• February 2025
    M T W T F S S
    « Jan    
     12
    3456789
    10111213141516
    17181920212223
    2425262728  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

DIMENSI ESOTERIS AGAMA (BAGIAN DUA)

DIMENSI ESOTERIS AGAMA (BAGIAN DUA)

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Tulisan ini merupakan kelanjutan atas tulisan sebelumnya yang juga membahas tentang Dimensi Esoteris Agama dengan focus pada bahasan bahwa semua agama memiliki dimensi esoteris atau tasawuf. Tidak hanya Islam yang memilikinya, tetapi agama-agama lain juga berkutat dengan ajaran mendalam agama. Dunia metafisis atau kegaiban agama-agama. Dunia metafisis agama berkaitan dengan bagaimana Tuhan hadir di dalam diri manusia melalui pengalaman batin berbasis pada kemampuan yang disebut ainun bashirah.

Islam merupakan agama yang sangat mendasar mengajarkan tentang dimensi metafisis atau ajaran kegaiban.

Ajaran tasawuf dikaitkan dengan dua sahabat Nabi Muhammad SAW, yang memiliki kontribusi besar dalam pengalaman agama dalam coraknya yang batiniah. Dua orang sahabat tersebut adalah Sayyidina Abu Bakar RA dan Sayyidina Ali RA. Yang banyak hadir di Indonesia adalah yang memiliki sanad yang tersambung kepada Sayyidina Ali dan Sayyidatina Fathimah. Hal ini tentu saja sehubungan dengan para pendakwah generasi pertama dan kedua yang terafiliasi sanadnya sampai kepada Sayyidina Ali dan Sayyidatina Fathimah binti Rasulullah SAW.

Salah satu kelebihan dari tradisi Arab adalah upaya secara terus menerus untuk merawat genealogi keturunan yang sambung menyambung sampai leluhurnya. Sanad Waliyullah, misalnya Eyang Sunan Drajat itu bersambung kepada Eyang Sunan Ampel terus ke Eyang Syekh Ibrahim Asmaraqandi, ke Syekh  Jumadil Kubra terus ke atas sampai ke Sayyidina Ali dan Sayyidatina Fathimah ke Rasulullan SAW. Mereka adalah para Sayyid yang dibangsakan dengan keturunan Arab dari jalur Sayyidina Ali dan Sayyidah Fathimah. Sementara itu juga ada yang dibangsakan dengan Syarif yang berhubungan dengan keturunan Sayyidina Hasan, misalnya Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Dalam bahasa sederhana dapat dinyatakan bahwa Syekh itu terkait dengan genealogi ilmu keislaman, sedangkan syarif dikaitkan dengan genealogi kekuasaan. Mereka adalah para penganut Islam esoteris dengan banyak pengamalan tasawufnya. Misalnya, Sunan Gunungjati dikenal sebagai pengikut tarekat Syatariyah dan juga penganut tarekat Syahadatain. (Nur Syam, Tarekat Petani: Fenomenologi Tarekat Syatariyah Lokal, 2014).

Tasawuf adalah dimensi mendalam dalam agama atau dimensi esoteris agama, sedangkan tarekat adalah dimensi praksis tasawuf yang merupakan bentuk pengamalannya. Tasawuf dibagi menjadi dua dalam praksis kehidupan para ahlinya, yaitu tasawuf falsafi dan tasawuf amali atau tasawuf akhlaki. Tasawuf falsafi merupakan jenis tasawuf yang menggunakan pendekatan falsafah atau pemikiran untuk mengenal dan merasakan kehadiran Tuhan dalam amalan-amalannya. Tasawuf falsafi banyak bersentuhan dengan ilmu kalam atau membicarakan tentang Tuhan dan bagaimana Tuhan itu hadir di dalam diri manusia. Misalnya Al Hallaj, Dzinnun Al Mishri, dan Yazid Bustami di Timur Tengah serta Syekh Lemah Abang atau Syekh Abdul Jalil di Nusantara. Ada dua pemikiran tentang kehadiran Tuhan, yaitu Tuhan memasuki alam manusia, misalnya pernyataan anal haq sebagaimana diungkapkan oleh Al Hallaj atau Syekh Abdul Jalil. Jika seseorang sudah bisa menghadirkan Tuhan  di dalam amalan tasawufnya, maka tidak ada perbedaan antara manusia dan Tuhan karena Tuhan sudah manjing sajiwa atau Tuhan memasuki alam nasut. Alam manusia. Tentu tidak dalam bentuk fisik tetapi dalam pengalaman batiniah melalui ainun bashirah.

Lalu terdapat tasawuf ‘amali atau akhlaki yaitu tasawuf yang berbentuk tarekat yang lebih menekankan pada fiqih. Jadi tarekat yang di dalamnya terdapat dzikir dan wirid dilakukan secara terstruktur dalam jumlah tertentu. Bagi kalangan ini, seseorang tidak diperkenankan memasuki dunia tarekat jika amalan syariahnya belum memadai. Jadi harus amalan syariahnya baik lalu memasuki amalan tarekat dan terakhir akan memasuki amalan hakikat.  Syariat, tarekat dan hakikat merupakan system yang menyatu dan tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Tidak boleh misalnya di kala sudah memasuki alam hakikat lalu meninggalkan alam syariat. Genealogi keilmuan tarekat amali  berbasis pada fiqih atau syariah dalam konteks amalan ibadah.

Di Indonesia terdapat sebanyak 41 tarekat dengan tokoh dan amalan-amalannya. Sebanyak 41 tarekat ini yang dianggap mu’tabaroh atau memiliki ketersambungan sanad sampai Rasulullah Muhammad SAW. Ada yang disebut tarekat ghairu mu’tabarah atau tarekat yang terputus salah satu sanadnya.  Terdapat sanad yang tidak tersambung sampai kepada Rasulullah. Itulah sebabnya terdapat perkumpulan tarekat Mu’tabarah, misalnya Jam’iyah Ahlu Thariqah Mu’tabarah Nahdhiyah (JATMAN), sebuah organisasi yang menghimpun tarekat-tarekat yang sesuai dengan genealogi yang diabsahkan oleh NU sebagai tarekat mu’tabarah.

Karena factor politik di masa Orde Baru, maka juga terdapat perpecahan di dalam tubuh organisasi tarekat, yaitu di saat Kyai Mustain memasuki Golkar, maka tarekat-tarekat lain yang tergabung dalam JATMAN mendukung Partai Persatuan Pembangunan (PPP), maka kemudian di bawah Golkar, Kyai Mustain mendirikan Jam’iyah Ahlu Thariqah Mu’tabarah Indonesia (JATMI) yang masih eksis sampai sekarang meskipun semakin mengecil keanggotaan tarekat di dalamnya.

Tarekat sebagai orde tasawuf tentu tidak terlepas dari persoalan duniawi. Ajaran tarekatnya memang mengandung kesakralan atau kesucian, akan tetapi pelakunya tentu berada di dalam dunia profan, makanya hukum keduniawian tentu menyelimuti para pelakunya. Tetapi yang pasti, bahwa pelaku tarekat adalah orang yang lebih terstruktur di dalam pengalaman dzikir atau wiridnya. Dan kata kunci wiridnya adalah kalimat tauhid atau  lailaha illallah. Tidak ada Tuhan selain Allah. Inilah substansi dari ajaran tarekat. Kalau ada yang lain-lain adalah tambahan-tambahan untuk memperoleh nilai lebih di dalam beribadah.

Tarekat merupakan instrument untuk “menemukan” Tuhan bagi para perindu Tuhan. Mereka ingin memperoleh pencerahan Tuhan dalam wirid yang dibacanya. Tentu ada yang berhasil dan ada yang tidak tetapi berdasarkan logika supra rasional, bahwa dipastikan bahwa siapa yang banyak dzikirnya tentu akan mendapatkan balasan yang setimpal dengan amalannya.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

DIMENSI ESOTERIS AGAMA (BAGIAN SATU)

DIMENSI ESOTERIS AGAMA (BAGIAN SATU)

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Di Masjid Al Ihsan, Perumahan Lotus Regency Ketintang Surabaya memang diselenggarakan pengajian pada setiap Hari Selasa ba’da Shubuh dengan membahas berbagai tema yang dianggap relevan dan penting dalam kerangka menjaga keimanan, keislaman  termasuk menjaga keluarga dan komunitas atau masyarakat. Tetapi setiap acara tahsinan Alqur’an selalu dibahas tentang hal-hal yang terkait dengan ayat yang dibaca. Meskipun saya bukan ahli tafsir, akan tetapi oleh Ustadz Alief Rifqi Al Hafidz, saya selalu diminta untuk memberikan penjelasan tentang ayat yang dibaca. Tetapi tafsir sosiologis.

Pagi, Rabo,  28/02/2024 Pak Mulyanta memulai dengan pertanyaan yang menggelitik tentang apakah tasawuf itu ada pada semua agama. Menurutnya bahwa setiap agama memiliki dimensi tasawuf yang tentu sesuai dengan ajaran agamanya. Maka, sebelum tahsinan dimulai kita bahas dulu terkait dengan pertanyaan tersebut. Tentu saja sebuah pertanyaan yang tidak mudah dijelaskan karena menyangkut dimensi mendalam atau dimensi esoteris agama-agama. Dan pastilah bahwa saya bukan orang yang ahli dalam semua agama, kecuali yang berada di aras permukaan atau Bahasa kerennya struktur luarnya.

Benar bahwa setiap agama, apa saja dan bahkan aliran kebatinan, menyajikan dimensi mendalam agama, yang di dalam Islam disebut sebagai tasawuf. Di dalam agama Tao atau yang juga sering dikaitkan dengan ajaran filsafat China disebut dengan ungkapan Yin dan Yang merupakan ajaran yang menyatakan bahwa setiap benda di dunia ini terdiri dari dua kekuatan yang saling menguatkan atau saling memperkuat. Yang berwarna putih dan Yin berwarna hitam. Keduanya mengandung kekuatan atau potensi yang saling berhubungan. Yin berlambang hitam sebagaimana malam dan Yang berlambang putih yang berarti siang. Keduanya tidak dapat dipisahkan dan mengandung keseimbangan. Dunia itu terdiri dari hukum berpasangan, seperti lelaki dan perempuan, bulan dan matahari, siang dan malam dan sebagainya.

Di dalam agama Hindu terdapat pandangan tentang Tat Twam Asi artinya adalah pandangan yang menyatakan bahwa di dalam kehidupan yang terpenting adalah kekitaan bukan keakuan. Kau adalah aku, aku adalah kau. Aku  dan kau adalah kita. Pandangan ini menjadi bagian dari prilaku manusia agar hidup dalam keseimbangan, menyeimbangkan antara kepentingan diri dan kepentingan orang lain. Ajaran ini mengajarkan agar orang saling menyayangi dalam darma. Dalam perspektif ketuhanan, maka ajaran ini menggambarkan bahwa di dalam diri manusia terdapat energi ketuhanan dan di dalam Ketuhanan terdapat potensi penciptaan diri manusia. Jika Kamu adalah manusia, maka Aku adalah Tuhan. Dan antara Aku dan Kamu merupakan satu kesatuan yang menggambarkan kemenyatuan  antara yang profan dan yang sacral.

Di dalam agama Buddha maka inti kehidupan adalah bahagia. Orang yang beragama harus dapat mencapai kebahagiaan atau dapat mengendalikan pikiran atau mengendalikan kemauan. Kebahagiaan itu akan dapat dicapai jika seseorang dapat menyeimbangkan antara Aku dan Kamu. Antara Aku Tuhan dan Kamu manusia. Untuk mencapainya maka agama Buddha mengajarkan untuk bermeditasi, misalnya melaksanakan Yoga. Agama Buddha begitu mengagungkan kebahagiaan sebagai pencapaian beragama yang paling tinggi. Hal tersebut tercermin dari ungkapan Budhis, “agar semua makhluk  bahagia”.

Islam sebagai agama juga mengajarkan tentang tasawuf, yang di dalam konsepnya disebut sebagai ihsan. Setelah Nabi Muhammad SAW diajari oleh Malaikat Jibril yang mempersonifikasikan  diri, dengan ungkapan ma huwal iman…lalu ma huwal Islam… lalu  ma huwal ihsan. Kata ihsan inilah yang menjadi sumber lahirnya tasawuf yang diamalkan oleh umat Islam.  Sesuai dengan hadits Nabi Muhammad SAW, dinyatakan bahwa  Ihsan  adalah “engkau menyembah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya, dan jika kamu tidak dapat melihatnya bahwa sesungguhnya Allah melihatmu”. Jika dipertanyakan mengapa Malaikat Jibril mengajarkan agar manusia menyembah Allah seakan-akan Allah hadir di dalam persembahan tersebut dan jika tidak dapat melihat Tuhan yang disembahnya, maka yakinilah bahwa Allah itu melihatnya. Tentu hal ini terkait dengan “kegaiban” Allah yang dipastikan bahwa manusia tidak akan dapat melihat dengan mata kepalanya. Yang bisa bertemu dengan Allah SWT hanya Nabi Muhammad sebagai manusia sempurna.

Di dalam konsepsi tasawuf maka melihat itu tidak dengan mata telanjang tetapi melalui mata hati atau ainun bashirah, yang bisa saja manusia  merasakan kehadiran Allah di dalam diri di kala beribadah. Orang yang melakukan shalat dengan kekhusyuan sebagaimana Sayyidina Ali, maka dengan ainun bashirah akan dapat merasakan kehadiran Allah SWT. Manusia yang melakukan riyadhah dengan tekun dan konsisten, tentu memiliki peluang untuk “menemukan” Tuhan dalam ainun bashirah. Diyakini bahwa terdapat manusia yang karena kehendak Allah bisa merasakannya. Di dalam dunia psikhologi disebut sebagai the experience of the holy atau pengalaman dalam berkomunikasi dengan Tuhan yang Maha Suci.

Para penyebar Islam generasi awal dan kedua, dan seterusnya, para waliyullah, diyakini oleh para pengagumnya sebagai orang yang mendapat karomah atau kelebihan batiniah atau memperoleh keridlaan yang berupa ainun bashirah. Hal ini tentu terkait dengan perjuangan dan riyadhahnya di dalam menyebarkan ajaran Islam.

Mereka merupakan orang Islam yang telah memasuki dunia esoteris di dalam Islam. Tidak hanya beragama secara formal tetapi beragama secara substansial dengan format mengamalkan tasawuf di dalam kehidupannya.

Wallahu a’lam bi al shawab.

JAGA KELUARGA KITA DARI RADIKALISME

JAGA KELUARGA KITA DARI RADIKALISME

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Saya mendapatkan kiriman pesan melalui WhatApp dari sahabat saya, AKBP. M. Dhofier tentang gerakan radikalisme yang sudah menyasar pada anak-anak. Saya yakin bahwa yang dikirim ke saya bukan hoaks tetapi kenyataan. Sahabat-sahabat saya di BNPT dan Densus 88 pastinya akan mengirimkan informasi yang valid karena menyangkut nasib bangsa secara umum dan secara khusus terkait dengan masa depan agama di Indonesia.

Hal ini saya sampaikan dalam ceramah pada Komunitas Ngaji Bahagia (KNB) pada acara ngaji rutin setiap hari Selasa. Disebut juga sebagai ngaji selasanan. Ngaji dilaksanakan di Masjid Al Ihsan Perumahan Lotus Regency, Ketintang Surabaya. Acara ngaji bareng ini selalu diselingi dengan tertawa lepas, meskipun materi pengajiannya itu hal-hal yang sangat serius. Ada saja yang bisa ditertawakan. Peserta ngaji adalah jamaah shalat shubuh pada Masjid Al Ihsan Lotus Regency dan Masjid Raudhah pada Perumahan Sakura Regency. 27/02/2024.

Secara umum dapat dideskripsikan bahwa unggahan melalui youtube ini adalah mengenai pemahaman anak usia belasan yang sudah terpapar virus terorisme dan bukan sekedar radikalisme. Di dalam unggahan wawancara tersebut dinyatakan: “…. Kalau ini matinya senyum, “bahagia maksudnya”. “Semua orang kalau disuruh mati sahid langsung pada seneng. Kalau mati sahid itu meledak pakai  bom.  Kalau  orang mati itu  kesakitan, kalau mati sahid tidak ada rasa-rasapun, malahan ada yang badannya  sudah kebeler gede,  masih bisa ngomong bahkan tersenyum. Tulis  ada di Youtube”. “Kamu mau mati syahid”, dia menjawab: “aku maulah. Bom ini di mobil di dalamnya ada bom nanti dia jalan ke tempat kompi orang kafir nah  nanti di depan kompi orang kafir dipencet bomnya, terus bomnya meledak kayak bom nuklir”.

Hasil rekaman saya memang tidak persis dengan apa yang diungkap di Youtube, tetapi kurang lebihnya seperti itu. Jika diamati secara mendalam tentang raut wajah, gaya bicara dan diksi-diksi yang digunakan, betapa kelihatan bahwa anak ini sudah terobsesi dengan mati syahid. Wajahnya yang dingin, tatap matanya yang tanpa ekspresi, dan gaya bicaranya yang menggambarkan tentang pemahamannya yang mendalam tentang bom bunuh diri, dipastikan bahwa anak ini sudah terpapar secara mendalam mengenai mati syahid dengan bom bunuh diri. Masih kanak-kanak, tetapi dia sudah terpapar mengenai Gerakan Salafi Takfiri dan geraklan Salafi Jihadi. Di dalam penjelasannya, bahwa yang menjadi sasaran adalah kelompok kafir, yang berdasarkan literatur menjadi sasaran kaum takfiri, dan kemudian juga sudah terpapar Salafi Jihadi karena mau mati sahid dengan meledakkan dirinya.

Oleh karena itu kita semua yang memiliki anak-anak yang masih dalam proses belajar tentang lingkungan dan proses pencarian agama, agar melakukan “kewaspadaan dini”, artinya harus memahami apa yang dilakukan oleh anak-anak kita. Jangan sampai kita mengabaikan terhadap anak kita dan keluarga kita. Kaum Salafi Jihadi sudah menyasar ke anak-anak. Jika di masa lalu, sasarannya adalah orang-orang yang secara ekonomi lemah, atau mahasiswa yang berkeinginan untuk browsing informasi keagamaan atau para perempuan yang terpinggirkan, maka sekarang sudah menyasar anak-anak. Jangan lupa bahwa anak-anak memiliki ingatan yang akan berjangka panjang, dan jika anak tersebut terpapar, maka akan bertahan lama ingatannya tersebut.

Kita harus membentengi keluarga  dengan beragama yang menyejukkan dan membawa kepada keteraturan social. Ada tiga hal yang bisa dilakukan terkait dengan membentengi keluarga, yaitu: Pertama, memahamkan keluarga kita untuk beragama yang bisa memberi rahmah kepada umat manusia. Agama itu memiliki dua potensi dalam kajian sosiologis, yaitu agama sebagai sumber keteraturan social dan agama sebagai sumber konflik social. Ada banyak konflik social yang bernuansa agama. Baik di luar negeri maupun di Indonesia. Diharapkan agar  keluarga kita tidak masuk dalam area agama sebagai sumber konflik. Tentu saja bukan agamanya yang menjadi sumber konflik tetapi penafsiran atas ajaran agama sebagai penyebabnya. Padahal di dalam tafsir agama itu luar biasa banyaknya dan jika ada satu saja yang menyatakan dengan keras bahwa hanya tafsirannya yang benar, maka bisa terjadi disharmoni social atau bahkan konflik social. Di masa lalu, relasi antara kelompok Kristen dengan Katolik adalah relasi konfliktual bahkan peperangan. Tentu saja kita tidak berharap seperti itu. Kita ingin agar kita beragama dengan penuh kerahmatan tidak hanya bagi sesama umat Islam tetapi juga terhadap yang lain. Alangkah indahnya jika kita dapat melakukannya.

Kedua, beragama dengan rasa cinta. Ada agama rahmah dan ada agama cinta. Agama yang di dalamnya terdapat rasa kasih dan sayang. Kalau dalam dunia pernikahan disebut dengan mawaddah dan rahmah yang berimplikasi Sakinah. Agama yang memberikan cinta dan kasih sayang dan berakibat hadirnya ketentraman, kerukunan dan persaudaraan. Bukankah Islam itu mengajarkan akan kasih sayang. Islam itu agama yang penuh dengan kecintaan kepada sesama.

Di dalam tradisi tasawuf dikenal tasawuf cinta, yang dikembangkan oleh Rabiah al Adawiyah yang memperkenalkan kepada kita akan keharusan beragama yang berbasis pada rasa cinta. Cinta kepada Allah adalah puncak dari segalanya. Cinta kepada yang lain hanyalah instrument belaka dan tujuan akhirnya adalah mencintai kepada Allah SWT. Kata Rabiah dalam Bahasa bebas: “Wahai Tuhan saya tidak pantas masuk ke surga, tetapi  tidak kuat untuk masuk neraka Jahim, terimalah taubat saya agar memperoleh cintamu”. Agama cinta mengandaikan bahwa manusia yang utama adalah manusia yang mencitai Tuhan dan Tuhan mencintainya.

Mungkin kita belum sampai kepada beragama dengan cinta sebagaimana yang diekspresikan oleh Rabiah, tetapi sekurang-kurangnya kita telah beragama dengan tidak berbasis pada kekerasan akan tetapi telah beragama dengan rasa kedamaian dan rasa menyayangi kepada yang lain.

Wallahu a’lam bil al shawab.

INDAHNYA SALING BERDOA: KESELAMATAN, AMPUNAN DAN JAUH DARI MUSIBAH

INDAHNYA SALING BERDOA: KESELAMATAN, AMPUNAN DAN JAUH DARI MUSIBAH

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Ada satu hal menarik yang dilakukan oleh Imam Masjid Al Ihsan Perumahan Lotus Regency Ketintang Surabaya, khususnya pada saat melakukan shalat Shubuh berjamaah. Masjid Al Ihsan melakukan shalat Shubuh dengan bacaan doa qunut. Tentu saja bisa berbeda dengan masjid lain, yang tidak melakukan shalat jamaah Shubuh dengan doa qunut. Imam Masjid Al Ihsan adalah Ustadz Muhammad Firdaus Ramadlan, SH, Al Hafidz, alumni Fakultas Syariah dan Hukum UINSA.

Di dalam bacaan Qunut tersebut ditambahkan dengan ungkapan “Allahumma sallimna wa muslimin wa ‘afina wal muslimin wa qina qa iyyahum syarra mashaibid dunya waddin”. Yang artinya: “Ya Allah selamatkanlah kami dan kaum muslimin, ampunilah kami dan kaum muslimin dan jauhkan kami dan mereka semua dari musibah dunia dan agama”. Doa ini selalu dikumandangkan di kala Ustadz Firdaus menjadi imam shalat Shubuh berjamaah.

Jika kita maknai secara sosiologis, bukan makna tafsir, maka kita akan mendengarkan betapa indahnya doa tersebut. Sebuah doa yang dipanjatkan pada waktu shalat pada saat Allah melimpahkan pahala bagi pelaku shalat shubuh berjamaah. Doa yang ditujukan kepada semua umat Islam agar memperoleh keselamatan dan ampunan dari Allah SWT dan sekaligus juga memohon agar seluruh umat Islam terhindar dari mushibah dunia dan sekaligus juga musibah agama.

Ada tiga hal yang ingin saya kemukakan di dalam tulisan ini, yaitu: Pertama, keselamatan dan ampunan Allah. Di dalam prinsip kehidupan sebagai makhluk di dunia yang hidup dengan manusia lain dalam suku bangsa, etnis, agama dan golongan, maka keselamatan merupakan hal yang sangat prinsip. Tidak ada yang lebih penting di dalam kehidupan tersebut kecuali keselamatan. Keselamatan adalah segala-galanya. Untuk menjaga keselamatan, maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu: selalu berusaha untuk membangun relasi social yang baik antar sesama manusia apapun perbedaannya, lalu juga membangun kebersamaan antara manusia yang satu pada lainnya tanpa membedakan apa latar belakangnya dan bagaimanakah kehidupannya, kemudian agar menghindari keakuan, merasa benar sendiri, merasa hebat sendiri, merasa paling super, padahal sesungguhnya tidak ada orang yang bisa melakukan apa saja dengan dirinya sendiri, dipastikan ada pertolongan atau bantuan orang lain.

Kedua, manusia itu makhluk Tuhan yang di dalam dirinya terdapat potensi melakukan kesalahan dan kekhilafan bahkan dosa. Ada potensi untuk melakukan kekhilafan yang merupakan bagian dari kehidupan manusia. Nabi Adam juga melakukan kekhilafan, Nabi Yunus juga melakukan kekhilafan, Nabi Dawud, Nabi Sulaiman dan bahkan Nabi Muhammad juga pernah khilaf kala tidak memperdulikan orang buta. Semuanya menggambarkan bahwa manusia itu potensial untuk berbuat salah.

Namun hebatnya, Allah memberikan instrument untuk melakukan pertaubatan, seperti melakukan shalat, melakukan puasa dan bahkan juga melakukan haji. Selain itu juga berdoa kepada Allah secara sungguh-sungguh untuk memohon ampunan-Nya. Melalui instrument sebagaimana diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW, maka manusia berlomba-lomba untuk melakukan pertaubatan dengan sungguh-sungguh. Dan Allah akan mengampuni karena Allah adalah Tuhan yang tidak akan mengungkari janjinya.

Ketiga, doa sebagaimana yang dilantunkan oleh Ustadz Firdaus tersebut mengandung makna yang sangat mendalam. Tidak hanya keselamatan dan pengampunan Allah untuk semua umat Islam akan tetapi juga dijauhkan dari musibah. Kata wal muslimin itu merupakan pancaran doa kepada Allah SWT kepada seluruh umat Islam di manapun. Siapapun umat Islam tersebut tidak dibedakan apa golongannya dan apa paham agamanya. Beginilah Islam yang sebenarnya. Islam yang tidak mengkotak-kotakan diri di dalam sekat-sekat organisasi dan paham keagamaannya. Sementara itu masih kita jumpai sekelompok umat Islam yang justru berkesebalikan dengan pesan keselamatan dan pengampunan Tuhan dengan mengancam bahwa orang Islam yang tidak sama paham keagamaannya dengan yang bersangkutan diancam akan masuk neraka. Padahal Islam memberikan instrument untuk saling mendoakan agar semua dan siapa saja yang telah berbaiat dalam syahadat atau  menyatakan tidak ada Tuhan selain Allah akan berpeluang masuk surga.

Yang tidak kalah pentingnya adalah doa, jauhkan dari kejelekan musibah di dunia dan agama. Kita sering tidak menyadari bahwa iman kita tersebut bisa goyang. Bisa berkurang. Bahkan bisa berubah. Coba amati ada orang-orang yang dalam kurun waktu yang panjang berada di dalam Islam bahkan pernah belajar Islam sangat memadai akan tetapi karena factor eksternal lalu menjadi murtad. Ada orang yang merasa kesulitan belajar Islam karena Bahasa Arab, maka berubah menjadi agama lain. Ada yang karena factor keluarga, factor kawan, factor apa saja yang bisa mengubah keyakinannya. Ini yang disebut sebagai musibah agama, musibah keyakinan. Ada juga yang terkena musibah, misalnya karena factor kekayaan, kekuasaan,  dan jabatan lalu menjadi murtad.

Lalu ada musibah dunia, misalnya terkena penyakit, terkena musibah ekonomi, terkena musibah kesehatan, terkena musibah persahabatan, terkena musibah pernikahan dan sebagainya.  Semua ini merupakan bagian dari kehidupan manusia yang terkadang harus terjadi. Oleh karena itu melalui bacaan doa yang kita baca, maka  semua berharap agar kita dan umat Islam terhindar dari musibah dunia dan agama.

Makna doa yang dibacakan di dalam doa qunut itu menyadarkan kita bahwa sebagai sesama umat Islam, maka yang terbaik adalah mendoakan keselamatan dan pengampunan serta mendoakan agar dijauhkan dari musibah dunia dan musibah akherat. Dan itu sudah kita lakukan.

Wallahu a’lam bi al shawab.

MALAM NISFU SYA’BAN: LADANG AMAL SALEH

MALAM NISFU SYA’BAN: LADANG AMAL SALEH

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Andaikan saya ditanya apa hukum melakukan acara nisfu Sya’ban dengan membaca Surat Yasin  tiga kali dan amalan lainnya yang dianggap penting, maka jawaban saya tidak berbasis pada hukum Islam atau fiqh, tetapi jawaban rasional saja bahwa melakukan upacara Nisfu Sya’ban merupakan amal kebaikan atau fadha’ilul ‘amal. Ada keutamaan-keutamaan yang terdapat di dalam acara Nisfu Sya’ban.

Semalam di Masjid Al Ihsan, Perumahan Lotus Regency, dilakukan acara menyambut Nisfu Sya’ban yang diikuti oleh warga RT 05, RW 08,  Perumahan Lotus Regency.  Acara yang memang disusun berbasis pada tradisi menghadapi malam Nisfu Sya’ban yang selama ini sudah dilakukan dan menjadi tradisi di kalangan sebagian masyarakat Islam Indonesia. Acara ritual tradisional yang bisa saja hanya terdapat di Indonesia dan tidak terdapat pada masyarakat Islam lainnya.

Kita merasa bersyukur menjadi umat Islam di Indonesia. Tidak hanya umat Islam yang mayoritas, 87,2 persen, akan tetapi juga acara ritual social keagamaan yang sangat banyak. Ritual tersebut telah mentradisi dalam kehidupan masyarakat Indonesia semenjak Islam disebarkan di Nusantara hingga hari ini. Acara ritual tersebut telah mandarah daging di dalam kehidupan masyarakat meskipun zaman telah berubah. Nama boleh saja berganti, misalnya pada masyarakat perkotaan, akan tetapi substansi ritual tersebut terus berlangsung.

Masyarakat Indonesia memiliki ikatan solidaritas social yang sangat kuat. Antar satu keluarga dengan keluarga lain di sekeliling rumah merupakan ikatan social yang unik. Saling mengenal, saling bertegur sapa, dan bahkan saling membantu. Hal ini merupakan modal social dan budaya yang memperkuat tradisi kebersamaan, seperti acara kendurian, acara keagamaan dan acara-acara lain yang tergolong selamatan.

Di dalam upacara malam nisfu Sya’ban, di masyarakat pedesaan disebut upacara megengan, merupakan acara untuk berbuat baik terhadap Allah SWT, Nabi Muhammad SAW dan juga umat Islam lainnya. Upacara malam Nisfu Sya’ban, 24/02/2024  dipimpin oleh M. Firdaus Ramadlan, SH, Al Hafidz, yang selama ini menjadi imam di Masjid Al Ihsan. Acara dimulai dengan membaca washilah kepada Nabiyullah Muhammad SAW, para waliyullah atau ulama, dan ahli kubur serta  hajad kita masing-masing. Diteruskan dengan membaca syahadat 10 kali dan istighfar 10 kali, lalu dilanjutkan dengan membaca Surat Yasin tiga kali dan berdoa. Acara diselenggarakan ba’da magrib dan selesai menjelang shalat Isya’. Para jamaah melaksanakan shalat Isya’ berjamaah lalu diakhiri dengan makan nasi soto bersama-sama.

Ada tiga aspek yang ingin saya sampaikan di dalam tulisan ini, yaitu: pertama, ritual sebagaimana membaca Surat Yasin tiga kali itu tidak hanya berdimensi ketuhanan artinya sebagai instrument untuk persembahan kepada Allah SWT dan juga Nabi Muhammad SAW akan tetapi juga bermakna bagi kehidupan social. Di kala membaca Surat Al Fatihah sebagai washilah kita kepada Allah, maka terdapat washilah doa ila hadrati hajatina wa hajatikum, yang artinya ada untaian doa kepada Allah tentang hajad dari pelaku upacara Nisfu Sya’ban. Hidup rasanya menjadi bermakna di kala sesama umat Islam saling berdoa agar keinginan atau hajad itu dikabulkan Tuhan. Saya membayangkan bahwa melalui doa seperti itu, maka akan terdapat ikatan hati yang luar biasa di antara umat Islam. Saling mendoakan dan saling mengaminkan.

Kedua, melalui upacara ini, maka kita diberi peluang beribadah lebih dari biasanya. Mungkin di antara kita ada yang sudah membaca surat Yasin ba’da magrib sekali,  tetapi melalui upacara ini kita diharapkan bisa membaca Surat Yasin tiga kali. Kita juga diharapkan bisa membaca syahadat 10 kali yang tentu lebih banyak dibandingkan dengan amalan bacaan syahadat setiap hari. Di dalam shalat tentu kita sudah membacanya, akan tetapi pada khusus malam Nisfu Sya’ban, kita dapat membaca lebih banyak. Bahkan juga ada yang membaca syahadat itu satu kali saja pada waktu menikah, dan kala yang bersangkutan sudah sadar untuk memasuki ajaran Islam secara benar, maka dapat tambahan membaca syahadat. Mungkin juga ada yang sudah membaca istighfar 100 bahkan 1000 kali setiap hari, maka melalui upacara Nisfu Sya’ban, maka kita mendapatkan tambahan 10 kali. Jadi upacara Nisfu Sya’ban memberikan peluang beribadah lebih banyak. Inilah yang saya maksudkan dengan  afdholul ‘amal. Keutamaan ibadah.

Ketiga, upacara Nisfu Sya’ban dapat menjadi amalan sedekah. Yang biasanya sudah sedekah, misalnya hari Jum’at memberikan makanan gratis, atau memberi makanan untuk anak-anak yatim, untuk orang yang belajar dan sebagainya, maka melalui upacara Nisfu Sya’ban kita diberi peluang untuk menambah sedekah. Kita dapat memberi sedekah makanan, minuman atau kue-kue. Ni’fu Sya’ban menjadi ajang bagi kita semua untuk bisa bersedekah lebih. Kita dapat bersama-sama berada di dalam tangan di atas, dan bukan tangan di bawah. Dengan demikian indah sekali memperingati Nisfu Sya’ban melalui kebersamaan. Memang kita dapat membaca Surat Yasin di rumah atau beribadah di rumah, tetapi rasa solidaritas social yang dibangun melalui upacara Nisfu Sya’ban itu sungguh agung.

Jadi, apa yang diwariskan oleh leluhur kita, para waliyullah dan para ulama, merupakan modal social, modal budaya dan modal agama yang luar biasa, dan itu hanya terdapat di dalam agama Islam, khususnya masyarakat Islam Indonesia.

Sesungguhnya ajaran agama Islam itu momot kebaikan, tidak hanya kebaikan kepada Tuhan, Allah SWT tetapi juga untuk manusia dan alam seluruhnya. Islam itu sungguh rahmatan lil alamin.

Wallahu a’lam bi al shawab.