Jakarta mulai macet luar biasa, terutama di jalur yang menuju ke luar kota. Tol yang mengarah ke luar kota juga sudah macet dengan tingkat yang menyesakkan. Bisa saja orang berjam-jam untuk keluar dari kemacetan ini. Dan penyebabnya adalah banyak kendaraan yang akan keluar kota untuk mudik. Memang, akhir bulan ramadlan adalah masa di mana orang berdesakan untuk melakukan tradisi tahunan, yaitu mudik.
Mudik memang sudah menjadi tradisi. Sebagai sebuah tradisi maka mudik sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan sebagian masyarakat kita. Jadi ketika ramadlan tiba dan tidak melakukan tradisi ini, maka kehidupan menjadi kurang. Mudik sudah menjadi kewajiban untuk dilakukan terutama bagi warga kota besar yang semula berasal dari wilayah lain. Jika sekarang di Jakarta, maka mereka akan mudik ke Tegal, Jawa Tengah atau Pacitan, Jawa Timur atau Gunung Kidul Jawa Tengah.
Hari raya memang masih akan terjadi beberapa hari lagi, tepatnya tiga atau empat hari lagi akan tetapi denyut nadi hari raya itu sudah terasa. Salah satunya adalah keberangkatan sebagian masyarakat untuk melakukan mudik. Mudik secara terminologis bisa diartikan sebagai pulang balik ke daerah untuk memenuhi keinginan bertemu kembali dengan sanak keluarga di daerah tempat asalnya.
Memang jika dilihat dari sisi terminologi agama, mudik bisa dicari dalam sabda Nabi Muhammad saw, adalah bagian dari silaturrahmi. Di dalam Islam disebutkan “man kana yu’minu billahi wal yaumil akhiri fa al yashil rahimah”, yang artinya “barangsiapa mempercayai Allah dan hari akhir, maka hendaknya menyambung tali silaturahmi”. Jadi, mudik adalah bagian dari konsep silaturahmi. Mudik dengan demikian memiliki dasar pijak konsepsi agama, silaturrahmi tersebut.
Hanya saja bahwa waktu silaturrahmi tidak harus dilakukan pada bulan lebaran. Islam memang menganjurkan agar memperbanyak silaturrahmi, sebab melalui silaturrahmi akan mempermudah banyak urusan dan mempermudah rizki. Jadi jika kemudian banyak orang yang melakukan tradisi silaturahmi maka sesungguhnya dipicu oleh adanya anjuran agama ini.
Di masyarakat Indonesia, tradisi mudik sudahlah menjadi keharusan untuk dilakukan pada akhir bulan ramadlan atau awal bulan syawwal. Memilih silaturahmi dan menjadikan silaturrahmi sebagai kewajiban inilah yang saya rasa harus direvisi, sebab apapun kenyataannya, maka silaturrahmi adalah anjuran dan bukan kewajiban. Sehingga ketika ada seseorang yang mengharuskan dirinya untuk mudik dengan alasan silaturrahmi, tentu saja bukanlah tepat benar.
Sebagai umat Islam kita tentu harus tetap menempatkan mudik sebagai manifestasi silaturrahmi sebagai anjuran agama. Dan bukan menempatkannya sebagai kewajiban. Apalagi mewajibkannya di hari raya. Oleh karena itu, sebaiknya juga ada harus ada pemikiran ulang tentang menjadikan mudik sebagai kewajiban, sehingga mudik tidak selalu menjadi permasalahan hampir setiap tahun. Semuanya menjadi repot disebabkan oleh pelaku para pemudik. Bisa dibayangkan bahwa ada ribuan mobil dan jutaan sepeda motor yang memenuhi jalanan untuk menuju ketempat lainnya. Semua jalur akan penuh dengan kendaraan dan semuanya juga ingin cepat sampai ke tujuan. Inilah sebabnya jalur mudik menjadi sangat crowded dan terkadang juga membahayakan.
Menilik kenyataan empiris seperti ini, maka mudik yang kemudian membawa madlarat tentu harus dihindari dan dapat digantikan pada hari lainnya. Hakikat mudik adalah silaturahmi dan oleh karenanya akan dapat dilakukan kapan saja. Yang penting tujuan mudik adalah untuk bertemu keluarga atau kerabat. Jika untuk bertemu kerabat tidak diharuskan pada saat lebaran saja, maka mudik tentu saja bisa ditunda barang seminggu atau dua minggu sebelum hari raya, sehingga kesemrawutan jalan raya ketika lebaran akan bisa dikurangi meskipun tidak signifikan.
Wallahu a’lam bi al shawab.
Salah satu keunikan dari dunia perguruan tinggi di Indonesia adalah yang disebut dengan konsep tridarma perguruan tinggi yaitu darma pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat. Konsepsi ini saya sebut dengan konsepsi khas keindonesiaan sebab dunia pendidikan tinggi merupakan suatu sistem dari pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat. Konsepsi ini memang sangat ideal sebab merupakan sistem yang saling mengkait. Tiada pendidikan tanpa penelitian dan akan berujung kepada pengabdian masyarakat.
Sesungguhnya setiap orang memiliki darmanya. Bagi manusia, maka darmanya adalah mengabdikan dirinya di mana posisinya berada. Dan darma itu sungguh sangat tergantung kepada apa yang sebenarnya dilakukan. Seorang pimpinan tentu saja memiliki darma yang lebih besar. Di tangannya, maka lembaga yang dipimpinnya harus memiliki kemajuan yang lebih pesat dibanding sebelumnya. Di tangannya darma pengembangan lembaga dipertaruhkan.
Jika yang berangkutan adalah staf, maka darmanya adalah untuk melakukan tindakan teknis yang berkaitan dengan pekerjaan-pekerjaan yang harus diselesaikannya. Harus disadari bahwa relasi antara pimpinan dan staf adalah untuk menyelesaikan pekerjaan yang menjadi darmanya masing-masing. Tanpa relasi dan kerjasama yang memadai antara pimpinan dan staf, maka pekerjaan tentu tidak akan bisa diselesaikan. Itulah sebabnya membangun harmoni di dalam pekerjaan menjadi sangat penting.
Dosen sebagai pengembang ilmu pengetahuan tentu juga memiliki darma yang tidak kalah penting. Sebagai pengkaji dan pengembang ilmu pengetahuan dan kemudian keharusan mendarmabaktikan untuk kepentingan pengembangan sumber daya manusia, khususnya para mahasiswa, maka dosen hakikatnya adalah manusia yang semestinya memiliki kelebihan di dalam ilmu pengetahuan. Mereka bukan hanya pengkaji dan pengembang ilmu pengetahuan, akan tetapi juga pengabdi kepada ilmu pengetahuan untuk kepentingan masyarakat.
Di dalam tradisi agama-agama, maka guru menempati posisi yang sangat penting. Mereka menempati posisi yang strategis. Di dalam agama Hindu, maka guru berada di dalam kasta Brahmana, yaitu strata tertinggi di dalam agama itu. Di dalam agama Islam, maka guru adalah pewaris para Nabi. Selain sebagai khalifah Allah fil ardl, maka guru adalah pelanjut bagi pengembangan agama Islam.
Disebut sebagai pawaris para Nabiyullah, sebab para gurulah yang memiliki peran penting di dalam penyebaran ajaran agama. Islam bisa bekembang ke seantero dunia disebabkan oleh peran para guru sufi yang menyebarkan Islam dalam berbagai kawasan dunia. Begitu pentingnya guru, maka Sayyidina Ali karramahullahu wajhah, akan bersedia mengabdikan dirinya kepada orang yang mengajarkan kepadanya meskipun hanya satu huruf.
Jadi, seorang guru atau dosen yang hebat adalah ketika yang bersangkutan tidak hanya mengkaji ilmu pengetahuan untuk kepentingan ilmu semata, akan tetapi juga sebagai pengabdi kepada masyarakat. Jadi, darma pengabdian kepada masyarakat menjadi sangat strategis di dalam kehidupan sosial kemasyakatan.
Nah persoalannya adalah apakah para dosen sudah berada di dalam jalur ini? Rasanya memang masih jauh dari keinginan tersebut. Kenyataannya, para dosen masih belum bisa menjadi pengkaji ilmu pengetahuan yang sangat baik. Rendahnya dokumentasi tentang hasil penelitian atau tulisan di berbagai media akademik, dan juga rendahnya kutipan sarjana asing tentang tulisan akademisi tentu menjadi realitas bahwa masih jauh antara cita dan fakta. Bisa dibayangkan bahwa di dalam hal dokumentasi dan banyaknya rujukan terhadap karya akademik, dunia akademik Indonesia masih kalah dengan Bangladesh. Tentu sungguh sangat ironis.
Oleh karena itu, para dosen harus diingatkan kembali tentang darma yang diembannya, sehingga ke depan akan dapat dilihat kemajuan dunia akademik Indonesia yang cerah dan leading sekurang-kurangnya di Asia Tenggara.
Wallahu a’lam bi al shawab.
Alhamdulillah bahwa sekarang kita masih bisa bertemu dengan bulan puasa yang dijanjikan oleh Allah sebagai bulan penuh berkah dan maghfirah atau bulan penuh ampunan. Makanya banyak orang Islam yang merasa gembira dengan kehadiran bulan puasa ini. Tentu harapannya semoga bulan puasa dapat menjadi bagian dari pengabdian kita kepada Allah swt.
Memang manusia diciptakan oleh Allah untuk beribadah kepadanya. Beribadah selalu memiliki dua dimensi sekaligus, yaitu dimensi vertikal dan dimensi horizontal. Seseorang akan dianggap ibadahnya belum lengkap jika hanya bertujuan untuk ibadah vertikal dan melupakan dimensi pengertian ibadah horizontal. Sahabat Nabi Muhammad saw, Salman al Farisi, pernah diingatkan oleh Rasululah saw, ketika hanya ingin beribadah dalam sisi vertikal dan akan melupakan ibadah dalam pengertian horizontal. Karena ibadah yang dilakukan itu, maka dia tidak bertanggungjawab kepada keluarganya dan masyarakatnya. Itulah sebabnya Islam sangat menganjurkan agar di dalam beribadah itu tidak hanya mengandalkan dimensi vertikal saja akan tetapi juga aspek horizontalnya.
Puasa adalah ibadah dengan tujuan horizontal untuk mengembangkan empati kita kepada sesama manusia lainnya. Ibadah puasa hanya akan bermakna jika menghasilkan tindakan empati kepada manusia lainnya. Sebagai tolok ukurnya adalah bagaimana kita memberikan rasa empati kita kepada sesama manusia yang belum seberuntung kita. Yaitu mereka yang masih berada dibawah garis kemiskinan. Bukankah di sekeliling kita masih banyak orang yang miskin atau kaum mustad’afin. Mereka adalah orang yang memerlukan uluran tangan kita untuk menjadi berdaya di dalam kehidupannya. Puasa yang kita lakukan merupakan bagian dari pendidikan karakter agar kita menjadi manusia yang selalu berkeinginan untuk membuat masyarakat Indonesia menjadi lebih sejahtera.
Beragama hakikatnya bukan hanya menjadi saleh ritual, akan tetapi kesalehan ritual tersebut harus berdampingan dengan kesalehan sosial. Yaitu adanya sikap dan tindakan untuk selalu menjadi yang terbaik dan yang paling bermanfaat bagi manusia atau masyarakatnya. Kemanfaatan tersebut tentu diukur dari seberapa banyak kita telah menyumbangkan pikiran dan tindakan kita untuk membangun bangsa ini melalui institusi yang menjadi tempat pengabdian kita. Jika kita dosen maka tentu seberapa banyak pikiran dan tindakan kita tersebut berselaras dengan pengembangan SDM manusia Indonesia. Jika kita adalah pimpinan institusi pendidikan, maka seberapa kuat kita berkeinginan mengembangkan institusi pendidikan yang kita pimpin. Dan seterusnya.
Darma inilah yang nantinya akan menjadi bukti bahwa kita ini ada dan kita berpikir untuk keberadaan kita itu. Bahkan lebih jauh, bagaimana keberadaan kita itu merupakan bagian dari representasi takdir Tuhan yang harus kita mainkan. Setiap orang akan dinilai dari darmanya itu. Jika darma kita di alam kehidupan itu nyata, maka akan nyata pula balasan yang baik bagi kita. Begitu sebaliknya.
Kehidupan adalah darma. Kehidupan adalah pengabdian dan tugas untuk menyelamakan dunia ini. Jika orang bisa melakukan darmanya dengan akivitas untuk menyelamatkan dunia, maka tentunya kita akan memperoleh balasan yang sesuai dengan amal kita. Jika kita bisa memaksimalkan darma itu untuk kesejahteraana dan kedamaian dunia, maka berarti bahwa kita telah menjadi manusia yang sempurna dalam darma kehidupan di dunia ini.
Salah satu kesalahan dari pemeluk agama yang eksklusif adalah ketika mereka beranggapan bahwa jalan yang ditempuhnya dengan melakukan penihilan kepada lainnya sebagai darma kehidupannya. Kesalahan ini yang membuat mereka jatuh ke dalam paham agama yang radikal dengan menafsirkan jihad dalam konteks perang. Semestinya, mereka beragama dengan keselamatan dan kedamaian. Sehingga akan terajut kehidupan yang merahmati semuanya.
Melalui paham keagamaan yang memberikan kerahmatan bagi semua berarti kita telah beragama dengan perasaan empati kepada lainnya. Dengan demikian, maka agama akan dapat menjadi dasar pijak bagi pembangunan masyarakat. Hanya dengan beragama seperti ini, maka perdamaian akan bisa ditegakkan dan pembangunan masyarakat akan bisa dilaksanakan.
Wallahu a’lam bi al shawab.
Sungguh sebagai bangsa kita sedang diuji oleh Allah terkait dengan tindakan yang dilakukan oleh sejumlah orang yang melakukan tindakan menyimpang, terutama terkait dengan pemberitaan di media massa tentang korupsi yang terus terjadi. Tindakan ini tidak enaknya justru dilakukan oleh orang-orang muda yang ke depan justru diharapkan menjadi pemimpin bangsa.
Kasus demi kasus yang melibatkan tindakan menyimpang para pemuda harapan bangsa tersebut tentu bisa menyesakkan para orang tua yang sudah merasakan mengabdikan kehidupannya untuk membangun Indonesia. Oleh karena itu kita memang harus menyadari bahwa bangsa ini sedang menghadapi problem yang cukup serius di masa yang akan datang.
Di antara faktor yang dominan mempengaruhi tindakan menyimpang di kalangan para pemuda tersebut adalah tentang budaya materialisme yang beranak pinak dengan budaya konsumerisme. Generasi yang terlahir di era 1970 dan 1980-an adalah generasi yang terlahir kebanyakan dalam suasana ekonomi yang sudah baik. Artinya, di saat itu kehidupan ekonomi orang tua –kelas menengah ke atas– tentu sudah semakin banyak. Akibatnya anak-anak yang dilahirkannya semenjak kecil sudah merasakan kehidupan yang baik dari sisi ekonomi dan kesejahteraan. Akibatnya mereka tidak merasakan betapa sulitnya menghadapi kehidupan ini.
Generasi yang terlahir di era ini sudah menikmati kemajuan ekonomi masyarakat Indonesia. Ketika mereka bersekolah, maka mereka sudah naik turun mobil. Bahkan antar jemput semenjak Taman Kanak-Kanak (TK). Akibatnya mereka tidak merasakan betapa sulitnya untuk mencapai sekolah. Ketika mereka Sekolah Menengah Pertama, maka mereka sudah memakai sepeda motor. Dan kemudian ketika SMA dan kemudian ke perguruan tinggi, maka sudah menggunakan mobil sebagai transportasi harian. Makanya mereka tidak merasakan betapa susahnya pergi dan pulang ke sekolah.
Realitas ini sungguh sangat paradoks dengan generasi sebelumnya yang terlahir di era 1950-an. Mereka kebanyakan adalah generasi yang masih merasakan bagaimana susahnya sekolah. Saya masih ingat ketika SMP harus mengayuh sepeda pancal sejauh 15 kilometer setiap hari. Belum lagi jalanan yang sangat jelek. Jalan masih makadam untuk kebanyakan jalan di daerah kabupaten. Jalan beraspal adalah jalan yang antar provinsi. Makanya tingkat kesulitan yang dialami oleh mereka juga cukup besar.
Sebagaimana yang telah kita dengar dan baca di media, bahwa banyak anak muda yang terlibat di dalam tindakan yang menyimpang. Banyak pengguna narkotika dan obat terlarang lainnya adalah mereka yang tergolong muda, yaitu usia antara 20-35 tahun. Masa ini sesungguhnya adalah masa keemasan bagi seorang anak manusia, sebab di saat inilah bangunan kehidupan tersebut diletakkan. Keberhasilan atau kegagalan kehidupan sudah bisa diduga di saat ini. Jika pemuda gagal merumuskan fondasi kehidupan di era ini, maka sudah bisa diduga bahwa kegagalan akan membayanginya.
Yang juga menyedihkan adalah ketika yang melakukan tindakan menyimpang terutama dalam tindakan korupsi adalah para pemuda. Sebagaimana kita pahami bahwa tindakan perilaku menyimpang ini terjadi karena pengaruh budaya materialisme yang sangat mendalam. Mereka ingin memperoleh kehidupan yang sejahtera dengan sesegera mungkin, sehingga melupakan dimensi moralitas dan kepatutan. Jika ini yang kemudian menjadi pilihan bagi generasi muda, maka masa depan Indonesia sungguh dipertaruhkan. Semua tentu tidak ingin bahwa Indonesia akan memiliki nasib sebagai bangsa yang selalu menjadi negara dengan tingkat korupsi yang luar biasa tinggi.
Terkait dengan hal ini, maka seharusnya semua elemen bangsa ini harus melakukan revitalisasi moralitas, sehingga ke depan akan didapatkan keadaan yang lebih baik dibandingkan dengan keadaan sekarang.
Oleh karena itu, pendidikan karakter bangsa bagi generasi muda tentu sangat diperlukan, sehingga ke depan para pemuda memiliki tanggungjawab moral untuk membela dan membangun Indonesia yang lebih baik.
Wallahu a’lam bi al shawab.
Pertemuan antara DRD Jawa Timur dengan DRD Kabupaten Kutai Kartanegara tentu saja sangat penting terkait dengan membangun sensitivitas dan memperoleh inspirasi tentang apa yang bisa dilakukan di dalam pembangunan daerah. Tentang memilih Kabupaten Kutai Kartanegara tentu juga didasari oleh kenyataan bahwa kabupaten ini sudah memiliki DRD semenjak 2008, sehingga dari sisi pengalaman mengelola program DRD tentu saja lebih lama. Sedangkan di Jawa Timur kala itu tentu belum ada satu kabupaten pun yang memiliki DRD. Jika ada adalah tim intelektual yang memang memiliki kesamaan fungsi meskipun belum maksimal cara kerjanya.
Propinsi Jawa Timur juga sudah memiliki tim intelektual yang memiliki fungsi untuk memberikan masukan kepada gubernur selaku pimpinan pemerintahan. Tim ini dapat melakukan kajian strategis tentang apa yang diperlukan oleh pemerintah daerah di dalam kerangka membangun masyarakat Jawa Timur. Jadi tugas utamanya adalah memberikan masukan kepada pemerintah tentang hak-hal penting yang harus dilakukan oleh pemerintah provinsi.
Kemudian ketika Dr. Soekarwo menjadi gubernur Jawa Timur, maka tim intelektual Jawa timur tersebut diganti dengan Dewan Riset Daerah (DRD) sebagaimana di pusat didapatkan Dewan Riset Nasional (DRN) yang menjadi salah satu organ non struktural di Kementerian Riset dan Teknologi. DRN ini memiliki fungsi untuk merumuskan Kebijakan Strategi Nasional (jakstranas), dan Arah Riset Nasional (ARN), terkait dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sebagaimana kita ketahui bahwa DRD Jatim baru dibentuk oleh Gubernur Jawa Timur pada akhir tahun 2010, ini artinya bahwa DRD Jatim memang masih sangat muda dilihat dari usia dan pengalaman kerjanya. Pada awal didirikan, maka yang ditugaskan oleh gubernur adalah merumuskan arah riset daerah Jawa Timur. Hal ini tentu saja didasari oleh keinginan gubernur Jatim agar semua yang dilakukan oleh aparat pemerintah Jatim baik di tingkat wilayah Jatim maupun kabupaten mendasarkan prioritas kerjanya berdasarkan data hasil penelitian. Pak gubernur memang memimpikan bahwa di dalam membangun Jatim didasarkan atas tiga pilar, yaitu akademisi, businesman dan government atau disingkat ABG.
Di dalam pertemuan yang dipimpin oleh Prof. Dr. Soenyono dalam kunjungan kerja tersebut, saya sampaikan bahwa sebenaranya ada tiga hal yang diinginkan oleh Gubernur Jawa Timur, yaitu menghasilkan Kebijakan Strategis Daerah (jakstrada), Arah Riset Daerah (ARD) dan kajian strategis tentang isu-isu daerah yang memerlukan penanganan segera. Tiga hal inilah yang menjadi tugas pokok dan fungsi dari tim DRD Jawa Timur.
Di dalam kerangka untuk menyelesaikan tugas tersebut, maka terdapat empat kerja pokok yang harus dilaksanakan oleh tim DRD, yaitu pertemuan rutin pokja, yang terdiri dari pokja Sosial budaya, pokja ekonomi dan pokja prasarana wilayah. Mereka secara rutin bertemu untuk membahas tentang apa dan bagaimana jakstrada dan ARD dapat dirumuskan. Dari pertemuan tersebut kemudian diplenokan untuk menjadi bahan kesepakatan dari seluruh anggota DRD.
Kemudian dilakukan kunjungan ke daerah di Jawa Timur dengan tujuan untuk memperoleh masukan tentang apa yang sesungguhnya menjadi prioritas program di masing-masing kabupaten. Dengan jumlah penduduk yang besar dan kabupaten yang banyak serta etnisitas yang variatif, maka suara orang daerah tentu sangat penting untuk didengarkan. Maka kunjungan kerja awal DRD Jatim ke daerah kabupaten dan kota di Jawa Timur hakikatnya adalah untuk memperoleh masukan yang akurat tentang problema dan prioritas progran kerja masing-masing kabupaten dan kota.
Hasil kunjungan kerja ini kemudian dijadikan sebagai bahan untuk merumuskan jakstrada dan ARD Jawa Timur. Hasil perumusan itulah yang kemudian dijadikan sebagai dratf untuk didiskusikan melalui Focus Group Discussion (FGD) dengan seluruh SKPD di Jawa Tinur. Hasil diskusi lalu menjadi bahan pertemuan berikutnya, sehingga menghasilkan draft final yang kemudian dibawa lagi ke daerah untuk memperoleh masukan lagi dari masing-masing kabupaten dan kota. Kita sekarang sedang dalam proses menyelesaikan draft final untuk menjadi bahan rumusan jakstrada dan ARD Jawa Timur.
Yang tidak kalah penting juga kajian strategis sebagai masukan kepada pemerintah provinsi. Di dalam menghadapi kasus Ahmadiyah, maka saya selaku pokja sosial budaya harus membuat kajian strategis tentang bagaimana menangani persoalan Ahmadiyah ini. Melalui kajian ini maka kemudian Gubernur melakukan koordinasi dengan aparat terkait dan kemudian dirumuskan SK Gubernur Jawa Timur tentang Pelarangan Aktivitas Jamaah Ahmadiyah yang bisa Mengganggu Ketentraman dan Ketertiban. Akhirnya melalui SK Gubernur Jawa Timur tersebut persoalan yang terkait dengan Ahmadiyah dapat diselesaikan dengan baik.
Dengan kenyataan ini, maka sinergi antara akademisi dengan pemerintah dapat dilakukan dan sekurang-kurangnya juga memberi manfaat yang memadai bagi pemerintah Provinsi Jawa Timur.
Wallahu a’lam bi al shawab.