MANAJEMEN BARU DI ERA PERUBAHAN (2)
Perubahan sosial termasuk perubahan manajemen tentu bukan sesuatu yang baru. Dunia ini memang selalu di dalam proses perubahan, sehingga hukum perubahan itulah yang permanen dibanding lainnya.
Di dalam manajemen baru ini, yang menjadi kata kunci ialah bagaimana dunia perusahaan, lembaga atau organisasi merespon terhadap perubahan yang terjadi. Dengan perubahan manajemen ini, diharapkan percepatan untuk meraih tujuan final dari lembaga atau institusi akan dapat diraih.
Melalui bagan proses plan, do, check dan action, maka proses untuk mengetahui kelemahan planning dan implementasinya akan lebih cepat. Bayangkan jika check dilakukan di masa akhir, maka tentu akan terjadi kelambatan manakala ada hambatan atau tantangan yang terjadi di luar planning yang sudah ditetapkan. Melalui kecepatan perubahan yang terjadi maka dipastikan akan terdapat intervening variabel atau constraint and enabling factors yang bisa saja merusak terhadap tingkat keberhasilan optimal dari sebuah perencanaan dan diketahui lebih awal. Melalui penempatan check di tengah mengantarai do dan action, maka memungkinkan untuk melakukan perubahan strategi untuk meraih hasil optimal di tengah implementasi program yang dilakukan.
Prinsip New Management ini saya kira relevan dengan manajemen performa yang juga mensyaratkan untuk melakukan evaluasi secara terus menerus. Tentu tidak hanya pendampingan akan tetapi evaluasi secara continue atau secara temporal. Pendampingan dan evaluasi ini dimaksudkan agar kala terjadi hambatan atau sumbatan, maka sesegera mungkin akan bisa dicari jalan keluarnya.
Pemerintahan di era Jokowi-JK juga berseirama dengan prinsip manajemen performa ini. Semua diminta untuk menandatangani pakta integritas sebagai dasar pijakan bagi yang bersangkutan untuk melaklukan eksekusi program dan melakukannya. Semenjak planning sudah ditetapkan melalui penetapan sasaran dan indicator sasarannya, maka semenjak itu pula program pendampingan dan checking terhadap implementasinya sudah dapat diberlakukannya.
Di dalam banyak kesempatan Presiden Jokowi selalu menekankan perlunya melakukan percepatan eksekusi program. Jika ada regulasi yang menghambat terhadap pelaksanaan program maka regulasi itu harus dicabut. Jangan sampai program terhambat oleh adanya regulasi yang mengikat. Bikin regulasi yang simple dan memberikan kepastian bahwa eksekusi program tersebut benar. Jika di era sekarang dilakukan paket deregulasi terutama yang berkaitan dengan usaha dan perekonomian, maka yang sebenarnya akan dilakukan adalah agar dunia usaha kembali bergairah dan menguntungkan.
Hanya saja problemnya adalah tidak banyak para pejabat yang merespon terhadap himbauan presiden ini. Terlalu banyak contoh pejabat yang tergelincir karena mengeksekusi program yang kemudian bermasalah. Itulah sebabnya nyaris pemikiran-pemikiran inovatif yang di dalam banyak hal diperlukan sebagai upaya untuk memperkuat hasil pembangunan bagi bangsa sendiri ternyata ketinggalan peluang atau momentum.
Planning dirumuskan melalui diskusi yang panjang, dimulai dengan penetapan program pada pagu indikatif, lalu melalui diskusi panjang baik trilateral maupun multilateral, maka kemudian dirumuskan program sementara dalam pagu anggaran atau pagu sementara. Dari Pagu sementara ini, maka kemudian ditetapkan pagu definitive yang selalu diumumkan presiden pada tanggal 16 Agustus di depan Sidang Paripurna DPR. Perjalanan perumusan program dan anggaran ini membutuhkan waktu selama kurang lebih delapan sampai sembilan bulan. Dengan demikian, sesungguhnya cukup waktu untuk melakukan prediksi program mana yang sangat urgent dilakukan pada tahun berikutnya dan mana yang dianggap sebagai prioritas nasional.
Bahkan di dalam rencana program jangka panjang untuk program yang membutuhkan waktu lama penyelesaiannya, misalnya konstruksi, maka sudah dikeluarkan Inpres untuk percepatannya. Dengan cara seperti ini, maka tidak ada keraguan bagi pengambil keputusan (KPA) untuk mengeksekusi anggaran sesuai dengan jadwal yang sudah direncanakan.
Hanya yang menjadi problem utama adalah apakah eksekusi program tersebut sesuai dengan tafsir regulasi yang sering menjadi masalah. Kenyatannya, bahwa banyak pejabat yang menjadi tersandera karena tafsir regulasi yang tidak tunggal. Di tengah keraguan ini, maka program deregulasi juga belum bisa menjamin para pengambil keputusan untuk memiliki “keberanian” dalam melakukan inovasi disebabkan oleh “ketakutan” akan tafsir regulasi yang sering tidak memihak kepadanya.
Kita tentu berharap bahwa paket deregulasi yang diancangkan oleh Pak Jokowi dapat menjadi obat mujarab bagi para pengambil keputusan di bidang eksekusi program sehingga tujuan untuk percepatan pembangunan akan bersearah dengan tujuan untuk memberdayakan masyarakat dan jaminan keselamatan untuk para eksekutor program.
Jadi, new management juga akan berjalan manakala ada banyak factor pendukung yang memberikan peluang perubahan tersebut terjadi. Jika tidak seperti itu, maka konsep ini hanya akan menghiasi rak buku dan tidak ada di dalam kenyataan.
Wallahu a’lam bi al shawab.
MANAJEMEN BARU DI ERA PERUBAHAN (1)
Salah satu kebiasaan saya kala berada di dalam pesawat adalah membaca Majalah Swa, sebab menurut saya majalah ini cukup inspiring di dalam banyak hal, khususnya terkait dengan human development, management atau dunia bisnis. Hal itu yang saya lakukan untuk mengisi kekosongan waktu di sela-sela terbang dari satu kota ke kota lainnya.
Di dalam salah satu edisinya, ada yang menarik yaitu tentang resensi atas buku yang ditulis oleh David Burkus, yang berjudul “Under New Management” yang diresensi oleh seorang peresensi yang terkenal, Edison Lestari. Buku ini tentu menarik sebagaimana ulasan penulis resensinya, sehingga judul resensinya adalah “Praktik Manajemen Mutakhir Yang Tidak Biasa.” Jadi di dalam pandangan penulisnya, bahwa ada terobosan baru di dalam dunia manajemen yang cenderung stagnan.
Yang menarik adalah perubahan konsep yang selama ini mendominasi percaturan manajemen yaitu konsep manajemen George R. Terry, yaitu: planning, organiszing, actuating and controlling (POAC). Di era baru itu, maka managemen tersebut secara konseptual bergerak dari Plan, Do, Check and Action (PDCA). Mengapa harus sesegera mungkin melakukan kegiatan atau do tentu disebabkan oleh perubahan yang makin cepat dewasa ini dan juga makin kuatnya competisi di dunia managemen.
Diandaikan bahwa di dalam New Management ini bahwa semua perangkat SDM, dan piranti insfrastrukturnya tentu sudah mapan, sehingga tidak lagi membutuhkan pengorganisasian, begitu perencanaan sudah matang, maka segera bertindak untuk melakukan perencanaan tersebut. Tidak diperlukan diskusi panjang untuk membangun pengorganisasian, siapa melakukan apa dengan tagging jawab apa. Namun demikian, semua sudah tercover di dalam perencanaan yang sudah matang itu.
Kekalahan perusahaan Jepang oleh Korea Selatan tentu disebabkan cara berpikir pimpinan perusahaan tertinggi Jepang untuk mengambil keputusan dengan melakukan diskusi panjang ini. Untuk melakukan perubahan dipersyaratkan diskusi panjang bahkan sampai berbulan-bulan. Mereka sangat teliti dan rigit, sehingga apa yang dilakukan itu harus dari zero kesalahan. Akan tetapi kemudian terlambat mengantisipasi perubahan yang cepat. Selain itu, pimpinan perusahaan strategis di Jepang juga dipimpin oleh para senior yang kebanyakan ssudah berada di dalam masa stabil.
Didalam New Management ini, maka taking risk-nya memang besar, itulah sebabnya melakukan control dan checking justru dilakukan bersamaan dengan kegiatan melakukan pekerjaan dan baru kemudian dilakukan action jika memang ada hal-hal yang memerlukan pembenahan. Di sinilah tingkat dinamika managerial tersebut terjadi, sehingga antisipasi terhadap perubahan yang cepat tersebut selalu dapat dilakukan.
Saya kira bahwa pemerintahan era Jokowi-JK ini akan berupaya untuk melakukan New Management ini dengan prinsip “kerja, kerja, kerja”. Artinya, bahwa penekanan management tersebut terlatak bagaimana “do” diutamakan. Bahwa semua planning yang sudah direncanakan itu harus sesegera mungkin dilakukan. Dengan diterbitkannya Inpres, No. 1 tahun 2015 tentang Percepatan Pengadaan Barang dan Jasa, adalah contoh bagaimana para birokrat dipastikan sudah melakukan pelelangan pra DIPA, sehingga tidak akan terjadi kelambatan di dalam pengadaan barang dan jasa, terutama yang berjangka panjang.
Problemnya adalah pada SDM birokrasi yang selalu berpikir konvensional. Bahkan cenderung easy going. Tidak ada keberanian untuk melakukan eksekusi terkait dengan program yang seharusnya bisa dipercepat pelaksanaannya. Itulah sebabnya mengapa hingga dewasa ini tidak terdapat perubahan signifikan tentang “serapan anggaran” di kalangan Kementerian/Lembaga.
Mungkin New Management ini lebih cocok diberlakukan oleh perusahaan yang secara regulative bisa mengatur dirinya sendiri. Bagi dunia birokrasi yang regulasinya luar biasa ketat dan begitu mengikat, maka New Management terasa sebagai “barang langka” yang mesti dipikirkan secara mendalam untuk digunakannya.
Namun demikian, sebagaimana semangat reformasi birokrasi yang terus digelorakan, kiranya kita harus berpikir untuk menerapkan New Management ini. Semangat kerja cepat, cerdas dan tuntas tentu perlu terus diperlakukan. Saya kira Presiden sudah memberikan sinyal dan bahkan pengarahan tentang perlunya oercepatan ini, sehingga tidak ada alasan untuk menunda pekerjaan. Begitu “plan” selesai, maka “do” harus dilakukan.
Semangat “kerja, kerja dan kerja” yang dicanangkan oleh pemerintah jangan hanya sekedar menjadi slogan belaka, akan tetapi juga harus diikuti dengan upaya keras untuk memberlakukannya. Cepat atau lambat eksekusi pekerjaan sangat tergantung kepada kesiapan para birokrat untuk meresponnya.
Wallahu a’lam bi al shawab.
REKONSILIASI DAN LAPORAN KEUANGAN BERBASIS AKRUAL
Saya hadir di dalam acara yang digelar oleh Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Budha dalam acara Rekonsiliasi Laporan Keuangan Berbasis Akrual yang dilaksanakan di Hotel Media, Jakarta (Senin, 25/07/2016).
Acara ini diikuti oleh segenap operator keuangan Ditjen Bimas Budha seluruh Indonesia. Hadir bersama saya, Sesdirjen Bimas Budha, Caliadi dan Kabag Keuangan dan Umum, selaku ketua penyelenggara.
Di dalam kesempatan ini saya sampaikan tiga hal sebagai kata kunci untuk pengelolaan keuangan berbasis akrual dan kiranya bisa dijadikan sebagai bahan diskusi di dalam acara ini. Tiga hal tersebut adalah:
Pertama, Memastikan bahwa reformasi birokrasi terkait dengan pengelolaan keuangan sudah berjalan di Kemenag. Sebagaimana diketahui bahwa di dalam reformasi birokrasi maka ada dua konsep penting, yaitu transparansi dan akuntabilitas. Melalui transparansi, maka segala hal yang terkait dengan pengelolaan keuangan dapat diketahui oleh yang membutuhkannya. Kita ini mirip hidup di dalam kaca benggala, dan semua hal yang kita lakukan diketahui oleh orang yang melihatnya. Ibaratnya kita ini bertelanjang di dalam kaca benggala itu, sehingga semua orang yang lewat mengetahui keberadaan kita.
Tentu tidak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa SPM atau SP2D itu akan bisa diakses oleh orang yang membutuhkan untuk mengetahuinya. Dimasa lalu, maka dua hal itu adalah hal yang rahasia, sehingga yang tahu hanyalah pejabat di bidang keuangan dan orang KPN/KPPN. Tetapi di era keterbukaan ini, maka semua bisa mengaksesnya.
Lalu yang tidak kalah penting juga terkait dengan akuntabilitas. Kita ini mengelola uang Negara, sehingga yang kita lakukan haruslah ada pertanggungjawabannya. Tidak boleh sembarangan kita mengelola uang Negara. Semua harus dilaporkan dengan bukti-bukti yang kuat dan akurat. Jangan pernah ada satu dokumen yang hilang atau dipinjam orang dan tidak dikembalikan. Bukti keuangan itu harus ada sebagai pertanggungjawban kita kepada Negara dan masyarakat.
Kedua, memastikan laporan keuangan kita benar. Tahun 2016 ditandai dengan perubahan system akuntansi berbasis kas di masa lalu, dan sekarang menggunakan system akrual. Perubahan ini tentu berkonsekuensi yang sangat besar di dalam pelaporan keuangan. Itulah sebabnya kita tahun 2015 turun opini BPK dari Wajar Tanpa pengecualian (WTP) menjadi Wajar Dengan Pengecualian (WDP). Ada beberapa penyebab, yaitu: 1) Sumber Daya Manusia pengelola keuangan kebanyakan bukan berbasis ilmu akuntan atau setidak-tidaknya sarjana ekonomi, sehingga lebih familiar terhadap akrual basis di dalam system pelaporan keuangan Negara. Kebanyakan bendaharawan kita adalah alumni Sekolah Agama, sehingga basis pengetahuannya adalah di bidang ilmu agama. 2) Perubahan system yang masih terus berlangsung kala penerapan akrual basis ini. Sebagaimana diketahui bahwa system ini baru fix di sekitar bulan Juli, sehingga di sana-sini banyak terjadi gap pengetahuan tentang system baru ini. Adakalanya, kita mempedomani aplikasi lama, padahal sudah ada aplikasi baru yang diterbitkan oleh Kementerian Keuangan. 3) jumlah satker yang banyak dan dukungan IT yang belum memadai. Diketahui bahwa satker kita sekarang berjumlah 4516 satker dan dengan dukungan IT yang belum optimal. Banyaknya satker tentu merepotkan pada waktu akan terjadi rekonsiliasi ini. Menyamakan laporan keuangan dari satker seluruh Indonesia dengan jumlah yanh besar ini tentu mengandung resiko gap yang tinggi. Apalagi jika terjadi kesalahan juga harus dirunut dari satker terbawa dan tidak hanya dibenahi dari satker kanwil kemeng. Jadi memang mengandung kompleksitas tinggi dengan jumlah satker yang besar tersebut.
Berdasarkan bagan analisis BPK, maka ada empat hal yang menjadi sasaran pemeriksaan LK, yaitu: 1) kesesuaian Laporan Operasional dan Laporan Realisasi Anggaran dalam SPAN. Ketidaksamaan dalam dua entitas laporan keuangan ini akan berakibat besar pada opini BPK. Tahun lalu kita bisa “menyamakan” di antara keduanya, namun di tahun 2015 ternyata kesesuaian tersebut tidak bisa dilakukan meskipun upaya untuk menyamakannya dilakukan luar biasa. Sudah dilakukan konsinyering di tingkat Kanwil Kemenag akan tetapi berakhir kegagalan penyesuaian. 2) ketercukupan bukti pengelolaan anggaran. Salah satu hal mendasar agar pengelolaan anggaran dinyatakan benar adalah manakala bukti dokumen pelaksanaan anggaran dapat dihadirkan dan benar sesuai dengan regulasinya. Makanya, kehadiran dokumen ini menjadi sangat bermakna. 3) kepatuhan terhadap regulasi juga menjadi sangat penting. Salah satu penilaian BPK adalah apakah kemenag sudah melakukan pengelolaan anggaran sesuai dengan regulasi yang ada di dalamnya. 4) semakin mantapnya Sistem Pengawasan Internal (SPI). Dengan pengawasan internal yang dilakukan oleh irjen maupun upaya untuk menyajikan laporan keuangan berbasis pada check and recheck, maka diharapkan bahwa laporan keuangan akan menjadi semakin baik.
Ketiga, memastikan bahwa rekonsiliasi sudah kita lakukan. Kita harus menyadari bahwa rekonsiliasi sangat penting dilakukan. Apa yang kita lakukan harus direkonsiliasi dengan KPPN untuk memastikan bahwa uang yang keluar sudah tercatat di dalam SPAN Kementerian Keuangan. Di antara penyebab ketidaksesuaian di dalam SPAN adalah kekurangan kita untuk melakukan rekonsiliasi. Lakukan rekonsiliasi atas pengelolaan uang Negara ini supaya tidak terjadi kesalahan.
Untuk membantu penerapan akrual basis sebenarnya sudah dilakukan beberapa upaya misalnya, pengangkatan Duta Akrual, WA Group Akrual, Klinik Akrual dan juga konsultasi ke KPPN. Melalui berbagai cara ini tentu kita berharap tahun 2016 kita akan kembali WTP.
Wallahu a’lam bi al shawab.
MENUMBUHKAN SEMANGAT INTEGRITAS DI KEMENTERIAN AGAMA
Kerjasama antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Kementerian Agama (Kemenag) sudah lama dijalin. Kerjasama ini tentu saja dimaksudkan sebagai wahana untuk membangun kesepahaman tentang pentingnya penegakan integritas di kalangan Aparat Sipil Negara (ASN) Kemenag.
Terkait dengan kerjasama ini, maka sudah beberapa kali dilakukan Training of Trainers (ToT), baik untuk eselon satu maupun eselon dua. Semua pejabat eselon satu juga sudah mendapatkan pelatihan untuk tunas integritas. Kemarin (Senin, 25/07/2016) di Hotel Grand Royal Panghegar, Bandung diselenggarakan ToT untuk pejabat eselon dua yang beberapa bulan lalu belum mendapatkan kesempatan untuk memperoleh ToT. Acara ini diselenggarakan oleh Biro Organisasi dan Tata Kelola (Ortala) Kemenag.
Di dalam kesempatan itu, saya menyampaikan dua hal penting sebagai pokok bahasan untuk menjadi renungan semua di antara ASN Kemenag. Pertama, mengapa perlu perubahan. Sebagaimana diketahui bahwa pasca reformasi memang terjadi banyak perubahan terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan. Di antara yang kemudian menjadi problem utama pemerintahan adalah korupsi. Banyak pejabat dan pengusaha yang kemudian terjerat kasus hukum terkait dengan tindakan koruptif yang dilakukannya.
Melalui konsep transparansi dan akuntabilitas, maka semua Kementerian/Lembaga (K/L) harus menerapkan dua konsep ini di dalam penyelenggaraan pemerintahan. Maka dikenal istilah good governance and clean government sebagai perwujudan dari upaya untuk membangun reformasi birokrasi. Pada titik inilah kemudian semua K/L lalu merumuskan apa yang disebut sebagai nilai budaya kerja, yang dirumuskan atas dasar kesepahaman di antara mereka itu. Pada Kemenag, maka dikenal lima nilai budaya kerja, meliputi: integritas, profesionalitas, inovasi, tanggungjawab dan keteladanan. Lima nilai budaya kerja ini sungguh sudah sangat share di kalangan ASN Kemenag.
Perubahan memang harus dilakukan. Sebagaimana masyarakat Indonesia yang paternalis, maka perubahan yang kiranya mujarab adalah perubahan yang dilakukan melalui pimpinan atau atasan. Perubahan tersebut harus dimulai dengan perubahan pada level pimpinan dan kemudian terus berkembang ke bawahan. Bagi masyarakat dengan tingkat paternalitas yang relative tinggi, maka perubahan harus dilakukan secara gradual dan sistematis yang dimulai dari pimpinan pemerintahan atau perusahaan dan kemudian terus berkembang dan menggelinding ke lapisan yang paling bawah.
Perubahan tersebut tentu juga berpola mengambil yang baru. Secara konseptual bahwa perubahan mengenal dua pola, yaitu kembali ke masa lalu dengan segenap kelebihan dan kekurangannya atau mengambil pola baru dengan tetap mengambil nilai lama yang baik atau mengambil pola baru sama sekali. Bagi kita, pola yang diambil adalah pola kedua. Yaitu mengadaptasi nilai lama yang baik dan melakukan perubahan yang bernilai lebih baik.
Di dalam konteks tindakan koruptif, maka yang harus dibenahi adalah agar tindakan koruptif tidak dilakukan dan kemudian membangun tradisi baru untuk melakukan perubahan menuju good governance dan clean government tersebut. Di dalam keyakinan kita, bahwa tentu masih ada nilai-nilai lama yang baik dan bermanfaat yang dapat didayagunakan untuk kebaikan bangsa tetapi juga tidak menutup pintu untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Islam mengajarkan hal ini.
Korupsi bukan tradisi atau kebudayaan bangsa. Korupsi adalah penyakit individu atau sejauh-jauhnya adalah penyakit masyarakat. Oleh karena itu, pemberantasan korupsi melalui pemberian hukuman dan penanggulangan kiranya memang tepat. Dengan hukuman diharapkan bahwa akan terjadi kejeraan dan dengan penanggulangan diharapkan bahwa yang lain tidak tertular virus korupsi ini. Di tengah penghargaan terhadap materi berlebihan, maka penularan keberhasilan ekonomi meskipun berbasis pada tindakan salah bisa dianggap sebagai “kewajaran”. Makanya, penyakit korupsi harus dihilangkan secara optimal, sehingga ke depan akan tercipta generasi yang berintegritas, bersih dan melayani terhadap masyarakat untuk mencapai kebahagiaan.
Kedua, tema pelatihan ini adalah “melakukan perubahan secara sistematis menuju Kementerian Agama yang berintegritas”. Tema ini tentu sangat baik di tengah upaya untuk memberantas korupsi di dalam level birokrasi. Keberhasilan reformasi birokrasi adalah ketika korupsi bisa dihilangkan. Makanya upaya KPK tentu harus didukung oleh semua pihak agar tindakan koruptif makin menghilang.
Di dalam level dunia, tingkat korupsi kita masih besar, yaitu peringkat 88 tahun 2014 dan pada tahun sebelumnya berada di level 107. Artinya dalam setahun ini kita bisa memperbaiki peringkat korupsi kita 19 tingkat. Sebagaimana diketahui bahwa lima Negara yang tingkat korupsinya nyaris tidak ada adalah Denmark, Finlandia, Swedia, Norwegia dan Belanda. Finlandia adalah Negara dengan kualitas pendidikan terbaik. Lalu pertanyaannya adalah apakah ada korelasi antara tingkat kualitas pendidikan dengan ketiadaan korupsi di Negara tersebut.
Pertanyaan ini penting untuk menjadi renungan kita semua. Tingkat kualitas pendidikan di Indonesia berada di peringkat 69, lalu tingkat korupsi kita berada pada level 88. Rasanya, seperti ada korelasi antara kualitas pendidikan dengan tingkat korupsi ini. Hal ini tentu masih merupakan hipotesis yang bisa saja dilakukan penelitian yang mendalam. Kita semua tentu menginginkan kualitas pendidikan kita makin baik, daya saing kita makin bagus dan korupsi juga makin hilang.
Dengan demikian –sebagaimana pandangan akademisi yang menganggap korupsi sebagai penyakit sosial—maka upaya penanggulangan korupsi melalui penumbuhan tunas integritas dirasa sebagai pendekatan yang tepat. Harapannya adalah agar korupsi makin berkurang dan kesejahteraan masyarakat makin meningkat.
Wallahu a’lam bi al shawab.
MEMBANGUN INTEGRASI ILMU DENGAN FAKULTAS KEDOKTERAN
Pagi ini (SABTU, 23/07/2016) , saya menghadiri acara yang sangat monumental di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang dalam kerangka pembukaan Fakultas Kedokteran. Suatu yang sangat menarik tentu sebab meskipun Fakultas Kedokteran itu tidak sepopuler decade sebelumnya, akan tetapi kehadirannya tetap menarik untuk dicermati.
Bahkan di kalangan tertentu, memiliki Fakultas Kedokteran terasa menjadi mimpi indah bagi petinggi perguruan tinggi. Makanya, kala UIN Maliki Malang dan UIN Makasar memperoleh tambahan fakultas baru ini, maka terasa komplit mimpi itu menjadi kenyataan.
Fakultas Kedokteran memang memiliki misi mulya, yaitu mencetak para dokter yang dapat mengabdikan dirinya untuk kepentingan kemanusiaan. Artinya, bahwa kita bisa menyediakan fakultas yang akan menghasilkan “para penolong” kesehatan seseorang dan hal ini tentu bisa menjadi kebanggaan. Melalui Fakultas Kedokteran, maka misi “kemanusiaan” itu akan terjadi.
UIN Maliki Malang merupakan satu di antara sekian banyak perguruan tinggi negeri di bumi Indonesia yang memiliki reputasi sangat baik. Dengan akreditasi A dan berbagai pengakuan internasional mengenai kualitas akademisnya tentu bisa menjadi tolok ukur keberhasilan pengelolaan perguruan tinggi. Bahkan di dalam kerangka membangun pesantren atau Ma’had al Jami’ah, maka UIN Malang adalah agen utamanya. Jika sekarang banyak perguruan tinggi yang mengelola pesantren mahasiswa atau ma’had al jamiah, maka sesungguhnya inovasi awalnya berasal dari UIN Malang.
Di dalam peradaban Islam, maka ahli kedokteran pertama yang memiliki distingsi dan ekselensi adalah Ibn Shina yang di Barat dikenal dengan sebutan Avicenna. Bukunya yang berjudul Qanun fi a Thib adalah karya yang masyhur tidak hanya di dunia Timur, akan tetapi juga di dunia Barat. Bahkan buku inilah yang kemudian menjadi cikal bakal perkembangan kedokteran modern dewasa ini. Ibn Shina yang memperkenalkan dunia ilmu bedah di dalam dunia kedokteran dan kemudian dikembangkan oleh dunia Barat. Jadi, sesungguhnya warisan akademik tertinggi di dalam ilmu kedokteran bukan siapa-siapa tetapi adalah Ibn Shina. Beliau adalah creator, penemu dan pelaku ilmu kedokteran yang sangat andal dan kemudian juga tulisannya mempengaruhi terhadap perkembangan ilmu kedokteran dewasa ini.
Maka jika seandainya dibuatkan sebuah bintang penghargaan, maka sebenarnya penghargaan tertinggi di bidang ilmu kedokteran adalah Ibn Shina. Sayangnya bahwa nama ini sudah tidak lagi dikenal oleh para calon dokter dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia dan bahkan di dunia. Seseorang dengan kontribusi hebat dalam sejarah perjalanan ilmu kedokteran ternyata sudah tidak lagi memperoleh tempat di dalam khasanah keilmuan kedokteran.
Dengan demikian, di antara salah satu makna kehadiran UIN dengan Fakultas kedokterannya adalah untuk memberikan kembali nama besar Ibn Shina di dalam khasanah perbincangan mengenai keilmuan kedokteran. Beliau adalah seorang dokter hebat tetapi juga ahli ilmu keislaman yang luar biasa dan sekaligus juga seorang ahli tasawuf. Beliau adalah ilmuwan paripurna yang membuat peradaban Islam menjadi gemilang pada zamannya dan juga menginspirasi dunia ilmu pengetahuan di masa sesudahnya.
UIN Jakarta, UIN Malang, UIN Makasar harus menghadirkan kembali Ibn Shina dan ahli kedokteran Islam pada masa lalu, bukan sebagai monument, akan tetapi sebagai inspirator di dalam pengembangan ilmu kedokterannya. Itulah makna penting mengapa UIN harus menghadirkan ilmu keislaman kaffah, yang tidak hanya mengelola ilmu Islam murni (pure Islamic studies), akan tetapi juga ilmu keislaman terapan, yang ilmu kedokteran tentu masuk di dalamnya.
Saya tidak menggunakan konsep ilmu umum dan ilmu agama, sebab dikhotomi itu tentu sudah dihapus di dalam konteks pengembangan ilmu keislaman kaffah sebagaimana yang dulu menjadi cita-cita civitas akademika UIN Maliki Malang di bawah agensi Prof. Imam Suprayogo. Makanya, sebagai penerusnya kita semua tentu harus terus bekerja untuk mengembangkan ilmu keislaman kaffah ini agar figure seperti Ibn Shina akan hadir kembali di tengah-tengah kita semua.
Hanya saja, bahwa akhir-akhir ini terjadi stagnansi terkait dengan program integrasi ilmu. Tidak banyak ruang-ruang diskusi yang dilakukan di dalam kerangka untuk membincang tentang integrasi ilmu. Saya tidak tahu apakah pembicaraan tentang hal ini sudah dianggap cukup. Tetapi rasanya, perdebatan tentang integrasi ilmu itu tidak seramai pada decade yang lalu.
Pembicaraan tentang “pohon ilmu” nyaris tidak terdengar, pembicaraan tentang “twin towers” juga nyaris tidak lagi terekspose. Demikian pula pembicaraan tentang “integrasi dan interkoneksi” juga tidak lagi dilakukan. Hal ini menandakan bahwa agensi tentang integrasi ilmu perlu untuk digerakkan kembali. Saya berpendapat bahwa perubahan atau transformasi dari STAIN ke IAIN dan dari IAIN ke UIN tidak menyertakan perluasan diskusi tentang integrasi ilmu. Jangan hanya wadah dan strukturnya yang berubah, akan tetapi yang lebih penting adalah content akademiknya yang seharusnya ditonjolkan atau menjadi super prioritas.
Pengembangan UIN dengan program studi ilmu keislaman kaffahnya tentu tidak akan tercapai jika ruang untuk mendiskusikannya tidak didapatkan. Program 5000 doktor juga tidak ada maknanya, jika tidak diikuti dengan pengembangan semendalam mungkin mengenai kualitas integrasi ilmu. Dengan demikian, diperlukan penguatan agensi untuk membangun pilar akademik integrasi ilmu ini.
Rasanya tidak mungkin kita akan melahirkan kembali Avicenna, Ibn Rusyd, Ibn Thufail, Al Khawarizmi dan sebagainya, kalau kita tidak terus menggelorakan pembicaraan akademik seperti ini. Makanya, trade mark UIN dan IAIN yang diberi wider mandate untuk mengembangkan ilmu keislaman kaffah ini, saya kira harus dipertahankan dan dikembangkan.
Hanya integrasi ilmu yang menjadi distingsi dan ekselensi PTKIN kita. Jika kita tidak merawat hal ini dengan perbincangan serius oleh agen-agen yang andal, nanti dunia akan mempertanyakan apa arti transformasi menjadi UIN.
Wallahu a’lam bi al shawab.