NU DAN PENEGUHAN ISLAM NUSANTARA
NU DAN PENEGUHAN ISLAM NUSANTARA
Munas Alim Ulama dan Konferensi Besar NU di Pondok Pesantren Miftahul Huda al Azhar Banjar, Jawa Barat, saya kira berhasil secara konseptual untuk menyatakan sikapnya terhadap kritikan selama ini tentang Islam Nusantara. Sebagaimana diketahui bahwa tudingan miring tentang Islam Nusantara sebagai corak Islam baru itu nyaring terdengar khususnya di media sosial dan dilansir oleh kelompok yang secara diametral berseberangan dengan NU.
Ada anggapan bahwa NU dengan Islam Nusantaranya itu adalah kesesatan baru tentang Islam yang seharusnya dipandang secara universal satu dan tidak ada varian-varian lainnya. NU yang selama ini dianggap sebagai organisasi yang mengusung bidh’ah ditambah dengan bidhah baru dengan sebutan Islam Nusantara. Lengkaplah sudah tudingan NU sebagai organisasi yang “berseberangan” dengan Islam “murni” atau Islam “universal” sebagaimana konsepnya tersebut.
Di dalam forum Alim Ulama ini, (Kompas, 1/03/2019), KH. Said Aqil Siraj menjelaskan secara gamblang tentang “ma huwa Islam Nusantara” itu. Dinyatakannya bahwa Islam Nusantara bukan paham, bukan aliran, dan juga bukan sekte. Islam Nusantara ialah Islam yang menghormati budaya, menghormati tradisi yang ada selama tidak bertentangan dengan syariat Islam. Praktik Islam Nusantara ini sudah lama dilakukan oleh NU bahkan semenjak Islam masuk ke wilayah Nusantara. Puncak dari implementasi Islam Nusantara ialah keselarasan antara semangat kebangsaan dan keislaman. Pendiri NU, KH. Hasyim Asyari telah mengatakan bahwa cinta tanah air adalah bagian dari iman. Oleh karena itu, kesetiaan warga NU terhadap negara tidak bisa dipisahkan dari praktik serta paham keagamaan.
Sementara itu, Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail wilayah Jawa Timur, Ahmad Muntaha menyatakan bahwa Islam Nusantara dalam pengertian substansial adalah Islam ahlu sunnah wal jamaah yang diamalkan, didakwahkan serta dikembangkan sesuai dengan karakteristik masyarakat dan budaya Nusantara oleh para pendakwahnya.
Acara bahstul masail di dalam forum Munas Alim Ulama dan Konferensi Besar NU ini menyepakati tentang pentingnya mendakwahkan Islam Nusantara sebagaimana pemahaman orang NU sehingga masyarakat baik warga Nu maupun non warga NU dapat memahami apa yang sesungguhnya menjadi makna dari Islam Nusantara tersebut.
Islam Nusantara bukanlah Islam baru, akan tetapi hanyalah penyebutan tentang Islam yang berkembang dan melembaga di wilayah Nusantara. Jadi sebenarnya ialah Islam di Nusantara. Islam yang di saat memasuki kawasan ini sudah terdapat budaya yang mapan dan para auliya berhasil melakukan dialog kebudayaan, sehingga membentuk Islam dalam coraknya yang mengadaptasi terhadap budaya local, sejauh budaya local tersebut tidak bertentangan dengan syariat Islam secara general atau prinsip-prinsip Islam yang otentik.
Di dunia ini ternyata memang tidak terdapat wilayah yang vakum budaya. Semua telah terdapat budayanya sendiri-sendiri sesuai dengan pemahamannya terhadap dunianya, baik dunia kecil atau mikro kosmos atau dunia besar atau makro kosmos. Pemahaman itu telah melahirkan berbagai praktik budaya yang diyakini sebagai benar dan menjadi pedoman di antara mereka untuk bertindak dan bertingkah laku.
Di Indonesia, tatkala Islam masuk sudah ada budaya Hindu-Buddha, bahkan juga animisme dan dinamisme. Maka ketika Islam datang tentu saja harus dilakukan dialog atau proses saling memahami, dan inilah yang menyebabkan masyarakat local kemudian meninggalkan tradisinya tersebut dan menerima tradisi baru yang relevan dengan pemahamannya. Kemampuan untuk take and give antara Islam dan budaya local tersebut akhirnya menghasilkan Islam dalam coraknya yang “khas” dan inilah yang disebut sebagai Islam Nusantara atau Islam yang berkembang dan melembaga di Nusantara.
Jika secara umum dan hanya tataran luarnya yang dilihat, kiranya memang ada perbedaan dengan Islam di Arab Saudi, misalnya cara berpakaian, cara untuk mengekspresikan keberagamaannya dan instrument yang digunakan untuk beragama, akan tetapi sesungguhnya perbedaan tersebut hanyalah aspek luarnya saja dan bukan substansinya. Islam Nusantara secara substansial adalah Islam juga sebagaimana Islam di tempat lain, dalam kaitannya dengan tuhan, ritual umum dan juga ekspressi mendalam dari pengamalan agamanya.
Islam yang sekarang kita nikmati adalah buah karya dari para ulama Islam Nusantara yang secara cerdas dapat memasukkan ajaran Islam di dalam tradisi mereka, sehingga mereka kemudian menjadi umat Islam. Memasukkan Islam melalui kebudayaan ini pada akhirnya tidak menimbulkan benturan budaya, sehingga Islam datang dan melembaga dalam kedamaian dan bukan kekerasan.
Dengan demikian, Islam yang kita amalkan ini adalah Islam yang moderat atau yang wasathiyah sebagaimana yang dahulu diperjuangkan dan didakwahkan oleh para ulama Islam di Nusantara ini. Dan jika NU meneguhkannya sesungguhnya merupakan bentuk penghormatan terhadap para ulama yang dahulu berjuang untuk terwujudnya Islam di Nusantara.
Wallahu a’lam bi al shawab.