TEORI KONFLIK OTORITAS DAHRENDORF TENTANG PUASA (9)
Otoritas yang paling sahih sesungguhnya adalah otoritas yang dibangun di atas dasar agama, sebab agama memiliki cakupan terluas dan terdalam di dalam kehidupan manusia. Agama merupakan the ultimate concern. Itulah sebabnya, di kala agama dijadikan sebagai penguat terhadap konflik, maka konflik akan dapat berjalan lama atau panjang di dalam masyarakat.
Agama juga paling rawan dengan perbedaan, kontestasi, rivalitas dan konflik. Meskipun agama mengajarkan tentang keteraturan sosial, namun di dalam realitas empiris selalu saja terjadi benturan antar penganut agama, bahkan intern penganut beragama. Kita tentu masih ingat beberapa kasus tentang konflik umat beragama, baik yang intern maupun antar umat beragama, misalnya antara kaum Syiah dan Sunni, antara Sunni dan Ahmadiyah, antara umat Kristen dan Islam, atau antara umat Buddha dan Islam dan sebagainya.
Sebenarnya agama itu ada pada setiap generasi umat manusia. Jika mengacu di dalam al Qur’an, maka terdapat hanya 25 rasul saja, akan tetapi jumlah Nabi mencapai angka 124 ribu. Artinya, bahwa setiap kaum memiliki Nabi-nabinya sendiri. Bahkan Orang Jawa di masa lalu, jauh sebelum masuknya agama-agama Hindu dan Buddha, Islam dan Nasrani bisa saja sudah terdapat Nabi-Nabi yang dikirim oleh Allah atau Tuhan untuk Orang Jawa tersebut.
Agama tersebut rawan konflik karena terkait dengan tafsir atas agama. Bahkan pernah saya nyatakan satu ayat dengan seribu tafsir. Artinya bahwa terdapat aneka tafsir tentang agama tersebut, dan jika masing-masing penafsir menyatakan hanya tafsirannya saja yang benar dan menihilkan adanya tafsir lain, maka dipastikan akan terjadi benturan. Hanya faktor kedewasaan berpikir saja yang menentukan apakah perbedaan tafsir akan menyebabkan ketiadaan konflik atau sebaliknya.
Agama itu ibarat kabar angin dari langit. Semakin dekat dengan pembawa pertama kabar agama tersebut maka semakin yakin akan tafsir agamanya, akan tetapi semakin jauh dari pembawa kabar utama agama maka akan terjadi banyak sekali penafsiran yang dianggap berasal dari sumber utama kabar tersebut. Ketika Nabi Muhammad saw masih hidup, maka segala sesuatu yang terkait dengan berbagai kejadian di dalam kehidupan dapat ditanyakan kepada Beliau, tetapi sekarang kita tidak lagi bisa bertanya kepada Beliau. Bahkan kita bertanya kepada Mbah Google.
Masa Khulafaur Rasyidin merupakan masa paling utama sebab para pelaku yang hidup bersama Rasulullah masih hidup. Demikian pula masa tabi’in juga masih ada orang yang hidup bersama umat Islam di zaman Khulafaur Rasyidin. Namun di era sekarang semua mengandalkan pada tafsir dari yang memiliki otoritas di dalam penafsiran agama. Di sinilah tingkat kerawanan tersebut dimulai. Apalagi jika ada di antara mereka yang menyatakan bahwa hanya tafsirannya saja yang benar dan yang lain semuanya salah. Munculnya kekerasan agama di berbagai wilayah dalam banyak hal dipicu oleh masalah tafsir keagamaan ini.
Di antara ahli teori sosial yang juga saya apresiasi adalah Ralf Dahrendorf. Dia berhasil menggabungkan antara teori sosial konflik yang materialistis dengan teori struktural fungsional, dan menghasilkan teori konflik kewenangan atau konflik otoritas. Ada banyak proposisi yang ditawarkannya sebagai pisau analisis terhadap dunia sosial, akan tetapi di dalam hal ini, saya akan menggunakan satu saja untuk menganalisis secara general tentang kehidupan beragama.
Proposisi tersebut adalah otoritas yang dimiliki antar dua atau tiga orang atau kelompok dapat menjadi penyebab terjadinya konflik sosial. Jika terdapat dua orang yang memiliki otoritas seimbang di dalam suatu komunitas lalu keduanya berbeda konsepsinya tentang perubahan yang harus dilakukan, maka dipastikan masing-masing akan memiliki pendukung atau pembela dan siap untuk melakukan apa saja demi keyakinannya tentang kebenaran pikirannya.
Terkait dengan bulan puasa, dipastikan juga terdapat kegiatan ritual shalat ‘id. Dan terutama yang fenomenal adalah shalat idul fitri. Misalnya, ada yang menentukan bahwa hari raya idul fitri jatuh pada hari ini dan lainnya menyatakan besuk pagi. Maka dapat dipastikan adanya keputusan para pengambil tafsir ini akan diikuti oleh para anggotanya.
Tahun ini misalnya, beberapa organisasi sosial keagamaan juga berbeda pendapat tentang datangnya hari raya idul fitri. Jamaah An Nadhir di Sulawesi Selatan adalah yang langganan berbeda dengan pemerintah. Mereka memiliki penafsiran sendiri terkait dengan hitungan datangnya hari raya atau mengakhiri puasa. Demikian pula jamaah Pesantren Sabilul Muttaqin (PSM) juga sudah melakukan shalat hari raya kemarin. Inilah bentuk konflik sosial yang paling rendah. Pada akhirnya tidak menimbulkan konflik sosial berskala besar, yang saling meniadakan.
Namun jika perbedaan tafsir tersebut memiliki cakupan mendalam dan berskala ideologis, maka tentu akan menyebabkan konflik berskala besar. Seperti konflik di Irak dan Syria melalui ISIS, atau di Afghanistan antara kelompok Mujahidin dan kelompok lainnya. Untungnya di Indonesia, betapapun terjadi perbedaan pendapat, jarang yang memasuki dimensi ideologis, sehingga konflik yang berdarah-darah tersebut nyaris tidak terjadi. Sejauh ini hanyalah antara kaum Sunni dan Ahmadiyah saja yang cukup keras benturannya.
Berdasarkan teori konflik otoritas ini, maka dapat digunakan untuk memetakan tentang “potensi” konflik sosial yang difasilitasi oleh adanya dualisme otoritas. Artinya bahwa masing-masing otoritas menganggap bahwa pendapatnya yang paling benar dan yang lainnya salah. Jadi, kita beruntung mendapatkan pengetahuan tentang teori konflik otoritas ini.
Wallahu a’lam bi al shawab.