Di dalam salah satu kunjungan kerja Dewan Riset Daerah (DRD) Provinsi Jawa Timur, maka ada pembicaraan menarik ketika kami bersama rombongan menuju ke Tenggarong Kutai Kartanegara dari Balikpapan. Tim DRD Jatim memang hari ini melakukan kunjungan kerja ke DRD Kabupaten Kutai Kartanegara Kalimantan Timur. Ini rasanya adalah kunjungan balasan setelah beberapa bulan yang lalu tim DRD Kabupaten Kutai Kartanegara melakukan kunjungan yang sama ke DRD Jawa Timur.
Di dalam perjalanan darat dari Balikpapan ke Tenggarong itulah kami berbicara banyak hal, mulai dari hal-hal yang ringan sampai hal-hal yang berat. Pembicaraan yang tanpa topik itupun sampai kepada kasus-kasus yang menimpa bangsa ini, terutama yang terkait dengan kasus korupsi yang dilakukan oleh Nazaruddin dan istrinya. Tentu saja kita berbincang santai tentang bagaimana gaya hidup Nazaruddin sebagaimana diberitakan oleh media sampai keberaniannya untuk melakukan tindakan nekad korupsi dalam dugaan yang jumlahnya cukup banyak.
Kita bicarakan tentang sepatunya, pakaiannya, tempat pertemuannya dan juga gaya hidup lainnya. Sebagaimana diberitakan koran, maka biaya untuk negosiasi dengan rekanan kerjanya, maka setiap hari menghabiskan uang tidak kurang dari dua puluh juta rupiah, pakaiannya yang seharga lima juta rupiah, tas yang berharga puluhan juta rupiah dan tempat-tempat favoritnya untuk melakukan negosiasi kerja proyeknya.
Prof. Koentjaraningrat pernah membuat sinyalemen pada tahun 1980-an, bahwa bangsa Indonesia memiliki sifat yang kurang baik, yaitu yang disebutnya sebagai mentalitas menerabas. Jenis mentalitas seperti inilah yang sesungguhnya menjadi penyebab utama mengapa banyak orang yang melakukan tindakan menyimpang. Orang suka untuk menerobos jalanan, padahal sudah disediakan jalan penyeberangan. Orang lebih suka menerabas jalan pintas yang sesungguhnya bukan jalanan umum. Orang suka untuk melakukan tindakan yang bertentangan dengan mentalitas kejujuran. Termasuk di dalamnya adalah keinginan untuk cepat kaya melalui jalan pintas.
Kawan-kawan anggota DRD Jatim itu lantas menyontohkan dirinya dalam mengarungi kehidupan. Mereka bekerja selama 10 tahun baru bisa membeli sepeda motor dan bekerja 20 tahun baru bisa membeli mobil. Itupun harus bekerja apa saja selain mengabdi di lembaga pendidikannya. Mereka harus mengajar di banyak perguruan tinggi agar bisa menghidupi keluarga secara memadai termasuk menyekolahkan anak. Artinya, bahwa untuk bisa memiliki kendaraan roda empat itu membutuhkan waktu 15-20 tahun. Maklumlah generasi dosen tahun 1980-an memang belum semakmur dosen generasi 1990-an dan sekarang.
Akan tetapi sekarang justru banyak generasi muda yang memiliki mental menerabas. Jika kita ambil dua saja, maka kita akan bertemu dengan nama Gayus Tambunan dan Nazaruddin. Mereka adalah generasi muda yang lahir di tahun 1970-an. Mereka adalah generasi yang usianya berkisar antara 30 -35 tahunan. Sehingga dari sisi usia tentu masih sangat muda. Akan tetapi dari segi kepemilikan harta tentu tidak bisa dibandingkan dengan para dosen angkatan tahun 1980-an tersebut. Mereka sudah memiliki segalanya, yaitu rumah mewah, mobil mewah dan lainnya yang serba luks. Hal ini tentu menandakan bahwa mereka adalah orang yang berhasil secara materi.
Namun sayangnya bahwa materi yang dimilikinya diperoleh dengan cara yang tidak wajar, melalui korupsi. Si Gayus Tambunan sudah terbukti bersalah, sedangkan Nazaruddin masih dalam status tersangka. Jika kemudian terbukti bersalah, maka keduanya adalah bagian dari generasi muda Indonesia yang memiliki mental menerabas. Mereka ingin cepat kaya akan tetapi menggunakan cara yang tidak lazim.
Kita semua tentu menyesal bahwa generasi muda harapan bangsa ini justru menjadi contoh yang kurang baik bagi keinginan untuk menjadikan pemuda sebagai contoh keberhasilan pengembangan SDM yang beriman dan bertaqwa. Sungguh sangat disayangkan bahwa anak muda yang cerdas seperti ini hanya menginginkan harta dan tidak menginginkan prestasi yang membanggakan Indonesia.
Padahal sesungguhnya yang diinginkan oleh orang tua bagi anak muda adalah bahwa mereka akan menjadi penggantinya kelak. Ada sebuah Sabda Nabi Muhammad saw, yang menyatakan “syubbanul yaum rijalul ghad” yang artinya bahwa pemuda sekarang adalah orang dewasa kelak. Hal ini mengandung maksud bahwa kaum mudalah yang akan menggantikannya kelak.
Oleh karena itu yang sungguh-sungguh diinginkan oleh orang tua adalah prestasi yang membanggakan dari anak-anak muda Indonesia dan bukan perilaku menyimpang, seperti keterlibatan para pemuda di dalam tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme.
Wallahu a’
Puasa secara etimologis berarti menahan, yaitu menahan makan, minum, kegiatan seksual dan hal-hal lain yang bisa mengurangi atau membatalkan puasa. Sebagai ibadah individual, maka puasa merupakan ibadah yang hanya diketahui oleh pelaku dan Allah (more..)
Memang di dalam kehidupan ini banyak hal yang harus dihindari akan tetapi juga banyak hal yang bisa dipilih. Agama sesungguhnya diturunkan untuk kepentingan memilah dan memilih tersebut. Semua agama memiliki ajaran tentang mana yang diperbolehkan, mana yang diwajibkan dan mana yang dilarang. Di dalam Islam dikenal konsep mubah (kebolehan), haram (larangan), sunnah (dianjurkan) dan wajib (diwajibkan).
Di antara yang diwajibkan di dalam Islam adalah menjalankan shalat lima waktu, menjalankan ibadah puasa, mengeluarkan zakat dan melakukan haji bagi yang memiliki kemampuan. Konsepsi tentang hal ini sudah sangat jelas, sehingga semua ulama sudah menyepakatinya. Dan bagi orang yang telah mengucapkan syahadat (persaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah), maka perintah tersebut adalah kewajiban bagi para mukallaf (orang yang dikenai kewajiban ibadah).
Puasa yang dilakukan oleh umat Islam, hakikatnya adalah ajaran yang tidak hanya berdimensi vertikal saja, akan tetapi juga berkomitmen horisontal. Komitmen vertikal untuk menunjukkan rasa dan tindakan akan kepatuhan kita kepada Allah swt, sedangkan secara horisontal adalah untuk menunjukkan komitmen terhadap kemanusiaan.
Puasa mengajarkan kepada kita untuk belajar menjadi orang yang memiliki perasaan empati kepada orang lain. Melalui lapar seharian maka kita akan menjadi paham tentang bagaimana rasanya menjadi orang yang kekurangan makan. Bagaimana rasanya jika ada orang yang sehari makan dan sehari berikutnya harus kelaparan karena tidak ada yang dimakan. Perasaan empati itulah yang sesungguhnya dibidik secara fisik melalui ajaran puasa.
Di dunia ini banyak orang yang tidak memiliki perasaan empati terhadap orang lain. Orang kaya bisa menghabiskan jutaan rupiah sekali makan di restoran ternama, sebaliknya di sekelilingnya banyak orang yang tidak mampu membeli sebungkus nasi. Melalui ajaran puasa kita diingatkan agar menjadi orang yang mampu berempati dan kemudian menjalar menjadi simpati.
Anehnya di bulan puasa ini justru banyak orang yang berperilaku konsumerisme. Banyak orang yang justru melakukan tindakan berlebih-lebihan di dalam makan dan minum. Alasannya sederhana untuk mengganti makanan siang hari, maka malam harinya melakukan balas dendam. Tidak hanya itu, di dalam menghadapi lebaran orang juga melakukan pembelian barang-barang secara berlebihan baik yang berupa barang atau pakaian. Hal ini tentu berlawanan dengan makna puasa yang berarti menahan untuk melakukan tindakan yang dilarang oleh agama.
Tindakan konsumerisme adalah salah satu tindakan yang kurang disukai di dalam Islam. Untuk hal ini Islam selalu menekankan agar jangan melakukan tindakan yang berlebihan. Di dalam hal makan dan minum, Islam mengajarkan agar kita makan dan minum akan tetapi dilarang berlebih-lebihan. Oleh karena itu, akan menjadi bijak jika kita melakukan puasa dan sekaligus juga mengantarkan kita untuk tidak melakukan tindakan konsumerisme.
Wallahu a’lam bi al-shawab.
Sebagaimana yang saya utarakan kemarin bahwa setelah saya diserahi amanah untuk memimpin IAIN Sunan Ampel, maka ada dua hal yang harus saya tunaikan, yaitu pengembangan fisik IAIN Sunan Ampel yang memang secara kualitas masih kalah dibanding dengan perguruan tinggi lainnya. Kemudian yang kedua adalah mengembangkan institusi IAIN Sunan Ampel untuk memperoleh mandat yang lebih luas yaitu menjadi universitas negeri, sebagaimana yang sudah dilakukan oleh beberapa UIN lainnya, seperti UIN Malang, UIN Jakarta, UIN Riau, UIN Bandung dan UIN Makasar.
Memang ketika Pak Maftuh Basuni menjadi menteri agama, maka ada semacam tindakan moratorium untuk menjadikan IAIN ke UIN. Pertimbangan utamanya adalah agar ada evaluasi terlebih dahulu mengenai konversi IAIN ke UIN, apakah membawa manfaat bagi dunia pendidikan Islam ataukah tidak. Evaluasi ini diperlukan mengingat bahwa kementerian agama memiliki tugas untuk tetap mengembangkan ilmu agama dan keagamaan dan mandat tambahan sebagai basis penguatan kementerian agama.
Evaluasi secara logis tentu sudah dilakukan, artinya bahwa semenjak berubah menjadi UIN maka perkembangan pesat pun dialami oleh UIN tersebut. Terbukti bahwa secara fisik ada pergerakan yang luar biasa, yaitu usaha UIN untuk memperoleh skema loan dari IDB yang tentu saja berakibat terhadap perkembangan fisik yang modern tetapi berkarakter.
UIN Malang yang semula adalah STAIN kemudian menjelma menjadi Universitas dengan karakter pesantrennya. UIN Malang mengembangkan Ma’had al Jamiah yang kemudian menjadi ikon pengembangan mahasiswa. UIN Jakarta mengembangkan fakultas kedokteran yang sangat maju dan islami. Kemudian yang lain juga mengembangkan program studi yang memiliki relevansi dengan kebutuhan umat. Semuanya menjadi bagian penting dari konversi IAIN ke UIN.
Tentu saja perkembangan pesat UIN menjadi barometer perkembangan pendidikan di kementerian agama. Melalui perkembangan yang sanagat pesat ini, tentu juga akan membawa imej bagi kementerian agama. Sehingga ketika ada orang yang menyatakan pendidikan yang dikelola oleh kementerian agama stagnan atau macet dan tidak terurus, maka jawabannya adalah lihat kemajuan yang dicapai oleh UIN dan juga beberapa IAIN. Tanpa mengecilkan peran IAIN, tetapi ternyata bahwa IAIN Sunan Ampel pun mengecap sebagai perguruan klas dunia atau world class university (WCU) melalui webometrics.
Hal ini semua, sebagaimana pernah saya tulis sebelumnya, adalah bagian dari keberhasilan kementerian agama di dalam pengembangan pendidikan, khususnya pendidikan tinggi. Dan juga sekaligus sebagai kritik terhadap tudingan sebagian orang bahwa pendidikan di kementerian agama tidak terurus dan terbelakang.
Berdasar atas kenyataan empiris tersebut, maka kemudian di IAIN Sunan Ampel dilakukan berbagai macam usaha untuk mengubah IAIN menjadi UIN dengan harapan agar bisa memberikan akses yang lebih luas kepada masyarakat untuk bisa memasuki jenjang pendidikan tinggi dengan berbagai macam varian program studinya. Usaha yang dikomandani oleh Prof. Abd. A’la ini tentu sudah memasuki tahap yang menentukan. Proposal yang dibuat oleh tim konversi UIN tersebut sudah didiskusikan dua kali di kementerian agama, yaitu diskusi interdepartemen, yaitu kementerian agama, kementerian pendidikan nasional, Bappenas, kementerian PA dan reformasi birokrasi, dan tim independen. Kemudian yang kedua juga sudah didiskusikan dengan tim independen dan seluruh jajaran kementerian agama untuk menilai kelayakan proposal konversi ke UIN tersebut.
Kami tentu bersyukur bahwa proposal tersebut sudah dianggap layak, sebab berdasarkan penilaian tim independen bahwa proposal tersebut sudah memenuhi syarat untuk diajukan sebagai bahan pertimbangan keinginan untuk konversi tersebut. jadi secara administratif dan akademis IAIN Sunan Ampel sudah layak menjadi UIN.
Namun demikian di tengah keinginan yang kuat untuk berubah menjadi UIN masih menyisakan kendala yaitu adanya RUU Pendidikan Tinggi yang sekarang sedang digodok di tim panja UU. Kuatnya keinginan sebagian kecil masyarakat yang direpresentasikan oleh DPR RI, maka sepertinya ada keinginan untuk menjadikan kementeian pendidikan nansional sebagai satu-satunya lembaga yang mengelola pendidikan umum, sedangkan kementeian lain sebagai pengelola pendidikan khusus.
Di tengah nuansa seperti ini, maka keinginan untuk menjadi UIN tersebut terjadi. Maka salah satu di antara yang masih mengganjal adalah kebijakan politik yang masih belum jelas ujung pangkalnya. Namun semestinya yang harus dikedepankan sebagaimana saya tulis sebelumnya bahwa yang penting adalah kesatuan sistem pendidikan dan bukan kesatuan atap pendidikan.
Melihat perkembangan UIN dan perluasan akses yang dikembangkannya, maka sesungguhnya tidak ada alasan untuk memoratoriumkan kembali keinginan untuk memajukan insitusi pendidikan tinggi. Itu artinya, bahwa harus ada keberanian kementerian untuk melakukan lompatan ulang sebagaimana yang dahulu pernah dilakukan. Dan itu tidak lain adalah dengan memberikan kesempatan bagi IAIN yang memenuhi syarat untuk berubah menjadi UIN.
Wallahu a’lam bi al s
Ketika saya diamahi sebagai rektor IAIN Sunan Ampel, maka ada dua hal yang kemudian saya bidik sebagai program besar IAIN Sunan Ampel di tengah persaingan dengan perguruan tinggi lain, khususnya di lingkungan kementerian agama, yaitu untuk mengembangkan fisik IAIN Sunan Ampel yang ternyata masih jauh dari kesan sebagai perguruan tinggi maju dan berwibawa disebabkan oleh konstruksi fisiknya yang sudah ketinggalan, misalnya dengan UIN Malang dan juga UIN lainnya. Dan kemudian perubahan menjadi UIN.
Ketertinggalan ini yang harus dijawab dengan sangat serius. Bagi masyarakat Indonesia, maka kemegahan gedung perkuliahan, kemoderenan bangunan fisik lembaga pendidikan menjadi ukuran utama di dalam melihat kemajuan lembaga pendidikan. Hal ini yang sangat berbeda dengan negara lain misalnya India, yang masyarakatnya tidak menganggap demikian. Dr. Makhlani, field representative IDB di Indonesia bahkan pernah menyatakan bahwa di India dia melihat bahwa gedung riset center hanya seperti ruko dengan dua lantai, akan tetapi di dalamnya terdapat ahli-ahli riset yang luar biasa. Jadi mengukur kemajuan pendidikan bukan dari gedungnya yang mewah, akan tetapi dari kualitas SDM di dalamnya.
Hal ini sungguh berbeda dengan masyarakat Indonesia yang hingga kini masih beranggapan bahwa kemegahan gedung adalah ukuran kemajuan lembaga pendidikan. Persepsi masyarakat Indonesia seperti ini tentu juga terkiat dengan budaya membangun rumah. Di negara maju seperti Amerika Serikat, misalnya tidak dijumpai rumah-rumah mewah sebagaimana di Indonesia. Rata-rata rumah hanyalah berlantai dua dengan bangunan yang sederhana. Cobalah bandingkan dengan rumah di perumahan elit di Indonesia, maka tentu akan jauh berbeda.
Untuk kepentingan menjawab keraguan masyarakat tentang kualitas fisik IAIN Sunan Ampel, maka salah satu cara adalah dengan membangun kembali IAIN Sunan Ampel yang gedungnya memang sudah tua. Gedung Fakultas Syariah yang menjadi wajah depan IAIN Sunan Ampel dibangun tahun 1970-an. Dahulu gedung Fakultas Syariah adalah gedung termegah di Surabaya Selatan. Akan tetapi sekarang sudah tenggelam di bawah bayang-bayang gedung Graha Pena dan sebagainya.
Itulah sebabnya maka satu-satunya cara untuk bisa mengembangkan sarana fisik IAIN Sunan Ampel adalah melalui pengembangan kerja sama dengan badan dunia yang bisa mempercepat akses pembangunan. Itulah sebabnya maka yang dipilih adalah pengembangan fisik melalui skema loan Islamic Development Bank (IDB). Melalui skema loan IDB ini maka kami akan dapat memangkas 60 tahun pengembangan fisik IAIN Sunan Ampel hanya dengan empat tahun saja.
Kami tentu sangat bersyukur bahwa loan tersebut akhirnya bisa disetujui oleh Presiden IDB dan juga pemerintah Indonesia. Hari Selasa, 16 Agustus 2011 adalah hari yang penting bagi pengembangan IAIN Sunan Ampel, sebab pada tanggal inilah loan tersebut ditandatanani oleh Pemerintah Indonesia. Kira-kira jam 09.00 wib, kami dicall oleh Pak Makhlani tentang penandatangan draft MoU dan hal tersebut menandakan fase baru bagi pengembangan fisik IAIN Sunan Ampel dan juga capacity building. Dan kemudian siangnya, jam 13.00 wib, Pak Zainal Arifin Bappenas juga mengirim sms kepada saya tentang finalisasi MoU yang ditandai dengan penandatangan MoU dengan IDB.
Perasaan lega luar biasa, sebab kami menunggu berbulan-bulan untuk kepastian penandataganan tersebut. Dari proses appraisal yang dilakukan oleh Team IDB, Dr. Beddi Abdurahman, Dr. Abdi Abdillahi dan Luay Faruq, pada akhir tahun 2010, maka membutuhkan waktu kira-kira delapan bulan untuk sampai kepada penandatangan MoU. Suatu masa penantian yang sangat panjang. Akhirnya hari yang membahagiakan itupun tiba melalui penandatangan kesepakatan dimaksud.
Akhirnya, percepatan pembangunan IAIN Sunan Ampel pun memperoleh momentum yang tepat, yaitu disetujui pada bulan puasa tepatnya tanggal 16 Ramadlan 1432 hijriyah yang bertepatan tanggal 16 Agustus 2011. Kado terbaik bagi IAIN Sunan Ampel ternyata bertepatan dengan sehari sebelum upacara Peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia.
Dirgahayu kemerdekaan Indonesia. Jayalah Indonesia dan jayalah IAIN Sunan Ampel. Umat menantikan darma baktimu.
Wallahu a’lam bi al-shawab.