• November 2024
    M T W T F S S
    « Oct    
     123
    45678910
    11121314151617
    18192021222324
    252627282930  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

DIMENSI ESOTERIS AGAMA (BAGIAN DUA)

DIMENSI ESOTERIS AGAMA (BAGIAN DUA)

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Tulisan ini merupakan kelanjutan atas tulisan sebelumnya yang juga membahas tentang Dimensi Esoteris Agama dengan focus pada bahasan bahwa semua agama memiliki dimensi esoteris atau tasawuf. Tidak hanya Islam yang memilikinya, tetapi agama-agama lain juga berkutat dengan ajaran mendalam agama. Dunia metafisis atau kegaiban agama-agama. Dunia metafisis agama berkaitan dengan bagaimana Tuhan hadir di dalam diri manusia melalui pengalaman batin berbasis pada kemampuan yang disebut ainun bashirah.

Islam merupakan agama yang sangat mendasar mengajarkan tentang dimensi metafisis atau ajaran kegaiban.

Ajaran tasawuf dikaitkan dengan dua sahabat Nabi Muhammad SAW, yang memiliki kontribusi besar dalam pengalaman agama dalam coraknya yang batiniah. Dua orang sahabat tersebut adalah Sayyidina Abu Bakar RA dan Sayyidina Ali RA. Yang banyak hadir di Indonesia adalah yang memiliki sanad yang tersambung kepada Sayyidina Ali dan Sayyidatina Fathimah. Hal ini tentu saja sehubungan dengan para pendakwah generasi pertama dan kedua yang terafiliasi sanadnya sampai kepada Sayyidina Ali dan Sayyidatina Fathimah binti Rasulullah SAW.

Salah satu kelebihan dari tradisi Arab adalah upaya secara terus menerus untuk merawat genealogi keturunan yang sambung menyambung sampai leluhurnya. Sanad Waliyullah, misalnya Eyang Sunan Drajat itu bersambung kepada Eyang Sunan Ampel terus ke Eyang Syekh Ibrahim Asmaraqandi, ke Syekh  Jumadil Kubra terus ke atas sampai ke Sayyidina Ali dan Sayyidatina Fathimah ke Rasulullan SAW. Mereka adalah para Sayyid yang dibangsakan dengan keturunan Arab dari jalur Sayyidina Ali dan Sayyidah Fathimah. Sementara itu juga ada yang dibangsakan dengan Syarif yang berhubungan dengan keturunan Sayyidina Hasan, misalnya Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Dalam bahasa sederhana dapat dinyatakan bahwa Syekh itu terkait dengan genealogi ilmu keislaman, sedangkan syarif dikaitkan dengan genealogi kekuasaan. Mereka adalah para penganut Islam esoteris dengan banyak pengamalan tasawufnya. Misalnya, Sunan Gunungjati dikenal sebagai pengikut tarekat Syatariyah dan juga penganut tarekat Syahadatain. (Nur Syam, Tarekat Petani: Fenomenologi Tarekat Syatariyah Lokal, 2014).

Tasawuf adalah dimensi mendalam dalam agama atau dimensi esoteris agama, sedangkan tarekat adalah dimensi praksis tasawuf yang merupakan bentuk pengamalannya. Tasawuf dibagi menjadi dua dalam praksis kehidupan para ahlinya, yaitu tasawuf falsafi dan tasawuf amali atau tasawuf akhlaki. Tasawuf falsafi merupakan jenis tasawuf yang menggunakan pendekatan falsafah atau pemikiran untuk mengenal dan merasakan kehadiran Tuhan dalam amalan-amalannya. Tasawuf falsafi banyak bersentuhan dengan ilmu kalam atau membicarakan tentang Tuhan dan bagaimana Tuhan itu hadir di dalam diri manusia. Misalnya Al Hallaj, Dzinnun Al Mishri, dan Yazid Bustami di Timur Tengah serta Syekh Lemah Abang atau Syekh Abdul Jalil di Nusantara. Ada dua pemikiran tentang kehadiran Tuhan, yaitu Tuhan memasuki alam manusia, misalnya pernyataan anal haq sebagaimana diungkapkan oleh Al Hallaj atau Syekh Abdul Jalil. Jika seseorang sudah bisa menghadirkan Tuhan  di dalam amalan tasawufnya, maka tidak ada perbedaan antara manusia dan Tuhan karena Tuhan sudah manjing sajiwa atau Tuhan memasuki alam nasut. Alam manusia. Tentu tidak dalam bentuk fisik tetapi dalam pengalaman batiniah melalui ainun bashirah.

Lalu terdapat tasawuf ‘amali atau akhlaki yaitu tasawuf yang berbentuk tarekat yang lebih menekankan pada fiqih. Jadi tarekat yang di dalamnya terdapat dzikir dan wirid dilakukan secara terstruktur dalam jumlah tertentu. Bagi kalangan ini, seseorang tidak diperkenankan memasuki dunia tarekat jika amalan syariahnya belum memadai. Jadi harus amalan syariahnya baik lalu memasuki amalan tarekat dan terakhir akan memasuki amalan hakikat.  Syariat, tarekat dan hakikat merupakan system yang menyatu dan tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Tidak boleh misalnya di kala sudah memasuki alam hakikat lalu meninggalkan alam syariat. Genealogi keilmuan tarekat amali  berbasis pada fiqih atau syariah dalam konteks amalan ibadah.

Di Indonesia terdapat sebanyak 41 tarekat dengan tokoh dan amalan-amalannya. Sebanyak 41 tarekat ini yang dianggap mu’tabaroh atau memiliki ketersambungan sanad sampai Rasulullah Muhammad SAW. Ada yang disebut tarekat ghairu mu’tabarah atau tarekat yang terputus salah satu sanadnya.  Terdapat sanad yang tidak tersambung sampai kepada Rasulullah. Itulah sebabnya terdapat perkumpulan tarekat Mu’tabarah, misalnya Jam’iyah Ahlu Thariqah Mu’tabarah Nahdhiyah (JATMAN), sebuah organisasi yang menghimpun tarekat-tarekat yang sesuai dengan genealogi yang diabsahkan oleh NU sebagai tarekat mu’tabarah.

Karena factor politik di masa Orde Baru, maka juga terdapat perpecahan di dalam tubuh organisasi tarekat, yaitu di saat Kyai Mustain memasuki Golkar, maka tarekat-tarekat lain yang tergabung dalam JATMAN mendukung Partai Persatuan Pembangunan (PPP), maka kemudian di bawah Golkar, Kyai Mustain mendirikan Jam’iyah Ahlu Thariqah Mu’tabarah Indonesia (JATMI) yang masih eksis sampai sekarang meskipun semakin mengecil keanggotaan tarekat di dalamnya.

Tarekat sebagai orde tasawuf tentu tidak terlepas dari persoalan duniawi. Ajaran tarekatnya memang mengandung kesakralan atau kesucian, akan tetapi pelakunya tentu berada di dalam dunia profan, makanya hukum keduniawian tentu menyelimuti para pelakunya. Tetapi yang pasti, bahwa pelaku tarekat adalah orang yang lebih terstruktur di dalam pengalaman dzikir atau wiridnya. Dan kata kunci wiridnya adalah kalimat tauhid atau  lailaha illallah. Tidak ada Tuhan selain Allah. Inilah substansi dari ajaran tarekat. Kalau ada yang lain-lain adalah tambahan-tambahan untuk memperoleh nilai lebih di dalam beribadah.

Tarekat merupakan instrument untuk “menemukan” Tuhan bagi para perindu Tuhan. Mereka ingin memperoleh pencerahan Tuhan dalam wirid yang dibacanya. Tentu ada yang berhasil dan ada yang tidak tetapi berdasarkan logika supra rasional, bahwa dipastikan bahwa siapa yang banyak dzikirnya tentu akan mendapatkan balasan yang setimpal dengan amalannya.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

Categories: Opini
Comment form currently closed..