PEMILU 2019; KONTESTASI BELUM USAI
PEMILU 2019; KONTESTASI BELUM USAI
Ada yang menarik pasca pengumuman hasil Quick Count oleh lembaga-lembaga independent terkait dengan perolehan suara oleh masing-masing paslon cawapres 2019 atau antara Jokowi-Ma’ruf dengan Prabowo-Sandi. Hasil QC ini ternyata memenangkan pasangan Jokowi-Ma’ruf dengan perhitungan yang nyaris sama, yaitu bergerak antara 54 persen sampai 56 persen untuk pasangan Jokowi-Ma’ruf dan antara 44 persen sampai 46 persen untuk pasangan Prabowo-Sandi. Tentu bukan kebetulan, jika mereka seakan dengan suara yang hampir sama menyatakan kemenangan pasangan Jokowi-Ma’ruf dan kekalahan pasangan Prabowo-Sandi.
Reaksi pun bermunculan, baik dari Kubu Jokowi-Ma’ruf maupun Probowo-Sandi. Yang merasa menang dengan hasil QC juga langsung bereaksi dan yang kalah juga bereaksi sedemikian rupa. Biasa saja, yang menang merasa senang dan yang kalah merasa harus juga menjadi pemenang. Di dalam kehidupan ini, memang hanya ada dua sisi, menang dan kalah, senang dan sedih dan lainnya. Yang menang harus bertahan dengan kemenangannya dan yang kalah harus berupaya untuk membalik kekalahan menjadi kemenangan dengan sekuat tenaga. Ini bukanlah paradoks di dalam kehidupan, akan tetapi merupakan “kewajaran” saja di dalam kehidupan yang memang bercorak “patembayan”, “kontestasi” atau “pertarungan”.
Kontestasi tidak hanya khas era zaman sekarang, akan tetapi merupakan tradisi di dalam kehidupan. Di Yunani kuno juga sudah ada, misalnya kontestasi dengan berlari marathon antara Orang Sparta dan lainnya. Di dalam cerita pewayangan juga didapatkan sayembara untuk memperebutkan puteri keraton. Yang sangat tragis adalah ketika Pandita Wisrawa harus membantu puteranya Raja Danaraja untuk membeberkan permohonan Puteri Sukeksi tentang “Sastra Jendra Hayuningrat Panglebur Diyu”. Sebagai Bagawan yang sakti dan ahli ilmu pengetahuan, maka Resi Wisrawa dengan mudah membeber sastra itu, akan tetapi Dewi Sukeksi ternyata hanya mau dinikahi oleh Sang Resi dan bukan putranya Raja Danaraja. Kelak putra dan putri Wisrawa dari isterinya Dewi Sukeksi berperang melawan saudara tirinya, Raja Danaraja, dan Danaraja tewas di dalam pertempuran. Jadi, kontestasi ternyata sudah menjadi kelaziman di dalam kehidupan ini, baik secara simbolik seperti di dalam dunia pewayangan atau realitas sebagai di dunia empiris ini.
Saya kira, kontestasi sekarang juga sama polanya dengan di masa lalu. Yang membedakan adalah solusinya. Jika di masa lalu, banyak kontestasi yang berakibat pada perang fisik, maka sekarang bukan lagi dalam perang fisik tetapi perang media. Jadi yang membedakan adalah gaya dan pola yang digunakannya. Di masa lalu, kontestasi berujung perang antar individu, golongan, masyarakat dan bangsa. Di dalam Novel “Sutasoma” dijelaskan bagaimana Raja Sutasoma bernadzar untuk mempersembahkan kepala 100 raja di sekitar kerajaannya dan dipersembahkan kepada Batara Syiwa yang dipujanya. Supata atau nadzar ini tentu memantik kemarahan raja-raja sekitar dan akhirnya terjadilah peperangan yang tidak bisa dihindarkan.
Beda tentu saja dengan situasi pada era teknologi informasi. Di era proxy war, maka bukan perang fisik sebagaimana masa lalu, akan tetapi perang dengan menggunakan media dengan tujuan yang sama untuk membunuh. Jika perang fisik untuk membunuh jiwa, maka perang sekarang untuk membunuh karakter, menyebarkan kebencian, melakukan kebohongan (berita hoaks) dan sebagainya. Di pilpres 2019 semuanya sudah dimainkan. Antar kubu saling me