NU DAN PENEGASAN KEUTUHAN KEBANGSAAN
NU DAN PENEGASAN KEUTUHAN KEBANGSAAN
Salah satu yang menjadi consern NU dalam percaturan berbangsa dan bernegara ialah mengedepankan sikap penghargaan terhadap kebinekaan. NU memang sudah teruji di dalam kaitannya dengan pengembangan wawasan kebangsaan dan keumatan, keislaman dan keindonesiaan. Nyaris tidak ada yang meragukan komitmen NU untuk menjaga harmoni di tengah pluralitas dan multikulturalitas bangsa Indonesia.
Sesungguhnya, bangsa Indonesia adalah bangsa yang sangat menghargai kebinekaan. Bisa dibayangkan dengan jumlah suku dan bahasa serta pulau yang bertebaran dari Sabang sampai Merauke, sebuah keragaman yang saya kira tidak ada duanya di dunia ini, namun demikian dapat menjadi satu kesatuan dalam wujud berbangsa dan bernegara. Mereka semua menyatakan sebagai part of bangsa Indonesia dan menjadi penduduk negara Indonesia.
Jika kita hidup di wilayah pedesaan, maka mungkin saja kita tidak merasakan denyut perbedaan antara satu suku dengan lainnya, atau antara pemeluk agama yang satu dengan lainnya. Masyarakat pedesaan masih relative homogeen dalam sikap dan tindakan, ucapan dan perilaku. Mereka mengenal satu warga dengan lainnya, mereka hidup dalam dunia paguyuban dan saling mengenal satu dengan lainnya.
Namun jika kita hidup di wilayah perkotaan, apalagi kota metropolis seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Jogyakarta dan sebagainya, maka denyut nadi perbedaan atau heterogenitas itu sangat terasa. Ada perbedaan suku, agama, ras dan tindakan budayanya. Semua melambangkan bahwa Indonesia memang terdiri dari yang beraneka-ragam tersebut. Inilah keunikan Indonesia dilihat dari hubungan antar individu atau kelompok, yang pasti memunculkan perbedaan, rivalitas dan bahkan konflik.
Meskipun potensi untuk berbeda, berkontestasi dan konflik tersebut merupakan masalah yang potensial, akan tetapi sejauh ini dapat diredam sedemikian rupa. Para tokoh agama dengan berbagai forum yang diselenggarakan berhasil melakukan dialog yang dinamis dalam kerangka menggalang kebersamaan, khususnya kerukunan umat beragama. Melalui Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), maka problem-problem antar umat beragama dapat diredam dan diselesaikan secara memadai. FKUB yang merupakan representasi umat beragama dapat menjadi mediator dalam penyelesaian konflik di antara umat beragama. Selain merupakan representasi umat beragama juga menjadi representasi intern umat beragama. maka di dalam FKUB terdapat juga perwakilan NU, Muhammadiyah, dan organisasi Islam lainnya selain representasi umat agama selain Islam.
NU sebagai organisasi Islam tentu memiliki peran positif di dalam mendukung terhadap kerukunan umat beragama. Kita masih ingat sahabat-sahabat Banser dan Anshor yang menjaga gereja dalam acara Natalan, dan juga bagaimana komunikasi di antara mereka dijalin dengan sangat memadai. Makanya, NU bisa dinyatakan sebagai pelopor pembangunan harmoni umat beragama.
Munas Alim Ulama yang menjadi tempat berkumpulnya para kyai dan ulama NU dari seluruh Indonesia selalu memiliki agenda untuk membahas isu-isu kekinian, baik yang terkait dengan isu keagamaan, kenegaraan maupun sosial kemasyarakatan. Di dalam Munasnya di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al Azhar, Banjar, Jawa Barat dilakukan acara bahstul masail (03/03/2019) dan salah satu di antara rekomendasinya ialah agar kita menghindarkan diri dari pernyataan kafir-mengkafirkan umat agama lain. Hasil bahtsul masail ini memang bukan merupakan fatwa, akan tetapi merupakan himbauan dari para ulama NU agar tidak menggunakan kata kafir dalam menyebut umat agama lain.
Kata kafir memang secara lughawi berarti pengingkaran. Misalnya digunakan untuk menyatakan orang yang ingkar terhadap keberadaan Allah, bahkan juga mengingkari terhadap nikmat Allah. Penyebutan terhadap orang Nasrani di masa Rasulullah disebut dengan ahlul kitab. Sedangkan penyebutan kafir diperuntukkan bagi orang yang tidak bertuhan atau mengingkari keberadaan Tuhan. Akan tetapi di dalam konteks masyarakat Indonesia, maka kafir itu bermakna khusus ialah orang yang beragama selain Islam. Bahkan juga dikaitkan dengan orang yang membiarkan terhadap keberadaan agama lain tersebut.
Di dalam menjawab terhadap pandangan seperti ini, maka ulama NU menyepakati agar kata kafir tidak dipakai dalam relasi atau hubungan antar agama. Dengan demikian, di dalam menjalin komunikasi dan membangun kesepahaman dengan agama lain dalam konteks kebangsaan, maka NU menghimbau agar kata kafir tidak digunakan lagi dalam relasi antar umat beragama.
Melalui pandangan ini, maka jelas bahwa NU sebagai organisasi yang khas Nusantara memiliki kewajiban moral untuk menjaga dan mempertahankan keislaman dan keindonesiaan dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Jadi, sekali lagi NU menegaskan tentang peran pentingnya menjaga kerukunan umat beragama.
Wallahu a’lam bi al shawab.