Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

NU DI PUSARAN POLITIK

NU DI PUSARAN POLITIK

Siapa yang tidak mengenal NU sebagai organisasi besar di Indonesia. semenjak 1926, NU telah berkhidmat bagi bangsa ini baik dalam bidang politik, sosial, budaya, ekonomi dan khususnya juga bidang keagamaan. NU memiliki sejarah panjang dalam merajut keindonesiaan dan di dalam mempertahankannya. NU telah memiliki fungsi yang sangat vital di dalam menjaga keindonesiaan itu dalam berbagai situasi yang menderanya.

NU sebagai jam’iyah tentu sudah cukup makan garam, khususnya di dalam menghadapi berbagai perbedaan, rivalitas dan bahkan konflik baik eksternal maupun internal. Di masa Orde Baru, NU selalu dipinggirkan oleh para penguasa, karena keterlibatannya di dalam dunia politik praktis, baik sebagai partai politik sendiri maupun dalam dukungannya terhadap partai politik lain, sebagai akibat fusi yang dilakukan oleh pemerintah.

NU bersama PNI, Masyumi dan PKI menjadi pemenang 4 (empat) besar dalam pemilu 1955, dan kemudian menjadi partai politik sendiri sampai terjadinya fusi partai politik, dan NU harus bergabung dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) semenjak tahun 1973. Di dalam PPP NU juga akhirnya dipinggirkan oleh rekan sejawatnya, John Naro cs, dan akhirnya memilih kembali ke khittah 1926 semenjak tahun 1985. Karena pemerintah sudah memiliki Golkar, maka NU yang tergabung di dalam PPP juga terus menerus dipinggirkan. Demikian pula PDI, yang akhirnya menjadi PDI Perjuangan atau PDIP.

Baru di akhir masa Orde Baru NU kembali memperoleh tempat yang selayaknya, sebagai akibat politik pragmatis yang dilakukan oleh pemerintah. Melalui pengakuan, Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi segenap organisasi, yang hal tersebut adalah bentuk dukungan kepada pemerintah, maka NU kembali dianggap sebagai organisasi sosial keagamaan yang memiliki kekuatan sebagai pendukung pemerintah.

NU memang tidak pernah jauh-jauh dari arena politik. Pasca kelengseran Soeharto, sebagai presiden ke dua, maka NU secara formal mendirikan partai politik, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang saat itu tentu meperoleh dukungan optimal dari seluruh jajaran NU, baik structural maupun kultural. Di saat itu juga terdapat konflik yang kreatif sebagaimana tantangan politik pada umumnya. Lahirnya Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) yang seumur jagung tentu menjadi catatan bagi perjalanan NU dalam relasinya dengan dunia politik.

Tentu semua paham, bahwa kehadiran PKB dapat mengantarkan keterpilihan Gus Dur sebagai presiden ke empat, meskipun juga tidak berumur panjang. Gerusan politik yang dilakukan oleh para lawan politiknya akhirnya memaksa Beliau harus mengakhiri jabatannya. Tetapi hal ini tentu menjadi bagian dari catatan manis NU dalam perjalanan keterlibatannya dengan dunia politik. Ada beberapa tokoh NU yang kemudian ingin tampil dalam kancah kepemimpinan nasional, seperti Gus Sholah dan Pak Hasyim Muzadi tetapi kandas di dalam pilihan presiden dan wakil presiden.

Akhirnya, keinginan untuk menjadikan orang NU untuk tampil di dalam kepemimpinnan nasional berhasil dengan tampilnya Pak Jusuf Kalla, meskipun secara structural bukanlah berada di dalam poros lingkaran NU akan tetapi secara kultural adalah orang NU. Beliau pernah menduduki jabatan di PBNU tetapi bukanlah pengurus harian yang menentukan. Makanya, duduknya Pak JK tentu menjadi bagian dari sejarah perjuangan NU dalam kancah politik.

Syahwat politik NU memang terus ada. Meskipun secara organisatoris sudah dinyatakan kembali ke Khittah 1926, akan tetapi keterlibatan NU sangat kentara. Misalnya dukungan terhadap pilkada, dan pilpres yang di dalamnya terdapat calon dari warga Nahdliyin.

Jika NU secara individual mendukung terhadap pasangan calon (paslon) saya kira memang sebuah kewajaran, sebab menjadi bagian dari pilihan rasional. Setiap warga negara yang sadar akan demokrasi pastilah akan melakukan tindakan pilihan politik, baik secara terang-terangan maupun tersembunyi. Semua pastilah memiliki syahwat politik yang diyakini sebagai “kebenaran”. Di dalam pilkada Jatim, yang mempertemukan Gus Ipul dan Bu Khofifah –keduanya adalah kader NU—maka posisi tokoh NU baik di jajaran pengurus tanfidziyah maupun syuriyah juga terbelah. Banyak kyai yang berseberangan secara politik. Bahkan begitu sengitnya pertarungan ini, maka juga memunculkan fatwa-fatwa politik yang dikeluarkan oleh tokoh-tokoh NU. Ada fatwa yang mendukung Gus Ipul dan ada fatwa yang mendukung Bu Khofifah. Sebuah politik warna-warni yang menarik. Semua menggambarkan pilihan rasional di tengah deru politik yang hingar bingar.

Bahkan pesantren juga ikut terlibat di dalamnya. Ada pesantren yang mendukung Bu Khofifah dan ada pesantren yang mendukung Gus Ipul. Secara terang-terangan para pengasuh pesantren ikut berkontestasi politik melalui dukungan demi dukungan. Jadi, para kyai sebagai orang NU, sekaligus juga pemimpin pesantren secara akurat mendukung terhadap paslon yang dianggapnya sesuai dengan pilihan politiknya.

Berdasarkan atas fakta ini, maka bisa digambarkan bahwa NU secara jami’iyah memang sudah mendeklarasikan diri sebagai independen akan tetapi personal pimpinan NU selalu terlibat di dalam arena politik. Hal ini yang saya kira menjadi “catatan khusus” tentang NU yang belum bisa menerapkan politik alokatif dalam kerangka pilihan politik. Pimpinan teras NU baik nasional maupun regional secara jelas mendukung terhadap paslon baik paslon presiden dan wakil presiden, maupun paslon gubernur dan wakil gubernur dan seterusnya.

Jadi, NU masih berada di dalam “kubangan” politik yang memang tidak bisa dihindarinya. Dan ini merupakan area “pilihan rasional” yang mendapatkan justifikasi di dalam kajian-kajian ilmu-ilmu sosial.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

Categories: Opini
Comment form currently closed..