PILPRES 2019: KONTESTASI BELUM BERAKHIR
PILPRES 2019: KONTESTASI BELUM BERAKHIR
Saya kira kontestasi politik yang paling seru di dalam kehidupan demokrasi ialah pilihan presiden dan wakil presiden. Jika pilihan legislative atau pilihan gubernur dan wakil gubernur atau pilihan bupati dan wakil bupati atau wali kota dan wakil walikota bercorak local, sehingga medan pertempurannya tentu juga bercorak local, maka di dalam pilihan presiden atau wakil presiden tentu beraras nasional dan berpengaruh terhadap dunia internasional.
Presiden dan wakil presiden akan memiliki kebijakan yang sangat menentukan dalam hubungan internasional selain juga kebijakan-kebijakan berskala nasional lainnya. Meskipun sebagai presiden diikat oleh Rencana Pembangunan Jangka Menengah, akan tetapi dipastikan bahwa pejabat tersebut akan menentukan arah bangsa dengan kebijakan mikro atau makro di dalam berbagai bidang.
Kita tentu bersyukur, sebab pilpres sudah berjalan dengan lancar dan nyaris tidak ada hal yang krusial, misalnya gangguan keamanan, pemboikotan, pembatalan dan sebagainya. Secara prinsip dapat dinyatakan bahwa pilpres berjalan sesuai dengan perencanaan semula. Jika pun ada yang bermasalah adalah pasca pilpres, misalnya banyak meninggalnya para petugas atau Panitia Pemungutan Suara (PPS), yang jumlahnya mencapai angka 326 orang lebih (JP, 27-04-2018).
Memang pilpres dan pileg secara serentak ini menguras energy yang luar biasa. Saya pernah menjadi Ketua Panitia Pemungutan Suara (KPPS) pada beberapa pemilihan legislative, pada waktu belum dilakukan pilihan serentak, dan keseluruhan acara berlangsung mulai dari jam 8.00 pagi sampai jam 10.00 malam WIB. Dan dengan pilihan serentak (pilpres, pileg DPR, DPD, DPRD), maka rentang waktu menjadi sangat panjang. Di TPS dekat rumah saya, misalnya perhitungan suara baru selesai jam 04.00 dini hari. Bahkan di beberapa daerah bisa lebih panjang lagi waktunya.
Melalui model pilihan serentak, memang Indonesia mencatat sejarah baru yang sebelumnya tidak didapatkan. Tetapi juga menghasilkan catatan keprihatinan sebab banyaknya panitia pemungutan suara yang meninggal dan sakit. Oleh karena itu, ada catatan khusus yang dijadikan sebagai pedoman ke depan mengenai penyelenggaraan pilihan serentak. Apakah system ini akan diteruskan atau dihentikan. Jika diteruskan tentu harus ada perubahan agar tidak banyak yang menjadi korban, dan jika diubah tentu harus ada format baru yang lebih manusiawi.
Pilpres memang sedang memasuki masa krusial yaitu penghitungan manual berbasis pada data yang diperoleh dari seluruh TPS di Indonesia. Masa ini yang seringkali dianggap sebagai masa paling rumit sebab untuk melakukan penghitungan suara tentu tidak semudah yang dibayangkan. Selain juga control yang sangat kuat dari berbagai pihak, selain pengawas pemilu juga LSM dan organisasi yang terlibat di dalam penyelenggaraan pilpres. Formulir C1 yang sering dijadikan sebagai arena untuk melakukan control ketat terhadap pelaksanaan pilpres. Formulir ini menjadi penting di tengah upaya untuk membangun pilpres yang jujur dan asil atau pemilu yang jurdil.
Memang harus diakui bahwa ada metodologi khusus yang digunakan untuk penghitungan cepat atau Quick Count (QC) yang akhir-akhir ini dijadikan sasaran tembak terhadap kelompok yang merasa kalah. Ketepatan bahwa hasil QC memang memenangkan pasangan capres 01 atau Jokowi dan Ma’ruf Amin mengalahkan pasangan Capres 02, Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno. Senyatanya hasil QC hanya menjadi panduan saja dan tidak berimplikasi kemenangan. Namun demikian, ternyata di antara pasangan ini –pasangan capres 02—telah mengumumkan kemenangannya berdasarkan atas hasil perhitungan internal atau “real count” dengan kemenangan yang cukup telak 62 persen. Jokowi juga menyatakan bahwa quick Count tidak dapat dijadikan sebagai ukuran kemenangan, maka yang perlu ialah menunggu sampai hasil perhitungan KPU selesai.
Namun demikian, di media sosial ternyata berbeda dengan realitas sosial yang terjadi. Keramaian di media sosial masih menggambarkan betapa pilpres masih menyisakan masalah yang tidak mudah dihentikan. Ungkapan-ungkapan “pembohongan, kecurangan, pendholiman” sedemikian semarak. Semua menggambarkan bahwa ketiadaan trust terhadap penyelenggara pemilu. Baik, KPU, PPS, Bawaslu dan sebagainya yang dianggap tidak lagi netral dan masih berat sebelah. Di dalam konteks ini, mereka semua dianggap memiliki pemihakan kepada incumbent. Dianggaplah bahwa semua lembaga penyelenggara pemilu merupakan instrument pemerintah untuk memenangkan pasangan 01, Jokowi-Ma’ruf.
Hiruk pikuk pilpres masih berada di arena “ketegangan”. Semua pendukung menganggap bahwa “jagoannya” yang memenangkan kontestasi ini. Baik pendukung pasangan capres 01 maupun 02 merasa bahwa merekalah sebagai pemenangnya. Dan jika hal ini tidak bisa dimenej dengan benar di era berikutnya terutama pasca pengumuman pemenang pilpres, maka tentu bisa dibayangkan bahwa akan terdapat ketegangan baru. Dan ini tentu tidak diinginkan banyak pihak.
Wallahu a’lam bi al shwab.