NU DAN PENEGUHAN NASIONALISME
NU DAN PENEGUHAN NASIONALISME
Dalam beberapa bulan terakhir, perbincangan tentang organisasi keagamaan lebih banyak dikaitkan dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Hal ini tentu saja dimaklumi karena sebentar lagi kita –sebagai bangsa Indonesia—akan memiliki gawe besar yaitu pilpres dan pileg tahun 2019. Pasaraya demokrasi ini akan tergelar sebentar lagi, tepatnya 17 April 2019.
Itulah sebabnya hiruk pikuk pilpres tentu banyak menyita media nasional, baik media cetak, media televisI maupun media online lainnya. Pertarungan juga semakin ketat terutama dengan semakin kuatnya penggunaan media online untuk meramaikan percaturan pilpres. Apalagi, salah satu kontestannya –wakil presiden Pak Jokowi ialah KH. Ma’ruf Amin—yang selama ini dikenal sebagai pimpinan NU sebagai Rais Am PBNU dan sekaligus juga Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI). Itulah sebabnya, pertarungan untuk berebut kursi presiden 2019-2024 menjadi semakin menarik karena keterlibatan orang penting di tubuh NU ini.
Sesungguhnya, NU telah menjadi organisasi yang independent dalam percaturan politik. Semenjak kembali ke Khittah 1926, maka NU secara organisasional memang telah menjadi organisasi yang independen dalam bidang politik, terutama dalam politik praktis. Namun, tentu saja keterlibatan NU secara individual masih bisa terjadi, apalagi hal ini menyangkut masa depan NU secara jam’iyah. Makanya, secara tidak langsung tarikan ke arah politik juga menjadi penguat.
Di Muhammadiyah –yang selama ini menerapkan politik alokatif—juga tidak bisa melepaskan benar-benar independensinya dalam pilpres. Misalnya dengan dukungan Pak Amin Rais yang merupakan tokoh Muhammadiyah dan juga Daniel Azhar, yang juga eksponen penting di tubuh Muhammadiyah. Keduanya, merupakan pendukung Pak Probowo-Sandi dan menjadi figure penting di dalam dukungannya kepada paslon No. 02 tersebut.
Oleh karena itu, saya tetap memiliki asumsi bahwa secara individual dua organisasi besar Islam ini bisa saling berkontestasi secara tidak langsung. Memang tidak secara terang-terangan melibatkan organisasinya, akan tetapi di dalam praktik politik pastilah keduanya memiliki keterikatan dengan tokoh-tokohnya. Asumsi ini akan bisa dilihat nanti pasca pilpres, yang tentu akan menghasilkan siapa yang akan menjadi pemenang.
Di tengah upaya kontestasi tidak langsung ini, maka NU menyelenggarakan acara Munas Alim Ulama dan Konferensi Besar NU di Pesantren Miftahul Huda Al Azhar, Banjar Jawa Barat, 28/2/2019. Acara besar ini dibuka oleh Presiden Joko Widodo dan rencana akan ditutup oleh Pak Jusuf Kalla, Wakil Presiden. Melihat yang datang di acara ini adalah paslon petahana, maka menjadi semakin jelas bagaimana NU sebagai organisasi keagamaan memasuki kawasan penting di dalam pilpres. Secara organisasional memang sangat layak NU menghadirkan Pak Jokowi dan Pak JK dalam perhelatan ini, sebab posisinya sebagai presiden dan wakil presiden. Akan tetapi dengan menggunakan framing analysis tentu bisa digambarkan bagaimana bentuk nyata dukungan NU terhadap pilpres kali ini.
Namun demikian, tentu ada catatan penting terkait dengan Munas Alim Ulama ini, yaitu memberikan dukungan yang kuat terhadap nasionalisme dan kebangsaan, yang saya kira menjadi ciri khas NU. Semenjak tahun 1985, NU telah memastikan bahwa NU adalah pendukung Pancasila yang utuh. Penerimaan atas Pancasila sebagai asas organisasi sosial keagamaan pada saat itu menjadi tonggak penting atas dukungan secara jam’iyah terhadap consensus kebangsaan, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI dan kebinekaan. NU memang tidak diragukan dalam pembelaannya terhadap nasionalisme dan kebangsaan di Indonesia.
Jika kita lihat perjalanan berikutnya, maka di dalam Munas NU di Jombang juga dipertegas tentang dukungan atas nasionalisme dan kebangsaan ini dengan konsepsi mengenai “Islam Nusantara”. Suatu konsepsi yang sebenarnya sudah banyak dijadikan sebagai bahan diskusi di kalangan ahli ilmu sosial, sebagai bagian dari pelabelan Islam di Indonesia yang memang memiliki ciri yang khas.
Namun demikian, kesalahan demi kesalahan pemahaman atas Islam Nusantara tersebut terus berlangsung, terutama di kalangan penganut Islam universal yang kebanyakan ialah para fundamentalis islam, yang di era sekarang menjadi pendukung Pak Prabowo-Sandi di dalam pilpres. Bagi mereka Islam itu satu tidak bisa dikaitkan dengan kewilayahan apalagi negara. Islam universal “bermimpi” bahwa di dunia itu hanya ada satu penafsiran atau pemahaman, yaitu Islam di dalam konsepsi atau penafsirannya.
Dukungan atas nasionalisme dan kebangsaan ini, saya kira menjadi wujud nyata bahwa NU mempertegas sikapnya atas keindonesiaan yang tidak luntur sedikitpun, terutama di dalam menghadapi serangan demi serangan kaum fundamentalisme yang semakin “kuat” pengaruhnya. Pembubaran HTI yang mendapatkan full support dari warga nahdhiyin menjadi indikasi bahwa NU secara vis a vis memang “menentang” terhadap upaya mendirikan khilafah Islamiyah, yang menjadi cita-cita kaum HTI.
NU telah menunjukkan kuatnya dukungan terhadap nasionalisme dan kebangsaan melalui forum-forum yang diselenggarakannya, dan hal ini sekali lagi dikuatkan kembali di dalam Munas Alim Ulama di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al Azhar di Banjar, Jawa Barat.
Wallahu a’lam bi al shawab.