• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

GERAKAN KIRI BARU DI ERA REFORMASI

GERAKAN KIRI BARU DI ERA REFORMASI

Prof. Dr. Nur Syam, Msi

Ada banyak pertanyaan, misalnya apakah gerakan kiri baru itu ada ataukah hanya rekayasa media sosial untuk menjadikannya sebagai tantangan bangsa ini. Atau yang lebih simple, gerakan kiri baru itu halusinasi atau fakta sosial. Pertanyaan ini penting untuk dikemukakan mengingat ada banyak kontroversi di seputar cerita tentang eksisten PKI baru atau gerakan kiri baru.

Saya tentu saja termasuk orang yang bersepaham bahwa gerakan kiri baru itu sebuah fakta. Sebagai fakta tentu saja merupakan kenyataan empiris, yang keberadaannya memang bisa dikaji berbasis pada kenyataan yang observable. Saya menyatakan bahwa gerakan kiri baru memang merupakan kenyataan yang terjadi, baik dari sisi historis maupun empiris. Basis empirisnya adalah terdapat sejumlah aktivis yang memiliki gagasan, pandangan dan ideologi yang tegas-tegas menggambarkan eksistensi kaum kiri baru tersebut.

Sebagai ideologi, tentu tidak akan mati. Komunisme sebagai ideologi tidak akan pernah mati dan hilang dari kehidupan manusia. Ideologi  sebagai keyakinan tidak akan lekang oleh panas dan tidak akan lapuk oleh hujan. Ideologi akan terus hidup sambung menyambung dari generasi ke generasi, dari satu kelompok ke kelompok, dan juga akan terus mencari tempat penyemaian baru agar ideologi tersebut tumbuh dan berkembang.

Bagi sejarawan, maka dikenal siklus plus minus 20 tahunan  untuk kebangkitan komunisme. Semenjak pemberontakan gagal tahun 1948, lalu memberontak lagi tahun 1965, dan kemudian bergerak lagi lewat bawah tanah tahun 1985-1995, lalu kemudian gelombang ke empat tahun 1996-2005, dan sekarang memasuki gelombang ke lima tahun 2024, dan seterusnya.  Munculnya era Orde Reformasi yang membuka keran demokratisasi dan keterbukaan tentu merupakan angin segar, bagi aktivis ideologi kiri  baru untuk muncul ke permukaan. Hal ini kemudian memunculkan embrio gerakan yang dimulai di Era Orde Baru dengan  munculnya Persatuan Rakyat Demokratik (PRD) dan Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) dan kemudian berubah menjadi Partai Rakyat Demokratik (PRD). Untuk memasuki area PRD ini membutuhkan seleksi bertingkat-tingkat. Dan hanya orang-orang khusus yang bisa lolos menjadi anggotanya. Benar-benar disaring dengan perangkat ideologis yang sangat mapan. Hanya orang dengan ideologi yang mapan saja yang bisa masuk ke dalam PRD. Benar-benar partai kader, dan bukan partai floating mass, seperti partai  politik lainnya. PRD akhirnya benar-benar menjadi partai politik dengan menjadi kontestan pemilu 1999, hanya saja tidak dapat meloloskan wakilnya ke DPR RI. PRD dideklarasikan 22 Juli  1996. (id.m.wikipedia.org., 7/7/20).

Menyadari bahwa berjuang di luar area itu sangat sulit, maka beberapa eksponen PRD kemudian memasuki partai politik, di antaranya adalah Budiman Sudjatmiko, yang masuk ke PDI-P dan kemudian melenggang ke Senayan untuk menjadi anggota DPR RI dari daerah pemilihan Jawa Tengah. Berkat ide-ide cemerlangnya, maka tidak sulit bagi seorang Budiman Sudjatmiko untuk menguasai panggung politik DPR. Dan terbukti banyak gagasannya yang menjadi realitas, karena dia memang petarung dan ideolog yang sangat mapan.

Melalui media sosial kita juga disuguhi berbagai informasi tentang betapa bahayanya gerakan komunisme itu. Tentu saja harus dipilah, mana yang benar dan mana yang keliru. Kita tidak boleh menjustifikasi sedemikian sederhana dan kemudian buru-buru menyimpulkan bahwa communism was come back. Kita mestilah melakukan check and recheck terhadap eksistensi gerakan komunisme ini dalam kerangka untuk memahami apakah memang gerakan tersebut eksis atau telah menjadi fakta atau hanya sekedar halusinasi, atau bahkan musuh yang direkayasa.

Memang masih gelap untuk menyatakan to the point bahwa komunisma telah eksis kembali di bumi Indonesia. Namun demikian, secara samar-samar kita bisa melacak perjalanan tokoh-tokoh yang selama ini sering menyuarakan tentang  keberadaan gerakan kiri  baru. Tentu ada beberapa kata kunci yang bisa membuka kotak pandora tentang eksistensi kaum kiri ini.

Pelacakan tersebut tentu bisa dilihat dari beberapa karya tulis yang menggambarkan tentang gerakan kiri baru. Misalnya tulisan Budiman Sudjatmiko, yang berjudul “Anak-Anak Revolusi”, atau karya Ribka Tjiptaning, yang bertitel “Aku Bangga Jadi Anak PKI”, dan tentu saja sepak terjang beberapa orang yang diidentifikasi sebagai bagian dari anak-anak revolusi. Ketika ditanya, tentang ideologi kebangsaannya, Ribka menyatakan: “Pancasila Bung  Karno, 1 Juni 1965”. (https://m.cnnindonesia.com, 7/7/20).

Memang dipastikan bahwa akan terdapat variasi di dalam memandang seorang tokoh. Berdasarkan beberapa penulis resensi buku “Anak-Anak Revolusi”, maka digambarkan bahwa membaca buku ini sama sekali tidak terlihat ideologi komunis di dalamnya. (duniaayu.blogspot.com, 7/7/20). Artinya, bahwa dengan hanya membaca buku yang dihadirkannya, maka tidak didapati relevansi gagasan komunisme di dalamnya.

Oleh karena itu, agar kita bisa sedikit memahami  gagasan atau pemikiran seseorang alangkah baiknya menggunakan konsepsi kaum fenomenolog, yang berasumsi bahwa selalu ada pemikiran dibalik tindakan atau in order to motive. Jika menggunakan bagan ini, tentu setiap tindakan didasarkan pada motif tujuan.  Setiap tindakan untuk menulis dan melakukan tindakan lainnya, tentu dipastikan bahwa terdapat gagasan, ide, pemikiran yang ingin disebarkan kepada publik. Dari aspek ini, saya kira banyak orang yang berpendapat bahwa ada maksud dan tujuan tertentu dengan tindakan aktor dimaksud, dan tentu juga ada yang berpikir sebaliknya.

Namun demikian, menurut saya bahwa gerakan kiri baru itu bukan sekedar halusinasi, akan tetapi telah menjadi fakta sosial. Ada aktor, ada pengikut, ada kelompok dan komunitas yang mendukung, baik yang ideologis maupun follower saja, tetapi yang jelas bahwa ideologi itu tidak akan pernah mati. Dan penerus ideologi itu, bisa saja memiliki relasi genealogis dengan aktor-aktor sebelumnya. Baik genealogi kekerabatan ataupun genealogi produk pengetahuan.

Di dunia ini serba kemungkinan untuk bisa terjadi apa saja, dan sebaiknya memang kita harus mewaspadai terhadap pemikiran-pemikiran tentang ideologi yang pernah mengharubirukan blantika negeri ini, dan menjadi luka sejarah yang terus menganga, karena sama sekali tidak bisa dihapuskan.

Dalam posisi inilah saya kira harus memilih, sebab keamanan dan keselamatan negeri ini saya kira berada di atas segalanya. Kepentingan individu, kelompok, komunitas harus diletakkan secara proporsional, dan kemudian menempatkan dimensi kemasyarakatan, kenegaraan dan kebangsaan sebagai yang sangat utama. Sudah saatnya kita menatap masa depan dengan kejernihan pikiran, bahwa negeri ini tidak boleh tercabik-canik karena benturan ideologi seperti di masa lalu. Bangsa ini sudah kenyang dengan benturan atau konflik yang difaslitasi oleh perbedaan ideologis.

Wallahu’alm bi al shawab.

 

 

HARUS HATI-HATI DI ERA NEW NORMAL

Salah satu di antara yang harus diperhatikan di masa pandemi covid-19 adalah menjaga jarak sosial. Di manapun berada maka yang harus diingat adalah bagaimana agar tidak terjadi kerumunan dan masing-masing memiliki kesadaran untuk menjaga jarak sosial, minimal satu meter dan yang ideal adalah dua meter.

Beberapa negara menerapkan ketentuan yang berbeda, tetapi secara umum yang dianggap sesuai dengan protokal kesehatan adalah sejauh satu meter. Di beberapa negara di Barat, seperti Inggris, dan Skandinavia menerapkan jarak dua meter, sementara yang lain seperti Swiss, Norwegia, dan lain-lain menerapkan aturan satu meter. Di Indonesia, sebenarnya menerapkan protokol kesehatan distansi fisik sebesar satu meter.

Namun di Indonesia, aturan ini nyaris tidak berlaku sebab di beberapa daerah, protokol kesehatan ini tidak ditaati sepenuhnya oleh masyarakat. Salah satu di antaranya adalah Jawa Timur, yang sekarang menempati rangking pertama penyebaran covid-19 di Indonesia. Sebagaimana penuturan Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indarparawansa, bahwa sebanyak 70 persen warga Jawa Timur tidak menggunakan masker ketika berada di luar rumah. Lalu kerumunan juga masih terjadi di mana-mana, khususnya pasar, mall, café dan tempat-tempat umum.

Sebagaimana diketahui bahwa penyakit yang diakibatkan oleh covid-19, akan menyerang pada orang-orang yang berkerumunan. Tingkat penularan akan menjadi tinggi jika masyarakat tidak mengindahkan protokol kesehatan, terutama menjaga jarak tersebut. Ketika terjadi kerumunan dan di situ terdapat seseorang yang terinfeksi covid-19, maka dipastikan akan terjadi penularan.

Secara teoretik, bahwa satu orang yang positif covid-19, maka ada sebanyak 20 orang yang harus diindikasikan mengidap virus ini. Makanya mereka yang memiliki riwayat berhubungan dengan orang yang terpapar harus mengeteskan kesehatannya. Jika ada seseorang yang terinfeksi covid-19, maka orang-orang sekitarnya harus dicek kesehatannya atau dilakukan tracking, baik melalui rapid test atau swab. Jika dari hasil rapid test ternyata negatif, maka beruntung tetapi jika reaktif, maka harus dirujuk ke rumah sakit atau tempat pemeriksaan swab untuk memastikan apakah orang itu terinfeksi covid-19 atau tidak. Bisa jadi orang yang reaktif rapid test ternyata negatif waktu test swab atau sebaliknya.

Sekarang kita sudah memasuki era new normal atau kehidupan normal baru. Namun demikian di era ini justru terdapat kerawanan, sebab kita tidak tahu secara pasti siapa orang yang berada di dekat kita itu. Yang dikhawatirkan adalah terdapat orang yang terinfeksi covid-19 dan tidak mengetahui bahwa dirinya itu terinfeksi atau yang disebut sebagai Orang Tanpa Gejala (OTG), yang bisa saja kelihatan sehat tetapi di dalam tubuhnya sudah bersarang virus mematikan ini.

Oleh karena itu, era new normal justru menjadi era yang “menakutkan” sebab pada era ini, sesungguhnya kehati-hatian sangat diperlukan. Jadi, hendaknya kita semua tetap memperhatikan protokol kesehatan dengan menerapkan empat prinsip hidup, yaitu: memakai masker di manapun berada, sering cuci tangan dengan hand sanitizer, atau sabun cuci, menjaga jarak fisik atau sosial dan menjaga kesehatan fisik dengan berolahraga, makanan sehat, dan bergizi.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

TEORI KONFLIK OTORITAS DAHRENDORF TENTANG PUASA (9)

Otoritas yang paling sahih sesungguhnya adalah otoritas yang dibangun di atas dasar agama, sebab agama memiliki cakupan terluas dan terdalam di dalam kehidupan manusia. Agama merupakan the ultimate concern. Itulah sebabnya, di kala agama dijadikan sebagai penguat terhadap konflik, maka konflik akan dapat berjalan lama atau panjang di dalam masyarakat.

Agama juga paling rawan dengan perbedaan, kontestasi, rivalitas dan konflik. Meskipun agama mengajarkan tentang keteraturan sosial, namun di dalam realitas empiris selalu saja terjadi benturan antar penganut agama, bahkan intern penganut beragama. Kita tentu masih ingat beberapa kasus tentang konflik umat beragama, baik yang intern maupun antar umat beragama, misalnya antara kaum Syiah dan Sunni, antara Sunni dan Ahmadiyah, antara umat Kristen dan Islam, atau antara umat Buddha dan Islam dan sebagainya.

Sebenarnya agama itu ada pada setiap generasi umat manusia. Jika mengacu di dalam al Qur’an, maka terdapat hanya 25 rasul saja, akan tetapi jumlah Nabi mencapai angka 124 ribu. Artinya, bahwa setiap kaum memiliki Nabi-nabinya sendiri. Bahkan Orang Jawa di masa lalu, jauh sebelum masuknya agama-agama Hindu dan Buddha, Islam dan Nasrani bisa saja sudah terdapat Nabi-Nabi yang dikirim oleh Allah atau Tuhan untuk Orang Jawa tersebut.

Agama tersebut rawan konflik karena terkait dengan tafsir atas agama. Bahkan pernah saya nyatakan satu ayat dengan seribu tafsir. Artinya bahwa terdapat aneka tafsir tentang agama tersebut, dan jika masing-masing penafsir menyatakan hanya tafsirannya saja yang benar dan menihilkan adanya tafsir lain, maka dipastikan akan terjadi benturan. Hanya faktor kedewasaan berpikir saja yang menentukan apakah perbedaan tafsir akan menyebabkan ketiadaan konflik atau sebaliknya.

Agama itu ibarat kabar angin dari langit. Semakin dekat dengan pembawa pertama kabar agama tersebut maka semakin yakin akan tafsir agamanya, akan tetapi semakin jauh dari pembawa kabar utama agama maka akan terjadi banyak sekali penafsiran yang dianggap berasal dari sumber utama kabar tersebut. Ketika Nabi Muhammad saw masih hidup, maka segala sesuatu yang terkait dengan berbagai kejadian di dalam kehidupan dapat ditanyakan kepada Beliau, tetapi sekarang kita tidak lagi bisa bertanya kepada Beliau. Bahkan kita bertanya kepada Mbah Google.

Masa Khulafaur Rasyidin merupakan masa paling utama sebab para pelaku yang hidup bersama Rasulullah masih hidup. Demikian pula masa tabi’in juga masih ada orang yang hidup bersama umat Islam di zaman Khulafaur Rasyidin. Namun di era sekarang semua mengandalkan pada tafsir dari yang memiliki otoritas di dalam penafsiran agama. Di sinilah tingkat kerawanan tersebut dimulai. Apalagi jika ada di antara mereka yang menyatakan bahwa hanya tafsirannya saja yang benar dan yang lain semuanya salah. Munculnya kekerasan agama di berbagai wilayah dalam banyak hal dipicu oleh masalah tafsir keagamaan ini.

Di antara ahli teori sosial yang juga saya apresiasi adalah Ralf Dahrendorf. Dia berhasil menggabungkan antara teori sosial konflik yang materialistis dengan teori struktural fungsional, dan menghasilkan teori konflik kewenangan atau konflik otoritas. Ada banyak proposisi yang ditawarkannya sebagai pisau analisis terhadap dunia sosial, akan tetapi di dalam hal ini, saya akan menggunakan satu saja untuk menganalisis secara general tentang kehidupan beragama.

Proposisi tersebut adalah otoritas yang dimiliki antar dua atau tiga orang atau kelompok dapat menjadi penyebab terjadinya konflik sosial. Jika terdapat dua orang yang memiliki otoritas seimbang di dalam suatu komunitas lalu keduanya berbeda konsepsinya tentang perubahan yang harus dilakukan, maka dipastikan masing-masing akan memiliki pendukung atau pembela dan siap untuk melakukan apa saja demi keyakinannya tentang kebenaran pikirannya.

Terkait dengan bulan puasa, dipastikan juga terdapat kegiatan ritual shalat ‘id. Dan terutama yang fenomenal adalah shalat idul fitri. Misalnya, ada yang menentukan bahwa hari raya idul fitri jatuh pada hari ini dan lainnya menyatakan besuk pagi. Maka dapat dipastikan adanya keputusan para pengambil tafsir ini akan diikuti oleh para anggotanya.

Tahun ini misalnya, beberapa organisasi sosial keagamaan juga berbeda pendapat tentang datangnya hari raya idul fitri. Jamaah An Nadhir di Sulawesi Selatan adalah yang langganan berbeda dengan pemerintah. Mereka memiliki penafsiran sendiri terkait dengan hitungan datangnya hari raya atau mengakhiri puasa. Demikian pula jamaah Pesantren Sabilul Muttaqin (PSM) juga sudah melakukan shalat hari raya kemarin. Inilah bentuk konflik sosial yang paling rendah. Pada akhirnya tidak menimbulkan konflik sosial berskala besar, yang saling meniadakan.

Namun jika perbedaan tafsir tersebut memiliki cakupan mendalam dan berskala ideologis, maka tentu akan menyebabkan konflik berskala besar. Seperti konflik di Irak dan Syria melalui ISIS, atau di Afghanistan antara kelompok Mujahidin dan kelompok lainnya. Untungnya di Indonesia, betapapun terjadi perbedaan pendapat, jarang yang memasuki dimensi ideologis, sehingga konflik yang berdarah-darah tersebut nyaris tidak terjadi. Sejauh ini hanyalah antara kaum Sunni dan Ahmadiyah saja yang cukup keras benturannya.

Berdasarkan teori konflik otoritas ini, maka dapat digunakan untuk memetakan tentang “potensi” konflik sosial yang difasilitasi oleh adanya dualisme otoritas. Artinya bahwa masing-masing otoritas menganggap bahwa pendapatnya yang paling benar dan yang lainnya salah. Jadi, kita beruntung mendapatkan pengetahuan tentang teori konflik otoritas ini.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

Perspektif Teori Konflik Fungsional atas Puasa (8)

Berpuasa di tahun ini 1441H, sungguh sangat berbeda dengan berpuasa tahun-tahun sebelumnya. Faktor utama penyebabnya adalah pandemi Covid-19 yang melanda 288 negara seluruh dunia, Covid-19 memiliki sejumlah pengaruh yang sangat luar biasa dalam segala aspek kehidupabn ummat manusia, di bidang ekonomi pandemi Covid-19 dapat memicu resesi dunia sebab melambatnya pertumbuhan ekonomi di seluruh dunia. Hampir seluruh negara merevisi APBN-nya untuk menyesuaikan pendapatan negara yang sangat mencolok, bisa dilihat misalnya roda ekonomi yang nyaris tidak berputar disebabkan karena lockdown atau PSBB: Mall berhenti beroperasi, bandar udara, stasiun kereta api, stasiun bus, dan juga perdagangan-perdagangan informal nyaris semuanya berhenti sehingga menyebabkan meningkatnya jumlah pengangguran baik pengangguran terbuka maupun semi terbuka.

Dalam bidang Agama, yang selama ini merupakan institusi-intisusi yang paling stabil juga mengalami perubahan yang luar biasa melalui seruan Work From Home (WFH) beribadah di rumah. Maka menyebabkan perubahan yang sangat besar disebabkan social distancing dan physical distancing maka individu dihimbau untuk shalat di rumah, dzikir di rumah, dan tadarus Al-Qur’an di rumah akibatnya banyak Masjid dan Mushalla ditutup sementara untuk menghindari kerumunan massa di dalam suatu tempat.

Terkait dengan persoalan ini maka memunculkan perbedaan pendapat tentang penggunaan Masjid atau Mushalla sebagai tempat untuk beribadah, ada sementara yang menyatakan bahwa shalat berjamaah tetap harus dilaksanakan, berdasarkan survey sekira 40 juta orang dan mereka adalah orang-orang yang cenderung untuk melanjutkan tradisi shalat berjamaah di Masjid dan sisanya bervariasi dalam pendapatnya. Baik MUI, NU maupun Muhammadiyah sependapat bahwa dalam rangka mengerem laju persebaran Covid-19, sebaiknya ummat muslim melakukan kegiatan ibadah di rumah. Namun demikian juga terdapat varian pendapat tentang penyelenggaraan shalat berjamaah ini di Masjid-Masjid yang selama ini berafiliasi ke NU, juga terdapat pertentangan pendapat antara yang membolehkan dan tidak membolehkan shalat berjamaah di Masjid. Ada yang lebih kuat pendapatnya untuk menolak penyelenggaraan shalat berjamaah dan ada yang memenangkan pendapat untuk tetap menyelenggarakan shalat berjamaah dengan catatan mengikuti protokol kesehatan, ada juga varian lain yang membolehkan hanya 15 hari saja shalat berjamaah dan selebihnya shalat di rumah masing-masing.

Teori konflik fungsional sebagaimana digagas oleh Lewis Coser memiliki cakupan yang sangat luas, berbeda dengan teori konflik Karl Marx yang lebih terfokus pada faktor ekonomi. Teori konflik fungsional Coser dapat digunakan untuk mengkaji mulai dari perbedaan pendapat, rivalitas, pertentangan hingga konflik sosial. Dalam hal penyelenggaraan puasa tahun 1441H ini, teori konflik fungsional dapat digunakan untuk menganalisis perbedaan pendapat dalam menyikapi himbauan pemerintah: MUI, NU, Muhammadiyah dan organisasi-organisasi islam lainnya yang menghimbau masyarakat agar mentaati social distancing atau physical distancing dengan cara tidak menyelenggarakan shalat berjamaah.

Salah satu diantara proposisi yang dapat digunakan menjadi basis analisis tentang penyelenggaraan ibadah ditahun 1441H ini adalah konteks sosial dapat membangun integrasi baru, konflik sosial dalam konteks ini adalah perbedaan-perbedaan pendapat dan berpeluang untuk lahirnya potensi konflik. Secara linier dapat dinyatakan dari integrasi ke disintegrasi menuju reintegrasi. Selama ini penyelenggaraan puasa dan seluruh ibadah-ibadah yang terkait tidak pernah mengalami problem yang sangat serius, jika ada perbedaan pemahaman misalnya apakah shalat tarawih 20 rakaat atau 8 rakaat maka bentuk reintegrasinya adalah secara umum tarawih 20 rakaat menjadi fenomena pedesaan dan tarawih 8 rakaat menjadi fenomena perkotaan meskipun juga terdapat varian-varian di dalamnya, reintegrasi tersebut terjadi melalui afiliasi organisasi yang dalam hal ini berbasis pada area perdesaan atau perkotaan. Orang Muhammadiyah baik di perdesaan atau perkotaan akan menyelenggarakan shalat tarawih 8 rakaat sementara orang NU menyelenggarakan shalat tarawih 20 rakaat, meskipun juga terdapat varian di dalamnya.

Jadi pada tahun-tahun sebelumnya nyaris tidak terdapat disintegrasi terkait dengan penyelenggaraan puasa dan ibadah-ibadah di dalamnya namun demikian semenjak pandemi Covid-19 terjadi maka banyak hal yang didekonstruksikannya. Ada banyak tradisi orang NU di dalam hal shalat yang dihilangkan, misalnya kebiasaan salaman setelah shalat dan juga ada tradisi orang Muhammadiyah yang harus dihilangkan misalnya penataan shaf yang sangat rapat dan yang lebih mendasar adalah himbauan untuk tidak menyelenggarakan shalat berjamaan selama pandemi Covid-19. Hal inilah yang memicu disintegrasi sosial namun demikian masyarakat akhirnya bisa reintegrasi yang mereka sepakati bersama, misalnya sebuah Masjid atau Mushalla tetap menyelenggarakan shalat berjamaah dengan mengikuti physical distancing and social distancing dan juga protokol kesehatan. Lalu di mushalla juga didapatkan tempat pencucian tangan, disinfectan, dan alat pengukur suhu tubuh. Melalui prosedur ini maka jamaah tidak lagi was-was dalam menjalankan shalat di Masjid yang menjalankan shalat jamaah juga menggulung karpetnya dan membuat tanda silang untuk mengatur shafnya. Sementara itu yang tidak sepaham dengan pendapat ini dapat melaksanakan shalat di rumahnya masing-masing, kemudian dari yang pro dan kontra pelaksanaan jamaah di Masjid juga saling menghargai. Inilah fase reintegrasi yang dihasilkan dari proses perbedaan pendapat pandangan diantara mereka.

Tentu yang kita harapkan adalah baik yang shalat jamaah di Masjid maupun di rumah atau bahkan yang shalat sendirian sama sekali tidak berkurang pahalanya dari Allah SWT dan ini saya kira sangat tergantung pada tingkat derajat ke-iman-an dan instrospeksi atas perbuatan-perbuatan yang dilakukannya.

Wallahu al a’lam bi al shawab

 

PERSPEKTIF TEORI KONFLIK FUNGSIONAL ATAS PUASA (7)

Salah seorang teoretisi ilmu sosial klasik yang sungguh saya apresiasi adalah Lewis Coser. Berkat kegigihannya, maka beliau berhasil untuk memadukan antara teori konflik sosial dengan teori keteraturan sosial. Beliau berhasil memadukan antara konflik yang cenderung ke perubahan sosial dengan keteraturan sosial yang cenderung stagnasi sosial. Keduanya dipadukan menjadi teori fungsional konflik, bahwa konflik sesungguhnya justru bisa membangun integrasi sosial.

Konflik hakikatnya adalah bagian tidak terpisahkan di dalam kehidupan manusia. Manusia bisa menjadi lawan atas manusia lainnya. Atas nama kepentingan, terkadang manusia bisa menghancurkan manusia lainnya. Perang adalah salah satu medium manusia untuk memenuhi hasrat pengausaan satu atas lainnya. bukankah di dunia ini banyak sekali peperangan yang dilakukan oleh manusia untuk kepentingan diri atau kelompoknya dengan menguasai orang atau kelompok lainnya.

Jika kita melihat cerita di dalam episode Baratayudha, maka dapat diketahui bagaimana manusia atas nama negara, kepentingan, dan masyarakatnya bertarung untuk mempertahankan dan melawan siapa saja yang menghadang keinginannya untuk berkuasa. Duryudana raja Hastina Pura yang dibantu oleh Mahapatih Sangkuni menebar kekuasaan dengan cara mengakuisisi negara Amarta di bawah kekuasaan Puntadewa.

Peperangan seperti ini terkadang juga menggunakan agama sebagai perekat yang sangat mendasar. Misalnya Pandawa dengan Shri Kresna merupakan simbol dari “kebaikan” dan “moralitas”, sedangkan kaum Kurawa adalah lambang “keangkaraan” dan “kedurjanaan” yang luar biasa. Jadi ada pertarungan “kebaikan” dan “kejahatan” atau antara “kedharmaan” dan “keangkaramurkaan”. Meskipun demikian, perang juga memiliki regulasinya sendiri. Misalnya, perang tidak boleh dilakukan pada malam hari dan hanya bisa dilakukan pada siang hari. Perang dimulai jika panglima perang telah meniup sangkakala peperangan akan dimulai, dan sebagainya.

Di dalam banyak hal konflik selalu berkaitan dengan perebutan sumber daya ekonomi, sumber daya alam, dan sumber daya manusia. Namun dalam pandangan Karl Marx bahwa konflik disebabkan oleh faktor ekonomi yang disebut dengan economic determinant. Salah satu kelebihan dari Coser adalah dapat memadukan antara konflik tersebut dengan keteraturan sosial dalam konteks bahwa konflik dapat membawa kepada integrasi sosial, ada banyak proposisi yang dihasilkannya namun ada satu hal yang penting adalah bahwa konflik dapat berfungsi untuk memperkuat identitas sosial, misalnya konflik antar suku atau antar negara tentu dapat meningkatkan identitas pada masing-masing kelompok dimasksud.

Di dalam Islam terdapat satu pandangan bahwa agama merupakan sekumpulan aturan untuk mengatur kehidupan sosial, di dalam konteks ini untuk membangun keteraturan sosial. Namun demikian keteraturan sosial bukanlah sesuatu yang diperoleh tetapi merupakan sesuatu yang harus dicapai, konflik dapat menjadi instrumen untuk membangun relasi baru berbasis pada pemahaman atas regulasi yang dipahami bersama. Sebagai contoh terkait dengan bulan puasa adalah pelaksanaan penetapan satu ramadhan atau 1 Syawal dan juga penetapan satu Dhulhijjah dalam kaitannya dengan hari raya Idul Adha dalam penentuan tanggal 1 Syawal dan tanggal 1 Dhulhijjah terdapat dua pandangan yag sampai hari ini belum bisa diintergrasikan, Muhammadiyah menggunakan konsepsi Wujudul Hilal. Seberapapun besarnya hilal maka tanggal satu sudah bisa ditetapkan, tidak memperhitngkan ketinggian hilal dimaksud, tidak dipentingkan hilal bisa atau tidak. Sedangkan Nahdlatul Ulama menggunakan konsepsi Rukyatul Hilal atau Inkanurruqyah jadi hilai itu harus bisa dilihat dengan melalui mata telanjang berbasis pada teknologi modern. Sehingga ketika Hilal sudah wujud tetapi belum mencapai dua derajat yang memungkinkan Hilal dapat dilihat dengan mata maka wujud hilal itu belum dapat dinyatakan sebagi penetapan tanggal 1 Syawal atau 1 Ramadhan dan Dhulhijjah. Akibatnya terdapat implementasi pelaksanaan ibadah atau ritual bisa berbeda, secara kelakar orang menyatakan jika bisa shalat Ied bersama-sama hal itu ditentukan oleh kebaikan bulan.

Di dalam konteks ini maka konflik fungsional sebagaimana proposisi Coser tersebut benar adanya, bahwa konflik ternyata memang dapat menigktakan kepemilikan identitas sosial dapat dipastikan bahwa orang NU akan beribadah sebagaimana pandangan ke-NU-annya dan orang Muhammadiyah akan beribadah sesuai dengan ke-Muhammadiyah-annya.

Wallahu al a’lam bi al shawab