PILPRES 2019: PERTARUNGAN PENGGOLONGAN AGAMA
PILPRES 2019: PERTARUNGAN PENGGOLONGAN AGAMA
Tidak dapat dipungkiri bahwa secara simbolik terdapat pertarungan politik berbasis pada penggolongan agama, khususnya di dalam penganut Islam. Jika ditelisik lebih mendalam, maka akan dijumpai betapa pertarungan itu bukan sekedar ketepatan belaka akan tetapi memang didesain untuk peraihan kekuasaan politik. Saya melihat ada 4 (empat) penggolongan kepentingan politik dalam pilpres 2019, yang masing-masing berkontestasi untuk memperoleh kekuasaan politik melalui capres dan cawapres dalam pilpres 2019.
Di antara penggolongan tersebut ialah sebagai berikut:
Pertama, kelompok kanan Islam, yang direpresentasikan oleh oleh FPI dengan agenda memenangkan kekuasaan politik untuk memuluskan keinginannya mengganti presiden dalam tujuan mencapai ambisi politik untuk menegakkan “NKRI Bersyariah”. Begitu banyaknya kritikan bahwa mereka adalah orang yang anti NKRI dan akan mengganti dasar negara, Pancasila, maka digagaslah konsepsi yang semula dilansir oleh Habieb Rizieq Syihab dengan sebutan “NKRI Bersyariah”. Konsepsi ini memang merupakan upaya untuk menolak tuduhan kelompok FPI akan mendirikan negara Islam. Melalui konsepsi NKRI Bersyariah, maka mereka menerima konsepsi NKRI sebagai bentuk negara, tetapi dengan menegaskan bahwa yang dimaksud ialah berbasis syariah.
Mereka meyakini bahwa dengan konsepsi ini, maka Indonesia akan tetap mempertahankan NKRI sebagai bentuk final negeri ini, tetapi dengan ciri menerapkan hokum Islam secara kaffah. Ada semacam upaya negosiasi antara negara khilafah dengan NKRI dan bentuk yang ideal ialah NKRI Bersyariah tersebut. Ia merupakan sintesis dari khilafah dan NKRI. Sayangnya tidak didapatkan oenjelasan gambling tentang bagaimana posisi Pancasila di dalam NKRI bersyariah ini. Posisinya masih samar-samar apakah diterima ataukah ditolak ataukah akan menjadikan Piagam Jakarta, sebagai pengganti bunyi Sila Pertama Pancasila.
Konsep ini nampak sangat islami, akan tetapi tidak berbasis pada pluralitas bangsa Indonesia, misalnya bagaimana perlakuan terhadap Bali yang mayoritas Hindu, atau Sulawesi Utara yang mayoritas Kristen, NTT yang mayoritas Katolik, Papua yang mayoritas Kristen dan Ambon yang seimbang antara Muslim dan Kristen. Oleh karena itu, akan terjadi pemaksaan atas realitas sosial dan memungkinkan terjadinya “perpecahan” karena konsep yang dipaksakan itu.
Kedua, kelompok yang secara tegas menyatakan ganti presiden dengan konsepsi akan mengganti negeri ini dengan Negara Khilafah. Dianggapnya bahwa negara ini adalah negara secular yang kafir karena tidak menjadikan khilafah sebagai praktik penyelenggaraan negara. Baginya, negara paripurna ialah negara yang bentuknya ialah penerapan syariah secara kaffah dan menjadikan khilafah sebagai system kenegaraannya. Eksponen HTI yang berada di dalam kelompok ini. Mereka tidak menerima atas pembubaran organisasinya yang dianggap sebagai kelompok yang anti Pancasila dan NKRI. Makanya mereka berusaha secara keras agar memenangkan pilihan politiknya dengan harapan jika menang maka mereka akan dapat diputihkan kembali posisinya dan organisasinya akan menjadi legal dan formal. Kelompok ini sangat militant sebab sudah terjangkit virus ideology “radikal” dalam pemahaman agamanya. Mereka sekarang sedang tiarap secara organisasional, akan tetapi tetap berkiprah dengan gegap gempita melalui organisasi lain yang dianggapnya memiliki common platform perjuangan yang kurang lebih sama.
Ketiga, personal Muhammadiyah juga terlibat di dalam pertarungan politik ini. Memang secara organisatoris Muhammadiyah –terutama para pimpinan pusatnya—tidak secara terus terang mendukung terhadap pasangan capres, akan tetapi secara individual memberikan peluang sebesar-besarnya untuk bergabung dengan pasangan capres 02. Muhammadiyah memang selama ini menggunakan prinsip alokasi politik. Siapa berkhidmah di Muhammadiyah dan siapa bergabung dengan politik. Tetapi sesungguhnya memiliki tujuan yang sama dalam berbagi peran untuk kepentingan yang sama.
Keempat, NU secara terang-terangan mendukung pasangan capres 01 disebabkan oleh keberadaan Kyai Ma’ruf Amin sebagai tokoh NU yang harus diperjuangkan. Jika Muhammadiyah terlibat di dalam perpolitikan secara malu-malu, maka NU secara jelas memberikan dukungan kepada pasangan capres 01. Mulai dari pimpinan pusat (baik Pengurus Syuriyah maupun tanfidziyah) menyatakan dukungan sepenuhnya kepada Jokowi-Ma’ruf. Di berbagai kesempatan dan peluang, Kyai Said Aqil Siraj menjelaskan sikap NU di dalam pilpres. Demikian pula beberapa pengurus wilayah NU, seperti Jawa Timur juga secara terang-terangan memberikan dukungan dan mengajak warga NU untuk memenangkan pasangan capres 01.
Baik NU dan Muhammadiyah dikenal sebagai organisasi yang mengusung “Islam Wasathiyah”, yaitu Islam dan umat Islam yang mengedepankan pada kerahmatan Islam, tidak hanya kepada umat Islam tetapi juga kepada umat agama lain. Keduanya juga pengusung terhadap dukungan pada 4 (empat) pilar kebangsaan. Selain itu juga ada organisasi lain seperti Jam’iyatul Washliyah, PERTI, Nahdlatul Wathan dan sebagainya yang memiliki sikap sama dengan NU dan Muhammadiyah. Hanya saja sikapnya di dalam pilpres tidak sekuat NU dan warga Muhammadiyah.
Jika NU mendukung pasangan capres 01 dan warga Muhammadiyah mendukung pasangan capres 02. Apakah ini bisa diartikan ada kontestasi simbolik perebutan kekuasaan politik di antara keduanya. Saya kira menarik juga untuk dibahas.
Wallahu a’lam bi al shawab.