JAGA KELUARGA KITA DARI RADIKALISME
JAGA KELUARGA KITA DARI RADIKALISME
Prof. Dr. Nur Syam, MSi
Saya mendapatkan kiriman pesan melalui WhatApp dari sahabat saya, AKBP. M. Dhofier tentang gerakan radikalisme yang sudah menyasar pada anak-anak. Saya yakin bahwa yang dikirim ke saya bukan hoaks tetapi kenyataan. Sahabat-sahabat saya di BNPT dan Densus 88 pastinya akan mengirimkan informasi yang valid karena menyangkut nasib bangsa secara umum dan secara khusus terkait dengan masa depan agama di Indonesia.
Hal ini saya sampaikan dalam ceramah pada Komunitas Ngaji Bahagia (KNB) pada acara ngaji rutin setiap hari Selasa. Disebut juga sebagai ngaji selasanan. Ngaji dilaksanakan di Masjid Al Ihsan Perumahan Lotus Regency, Ketintang Surabaya. Acara ngaji bareng ini selalu diselingi dengan tertawa lepas, meskipun materi pengajiannya itu hal-hal yang sangat serius. Ada saja yang bisa ditertawakan. Peserta ngaji adalah jamaah shalat shubuh pada Masjid Al Ihsan Lotus Regency dan Masjid Raudhah pada Perumahan Sakura Regency. 27/02/2024.
Secara umum dapat dideskripsikan bahwa unggahan melalui youtube ini adalah mengenai pemahaman anak usia belasan yang sudah terpapar virus terorisme dan bukan sekedar radikalisme. Di dalam unggahan wawancara tersebut dinyatakan: “…. Kalau ini matinya senyum, “bahagia maksudnya”. “Semua orang kalau disuruh mati sahid langsung pada seneng. Kalau mati sahid itu meledak pakai bom. Kalau orang mati itu kesakitan, kalau mati sahid tidak ada rasa-rasapun, malahan ada yang badannya sudah kebeler gede, masih bisa ngomong bahkan tersenyum. Tulis ada di Youtube”. “Kamu mau mati syahid”, dia menjawab: “aku maulah. Bom ini di mobil di dalamnya ada bom nanti dia jalan ke tempat kompi orang kafir nah nanti di depan kompi orang kafir dipencet bomnya, terus bomnya meledak kayak bom nuklir”.
Hasil rekaman saya memang tidak persis dengan apa yang diungkap di Youtube, tetapi kurang lebihnya seperti itu. Jika diamati secara mendalam tentang raut wajah, gaya bicara dan diksi-diksi yang digunakan, betapa kelihatan bahwa anak ini sudah terobsesi dengan mati syahid. Wajahnya yang dingin, tatap matanya yang tanpa ekspresi, dan gaya bicaranya yang menggambarkan tentang pemahamannya yang mendalam tentang bom bunuh diri, dipastikan bahwa anak ini sudah terpapar secara mendalam mengenai mati syahid dengan bom bunuh diri. Masih kanak-kanak, tetapi dia sudah terpapar mengenai Gerakan Salafi Takfiri dan geraklan Salafi Jihadi. Di dalam penjelasannya, bahwa yang menjadi sasaran adalah kelompok kafir, yang berdasarkan literatur menjadi sasaran kaum takfiri, dan kemudian juga sudah terpapar Salafi Jihadi karena mau mati sahid dengan meledakkan dirinya.
Oleh karena itu kita semua yang memiliki anak-anak yang masih dalam proses belajar tentang lingkungan dan proses pencarian agama, agar melakukan “kewaspadaan dini”, artinya harus memahami apa yang dilakukan oleh anak-anak kita. Jangan sampai kita mengabaikan terhadap anak kita dan keluarga kita. Kaum Salafi Jihadi sudah menyasar ke anak-anak. Jika di masa lalu, sasarannya adalah orang-orang yang secara ekonomi lemah, atau mahasiswa yang berkeinginan untuk browsing informasi keagamaan atau para perempuan yang terpinggirkan, maka sekarang sudah menyasar anak-anak. Jangan lupa bahwa anak-anak memiliki ingatan yang akan berjangka panjang, dan jika anak tersebut terpapar, maka akan bertahan lama ingatannya tersebut.
Kita harus membentengi keluarga dengan beragama yang menyejukkan dan membawa kepada keteraturan social. Ada tiga hal yang bisa dilakukan terkait dengan membentengi keluarga, yaitu: Pertama, memahamkan keluarga kita untuk beragama yang bisa memberi rahmah kepada umat manusia. Agama itu memiliki dua potensi dalam kajian sosiologis, yaitu agama sebagai sumber keteraturan social dan agama sebagai sumber konflik social. Ada banyak konflik social yang bernuansa agama. Baik di luar negeri maupun di Indonesia. Diharapkan agar keluarga kita tidak masuk dalam area agama sebagai sumber konflik. Tentu saja bukan agamanya yang menjadi sumber konflik tetapi penafsiran atas ajaran agama sebagai penyebabnya. Padahal di dalam tafsir agama itu luar biasa banyaknya dan jika ada satu saja yang menyatakan dengan keras bahwa hanya tafsirannya yang benar, maka bisa terjadi disharmoni social atau bahkan konflik social. Di masa lalu, relasi antara kelompok Kristen dengan Katolik adalah relasi konfliktual bahkan peperangan. Tentu saja kita tidak berharap seperti itu. Kita ingin agar kita beragama dengan penuh kerahmatan tidak hanya bagi sesama umat Islam tetapi juga terhadap yang lain. Alangkah indahnya jika kita dapat melakukannya.
Kedua, beragama dengan rasa cinta. Ada agama rahmah dan ada agama cinta. Agama yang di dalamnya terdapat rasa kasih dan sayang. Kalau dalam dunia pernikahan disebut dengan mawaddah dan rahmah yang berimplikasi Sakinah. Agama yang memberikan cinta dan kasih sayang dan berakibat hadirnya ketentraman, kerukunan dan persaudaraan. Bukankah Islam itu mengajarkan akan kasih sayang. Islam itu agama yang penuh dengan kecintaan kepada sesama.
Di dalam tradisi tasawuf dikenal tasawuf cinta, yang dikembangkan oleh Rabiah al Adawiyah yang memperkenalkan kepada kita akan keharusan beragama yang berbasis pada rasa cinta. Cinta kepada Allah adalah puncak dari segalanya. Cinta kepada yang lain hanyalah instrument belaka dan tujuan akhirnya adalah mencintai kepada Allah SWT. Kata Rabiah dalam Bahasa bebas: “Wahai Tuhan saya tidak pantas masuk ke surga, tetapi tidak kuat untuk masuk neraka Jahim, terimalah taubat saya agar memperoleh cintamu”. Agama cinta mengandaikan bahwa manusia yang utama adalah manusia yang mencitai Tuhan dan Tuhan mencintainya.
Mungkin kita belum sampai kepada beragama dengan cinta sebagaimana yang diekspresikan oleh Rabiah, tetapi sekurang-kurangnya kita telah beragama dengan tidak berbasis pada kekerasan akan tetapi telah beragama dengan rasa kedamaian dan rasa menyayangi kepada yang lain.
Wallahu a’lam bil al shawab.