POLITIK KEBANGSAAN DI ERA CYBER WAR
POLITIK KEBANGSAAN DI ERA CYBER WAR
Saya didapuk untuk menjadi narasumber dalam acara yang digelar oleh Forum Kebangsaan Jawa Timur (FKJ) di Gereja Bethani Surabaya, 19/01/19. Acara ini diselenggarakan oleh FKJ dibawah koordinasi A. Nur Aminuddin, Mantan Ketua Korcab PMII Jawa Timur. Hadir dalam acara ini, Ketua Forum Beda Tapi Mesra (FBM), KH. Ahmad Suyanto.
Sebagai narasumber selain saya ialah Letkol Infanteri Didik Supriyadi, mewakili Pangdam V Brawijaya, AKBP Wiwik yang mewakili Kapolda Jatim, Nyoman Anom Mediana (PHDI), Romo Bingki Irawan (Rohaniawan Khonghucu) dan yang mewakili Bu Dr. Hana Amalia Vandayanti (Pondok Kasih). Selain itu juga hadir dari Bawaslu dan pimpinan Majelis-Majelis Agama.
Di dalam kesempatan itu, saya menyampaikan tiga hal, yaitu: pertama, ucapan selamat dan apresiasi atas terselenggaranya acara “Proyeksi awal Tahun, Lounching Cyber Anti Hoaks, dan peringatan 9 Tahun Haul Gus Dur”. Acara yang sangat menarik terkait dengan gawe besar bangsa, yaitu pilihan anggota legislative (pileg) dan pilihan presiden (Pilpres) yang tinggal menunggu hari. Apa lagi acara ini dihadiri oleh semua elemen penganut agama dan juga tokoh-tokoh kebangsaan yang tidak diragukan komitmennya.
Kedua, kita sekarang sedang memasuki tahun politik, yaitu tahun pemilu untuk menentukan Indonesia lima tahun mendatang. Apa yang akan kita lihat lima tahun mendatang akan tercermin pada tahun ini, 2019. Itulah sebabnya tahun ini dianggap sebagai tahun krusial bagi bangsa ini dalam rangka menjemput masa depan yang lebih baik. Bagi bangsa ini upacara liminal lima tahunan, merupakan hal yang semestinya dianggap sebagai peristiwa politik yang tidak seharusnya disikapi dengan gegap gempita destruktif. Makanya, ada usulan agar dianggap sebagai tahun pemilu atau tahun pemilihan presiden saja dan bukan tahun politik.
Ada dua hal kekhawatiran menjelang tahun politik itu, yang pada tahun sebelumnya diprediksi akan meningkat dengan kuat, yaitu menguatnya politik aliran dan politik identitas. Tetapi berdasarkan kenyataan di lapangan, bahwa politik aliran sudah semakin surut, dan politik identitas juga semakin larut. Nyaris tidak kita jumpai perselisihan atau kontestasi yang dipicu oleh politik aliran. Semenjak diangkat konsepnya oleh Ruth McVey dan Clifford Geertz, politik aliran di Indonesia sudah tidak lagi tampak di permukaan. Tidak ada lagi penggolongan politik Hijau dan Merah, Santri dan Nonsantri atau Nasionalis. Bahkan dikenal konsep Religoius-Nasionalis. Jadi benar-benar sudah surut tentang penggolongan aliran sebagai basis kekuatan politik di Indonesia.
Lalu, politik identitas yang juga diprediksi akan menguat, terutama mengacu pada pilkada DKI, juga tidak didapatkan realitas empirisnya. Kontestasi yang didasari oleh sentiment agama, etnis dan kesukubangsaan juga tidak menjadi konsumsi yang mengharubiru terhadap perpolitikan nasional. Nyaris tidak dijumpai pemanfaatan sentiment keagamaan yang selama ini menjadi isu menarik di seputar pilpres. Demikian pula tentang sentiment etnis yang dikhawatirkan juga tidak menjadi issu yang krusial. Saya melihat ada banyak hal yang sudah disadari oleh masyarakat Indonesia di dalam menghadapi pemilu tahun 2019. Memang tidak didapati pemicu munculnya issue politik yang menyebabkan terjadinya respon negative terhadap masalah-masalah dimaksud.
Hanya saja yang masih menjadi problem kita ialah semakin menguatnya hoaks di tengah kehidupan kita. Di era cyber war ini memang kita tidak bisa menampik terjadinya perang media. Diketahui bahwa pembunuhan karakter, berita bohong, fitnah dan sebagainya merupakan bagian tidak terpisahkan dari cyber war. Dan media sosial menjadi andalan di dalam perang media. Memang masih kita lihat dengan kuat terjadinya hoaks menjelang pilpres. Masih dijumpai produksi hoaks yang terus berlanjut. Semua menggambarkan bahwa dunia teknologi informasi memang tidak bisa dipisahkan dari keberadaan hoaks ini.
Tentu saja kita berharap bahwa ke depan masyarakat ini akan semakin mengedepankan politik yang santun, politik yang beretika. Jangan sampai sinyalemen yang pernah disampaikan oleh KH. Hasyim Muzadi (alm) bahwa di Indonesia sedang terjadi “politik tanpa etika” masih terus berlanjut. Harus kita kikis keberadaan politik tanpa etika ini dengan mengedepankan dan kembali kepada hakikat masyarakat Indonesia yang sedari semula dikenal sebagai masyarakat yang religious dan mengedepankan tatakrama dan kesantunan atau kesopanan.
Ketiga, sebagai solusi atas beberapa hal di atas, maka yang diperlukan ialah memperbanyak agen yang memahami dirinya sebagai individu yang sadar pentingnya membangun literasi media. Dan bisa berperan sebagai bagian dari komunitas anti hoaks. Para agen ini harus selalu mengampanyekan “saring sebelum sharing, check and recheck sebelum share”. Kita sungguh mendambakan masyarakat Indonesia yang melek teknologi informasi akan tetapi dapat dimanfaatkan untuk hal-hal yang positif.
Selain itu, diperlukan upaya untuk merekonstruksi pembelajaran sejarah untuk anak-anak Indonesia. Mereka harus diajarkan tentang bagaimana beratnya upaya untuk memerdekakan Indonesia dengan menjadi Indonesia sebagai negara kesatuan berdasarkan atas Pancasila. Sejarah rakyat Indonesia untuk melepaskan diri dari penjajahan Belanda itu terjadi selama Belanda menjajah Indonesia. Perang Diponegoro yang dikenal sebagai Perang Jawa dan menghabiskan pundi-pundi keuangan Belanda tentu meninggalkan kesan yang luar biasa. Bagaimana ada seorang perempuan yang menyapu bekas-bekas tapak kaki kuda yang dilewati oleh Pangeran Diponegoro. Sebuah tindakan kecil tetapi memiliki makna besar. Cerita sejarah seperti ini bisa kita dengar dari para guru kita di masa lalu. Dan di era sekarang saya kira perlu rekonstruksi pembelajaran sejarah agar anak-anak Indonesia mengenal bagaimana para pejuang itu memerdekakan Indonesia.
Dan yang tidak kalah penting ialah statemen-statemen Gus Dur, yang begitu memberikan perhatian terhadap hubungan antar agama. Beliau menyatakan: “Indonesia bukan negara agama tetapi negara Beragama. Ada enam agama yang diakui di Indonesia. Jadi tolong hargai lima agama lainnya”. Disadari benar bahwa hanya dengan penghargaan terhadap lainnya, maka merajut harmoni dan kerukunan sebagai bangsa akan terwujud.
Dan semua itu dilakukan dalam rangka untuk mengembangkan Pancasila sebagai living ideology, dan karenanya diperlukan upaya untuk menjadikan Pancasila sebagai ideology yang hidup di dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Merenungkan kembali tentang pentingnya Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), saya kira penting di masa sekarang dan akan datang.
Wallahu a’lam bi al shawab.