MENGISI TRANSFORMASI INSTITUSI DENGAN PRESTASI AKADEMIK UNGGUL
MENGISI TRANSFORMASI INSTITUSI DENGAN PRESTASI AKADEMIK UNGGUL
Rabo, 11/01/2017, saya diminta oleh Rektor IAIN Samarinda untuk memberikan pengarahan dalam rangka “Rapat Kerja Pelaksanaan Anggaran tahun 2017”. Acara ini diikuti oleh Rektor IAIN Samarinda, Dr. M. Ilyasin, para Wakil Rektor, para Dekan, dan wakil Dekan, Kepala Biro, Moh. Qusasi, serta seluruh pejabat structural maupun fungsional pada IAIN Samarinda. Dan juga hadir Kakanwil Kepri, Marwin Jamal, dan Kakankemenag, Zulkifli. Acara dilaksanakan di Hotel Ultima Hilton, Batam.
Saya merasa senang bisa hadir di dalam acara ini di tengah kesibukan di awal tahun terutama menyiapkan berbagai hal yang terkait dengan implementasi anggaran tahun 2017 dan juga berbagai evaluasi serapan anggaran tahun 2016. Pagi tadi pun saya melakukan rapat koordinasi terkait dengan pelaksanaan bantuan pemerintah melalui anggaran 2017. Kita mesti mensosialisasikan PMA No 67 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Bantuan Pemerintah pada Kementerian Agama.
Rapat Kerja di awal tahun anggaran tentu menjadi sangat strategis sebab akan dapat digunakan untuk melakukan evaluasi serapan anggaran tahun 2016 dan sekaligus membangun kesepahaman tentang pelaksanaan anggaran tahun 2017. Apalagi Pak Menteri Agama, Pak Lukman Hakim Saifuddin, sudah menekankan agar pada bulan Januari ini dilakukan upaya untuk merealokasi anggaran yang tidak tepat sasaran, tidak tepat jumlah, tidak tepat distribusi dan juga tidak tepat target.
Beliau selalu menekankan agar seluruh perencanaan anggaran berbasis pada data yang akurat, sehingga akan terjadi distribusi yang tepat. Bisa kita bayangkan bahwa melalui ketidaktepatan distribusi itu, maka akan berpengaruh terhadap serapan anggaran dan bahkan juga kekurangan atau kelebihan anggaran pada satker-satker tertentu.
Di dunia PTKN misalnya, bahwa keinginan untuk membangun tenaga pendidik yang mencukupi kebutuhan dapat terganggu sebab ketidaksiapan kita merumuskan anggaran untuk kepentingan ini. Dari sebanyak 57 PTKIN, ternyata hanya terdapat sebanyak 12 PTKIN yang menganggarkan untuk tunjangan profesi dosen Non-PNS, sementara semua PTKIN membutuhkan anggaran untuk tunjangan profesi dosen non-PNS dan juga tunjangan fungsional ini. Masih untung sebab Ditjen Pendis sudah menganggarkan sebanyak 300 Milyar rupiah untuk kepentingan ini, sehingga masih memungkinkan untuk dilakukan realokasi.
Selain hal ini, maka saya sampaikan dua hal penting di dalam acara ini, yaitu: Pertama, mengembangkan PTKIN—khususnya IAIN Samarinda—agar menjadi lembaga pendidikan yang unggul terutama di bidang akademis. Perubahan status dari STAIN Ke IAIN tentu membawa konsekuensi banyak hal, misalnya perubahan jumlah mahasiswa, pertambahan jumlah dosen, program studi, tenaga kependidikan dan juga sarana prasarana. Makanya, perubahan atau transformasi status mengandung tidak hanya perubahan kelembagaan saja, akan tetapi juga harus diikuti dengan perubahan mental atau mindset untuk menjadi yang terdepan atau one step ahead.
Selalu saya nyatakan bahwa bukan perubahan status kelembagan menjadi IAIN yang diupayakan diraih, akan tetapi yang jauh lebih penting ialah bagaimana kita mengubah pemikiran seluruh jajaran pemangku kepentingan atau stakeholder tentang menjadi IAIN tersebut. Dalam banyak kesempatan saya ungkapkan “jangan menjadi IAIN rasa STAIN”. Bukan maksud saya menyatakan STAIN itu berada di kelas bawah, akan tetapi harus berpikir bahwa menjadi IAIN itu artinya memiliki mandate yang lebih besar dan luas. Terutama dalam cakupan keilmuan yang dihadapi dan diperjuangkan.
Perguruan tinggi itu pusatnya pendidikan berbasis riset. Pertanyaannya adalah seberapa banyak dosen diberi keleluasaan untuk melakukanm riset sebagai basis pendidikan tersebut. Seberapa banyak temuan-temuan riset yang menjadi pembicaraan di dunia akademis. Di dalam bidang ilmu agama tentu kita menjadikan Imam Buchori, Imam Muslim, Imam Syafi’i, Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Hambali, Imam Ghazali dan sebagainya sebagai figur-figur hebat yang bisa membangun kehebatan kajian Islam dari dulu hingga sekarang. Mereka adalah figur-figur yang meninggalkan legacy yang hebat di dunia Islamic studies. Karya-karyanya dikaji dan dijadikan pedoman di dalam urusan pelaksanaan beragama.
Di dalam ilmu sosial kita tentu mengagumi sosok Ibnu Khaldun, Max Weber, Emile Durkheim, bahkan Karl Marx hingga Clifford Geertz dan Robert N Bellah dan sebagainya, karena karyanya yang luar biasa dan menjadi perdebatan teoretik dan empiris hingga sekarang. Perdebatan akademis dan intelektual yang hangat seperti ini yang seharusnya mewarnai lingkungan academic atau academic environment di sini. Sering saya ungkapkan berapa banyak orang doctor yang dihasilkan dari memperdebatkan karya Geertz atau Imam Ghazali.
Jadi tantangan kita tidak sekedar menjadi IAIN sebagai lembaga yang dianggap relevan, tetapi bagaimana mengisi ruang-ruang kosong akademis ini untuk terus didinamisasikan di dalam kerangka pengembangan ilmu pengetahuan. Jadi jangan berhenti menjadi IAIN tetapi bagaimana mengisi IAIN ini dengan kajian akademik yang unggul di dalam lingkungan akademik yang hebat.
Kedua, kita memang belum bergembira dengan tampilan anggaran PTKIN dan sering menjadi bahan rerasanan tentang bagaimana mengembangkan PTKIN kita jika anggarannya terbatas. Kita sering berpikir bahwa uang adalah segalanya. Makanya uang menjadi determinant factor keberhasilan. Saya kira bukan itu. Uang itu hanya menjadi instrument saja dan bukan penentu keberhasilan.
Perguruan tinggi harus membangun kerja sama untuk menghasilkan revenue bagi dirinya sendiri. Bukankah sekarang ini terdapat sekian banyak lembaga atau institusi yang bisa dijaring untuk pengembangan pendidikan tinggi. Makanya pimpinan PTKIN harus rajin untuk menjaring kerjasama agar terdapat keuntungan timbal balik yang ujung akhirnya ialah peningkatan kualitas pendidikan tinggi.
Di era sekarang ini terdapat sebuah konsepsi bahwa “siapa yang mampu membangun jejaring berbasis pada inovasi yang baik, maka dialah yang akan memenangkan persaingan atau kompetisi yang terus bergerak dinamis”. Jadi perguruan tinggi harus memikirkan di setiap saat, apa yang bisa dijadikan sebagai inovasi baru untuk menarik institusi lain bergabung dengan perguruan tinggi itu. Era reformasi memberikan peluang untuk melakukan hal tersebut.
Pada era reformasi birokrasi, kita semua diminta untuk meningkatkan kinerja dan mengevaluasi kinerja agar semua memiliki performance yang relevan dengan dinamika reformasi birokrasi. Semua harus bergerak cepat untuk mencapai target yang sudah ditetapkan. Termasuk di dalamnya ialah pengembangam riset akademik dan kerja sama kelembagaan. Di era manajemen kinerja ini, maka semua harus merumuskan perjanjian kinerja sebagaimana tertuang di dalam KMA No. 702 Tahun 2016 tentang Perjanjian Kinerja, Tata Cara dan Review Atas Laporan Kinerja Kementerian Agama.
Melalui Perjanjian Kinerja dan Evaluasi Kinerja, maka akan kita dapatkan performance kinerja yang sesungguhnya sehingga akan didapatkan upaya-upaya perbaikan atau pendampingan jika terdapat target yang tidak atau kurang memenuhi harapan. Jadi, semua ASN di PTKIN harus terus berupaya untuk mencapai yang terbaik agar PTKIN menjadi destinasi pendidikan bagi masyarakat kita.
Ke depan kita tidak hanya ingin menjadikan pelayanan ASN kita itu memuaskan pelanggan, akan tetapi juga membuat para pelanggan loyal kepada kita. Not only customer satisfaction but customer loyalty.
Wallahu a’lam bi al shawab.
