Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

Perspektif Teori Konflik Fungsional atas Puasa (8)

Berpuasa di tahun ini 1441H, sungguh sangat berbeda dengan berpuasa tahun-tahun sebelumnya. Faktor utama penyebabnya adalah pandemi Covid-19 yang melanda 288 negara seluruh dunia, Covid-19 memiliki sejumlah pengaruh yang sangat luar biasa dalam segala aspek kehidupabn ummat manusia, di bidang ekonomi pandemi Covid-19 dapat memicu resesi dunia sebab melambatnya pertumbuhan ekonomi di seluruh dunia. Hampir seluruh negara merevisi APBN-nya untuk menyesuaikan pendapatan negara yang sangat mencolok, bisa dilihat misalnya roda ekonomi yang nyaris tidak berputar disebabkan karena lockdown atau PSBB: Mall berhenti beroperasi, bandar udara, stasiun kereta api, stasiun bus, dan juga perdagangan-perdagangan informal nyaris semuanya berhenti sehingga menyebabkan meningkatnya jumlah pengangguran baik pengangguran terbuka maupun semi terbuka.

Dalam bidang Agama, yang selama ini merupakan institusi-intisusi yang paling stabil juga mengalami perubahan yang luar biasa melalui seruan Work From Home (WFH) beribadah di rumah. Maka menyebabkan perubahan yang sangat besar disebabkan social distancing dan physical distancing maka individu dihimbau untuk shalat di rumah, dzikir di rumah, dan tadarus Al-Qur’an di rumah akibatnya banyak Masjid dan Mushalla ditutup sementara untuk menghindari kerumunan massa di dalam suatu tempat.

Terkait dengan persoalan ini maka memunculkan perbedaan pendapat tentang penggunaan Masjid atau Mushalla sebagai tempat untuk beribadah, ada sementara yang menyatakan bahwa shalat berjamaah tetap harus dilaksanakan, berdasarkan survey sekira 40 juta orang dan mereka adalah orang-orang yang cenderung untuk melanjutkan tradisi shalat berjamaah di Masjid dan sisanya bervariasi dalam pendapatnya. Baik MUI, NU maupun Muhammadiyah sependapat bahwa dalam rangka mengerem laju persebaran Covid-19, sebaiknya ummat muslim melakukan kegiatan ibadah di rumah. Namun demikian juga terdapat varian pendapat tentang penyelenggaraan shalat berjamaah ini di Masjid-Masjid yang selama ini berafiliasi ke NU, juga terdapat pertentangan pendapat antara yang membolehkan dan tidak membolehkan shalat berjamaah di Masjid. Ada yang lebih kuat pendapatnya untuk menolak penyelenggaraan shalat berjamaah dan ada yang memenangkan pendapat untuk tetap menyelenggarakan shalat berjamaah dengan catatan mengikuti protokol kesehatan, ada juga varian lain yang membolehkan hanya 15 hari saja shalat berjamaah dan selebihnya shalat di rumah masing-masing.

Teori konflik fungsional sebagaimana digagas oleh Lewis Coser memiliki cakupan yang sangat luas, berbeda dengan teori konflik Karl Marx yang lebih terfokus pada faktor ekonomi. Teori konflik fungsional Coser dapat digunakan untuk mengkaji mulai dari perbedaan pendapat, rivalitas, pertentangan hingga konflik sosial. Dalam hal penyelenggaraan puasa tahun 1441H ini, teori konflik fungsional dapat digunakan untuk menganalisis perbedaan pendapat dalam menyikapi himbauan pemerintah: MUI, NU, Muhammadiyah dan organisasi-organisasi islam lainnya yang menghimbau masyarakat agar mentaati social distancing atau physical distancing dengan cara tidak menyelenggarakan shalat berjamaah.

Salah satu diantara proposisi yang dapat digunakan menjadi basis analisis tentang penyelenggaraan ibadah ditahun 1441H ini adalah konteks sosial dapat membangun integrasi baru, konflik sosial dalam konteks ini adalah perbedaan-perbedaan pendapat dan berpeluang untuk lahirnya potensi konflik. Secara linier dapat dinyatakan dari integrasi ke disintegrasi menuju reintegrasi. Selama ini penyelenggaraan puasa dan seluruh ibadah-ibadah yang terkait tidak pernah mengalami problem yang sangat serius, jika ada perbedaan pemahaman misalnya apakah shalat tarawih 20 rakaat atau 8 rakaat maka bentuk reintegrasinya adalah secara umum tarawih 20 rakaat menjadi fenomena pedesaan dan tarawih 8 rakaat menjadi fenomena perkotaan meskipun juga terdapat varian-varian di dalamnya, reintegrasi tersebut terjadi melalui afiliasi organisasi yang dalam hal ini berbasis pada area perdesaan atau perkotaan. Orang Muhammadiyah baik di perdesaan atau perkotaan akan menyelenggarakan shalat tarawih 8 rakaat sementara orang NU menyelenggarakan shalat tarawih 20 rakaat, meskipun juga terdapat varian di dalamnya.

Jadi pada tahun-tahun sebelumnya nyaris tidak terdapat disintegrasi terkait dengan penyelenggaraan puasa dan ibadah-ibadah di dalamnya namun demikian semenjak pandemi Covid-19 terjadi maka banyak hal yang didekonstruksikannya. Ada banyak tradisi orang NU di dalam hal shalat yang dihilangkan, misalnya kebiasaan salaman setelah shalat dan juga ada tradisi orang Muhammadiyah yang harus dihilangkan misalnya penataan shaf yang sangat rapat dan yang lebih mendasar adalah himbauan untuk tidak menyelenggarakan shalat berjamaan selama pandemi Covid-19. Hal inilah yang memicu disintegrasi sosial namun demikian masyarakat akhirnya bisa reintegrasi yang mereka sepakati bersama, misalnya sebuah Masjid atau Mushalla tetap menyelenggarakan shalat berjamaah dengan mengikuti physical distancing and social distancing dan juga protokol kesehatan. Lalu di mushalla juga didapatkan tempat pencucian tangan, disinfectan, dan alat pengukur suhu tubuh. Melalui prosedur ini maka jamaah tidak lagi was-was dalam menjalankan shalat di Masjid yang menjalankan shalat jamaah juga menggulung karpetnya dan membuat tanda silang untuk mengatur shafnya. Sementara itu yang tidak sepaham dengan pendapat ini dapat melaksanakan shalat di rumahnya masing-masing, kemudian dari yang pro dan kontra pelaksanaan jamaah di Masjid juga saling menghargai. Inilah fase reintegrasi yang dihasilkan dari proses perbedaan pendapat pandangan diantara mereka.

Tentu yang kita harapkan adalah baik yang shalat jamaah di Masjid maupun di rumah atau bahkan yang shalat sendirian sama sekali tidak berkurang pahalanya dari Allah SWT dan ini saya kira sangat tergantung pada tingkat derajat ke-iman-an dan instrospeksi atas perbuatan-perbuatan yang dilakukannya.

Wallahu al a’lam bi al shawab

 

Categories: Opini
Comment form currently closed..