konsepsi NKRI sebagai bentuk negara, tetapi dengan menegaskan bahwa yang dimaksud ialah berbasis syariah.

Mereka meyakini bahwa dengan konsepsi ini, maka Indonesia akan tetap mempertahankan NKRI sebagai bentuk final negeri ini, tetapi dengan ciri menerapkan hokum Islam secara kaffah. Ada semacam upaya negosiasi antara negara khilafah dengan NKRI dan bentuk yang ideal ialah NKRI Bersyariah tersebut. Ia merupakan sintesis dari khilafah dan NKRI. Sayangnya tidak didapatkan oenjelasan gambling tentang bagaimana posisi Pancasila di dalam NKRI bersyariah ini. Posisinya masih samar-samar apakah diterima ataukah ditolak ataukah akan menjadikan Piagam Jakarta, sebagai pengganti bunyi Sila Pertama Pancasila.

Konsep ini nampak sangat islami, akan tetapi tidak berbasis pada pluralitas bangsa Indonesia, misalnya bagaimana perlakuan terhadap Bali yang mayoritas Hindu, atau Sulawesi Utara yang mayoritas Kristen, NTT yang mayoritas Katolik, Papua yang mayoritas Kristen dan Ambon yang seimbang antara Muslim dan Kristen. Oleh karena itu, akan terjadi pemaksaan atas realitas sosial dan memungkinkan terjadinya “perpecahan” karena konsep yang dipaksakan itu.

Kedua, kelompok yang secara tegas menyatakan ganti presiden dengan konsepsi akan mengganti negeri ini dengan Negara Khilafah. Dianggapnya bahwa negara ini adalah negara secular yang kafir karena tidak menjadikan khilafah sebagai praktik penyelenggaraan negara. Baginya, negara paripurna ialah negara yang bentuknya ialah penerapan syariah secara kaffah dan menjadikan khilafah sebagai system kenegaraannya. Eksponen HTI yang berada di dalam kelompok ini. Mereka tidak menerima atas pembubaran organisasinya yang dianggap sebagai kelompok yang anti Pancasila dan NKRI. Makanya mereka berusaha secara keras agar memenangkan pilihan politiknya dengan harapan jika menang maka mereka akan dapat diputihkan kembali posisinya dan organisasinya akan menjadi legal dan formal. Kelompok ini sangat militant sebab sudah terjangkit virus ideology “radikal” dalam pemahaman agamanya. Mereka sekarang sedang tiarap secara organisasional, akan tetapi tetap berkiprah dengan gegap gempita melalui organisasi lain yang dianggapnya memiliki common platform perjuangan yang kurang lebih sama.

Ketiga, personal Muhammadiyah juga terlibat di dalam pertarungan politik ini. Memang secara organisatoris Muhammadiyah –terutama para pimpinan pusatnya—tidak secara terus terang mendukung terhadap pasangan capres, akan tetapi secara individual memberikan peluang sebesar-besarnya untuk bergabung dengan pasangan capres 02. Muhammadiyah memang selama ini menggunakan prinsip alokasi politik. Siapa berkhidmah di Muhammadiyah dan siapa bergabung dengan politik. Tetapi sesungguhnya memiliki tujuan yang sama dalam berbagi peran untuk kepentingan yang sama.

Keempat, NU secara terang-terangan mendukung pasangan capres 01 disebabkan oleh keberadaan Kyai Ma’ruf Amin sebagai tokoh NU yang harus diperjuangkan. Jika Muhammadiyah terlibat di dalam perpolitikan secara malu-malu, maka NU secara jelas memberikan dukungan kepada pasangan capres 01. Mulai dari pimpinan pusat (baik Pengurus Syuriyah maupun tanfidziyah) menyatakan dukungan sepenuhnya kepada Jokowi-Ma’ruf. Di berbagai kesempatan dan peluang, Kyai Said Aqil Siraj menjelaskan sikap NU di dalam pilpres. Demikian pula beberapa pengurus wilayah NU, seperti Jawa Timur juga secara terang-terangan memberikan dukungan dan mengajak warga NU untuk memenangkan pasangan capres 01.

Baik NU dan Muhammadiyah dikenal sebagai organisasi yang mengusung “Islam Wasathiyah”, yaitu Islam dan umat Islam yang mengedepankan pada kerahmatan Islam, tidak hanya kepada umat Islam tetapi juga kepada umat agama lain. Keduanya juga pengusung terhadap dukungan pada 4 (empat) pilar kebangsaan. Selain itu juga ada organisasi lain seperti Jam’iyatul Washliyah, PERTI, Nahdlatul Wathan dan sebagainya yang memiliki sikap sama dengan NU dan Muhammadiyah. Hanya saja sikapnya di dalam pilpres tidak sekuat NU dan warga Muhammadiyah.

Jika NU mendukung pasangan capres 01 dan warga Muhammadiyah mendukung pasangan capres 02. Apakah ini bisa diartikan ada kontestasi simbolik perebutan kekuasaan politik di antara keduanya. Saya kira menarik juga untuk dibahas.

Wallahu a’lam bi al shawab.

PILPRES 2019: PERTARUNGAN IDEOLOGI KEAGAMAAN

PILPRES 2019: PERTARUNGAN IDEOLOGI KEAGAMAAN

Saya sungguh merasakan bahwa di dalam Pilpres 2019 ini ada yang sangat menonjol dibandingkan dengan pilpres tahun 2014 yang lalu, yaitu semakin menguatnya ideology keagamaan sebagai basis untuk pengerahan massa. Ada banyak simbol-simbol keagamaan yang dijadikan sebagai “penguat” pilihan politik di pilpres 2019.

Memang semenjak pilkada DKI yang mempertontonkan pertarungan antara kelompok Islam dengan kelompok nasionalis-sekuler tampak terus mengerucut. Kelompok Islam digawangi oleh para penganut Islam fundamentalis, yang menginginkan perubahan dan diwakili oleh FPI dan sebagian para habaib yang tergolong di dalam jejaring lainnya, misalnya PKS dan kelompok Islam fundamentalis lain, yang diwakili oleh loyalis Gerakan Nasional Pembela Fatwa MUI (GNPF-MUI) dengan corongnya,Bachtiar Nashir, dan lain-lain, serta eksponen Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dengan corongnya, Al Khottot, dan lain-lainnya.

Mereka kemudian menyatukan diri di dalam berbagai Aksi Damai, 212 yang hingga sekarang masih eksis, dan membentuk kelompok Alumni 212, yang kurang lebih anggotanya sama, sebagaimana yang pernah berkiprah di dalam pilkada DKI Jakarta. Mereka memang berhasil memenangkan pilkada di DKI dan menjadikan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno untuk menjabat sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta. Euphoria kemenangan ini yang kemudian menjadikannya untuk mengusung pasangan 02, Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno untuk memenangi pilpres 2019.

Di antara dukungan politik yang cukup solid ialah Gerindra, PKS, dan PAN, sementara Demokrat “kurang” menunjukkan semangat yang menggebu. Gerindra tentu dipersonifikasikan oleh Prabowo dan Fadly Zon, PKS oleh Shohibul Iman dan Salim Al Jufri, dan PAN oleh Amin Rais dan Dahniel Anzar Simanjuntak. Sementara itu, Demokrat direpresentasikan oleh Agus Yudhoyono, sebab Pak SBY harus menunggui Bu Ani yang sedang sakit dirawat di R.S. Mount Elizabeth Singapura. Meskipun terlibat di dalam berbagai kampanye untuk memenangkan pasangan capres 02, tetapi yang lebih penting sebenarnya ialah memperjuangkan Partai Demokrat di pileg 2019. Kritikan-kritikan Pak SBY terhadap kampanye pasangan 02 dalam kampanye akbar di Gelora Bung Karno bisa ditafsirkan sebagai dukungan yang setengah hati.

Dukungan dari kyai-kyai dan habaib juga sangat dominan di kubu pasangan capres 02. Jika di lihat di dalam berbagai maneuver kelompok ini, maka sangat kelihatan bagaimana peran para habaib dan kyai dalam memenangkan pasangan 02. Di antara kyai tersebut misalnya dari NU adalah Ra Cholil dari Situbondo dan Kyai Hasib Wahab, dan lainnya, serta dari para habaib ialah yang selama ini mendukung terhadap Habib Rizieq sebagai “Imam Besar” bagi masyarakat Indonesia.

Saya yakin bahwa variasi tujuan pendukung pasangan capres 02 tentu sangat banyak. Jika dicermati tentu ada yang berkeinginan mendirikan gerakan khilafah Islam, sebagaimana ditampilkan oleh dukugan eksponen HTI, lalu yang mengusung konsep NKRI Bersyariah sebagaimana yang diusung oleh FPI dan eksponen 212 dan PKS serta lainnya, serta tidak dinafikan adalah dukungan dari kelompok nasionalisme, seperti Gerindra dan PAN, meskipun di dalam PAN sendiri juga terdapat vatian-varian yang mendukung NKRI bersyariah atau NKRI saja. Varian ini yang pasti akan membebani pasangan capres 02 seandainya mereka memenangkan pertarungan di dalam pilpres 2019.

Agak berbeda dengan pasangan capres 01 yang relative homogeen meskipun juga memungkinkan adanya varian lain. Seluruh pendukung pasangan capres 01 adalah penegak NKRI. PDI, PKB, dan lain-lainnya adalah secara umum mengedepankan Pancasila dan NKRI sebagai bagian tidak bisa dipisahkan dari perjuangannya. Hanya saja, PKB misalnya tetap berada di dalam konsepsi Nasionalis-religius. PDI-P rasanya bisa dikategorikan sebagai nasionalis-sekular, akan tetapi tidak menolak terhadap nasionalisme-religius, yang selama ini menjadi platform beberapa partai Islam, seperti Partai Bulan Bintang, namun demikian secara umum, pasangan capres 01 tidak terbebani dengan isu-isu yang membelah mereka di dalam arus kiri dan kanan secara ekstrim. Semuanya welcome dengan 4 (empat) pilar consensus kebangsaan.

Sebelum penentuan pasangan calon presiden dan wakil presiden, memang sangat kuat dugaan bahwa pilpres 2019 akan sarat dengan isu-isu keagamaan atau identitas keagamaan. Namun dengan terpilihnya KH. Ma’ruf Amin sebagai wakil presiden, maka isu atau identitas keagamaan tersebut seakan sirna, sebab yang menjadi wakil presiden adalah kyai dan berkatar belakang NU dan selama ini dikenal sebagai ulama yang memiliki komitmen kuat terhadap dunia kaun santri.

Namun demikian, ternyata bahwa politik identitas itu kembali menguat menjelang pelaksaan pilpres 17 April 2019 dengan digelarnya berbagai event yang memberikan gambaran politik identitas dimaksud. Selain itu juga munculnya kampanye-kampanye di media sosial yang menggambarkan bahwa pilpres kali ini adalah “medan jihad” untuk memenangkan ideology keagamaan. Jadi, rasanya memang tensi politik identitas kita akan semakin menguat di era yang akan datang.

Wallahu a’lam bi al shawab.

PILPRES 2019: KONTESTASI BELUM BERAKHIR

PILPRES 2019: KONTESTASI BELUM BERAKHIR

Saya kira kontestasi politik yang paling seru di dalam kehidupan demokrasi ialah pilihan presiden dan wakil presiden. Jika pilihan legislative atau pilihan gubernur dan wakil gubernur atau pilihan bupati dan wakil bupati atau wali kota dan wakil walikota bercorak local, sehingga medan pertempurannya tentu juga bercorak local, maka di dalam pilihan presiden atau wakil presiden tentu beraras nasional dan berpengaruh terhadap dunia internasional.

Presiden dan wakil presiden akan memiliki kebijakan yang sangat menentukan dalam hubungan internasional selain juga kebijakan-kebijakan berskala nasional lainnya. Meskipun sebagai presiden diikat oleh Rencana Pembangunan Jangka Menengah, akan tetapi dipastikan bahwa pejabat tersebut akan menentukan arah bangsa dengan kebijakan mikro atau makro di dalam berbagai bidang.

Kita tentu bersyukur, sebab pilpres sudah berjalan dengan lancar dan nyaris tidak ada hal yang krusial, misalnya gangguan keamanan, pemboikotan, pembatalan dan sebagainya. Secara prinsip dapat dinyatakan bahwa pilpres berjalan sesuai dengan perencanaan semula. Jika pun ada yang bermasalah adalah pasca pilpres, misalnya banyak meninggalnya para petugas atau Panitia Pemungutan Suara (PPS), yang jumlahnya mencapai angka 326 orang lebih (JP, 27-04-2018).

Memang pilpres dan pileg secara serentak ini menguras energy yang luar biasa. Saya pernah menjadi Ketua Panitia Pemungutan Suara (KPPS) pada beberapa pemilihan legislative, pada waktu belum dilakukan pilihan serentak, dan keseluruhan acara berlangsung mulai dari jam 8.00 pagi sampai jam 10.00 malam WIB. Dan dengan pilihan serentak (pilpres, pileg DPR, DPD, DPRD), maka rentang waktu menjadi sangat panjang. Di TPS dekat rumah saya, misalnya perhitungan suara baru selesai jam 04.00 dini hari. Bahkan di beberapa daerah bisa lebih panjang lagi waktunya.

Melalui model pilihan serentak, memang Indonesia mencatat sejarah baru yang sebelumnya tidak didapatkan. Tetapi juga menghasilkan catatan keprihatinan sebab banyaknya panitia pemungutan suara yang meninggal dan sakit. Oleh karena itu, ada catatan khusus yang dijadikan sebagai pedoman ke depan mengenai penyelenggaraan pilihan serentak. Apakah system ini akan diteruskan atau dihentikan. Jika diteruskan tentu harus ada perubahan agar tidak banyak yang menjadi korban, dan jika diubah tentu harus ada format baru yang lebih manusiawi.

Pilpres memang sedang memasuki masa krusial yaitu penghitungan manual berbasis pada data yang diperoleh dari seluruh TPS di Indonesia. Masa ini yang seringkali dianggap sebagai masa paling rumit sebab untuk melakukan penghitungan suara tentu tidak semudah yang dibayangkan. Selain juga control yang sangat kuat dari berbagai pihak, selain pengawas pemilu juga LSM dan organisasi yang terlibat di dalam penyelenggaraan pilpres. Formulir C1 yang sering dijadikan sebagai arena untuk melakukan control ketat terhadap pelaksanaan pilpres. Formulir ini menjadi penting di tengah upaya untuk membangun pilpres yang jujur dan asil atau pemilu yang jurdil.

Memang harus diakui bahwa ada metodologi khusus yang digunakan untuk penghitungan cepat atau Quick Count (QC) yang akhir-akhir ini dijadikan sasaran tembak terhadap kelompok yang merasa kalah. Ketepatan bahwa hasil QC memang memenangkan pasangan capres 01 atau Jokowi dan Ma’ruf Amin mengalahkan pasangan Capres 02, Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno. Senyatanya hasil QC hanya menjadi panduan saja dan tidak berimplikasi kemenangan. Namun demikian, ternyata di antara pasangan ini –pasangan capres 02—telah mengumumkan kemenangannya berdasarkan atas hasil perhitungan internal atau “real count” dengan kemenangan yang cukup telak 62 persen. Jokowi juga menyatakan bahwa quick Count tidak dapat dijadikan sebagai ukuran kemenangan, maka yang perlu ialah menunggu sampai hasil perhitungan KPU selesai.

Namun demikian, di media sosial ternyata berbeda dengan realitas sosial yang terjadi. Keramaian di media sosial masih menggambarkan betapa pilpres masih menyisakan masalah yang tidak mudah dihentikan. Ungkapan-ungkapan “pembohongan, kecurangan, pendholiman” sedemikian semarak. Semua menggambarkan bahwa ketiadaan trust terhadap penyelenggara pemilu. Baik, KPU, PPS, Bawaslu dan sebagainya yang dianggap tidak lagi netral dan masih berat sebelah. Di dalam konteks ini, mereka semua dianggap memiliki pemihakan kepada incumbent. Dianggaplah bahwa semua lembaga penyelenggara pemilu merupakan instrument pemerintah untuk memenangkan pasangan 01, Jokowi-Ma’ruf.

Hiruk pikuk pilpres masih berada di arena “ketegangan”. Semua pendukung menganggap bahwa “jagoannya” yang memenangkan kontestasi ini. Baik pendukung pasangan capres 01 maupun 02 merasa bahwa merekalah sebagai pemenangnya. Dan jika hal ini tidak bisa dimenej dengan benar di era berikutnya terutama pasca pengumuman pemenang pilpres, maka tentu bisa dibayangkan bahwa akan terdapat ketegangan baru. Dan ini tentu tidak diinginkan banyak pihak.

Wallahu a’lam bi al shwab.

DAMAI PEMILUKU DAMAI NEGERIKU

DAMAI PEMILUKU DAMAI NEGERIKU

Sebagai warga negara yang baik, maka saya jam 730 sudah datang di TPS tempat saya menetap. Saya terdaftar sebagai pemilih ke 7 dari warga yang datang di TPS tersebut. Saya lihat semua unsur di dalam pemilu terpenuhi, misalnya kehadiran para saksi dari berbagai parpol, ada sebanyak 5 orang saksi yang hadir. Tidak sekedar hadir tetapi juga memeriksa terhadap kelengkapan surat suara di TPS tersebut.

Sungguh pemilu 2019 merupakan tolok ukur kedewasaan warga di dalam pesta demokrasi yang merupakan upacara politik lima tahunan. Sebagaimana diketahui bahwa di Indonesia memang selalu menyelenggarakan pemilu lima tahunan, dan hal ini sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan demokrasi di Indonesia. Indonesia menyelenggarakan Pemilu langsung, semenjak era reformasi. Jika di masa Orde Baru dilakukan system perwakilan untuk memilih presiden dan wakil presiden, maka dewasa ini dilakukan pilihan langsung untuk memilihnya. Tidak hanya presiden dan wakil presiden, akan tetapi juga gubernur, wakil gubernur dan bupati dan wakil bupati atau walikota dan wakil wali kota.

Tahun 2019 dilakukan inovasi baru terkait dengan pilihan umum, yaitu pilihan serentak untuk presiden, wakil presiden, DPR, DPD dan DPRD. Saya kira cukup matang persiapan pilihan serentak ini dan hal ini menjadi sejarah baru bagi Indonesia sebagai negara yang menyelenggarakan pemilihan presiden dan wakil presiden dan segenap apparatus negara lainnya. Sungguh menurut saya merupakan upaya inovatif yang harus diapresiasi oleh kita semua.

Memanfaatkan liburan ini, saya bersama keluarga menyempatkan untuk mengantarkan Emak, Hj. Turmiatun, untuk pulang ke rumah Tuban. Emak selama dua pekan berada di Surabaya, dan hari ini meminta pulang ke rumahnya di Tuban. Maklumlah orang tua sulit untuk berpisah dengan rumah tinggalnya yang sudah didiami berpuluh-puluh tahun. Saya bergegas ke Tuban bersama keluarga dan sampai di rumah jam 11.30 WIB.

Di Tamak Kanak-Kanak Al Hikmah di depan rumah saya dijadikan sebagai Tempat Pemungutan Suara (TPS). Makanya, begitu sampai di rumah, maka saya langsung datang di TPS tersebut. Dan saya bisa menemui kawan-kawan kecil saya yang berada di TPS itu. Kami bercanda tentang masa lalu saat bersama-sama bermain, di rumah, di ladang, di sawah atau di tempat lainnya. Kami bersyukur bisa bertemu dengan kawan-kawan lama saya itu. Yang lebih membanggakan karena kawan-kawan karib saya itu semua masih hidup dan masih bisa bekerja keras. Ada yang berdagang, bertani dan juga beternak sapi kecil-kecilan. Kita sama-sama mengingat saat-saat bermain, dan makan buah “doro”, rasanya manis campur masam yang tumbuh liar di ladang. Waktu itu belum dikenal buah anggur, kelengkeng, durian, dan sebagainya. Yang ada hanyalah buah mangga, pepaya, pisang kampong, yang memang tumbuh di pedesaan.

Kita juga membicarakan tentang pilpres. Nampaknya pengetahuan mereka tentang pilpres juga relative baik. Mereka mengikuti perkembangan kampanye calon presiden dan wakil presiden. Mereka berkomentar tentang capaian-capaian dan janji-janji paslon, dan mengingatnya dengan mendetail. Misalnya tentang kampanye terakhir pasangan calon presiden 01 dan 02. Mereka bukan orang-orang yang tidak paham apa yang telah dilakukan oleh para pemimpinnya. Mungkin tidak mendalam pengetahuan mereka, akan tetapi dari sisi pemahaman tentang apa dan siapa yang harus dipilihnya sebagai presiden tentu cukup baik. Meskipun mereka bukan orang yang tergolong well educated, akan tetapi ternyata sudah menggunakan pilihan rasional di kala harus memilih siapa presidennya.

Saya sungguh gembira mendengarkan celoteh mereka tentang pilpres dan pileg tahun 2019. Orang desa yang di dalam benak kaum akademisi tentu tidak memiliki pilihan rasional di dalam pilpres ternyata tidak seperti itu. Mereka orang yang sadar tentang pilihannya. Mereka memilih 01 atau 02 dengan logika yang rasional. Misalnya, ketika ada yang memilih 01 maka dasar pikirannya jelas ialah rekam jejak capres dengan reputasi yang tidak diragukan.

Kala itu kita berbicara tentang rentang waktu perjalanan yang makin cepat, misalnya jarak tempuh dari Surabaya ke Semarang yang membutuhkan waktu hanya 4 (empat) jam saja berbeda dengan jarak tempuh Surabaya Semarang di masa lalu yang mencapai 7 (tujuh) Jam atau bahkan 8 (delapan) jam, maka dengan lugas mereka memberikan jawaban karena jalan tol yang dibangun di era Pak Jokowi. Dan yang ingin memilih pasangan capres 02, juga memiliki pandangan ingin melihat janji-janji yang disampaikan di era kampanye itu dilaksanakan. Maka jika mereka memilih 01 di dalam pilpres 2019, maka yang dilakukan itu berdasarkan pilihan rasional berbasis pada dimensi pengalaman yang berkesan dan yang memilih pasangan calon 02 juga memiliki keinginan perubahan.

Pilihan rasional kiranya bukan hanya menjadi milik kaum terpelajar atau kaum well educated, akan tetapi juga masyarakat pedesaan yang secara kualitas pendidikan belumlah dikagorikan sebagai well educated. Oleh karena itu, meskipun di desa tidak terdapat suara hiruk pikuk pilpres atau pileg, akan tetapi sesungguhnya masyarakat pedesaan telah memiliki referensi di dalam melakukan pilihan politik.

Dan semua ini tentu karena pengaruh media yang sedikit atau banyak memiliki kekuatan di dalam mengarahkan para audience di dalam melakukan tindakan. Jadi teori the bullet theory di dalam ilmu komunikasi masih relevan juga.

Wallahu a’lam bi al shawab.