Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

GERAKAN KIRI BARU DI ERA REFORMASI

GERAKAN KIRI BARU DI ERA REFORMASI

Prof. Dr. Nur Syam, Msi

Ada banyak pertanyaan, misalnya apakah gerakan kiri baru itu ada ataukah hanya rekayasa media sosial untuk menjadikannya sebagai tantangan bangsa ini. Atau yang lebih simple, gerakan kiri baru itu halusinasi atau fakta sosial. Pertanyaan ini penting untuk dikemukakan mengingat ada banyak kontroversi di seputar cerita tentang eksisten PKI baru atau gerakan kiri baru.

Saya tentu saja termasuk orang yang bersepaham bahwa gerakan kiri baru itu sebuah fakta. Sebagai fakta tentu saja merupakan kenyataan empiris, yang keberadaannya memang bisa dikaji berbasis pada kenyataan yang observable. Saya menyatakan bahwa gerakan kiri baru memang merupakan kenyataan yang terjadi, baik dari sisi historis maupun empiris. Basis empirisnya adalah terdapat sejumlah aktivis yang memiliki gagasan, pandangan dan ideologi yang tegas-tegas menggambarkan eksistensi kaum kiri baru tersebut.

Sebagai ideologi, tentu tidak akan mati. Komunisme sebagai ideologi tidak akan pernah mati dan hilang dari kehidupan manusia. Ideologi  sebagai keyakinan tidak akan lekang oleh panas dan tidak akan lapuk oleh hujan. Ideologi akan terus hidup sambung menyambung dari generasi ke generasi, dari satu kelompok ke kelompok, dan juga akan terus mencari tempat penyemaian baru agar ideologi tersebut tumbuh dan berkembang.

Bagi sejarawan, maka dikenal siklus plus minus 20 tahunan  untuk kebangkitan komunisme. Semenjak pemberontakan gagal tahun 1948, lalu memberontak lagi tahun 1965, dan kemudian bergerak lagi lewat bawah tanah tahun 1985-1995, lalu kemudian gelombang ke empat tahun 1996-2005, dan sekarang memasuki gelombang ke lima tahun 2024, dan seterusnya.  Munculnya era Orde Reformasi yang membuka keran demokratisasi dan keterbukaan tentu merupakan angin segar, bagi aktivis ideologi kiri  baru untuk muncul ke permukaan. Hal ini kemudian memunculkan embrio gerakan yang dimulai di Era Orde Baru dengan  munculnya Persatuan Rakyat Demokratik (PRD) dan Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) dan kemudian berubah menjadi Partai Rakyat Demokratik (PRD). Untuk memasuki area PRD ini membutuhkan seleksi bertingkat-tingkat. Dan hanya orang-orang khusus yang bisa lolos menjadi anggotanya. Benar-benar disaring dengan perangkat ideologis yang sangat mapan. Hanya orang dengan ideologi yang mapan saja yang bisa masuk ke dalam PRD. Benar-benar partai kader, dan bukan partai floating mass, seperti partai  politik lainnya. PRD akhirnya benar-benar menjadi partai politik dengan menjadi kontestan pemilu 1999, hanya saja tidak dapat meloloskan wakilnya ke DPR RI. PRD dideklarasikan 22 Juli  1996. (id.m.wikipedia.org., 7/7/20).

Menyadari bahwa berjuang di luar area itu sangat sulit, maka beberapa eksponen PRD kemudian memasuki partai politik, di antaranya adalah Budiman Sudjatmiko, yang masuk ke PDI-P dan kemudian melenggang ke Senayan untuk menjadi anggota DPR RI dari daerah pemilihan Jawa Tengah. Berkat ide-ide cemerlangnya, maka tidak sulit bagi seorang Budiman Sudjatmiko untuk menguasai panggung politik DPR. Dan terbukti banyak gagasannya yang menjadi realitas, karena dia memang petarung dan ideolog yang sangat mapan.

Melalui media sosial kita juga disuguhi berbagai informasi tentang betapa bahayanya gerakan komunisme itu. Tentu saja harus dipilah, mana yang benar dan mana yang keliru. Kita tidak boleh menjustifikasi sedemikian sederhana dan kemudian buru-buru menyimpulkan bahwa communism was come back. Kita mestilah melakukan check and recheck terhadap eksistensi gerakan komunisme ini dalam kerangka untuk memahami apakah memang gerakan tersebut eksis atau telah menjadi fakta atau hanya sekedar halusinasi, atau bahkan musuh yang direkayasa.

Memang masih gelap untuk menyatakan to the point bahwa komunisma telah eksis kembali di bumi Indonesia. Namun demikian, secara samar-samar kita bisa melacak perjalanan tokoh-tokoh yang selama ini sering menyuarakan tentang  keberadaan gerakan kiri  baru. Tentu ada beberapa kata kunci yang bisa membuka kotak pandora tentang eksistensi kaum kiri ini.

Pelacakan tersebut tentu bisa dilihat dari beberapa karya tulis yang menggambarkan tentang gerakan kiri baru. Misalnya tulisan Budiman Sudjatmiko, yang berjudul “Anak-Anak Revolusi”, atau karya Ribka Tjiptaning, yang bertitel “Aku Bangga Jadi Anak PKI”, dan tentu saja sepak terjang beberapa orang yang diidentifikasi sebagai bagian dari anak-anak revolusi. Ketika ditanya, tentang ideologi kebangsaannya, Ribka menyatakan: “Pancasila Bung  Karno, 1 Juni 1965”. (https://m.cnnindonesia.com, 7/7/20).

Memang dipastikan bahwa akan terdapat variasi di dalam memandang seorang tokoh. Berdasarkan beberapa penulis resensi buku “Anak-Anak Revolusi”, maka digambarkan bahwa membaca buku ini sama sekali tidak terlihat ideologi komunis di dalamnya. (duniaayu.blogspot.com, 7/7/20). Artinya, bahwa dengan hanya membaca buku yang dihadirkannya, maka tidak didapati relevansi gagasan komunisme di dalamnya.

Oleh karena itu, agar kita bisa sedikit memahami  gagasan atau pemikiran seseorang alangkah baiknya menggunakan konsepsi kaum fenomenolog, yang berasumsi bahwa selalu ada pemikiran dibalik tindakan atau in order to motive. Jika menggunakan bagan ini, tentu setiap tindakan didasarkan pada motif tujuan.  Setiap tindakan untuk menulis dan melakukan tindakan lainnya, tentu dipastikan bahwa terdapat gagasan, ide, pemikiran yang ingin disebarkan kepada publik. Dari aspek ini, saya kira banyak orang yang berpendapat bahwa ada maksud dan tujuan tertentu dengan tindakan aktor dimaksud, dan tentu juga ada yang berpikir sebaliknya.

Namun demikian, menurut saya bahwa gerakan kiri baru itu bukan sekedar halusinasi, akan tetapi telah menjadi fakta sosial. Ada aktor, ada pengikut, ada kelompok dan komunitas yang mendukung, baik yang ideologis maupun follower saja, tetapi yang jelas bahwa ideologi itu tidak akan pernah mati. Dan penerus ideologi itu, bisa saja memiliki relasi genealogis dengan aktor-aktor sebelumnya. Baik genealogi kekerabatan ataupun genealogi produk pengetahuan.

Di dunia ini serba kemungkinan untuk bisa terjadi apa saja, dan sebaiknya memang kita harus mewaspadai terhadap pemikiran-pemikiran tentang ideologi yang pernah mengharubirukan blantika negeri ini, dan menjadi luka sejarah yang terus menganga, karena sama sekali tidak bisa dihapuskan.

Dalam posisi inilah saya kira harus memilih, sebab keamanan dan keselamatan negeri ini saya kira berada di atas segalanya. Kepentingan individu, kelompok, komunitas harus diletakkan secara proporsional, dan kemudian menempatkan dimensi kemasyarakatan, kenegaraan dan kebangsaan sebagai yang sangat utama. Sudah saatnya kita menatap masa depan dengan kejernihan pikiran, bahwa negeri ini tidak boleh tercabik-canik karena benturan ideologi seperti di masa lalu. Bangsa ini sudah kenyang dengan benturan atau konflik yang difaslitasi oleh perbedaan ideologis.

Wallahu’alm bi al shawab.

 

 

Categories: Opini
Comment form currently closed..