• November 2024
    M T W T F S S
    « Oct    
     123
    45678910
    11121314151617
    18192021222324
    252627282930  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

DIMENSI ESOTERIS AGAMA (BAGIAN SATU)

DIMENSI ESOTERIS AGAMA (BAGIAN SATU)

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Di Masjid Al Ihsan, Perumahan Lotus Regency Ketintang Surabaya memang diselenggarakan pengajian pada setiap Hari Selasa ba’da Shubuh dengan membahas berbagai tema yang dianggap relevan dan penting dalam kerangka menjaga keimanan, keislaman  termasuk menjaga keluarga dan komunitas atau masyarakat. Tetapi setiap acara tahsinan Alqur’an selalu dibahas tentang hal-hal yang terkait dengan ayat yang dibaca. Meskipun saya bukan ahli tafsir, akan tetapi oleh Ustadz Alief Rifqi Al Hafidz, saya selalu diminta untuk memberikan penjelasan tentang ayat yang dibaca. Tetapi tafsir sosiologis.

Pagi, Rabo,  28/02/2024 Pak Mulyanta memulai dengan pertanyaan yang menggelitik tentang apakah tasawuf itu ada pada semua agama. Menurutnya bahwa setiap agama memiliki dimensi tasawuf yang tentu sesuai dengan ajaran agamanya. Maka, sebelum tahsinan dimulai kita bahas dulu terkait dengan pertanyaan tersebut. Tentu saja sebuah pertanyaan yang tidak mudah dijelaskan karena menyangkut dimensi mendalam atau dimensi esoteris agama-agama. Dan pastilah bahwa saya bukan orang yang ahli dalam semua agama, kecuali yang berada di aras permukaan atau Bahasa kerennya struktur luarnya.

Benar bahwa setiap agama, apa saja dan bahkan aliran kebatinan, menyajikan dimensi mendalam agama, yang di dalam Islam disebut sebagai tasawuf. Di dalam agama Tao atau yang juga sering dikaitkan dengan ajaran filsafat China disebut dengan ungkapan Yin dan Yang merupakan ajaran yang menyatakan bahwa setiap benda di dunia ini terdiri dari dua kekuatan yang saling menguatkan atau saling memperkuat. Yang berwarna putih dan Yin berwarna hitam. Keduanya mengandung kekuatan atau potensi yang saling berhubungan. Yin berlambang hitam sebagaimana malam dan Yang berlambang putih yang berarti siang. Keduanya tidak dapat dipisahkan dan mengandung keseimbangan. Dunia itu terdiri dari hukum berpasangan, seperti lelaki dan perempuan, bulan dan matahari, siang dan malam dan sebagainya.

Di dalam agama Hindu terdapat pandangan tentang Tat Twam Asi artinya adalah pandangan yang menyatakan bahwa di dalam kehidupan yang terpenting adalah kekitaan bukan keakuan. Kau adalah aku, aku adalah kau. Aku  dan kau adalah kita. Pandangan ini menjadi bagian dari prilaku manusia agar hidup dalam keseimbangan, menyeimbangkan antara kepentingan diri dan kepentingan orang lain. Ajaran ini mengajarkan agar orang saling menyayangi dalam darma. Dalam perspektif ketuhanan, maka ajaran ini menggambarkan bahwa di dalam diri manusia terdapat energi ketuhanan dan di dalam Ketuhanan terdapat potensi penciptaan diri manusia. Jika Kamu adalah manusia, maka Aku adalah Tuhan. Dan antara Aku dan Kamu merupakan satu kesatuan yang menggambarkan kemenyatuan  antara yang profan dan yang sacral.

Di dalam agama Buddha maka inti kehidupan adalah bahagia. Orang yang beragama harus dapat mencapai kebahagiaan atau dapat mengendalikan pikiran atau mengendalikan kemauan. Kebahagiaan itu akan dapat dicapai jika seseorang dapat menyeimbangkan antara Aku dan Kamu. Antara Aku Tuhan dan Kamu manusia. Untuk mencapainya maka agama Buddha mengajarkan untuk bermeditasi, misalnya melaksanakan Yoga. Agama Buddha begitu mengagungkan kebahagiaan sebagai pencapaian beragama yang paling tinggi. Hal tersebut tercermin dari ungkapan Budhis, “agar semua makhluk  bahagia”.

Islam sebagai agama juga mengajarkan tentang tasawuf, yang di dalam konsepnya disebut sebagai ihsan. Setelah Nabi Muhammad SAW diajari oleh Malaikat Jibril yang mempersonifikasikan  diri, dengan ungkapan ma huwal iman…lalu ma huwal Islam… lalu  ma huwal ihsan. Kata ihsan inilah yang menjadi sumber lahirnya tasawuf yang diamalkan oleh umat Islam.  Sesuai dengan hadits Nabi Muhammad SAW, dinyatakan bahwa  Ihsan  adalah “engkau menyembah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya, dan jika kamu tidak dapat melihatnya bahwa sesungguhnya Allah melihatmu”. Jika dipertanyakan mengapa Malaikat Jibril mengajarkan agar manusia menyembah Allah seakan-akan Allah hadir di dalam persembahan tersebut dan jika tidak dapat melihat Tuhan yang disembahnya, maka yakinilah bahwa Allah itu melihatnya. Tentu hal ini terkait dengan “kegaiban” Allah yang dipastikan bahwa manusia tidak akan dapat melihat dengan mata kepalanya. Yang bisa bertemu dengan Allah SWT hanya Nabi Muhammad sebagai manusia sempurna.

Di dalam konsepsi tasawuf maka melihat itu tidak dengan mata telanjang tetapi melalui mata hati atau ainun bashirah, yang bisa saja manusia  merasakan kehadiran Allah di dalam diri di kala beribadah. Orang yang melakukan shalat dengan kekhusyuan sebagaimana Sayyidina Ali, maka dengan ainun bashirah akan dapat merasakan kehadiran Allah SWT. Manusia yang melakukan riyadhah dengan tekun dan konsisten, tentu memiliki peluang untuk “menemukan” Tuhan dalam ainun bashirah. Diyakini bahwa terdapat manusia yang karena kehendak Allah bisa merasakannya. Di dalam dunia psikhologi disebut sebagai the experience of the holy atau pengalaman dalam berkomunikasi dengan Tuhan yang Maha Suci.

Para penyebar Islam generasi awal dan kedua, dan seterusnya, para waliyullah, diyakini oleh para pengagumnya sebagai orang yang mendapat karomah atau kelebihan batiniah atau memperoleh keridlaan yang berupa ainun bashirah. Hal ini tentu terkait dengan perjuangan dan riyadhahnya di dalam menyebarkan ajaran Islam.

Mereka merupakan orang Islam yang telah memasuki dunia esoteris di dalam Islam. Tidak hanya beragama secara formal tetapi beragama secara substansial dengan format mengamalkan tasawuf di dalam kehidupannya.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..