Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

PERSPEKTIF TEORI KONFLIK FUNGSIONAL ATAS PUASA (7)

Salah seorang teoretisi ilmu sosial klasik yang sungguh saya apresiasi adalah Lewis Coser. Berkat kegigihannya, maka beliau berhasil untuk memadukan antara teori konflik sosial dengan teori keteraturan sosial. Beliau berhasil memadukan antara konflik yang cenderung ke perubahan sosial dengan keteraturan sosial yang cenderung stagnasi sosial. Keduanya dipadukan menjadi teori fungsional konflik, bahwa konflik sesungguhnya justru bisa membangun integrasi sosial.

Konflik hakikatnya adalah bagian tidak terpisahkan di dalam kehidupan manusia. Manusia bisa menjadi lawan atas manusia lainnya. Atas nama kepentingan, terkadang manusia bisa menghancurkan manusia lainnya. Perang adalah salah satu medium manusia untuk memenuhi hasrat pengausaan satu atas lainnya. bukankah di dunia ini banyak sekali peperangan yang dilakukan oleh manusia untuk kepentingan diri atau kelompoknya dengan menguasai orang atau kelompok lainnya.

Jika kita melihat cerita di dalam episode Baratayudha, maka dapat diketahui bagaimana manusia atas nama negara, kepentingan, dan masyarakatnya bertarung untuk mempertahankan dan melawan siapa saja yang menghadang keinginannya untuk berkuasa. Duryudana raja Hastina Pura yang dibantu oleh Mahapatih Sangkuni menebar kekuasaan dengan cara mengakuisisi negara Amarta di bawah kekuasaan Puntadewa.

Peperangan seperti ini terkadang juga menggunakan agama sebagai perekat yang sangat mendasar. Misalnya Pandawa dengan Shri Kresna merupakan simbol dari “kebaikan” dan “moralitas”, sedangkan kaum Kurawa adalah lambang “keangkaraan” dan “kedurjanaan” yang luar biasa. Jadi ada pertarungan “kebaikan” dan “kejahatan” atau antara “kedharmaan” dan “keangkaramurkaan”. Meskipun demikian, perang juga memiliki regulasinya sendiri. Misalnya, perang tidak boleh dilakukan pada malam hari dan hanya bisa dilakukan pada siang hari. Perang dimulai jika panglima perang telah meniup sangkakala peperangan akan dimulai, dan sebagainya.

Di dalam banyak hal konflik selalu berkaitan dengan perebutan sumber daya ekonomi, sumber daya alam, dan sumber daya manusia. Namun dalam pandangan Karl Marx bahwa konflik disebabkan oleh faktor ekonomi yang disebut dengan economic determinant. Salah satu kelebihan dari Coser adalah dapat memadukan antara konflik tersebut dengan keteraturan sosial dalam konteks bahwa konflik dapat membawa kepada integrasi sosial, ada banyak proposisi yang dihasilkannya namun ada satu hal yang penting adalah bahwa konflik dapat berfungsi untuk memperkuat identitas sosial, misalnya konflik antar suku atau antar negara tentu dapat meningkatkan identitas pada masing-masing kelompok dimasksud.

Di dalam Islam terdapat satu pandangan bahwa agama merupakan sekumpulan aturan untuk mengatur kehidupan sosial, di dalam konteks ini untuk membangun keteraturan sosial. Namun demikian keteraturan sosial bukanlah sesuatu yang diperoleh tetapi merupakan sesuatu yang harus dicapai, konflik dapat menjadi instrumen untuk membangun relasi baru berbasis pada pemahaman atas regulasi yang dipahami bersama. Sebagai contoh terkait dengan bulan puasa adalah pelaksanaan penetapan satu ramadhan atau 1 Syawal dan juga penetapan satu Dhulhijjah dalam kaitannya dengan hari raya Idul Adha dalam penentuan tanggal 1 Syawal dan tanggal 1 Dhulhijjah terdapat dua pandangan yag sampai hari ini belum bisa diintergrasikan, Muhammadiyah menggunakan konsepsi Wujudul Hilal. Seberapapun besarnya hilal maka tanggal satu sudah bisa ditetapkan, tidak memperhitngkan ketinggian hilal dimaksud, tidak dipentingkan hilal bisa atau tidak. Sedangkan Nahdlatul Ulama menggunakan konsepsi Rukyatul Hilal atau Inkanurruqyah jadi hilai itu harus bisa dilihat dengan melalui mata telanjang berbasis pada teknologi modern. Sehingga ketika Hilal sudah wujud tetapi belum mencapai dua derajat yang memungkinkan Hilal dapat dilihat dengan mata maka wujud hilal itu belum dapat dinyatakan sebagi penetapan tanggal 1 Syawal atau 1 Ramadhan dan Dhulhijjah. Akibatnya terdapat implementasi pelaksanaan ibadah atau ritual bisa berbeda, secara kelakar orang menyatakan jika bisa shalat Ied bersama-sama hal itu ditentukan oleh kebaikan bulan.

Di dalam konteks ini maka konflik fungsional sebagaimana proposisi Coser tersebut benar adanya, bahwa konflik ternyata memang dapat menigktakan kepemilikan identitas sosial dapat dipastikan bahwa orang NU akan beribadah sebagaimana pandangan ke-NU-annya dan orang Muhammadiyah akan beribadah sesuai dengan ke-Muhammadiyah-annya.

Wallahu al a’lam bi al shawab

Categories: Opini
Comment form currently closed..