MEMBANGUN LITERASI UMAT ISLAM DI ERA CYBER WAR (2)
MEMBANGUN LITERASI UMAT ISLAM DI ERA CYBER WAR (2)
Salah satu di antara efek negative dari teknologi informasi yang berupa media sosial adalah banyaknya informasi yang disebut sebagai hoax atau berita palsu, penuh dengan kebohongan dan tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Sayangnya bahwa di antara umat Islam belum secara cerdas menyikapi berita bohong atau hoax ini dengan sikap kritis dan cerdas.
Secara umum memang kita baru saja mengenal dunia teknologi informasi. Saya kira media sosial menjadi membludak di sekitar tahun 2000-an. Booming Hand Phone baru terjadi terutama di tahun 2010-an. HP lalu menjadi trend di semua lapisan masyarakat di masa akhir-akhir ini. Benar-benar tidak ada perbedaan yang mencolok di antara berbagai strata sosial di masyarakat.
Seirama dengan perkembangan teknologi informasi yang semakin kuat, maka penggunaan media sosial juga makin melonjak. Jumlah penggunanya semakin membesar seirama dengan tuntutan gaya hidup dan kebutuhan yang tidak terhindarkan. Mulai anak-anak samapi orang dewasa sudah menganggap tanpa HP hidup tidak bermakna. Orang bisa kehilangan sekian banyak informasi jika HP drop baterenya sehari saja. Bisa kehilangan peluang usaha, peluang persahabatan, peluang bercengkerama, dan sebagainya.
Salah satu sisi yang sangat negative dari penggunaan media sosial adalah yang disebut sebagai cyber war. Yaitu penyebaran berita yang mengandung kebencian, disinformasi, pembunuhan karakter, dan penyebaran hate speech. Inilah yang disebut sebagai peperangan melalui media. Bukan pertempuran menggunakan senjata otomatis yang mematikan, akan tetapi pertempuran menggunakan kata-kata yang dipublish melalui media sosial.
Meskipun cyber war tidak mematikan secara fisikal, akan tetapi pengaruhnya luar biasa. Melalui cyber war ini, maka seseorang akan dapat digerakkan dengan kekuatan penuh untuk mendukung atau menolak terhadap ide atau gagasan yang berseberangan. Bisa mendukung atau menolak kebijakan pemerintah, bisa juga mendukung atau menolak ajakan unjuk rasa dan sebagainya.
Di dalam cyber war ini, maka pengguna media sosial akan bisa diarahkan untuk mengikuti ajakan untuk melakukan suatu tindakan. Masih bisa diingat bagaimana Bahrum Naim bisa mendorong seorang perempuan muda (Dian Yulia Novi) untuk berencana melakukan tindakan bom bunuh diri di Istana Negara dan sebagainya. Bagaimana media sosial bisa mempengaruhi seorang Direktur Pelayanan Satu Pintu di BP Batam (Dwi Djoko Wiwoho) untuk meninggalkan pekerjaannya dan berangkat ke Iraq untuk menjadi jihadis di ISIS.
Dewasa ini banyak terjadi informasi yang bisa dikategorikan sebagai hoax atau berita bohong dan menyesatkan. Seirama dengan tingkat literasi masyarakat Indonesia yang saya kira baru memasuki kelas pemula, makanya respon dan feedbacknya juga relevan dengan tingkat literasinya tersebut. Makanya, jika berita hoax masih berkeliaran di media sosial, tentu juga bisa dikaitkan dengan tingkat literasi dimaksud.
Untuk kepentingan literasi umat ini, saya kira ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Pertama, para kyai atau ulama hendaknya menjadi panutan di dalam menggunakan media sosial. Sebagaimana dipahami bahwa masyarakat Indonesia memiliki sikap paternalitas, sehingga ajakan kyai atau ulama menjadi penting sebagai pedoman untuk tidak dengan mudah menyebarkan berita kepada umat. Jika harus melakukan sharing informasi yang diyakini akan merusak terhadap kesatuan dan persatuan bangsa, selayaknya hanya dilakukan terhadap limited group. Tentu dengan pemikiran bahwa informasi tersebut akan dijadikan untuk membuat strategi “melawan” terhadap disinformasi yang menyesatkan. Misalnya, di saat didapatkan informasi mengenai “ketidakbenaran” bahwa di Indonesia tidak terdapat terorisme sebab hal itu dianggap sebagai model pencitraan, maka diperlukan informasi “penyeimbang” agar masyarakat tidak berada di dalam agenda setting seperti itu. Sekali lagi hal ini hanya berlaku pada limited group atau kelompok strategic saja.
Kedua, meski dibangun sekelompok orang yang memahami berbagai kepentingan umat terutama kelompok cerdas sebagai “penggerak aktif media sosial santun”. Saya kira di berbagai organisasi sosial keagamaan tentu terdapat pemuda-pemuda cerdas yang menguasai teknologi informasi dan kemudian secara bersamaan membangun kesepahaman untuk “meluruskan” berbagai disinformasi yang terjadi.
Kelompok ini merupakan kelompok yang paling sadar tentang “bahaya” penyebaran hoax yang bisa membuat runtuhnya kesatuan dan persatuan bangsa. Mereka memiliki keahlian di bidang teknologi informasi dan juga memahami berbagai content hoax yang bisa merusak bangsa dan negara dan khususnya adalah merusak ukhuwah kebangsaan, kemanusiaan dan keislaman. Jadi memang harus terdiri dari berbagai keahlian yang menyatu di dalam “Pasukan Anti Hoax” atau PAH.
Ketiga, membangun sinergi yang lebih kuat di antara organisasi keagamaan di dalam memerangi hoax. Kita berharap bahwa elemen structural di dalam organisasi keagamaan harus menjadi agen di dalam memerangi hoax. Jangan sampai justru dari eksponen organisasi yang menyebarkan berita-berita bohong yang menyesatkan.
Saya masih melihat di dalam kenyataan bahwa masih banyak elemen masyarakat kita yang justru menjadi penyebar “kebohongan public” ini. Ada berbagai group WA yang terus melembagakan “kebohongan public” dengan cara menyebarkan informasi yang disinformatif dan cenderung menfitnah. Makanya, saya kira memang harus dimulai dari diri sendiri untuk tidak menjadi pendorong tersebarnya hoax ke masyarakat yang lebih luas.
Semua harus menyadari bahwa di dalam dunia komunikasi “pesan itu memiliki kekuatan seperti peluru” yang dapat memasuki jantung audience dengan pengaruh yang sangat besar. Berdasarkan “the Bullet Theory” dalam paradigma mekanistik, bahwa pesan sesungguhnya memiliki kekuatan yang powerfull untuk memengaruhi terhadap audience layaknya sebuah peluru yang ditembakkan dan bisa membuat orang tidak berkutik.
Begitulah sebuah pesan itu akan bekerja. Jika pesan hoax itu ditembakkan melalui media sosial, maka orang tidak lagi bisa berpikir kecuali “membenarkan” terhadap pesan itu. Apalagi jika pesan yang senada itu ditembakkan berkali-kali.
Wallahu a’lam bi al shawab.
