• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN SEBAGAI PARADIGMA PENGAWASAN

PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN SEBAGAI PARADIGMA PENGAWASAN
Dalam dua hari terakhir, saya memperoleh kesempatan untuk memberikan pembinaan ASN Inspektorat Jenderal Kementerian Agama (Kemenag) dalam kapasitas sebagai Plt. Inspektur Jenderal Kemenag menggantikan Pak Dr. Moh. Jassin yang mengakhiri masa jabatannya. Beliau menjadi dosen pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Salah satu acara yang penting diselenggarakan di Hotel Pajajaran Bogor, 18/01/2017, dengan tema Lokakarya Pengawasan (lokwas) pada Inspektorat Jenderal Kemenag. Acara ini dihadiri oleh semua pejabat eselon II, tiga dan empat serta seluruh auditor pada Irjen Kemenag. Acara ini merupakan acara tahunan untuk membahas berbagai hal yang terkait dengan pengawasan dan pada seluruh program dan kegiatan pengawasan dan pendampingan.
Sebagaimana biasanya, maka saya sampaikan tiga hal mendasar sebagai bagian tidak terpisahkan dari upaya untuk membenahi, memperbaiki dan mengembangkan lima nilai budaya kerja pada Kemenag. Pertama, inspektorat Jenderal memiliki kapasitas untuk melakukan pengawasan dan pemeriksaan sebagai bagian dari tupoksi utama di dalam penyelenggaraan pemerintahan, khususnya untuk penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Good governance dan clean government. Peran inspektorat menjadi sangat mendasar agar roda pemerintahan terus berjalan di atas rel atau on the track. Jika ada yang belok maka harus diluruskan. Jangan sampai yang belok meskipun sedikit lalu dibiarkan sehingga kemudian menjadi kesalahan yang besar.
Inspektorat jenderal memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap program-program atau kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan oleh seluruh ASN Kemenag. Harapannya tentu saja adalah agar seluruh ASN menegakkan transparansi dan akuntabilitas. Jika ada yang salah di dalam penyelenggaraan pemerintah, misalnya korupsi, kolusi dan nepotisme atau melakukan abuse of power, maka dengan kewenangan inspektorat adalah untuk memberikan sangsi sesuai dengan tingkat kesalahannya. Hanya saja bahwa setiap pengambilan keputusan maupun proses pemeriksaannya haruslah melalui cara-cara yang obyektif dan manusiawi. Bukti-bukti yang akurat dan valid tentu menjadi ukuran untuk menentukan apakah seseorang dihukum atau harus dibebaskan.
Makanya, seorang auditor harus menguasai regulasi dengan baik dan harus menjadi penafsir yang baik. Upayakan bahwa kita memiliki tafsir yang dipahami sama oleh orang lain. Jangan membuat tafsiran sendiri-sendiri sehingga akan membuat kesulitan di dalam melakukan eksekusinya. Melalui pemahaman atas tafsir regulasi yang sama dan share pada semua jajaran, maka akan dihasilkan keputusan yang akan dapat diterima oleh semua kalangan.
Kedua, fungsi Inspektorat Jenderal juga mengalami metamorphosis. Jika di masa lalu, paradigma irjen itu adalah pengawasan dan pemeriksaan, maka sekarang berubah menjadi pencegahan dan pengendalian. Yang arus utamanya ialah pencegahan. Jadi bukan semata-mata untuk pemeriksaan. Pencegahan harus didahulukan agar tidak terjadi “penyelewengan atau kesalahan”. Semua upaya harus dilakukan agar semuanya menjadi lebih baik. Pemantapan dan penegakan terhadap lima nilai budaya kerja harus ditegaskan. Nilai integritas yang selama ini menjadi problem yang krusial harus ditanamkan benar-benar agar menjadi pedoman dalam melakukan tindakan. Sebagaimana sering dinyatakan Pak Menteri Agama, Bapak Lukman Hakim Saifuddin, bahwa semua tindakan harus dilihat dari niatnya. Jika memang ada kesengajaan di dalam melakukan kesalahan, maka yang seperti itu tidak bisa ditoleransi, akan tetapi jika ternyata tidak ada niat untuk melakukan kesalahan, maka tentu bisa dicari jalan keluar yang lebih baik.
Di dalam konteks ini, maka seluruh ASN harus tahu akan tupoksinya dan juga kendala dan tantangan untuk melakukannya. Diperlukan upaya yang jelas agar setiap ASN pasti memahami tugasnya dan cara-cara yang benar untuk melakukannya. Pengetahuan yang benar dan cara melakukan yang benar menjadi kata kunci untuk mengabdi kepada Kemenag.
Ketiga, tuntutan era reformasi birokrasi adalah terwujudnya clean government dan good governance dan juga transparansi dan akuntabilitas. Oleh karena itu, keberhasilan reformasi birokrasi akan ditentukan oleh sekurang-kurang empat hal yaitu: 1) semakin sedikitnya temuan tentang KKN. Indikatornya ialah seberapa besar compliance kita terhadap regulasi yang dijadikan sebagai pedoman untuk melakukan tindakan. Makin besar kepatuhan, maka makin kecil temuan tentang kecurangan dan kesalahan dalam melakukan program dan kegiatan. 2) makin besarnya relevansi antara perencanaan, pelaksanaan dan serapan anggaran. Sasaran program yang benar, dengan indicator yang benar serta serapan yang baik tentu menjadi indicator bahwa reformasi birokrasi berjalan dengan baik. 3) semakin meningkatnya transparansi dan akuntabilitas. Ukuran keberhasilan reformasi sangat ditentukan oleh dua kata ini, jadi semua ASN harus berupaya untuk menjadikan kementeriannya semakin transparan dan akuntabel.
4) semakin baik serapan yang diikuti dengan laporan keuangan yang baik juga menentukan terhadap kinerja yang baik dan menjadi indicator keberhasilan reformasi birokrasi.
Kita tentu bersyukur bahwa pelaksanaan Zona Integritas (ZI) untuk menuju Wilayah Bebas Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM) sudah kita terapkan di sejumlah satker kemenang. Ke depan harus dirumuskan roadmap tentang bagaimana seluruh satker kita sudah menerapkannya.
Tugas jangka pendek kita (triwulan pertama dan kedua) adalah melakukan review atas hutang Tunjangan Profesi Guru (TPG) tahun 2015-2016. Makanya, di dalam acara ini agar dirumuskan bagaimana caranya agar persoalan TPG yang selalu heboh ini bisa diselesaikan atas peran kita semua.
Wallahu a’lam bi al shawab.

MERINDUKAN DISKUSI HANGAT KEBERAGAMAAN KITA (3)

MERINDUKAN DISKUSI HANGAT KEBERAGAMAAN KITA (3)
Kita tentu sangat bergembira sebab sangat banyak diskusi di level Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) di Indonesia. Baik diskusi berlevel lokal, nasional maupun internasional dengan berbagai tema dan topiknya. Berbagai diskusi ini tentu diprakarsai oleh pimpinan PTKIN, maupun oleh Kementerian Agama RI. Ada yang bersifat tahunan dan ada juga yang temporal.
Saya ingin melakukan pembahasan –meskipun tentu tidak tuntas—tentang diskusi dan seminar yang sifatnya nasional maupun internasional yang berupa konferensi tahunan atau annual conference yang telah menjadi agenda bagi PTKIN seluruh Indonesia. Pembahasan ringkas ini diperlukan sebagai bagian dari “perenungan” mengenai annual conference yang diikuti oleh banyak kalangan, terutama para professor, baik dari dalam maupun dari luar negeri.
Kita telah memiliki Annual International Conference on Islamc Studies atau disingkat AICIS. Ini hanya menunjuk sekedar contoh sebab di seluruah PTKIN tentunya terdapat seminar dan diskusi baik yang berlevel nasional maupun internasional dengan berbagai kepentingannya. Semua dilakukan tentu untuk kepentingan membangun imaje tentang perguruan tinggi dimaksud. Semua tentu memahami bahwa ruh perguruan tinggi ialah semaraknya diskusi atau seminar yang diselenggarakannya.
Sebagaimana diketahui bahwa AICIS adalah puncak dari perbincangan akademis di PTKIN. Semula adalah ACIS atau Annual Conference on Islamic Studies, akan tetapi semenjak diselenggarakan di UIN Sunan Ampel Surabaya (dulu IAIN), pada tahun 2013, maka diubah menjadi AICIS agar konferensi ini menjadi ajang bagi perbincangan akademik tidak hanya para professor dan doctor di dalam negeri tetapi juga di luar negeri.
Saya kira tema-tema yang dibahas juga sangat menarik, misalnya tentang Islam Nusantara, Islam Peradaban, Islam dan Sains, Islam dan pembangunan bangsa, integrasi ilmu dan sebagainya. Tema ini tentu menarik sebab memang menjadi perbincangan di banyak peluang dan kesempatan. Tentang Islam dan Sains, misalnya tentu dikaitkan dengan upaya untuk mendialogkan Islam dan Sains yang selama ini dianggap masih sering didikhotomikan. Demikian pula tentang Islam peradaban dan Islam Nusantara. Semua saya kira merupakan tema dari hasil pendalaman yang dilakukan di dalam kerangka mengangkat hal-hal yang urgen dan mendasar untuk dibicarakan di level internasional.
Sesungguhnya berbagai konferensi internasional merupakan ajang bagi proses pencarian dan penemuan solusi akademis atas permasalahan akademis atau sosial keagamaan dan kemasyarakatan, sehingga mestilah di dalamnya terdapat berbagai perdebatan yang berangkat dari berbagai perspektif dan sudut pandang. Ia merupakan bagian tidak terpisahkan dari upaya untuk mengembangkan konsepsi teruji dari para ahlinya. Semestinya bahwa setiap general concept yang akan diperbincangkan tersebut dikaji dari berbagai pemikiran murni atau hasil kajian mendasar dari para ahlinya, sehingga akan menjadi saling melengkapi.
Namun demikian, kata kuncinya adalah perdebatan intelektual atau perdebatan akademik. Jadi bukan hanya sekedar memaparkan hasil kajian atau pemikiran, akan tetapi benar-benar merupakan ajang bagi pematangan akademis terhadap suatu konsep yang akhirnya menjadi kekuatan utuh untuk dipublikasikan. Jadi bukan hanya menghasilkan kumpulan makalah, sebagaimana lazimnya yang kita lihat sekarang, akan tetapi benar-benar menghasilkan perdebatan yang terekam dan dapat dipublikasikan sebagai perbincangan akademis yang hangat.
Sesungguhnya kita memiliki iklim akademis yang sangat kental dengan “kebebasan”. Bayangkan jika di Malaysia, maka sebelum sebuah tulisan dipublikasikan, maka harus diperiksa terlebih dahulu oleh suatu dewan perbukuan –atau apapun namanya—yang memiliki tugas untuk melakukan “sensor” terhadap content buku atau bahkan khutbah Jum’at. Semua di dalam kendali negara. Sementara di Indonesia saya kira hal-hal seperti itu tidak didapatkan. Semua yang dipikirkan bisa ditulis dan semua yang ditulis dianggap layak untuk dipublikasikan.
Namun demikian, rasanya terdapat “keengganan” untuk mempublikasikan pikiran-pikiran “berbeda”. Tekanan itu bukan pada negara akan tetapi dari kelompok lain yang secara aktif “menguasai” media sosial. Akhirnya, hampir semuanya hanya akan mempublikasikan pikiran-pikiran yang standart yang tidak menimbulkan kegaduhan akademik, atau bahkan kegaduhan sosial sehingga terasa dunia akan lebih aman dari hiruk pikuk pikiran-pikiran yang dianggap sebagai “aneh”.
Media-media besar juga lebih cenderung menggambarkan informasi akademik yang “kurang” menggigit. Misalnya jika ada sebuah konferensi bahkan selevel internasional, maka yang diinformasikan kepada public bukan pada “perdebatan” akademik atau intelektualnya akan tetapi lebih pada gambaran tentang penyelenggaraannya. Makanya, inti dari konferensi tersebut terasa tidak menyentuh pada dimensi diskusi hangat tentang perbincangan intelektualitasnya. Dan masih untung jika diberitakan, sebab media juga tidak memiliki kepedulian terhadap perbincangan akademis. Lebih baik memberitakan para artis yang bagi mereka jelas pembacanya. Logika kaum kapitalis itu telah “mewabah” dan menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan media dewasa ini. ada kapitalisasi informasi.
Kita tentu mengharapkan bahwa “ruh” perguruan tinggi akan terus terjaga dinamikanya. Dan di antara yang sangat penting ialah bagaimana membangun dinamika perbincangan akademik dan intelektual yang mencerahkan dan menghasilkan karya-karya akademis unggul yang kelak kemudian hari akan menjadi penanda bagi generasi yang akan datang bahwa kita semua ada.
Wallahu a’lam bi al shawab.

MERINDUKAN DISKUSI HANGAT KEBERAGAMAAN KITA (2)

MERINDUKAN DISKUSI HANGAT TENTANG KEBERAGAMAAN KITA (2)
Saya dahulu berharap kepada Kelompok Kajian Utan Kayu yang dipimpin oleh Ulil Abshar Abdalla untuk bisa meneruskan posisi kajian Islam yang bernuansa progresif. Kala itu ada banyak kajian yang dilakukan oleh anak-anak muda NU maupun Muhammadiyah yang mengusung tema pembaharuan, atau modernisasi atau pribumisasi Islam dan sebagainya.
Saya memang tidak aktif mengikuti pengajian ini. Seingat saya hanya sekali saya hadir di acara pengajian Kelompok Utan Kayu di markasnya di Jakarta. Akan tetapi pemikiran-pemikiran kelompok ini di Harian Jawa Pos tentu selalu saya ikuti. Waktu itu saya juga menjadi salah seorang penulis di kolom Opini Jawa Pos yang relative sregep alias rajin. Meskipun tidak intens mengikuti pengajiannya, akan tetapi gagasan keislaman melalui media tentu di dalam banyak hal saya ikuti.
Kelompok ini merupakan kelompok yang memiliki otoritas di dalam gerakan pemikiran keislaman karena kelengkapan anggotanya di dalam pemahaman tentang Islam berbasis pada sumber aslinya. Sebut misalnya, Abd. Moqsith Ghazali yang luar biasa pemahaman teks kitab-kitab klasik atau juga pimpinannya, Ulil Abshar Abdalla dan juga lainnya. Dengan kelengkapan analisis ilmu sosialnya, saya meyakini di kala itu, bahwa kelompok ini akan terus eksis di tengah gerakan “radikal” yang kala itu tentu mulai menampakkan diri.
Sayangnya bahwa kelompok ini juga akhirnya tidak jelas orientasinya. Di kala pemikiran-pemikiran keislaman yang dicanangkannya kemudian “menabrak” tradisi-tradisi NU yang fundamental, maka pertentangan internalpun tidak bisa dihindari. Ulama-ulama sepuh lalu meradang. Mereka merasa bahwa Kajian Utan Kayu sudah kebablasan di dalam menafsir ajaran Islam. Di kala misalnya kelompok ini mempertanyakan mengenai apakah keberlakuan Al Qur’an itu sepanjang masa ataukah ada yang bersifat temporal atau di kala juga mereka mempertanyakan tentang tentang hukum-hukum agama yang hanya berlaku pada masanya, maka sontak ulama sepuh NU menjadi gerah.
Saya ingat di Jawa Timur kala itu muncul satu istilah yang menarik “facurita” atau “coretlah” jika ada beberapa orang dari eksponen Jaringan Islam Liberal atau JIL yang datang di Jawa Timur. Syuriah NU benar-benar menyaring terhadap mereka ini. Yang diperbolehkan datang hanya Gus Dur meskipun diketahui bahwa Gus Dur itu termasuk penarik gerbong anak-anak NU ke arah pemikiran yang lebih bebas. Gus Dur mengajarkan agar membaca agama dengan konteks dan bukan hanya teksnya saja.
Dewasa ini, nyaris tidak didengar lagi upaya untuk menafsir agama dengan konteks kekinian dan di kedisinian. Rasanya, pemikiran keagamaan itu sudah menjadi mandeg atau stagnan. Nyaris tidak ada yang berani untuk menafsir agama yang lebih kekinian tersebut. Semua berada di dalam nuansa untuk menafsirkan ajaran agama yang standar-standar saja.
Semenjak panggung keberagamaan kita “dikuasai” oleh kelompok Islam minoritas bersuara lantang atau mereka yang mendengungkan kembali tentang Islam kaffah dalam penafsirannya yang tekstual, yang lebih fundamental dan yang mengusung Islam syumuliyah, maka semenjak itu rasanya gaung pemikiran Islam kontekstual tidak lagi nyaring terdengar.
Sebagaimana lazimnya, secara sosiologis, bahwa kelompok minoritas itu harus bersuara keras dan melakukan tindakan-tindakan yang lebih kongkrit dalam satu focus, yang disebutnya sebagai “amar ma’ruf nahi mungkar” maka segala penafsiran agama yang tidak sejalan, lalu ditentang habis-habisan dengan berbagai cara dan gayanya. Mereka adalah sekelompok orang yang sangat militant di dalam memperjuangkan keyakinan keagamaannya.
Saya ingat bagaimana mereka membuat pernyataan atau statemen-statemen yang menyatakan bahwa JIL adalah Jaringan Iblis Liberal. Bahkan juga ada yng memplesetkan nama-nama pemimpin JIL itu dengan sebutan-sebutan yang pejorative. Dan mereka memperoleh dukungan yang cukup memadai dari berbagai kelompok Islam fundamental di dalam berbagai penggolongannya.
Sementara itu di sisi lain, kawan-kawan muda ini tidak mendapatkan dukungan dari para seniornya sebab dianggapnya sebagai anak-anak yang kehilangan jati dirinya dan juga menentang terhadap prinsip ajaran para bapaknya. Jadilah akhirnya mereka berjalan sendiri tanpa dukungan dan tanpa patron. Makanya, mereka lalu seperti kehilangan induknya di kala banyak orang yang menentangnya.
Dan sekarang yang kita lihat sudah tidak ada lagi gairah untuk mendiskusikan agama dalam konteks Islam kekinian, dan bahkan yang lebih menonjol adalah pikiran Islam kaffah, Islam syumuliyah, Islam khilafah dan sebagainya. Jadi, sesungguhnya kita kehilangan momentum untuk mengagendasettingkan apa yang seharusnya menjadi visi ke depan.
Kelompok Islam wasathiyah, sebagaimana wataknya juga hanya bermain aman dan nyaman. Zona nyaman yang telah dilampuinya itu menyebabkan dinamika kontestasi tidak lagi diinginkan, sehingga mereka benar-benar silent majority yang belum tahu kapan akan bangkit dengan geliat yang mengagumkan.
Wallahu a’lam bi al shawab.

MERINDUKAN DISKUSI HANGAT KEBERAGAMAAN KITA (1)

MERINDUKAN DISKUSI HANGAT KEBERAGAMAAN KITA (1)
Kala saya menjadi mahasiswa di IAIN Sunan Ampel tahun 1978-1985, maka suatu kesempatan ada diskusi yang diselenggarakan oleh Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel dengan tema filsafat yang menarik “Aku dilahirkan Tanpa Ibu dan Bapak” dengan motor diskusi Drs. Tarsan Hamin Rais. Waktu itu diplesetkan dengan THR. Tema ini menjadi perdebatan yang hangat dalam beberapa bulan karena memantik diskusi yang lama dengan pengkritik dan pembahas yang bervariasi. Di dalam konteks ini, maka yang dibahas itu adalah “Aku” dalam konteks Tuhan atau “Aku” dalam konteks kemanusiaan.
Perdebatan ini menjadi menarik karena diliput oleh Harian Memorandum, yang kala itu sangat pro dengan perdebatan-perdebatan filsafat dan agama. Adalah pimpinan redaksi Harian Memorandum, Agil H. Ali, yang memiliki kontribusi untuk mengangkat kajian filsafat dan agama ini ke ranah public sehingga menjadi menarik diperbincangkan. Kala itu tentu belum ada media sosial seperti sekarang, akan tetapi nuansa diskusi ini masih tetap terasa hingga sekarang bagi yang terlibat mengalaminya.
Yang lebih menarik tentu saja adalah diskusi di seputar sekularisme. Adalah Cak Nurkholis Madjid yang mengangkat isu ini di dalam Pidato Kebudayaan di Taman Ismail Marzuki (TIM), 02.01/1970, dan menuai pro dan kontra yang luar biasa. Pidato Cak Nur ini menjadi bahan diskusi berbulan-bulan dan memperoleh tanggapan yang sangat mendasar. Terdapat sejumlah intelektual yang terlibat di dalam diskusi tentang sekularisasi dan sekularisme dimaksud.
Perdebatan itu melibatkan Prof. HM. Rasyidi, mantan Menteri Agama dan seorang ahli di bidang Islamic Studies yang sangat otoritatif. Pak Prof. Rasyidi adalah penjaga “kemurnian” Islam yang sangat gigih. Perdebatan itu di seputar makna dan urgensi sekularisasi di kalangan masyarakat Islam Indonesia. Pak Prof. Rasyidi dengan gigihnya mempertahankan agar sekularisme tidak menjadi bagian dari kemajuan Indonesia. Sementara itu, Cak Nur dan para pendukungnya berpikir bahwa dengan sekularisasi maka kemajuan Indonesia akan dapat dipercepat.
Terlepas dari siapa yang memperoleh pembenaran, akan tetapi perdebatan intelektual ini berhasil mengangkat posisi Cak Nur di dalam konteks pemikir Islam Indonesia yang luar biasa, dan hingga sekarang “rasanya” tak tergantikan. Melalui perdebatan itu akhirnya dilahirkan beberapa karya yang monumental terkait dengan sekularisme baik yang pro maupun yang kontra.
Yang juga menarik adalah perdebatan tentang kontroversi Catatan Harian Ahmad Wahib. Dia adalah aktivis HMI semasa dengan Johan Effendi. Catatan hariannya menjadi bahan perdebatan yang actual karena pikiran-pikiran Ahmad Wahib yang sangat kontroversial. Misalnya tentang peluang masuk surga bagi para pendeta yang memiliki keikhlasan di dalam menjalani kehidupan dan pengabdian kepada masyarakat. Melalui karyanya ini kemudian memancing pro-kontra pemikiran keislaman yang sangat menarik dan kemudian berhasil dibukukan. Jadi, perdebatan akademis itu ujung akhirnya ialah menghasilkan karya-karya yang bisa menjadi bacaan bagi generasi berikutnya.
Yang sangat kontroversial tentunya adalah apa yang dilakukan oleh Gus Dur. Beliau tidak hanya mendiskusikan gagasannya tetapi juga melakukan perubahan. Menarik gerbong NU Tradisional ke NU Pos-tradisional merupakan proyek perubahan yang sangat menarik untuk dicermati. Pribumisasi Islam merupakan proyek yang kemudian bisa menarik gerbong yang luar biasa sebagaimana yang kita lihat pengaruhnya dewasa ini. Saya kira, banyaknya anak muda NU yang kemudian menjadi “orang” dalam berbagai status sosialnya sekarang merupakan buah dari gagasan perubahan yang dilakukan Gus Dur.
Booming sarjana NU dari kaum Sarungan dewasa ini, rasanya merupakan dorongan yang sangat kuat yang telah dilakukan oleh Gus Dur. Saya kira sangat banyak orang yang merasakan betapa pentingnya peran Gus Dur itu bagi banyak kalangan, tidak hanya kaum agamawan akan tetapi juga politisi dan birokrat. Orang bangga menjadi NU adalah salah satu contoh politik identitas yang sangat menarik. Masuknya wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq dalam wacana birokrasi saya kira merupakan bagian dari keberhasilan “proyek tarik gerbong NU” oleh Gus Dur.
Saya rasa memang ada perbedaan “nuansa” di dalam kerangka memahami tentang bagaimana di masa lalu terdapat begitu kuatnya diskusi tentang pemikiran keagamaan. Di masa lalu, orang bisa berdiskusi dengan kepala dingin. Mereka berdebat dengan menggunakan nalar dan karya intelektual. Maka dari setiap perdebatan itu, maka kemudian lahirlah karya-karya intelektual yang monumental.
Nuansa seperti ini yang rasanya tidak kita dapatkan di era cyber war ini. Orang harus menjadi sangat berhati-hati untuk menyampaikan gagasan. Bisa dibully habis-habisan. Kebanyakan penentang gagasan baru itu menggunakan kekuatan media sosial dan bahkan fisik. Makanya, jarang kita dapati perbincangan “hangat” untuk mempertanyakan kembali “keagamaan” kita itu, sebab khawatir akan dianggap sebagai kelompok “menyimpang”.
Jadi rasanya agak susah untuk mendapatkan ruang diskusi untuk membincang keberagamaan itu sebagaimana di masa lalu, seperti diskusi tentang sekularisme oleh Cak Nur, diskusi tentang Mu’tazilah oleh Pak Harun Nasution atau gagasan pribumisasi Islam ala Gus Dur di era sekarang. Bukannya tidak ada kemampuan untuk melakukannya, akan tetapi nuansanya yang memang berbeda. Jadi pertanyaannya, apakah masih ada agensi lain?
Wallahu a’lam bi al shawab.

MEMAKNAI PELAYANAN BIROKRASI DENGAN HATI

MEMAKNAI PELAYANAN BIROKRASI DENGAN HATI
Tanggal 3 Januari 2017 seluruh ASN Kementerian Agama se Indonesia menyelenggarakan upacara bendera sebagai penanda peringatan terhadap Hari Kelahiran Kementerian Agama (Kemenag). Hari Amal Bhakti (HAB) Kemenag yang 71 dijadikan sebagai penanda terhadap kebangkitan Kemenag dalam memberikan pelayanan secara lebih optimal bagi masyarakat.
Upacara bendera dalam rangka HAB, saya kira bukan hanya sekedar upacara liminal. Upacara yang dilakukan tahunan dalam rangka untuk memperingati terhadap hari kelahiran Kemenag. Bagi ASN Kemenag, seharusnya HAB harus dimaknai lebih dari sekedar upacara liminal. Akan tetapi menjadi moment untuk melakukan permenungan tentang apa yang sudah kita sumbangkan bagi kemajuan Kemenag dan umat secara umum.
Ada beberapa renungan yang harus dilakukan, sebagai bagian tidak terpisahkan dari keinginan kita untuk memajukan peranan Kemenag bagi pemberdayaan dan penguatan kehidupan keagamaan di Indonesia. Pertama, harus disadari bahwa tugas utama Kemenag ialah untuk meningkatkan paham dan pengamalan beragama bagi masyarakat Indonesia. Hal ini merupakan misi utama Kemenag. Siapapun ASN Kemenag dan di dalam tugas apapun, maka yang harus hadir di dalam dirinya adalah menjadi bagian dari upaya untuk peningkatan paham dan pengamalan beragama.
Melalui tema “semakin dekat melayani umat” maka dikandung maksud bahwa seluruh ASN Kemenag harus menjadi agen bagi pembinaan umat. Jangan sampai ASN Kemenag justru bertentangan dengan misi untuk membina umat ini. Seluruh ASN Kemenag tentu sudah memahami bahwa beragama yang dikembangkan oleh masyarakat Indonesia adalah beragama yang saling menghargai, bertoleransi, dan menjaga keamanan dan kenyamanan di dalam kehidupan bermasyarakat.
Pertanyaannya adalah apakah kita sudah memberikan pelayanan yang optimal kepada para pelanggan kita, baik pelanggan internal maupun eksternal. Jangan dilupakan bahwa ASN kita juga manusia yang memerlukan pelayanan yang membahagiakan. Para pelanggan harus merasa nyaman di rumahnya sendiri, rumah Kemenag. Jika seseorang merasa nyaman di tempatnya, maka dia pasti akan betah untuk memberikan seluruh potensinya di dalam pengabdiannya.
Di sisi lain, pelayanan terhadap pelanggan eksternal juga harus semakin baik. Saya kira jika para ASN merasa nyaman dengan pekerjaannya, maka dipastikan bahwa mereka juga akan melayani dengan baik. Jadi, ada proses timbal balik di dalam konteks ini, yaitu kenyamanan layanan bekerja di dalam akan berdampak pada kebaikan layanan eksternal. Jika para ASN bisa bekerja optimal karena merasa nyaman di dalam bekerja, maka dipastikan bahwa mereka juga akan nyaman memberikan pelayanan kepada umat. Itulah kiranya makna “semakin dekat melayani umat”.
Di dunia manajemen maka ada sebuah konsep yang saya kira menarik, yaitu “melayani dengan hati”. Bahkan sudah terdapat training yang diselenggarakan dengan tema melayani dengan hati ini. Saya termasuk salah satu yang pernah mengikuti training melayani dengan hati yang diselenggarakan oleh Universitas Airlangga. Melayani dengan hati itu diindikatori dengan kemampuan seseorang untuk memberikan pelayanan dengan menimbulkan efek rasa senang, nyaman, dan menghargai. Dalam konteks konsepsi Orang Jawa terdapat ungkapan: “iso gumuyu bebarengan” atau bisa tertawa bersama-sama. Hidup ini sudah sulit, maka jangan dibebani dengan kesulitan demi kesulitan. Maknai hidup dengan tersenyum, maknai bekerja dengan senyuman.
Memang harus disadari bahwa tidak ada kesuksesan tanpa kerja keras. Tetapi juga harus diingat bahwa kerja keras itu tidak berarti tanpa senyuman atau harus terus menerus mengernyitkan dahi. Bukankah kita sudah terapkan tiga S, yaitu: “Salam, Senyum, dan Sapa”. Tentu bukan salam, senyum dan sapa untuk tebar pesona, akan tetapi salam, senyum dan sapa yang tumbuh dari hati. Bukan sesuatu yang dibuat-buat atau sesuatu yang artikulatif semata, akan tetapi sebuah kesungguhan untuk membuat orang lain senang dan berkesan.
Wajah yang bersahabat, senyuman yang membuat orang senang sesungguhnya merupakan ajaran Islam di dalam pergaulan. Jika berkata harus dengan sopan dan lemah lembut, qaulan sadidan. Secara khusus juga bisa dimaknai bagaimana Islam mengajarkan komunikasi dan kolaborasi dengan orang lain untuk membangun kesuksesan di dalam berusaha atau berkarya melalui medium ketulusan hati.
Jika saya meminjam ungkapan Dale Goleman, maka kesuksesan tidak hanya bisa diraih dengan kecerdasan intelektual, akan tetapi justru yang lebih besar pengaruhnya dengan kecerdasan emosional. Di dalam kecerdasan emosional itu, maka membuat rasa senang, nyaman dan tenteram adalah bagian yang tidak terpisahkan dengan kesuksesan. Jangan sampai kita kehilangan kecerdasan emosional di dalam melakukan kerja keras, koordinasi dan kolaborasi.
Dengan demikian, makna pesan HAB ke 71, yaitu “semakin dekat melayani umat” berarti “gunakan mata hati di dalam pelayanan kepada umat” agar umat merasakan kebaikan dan keberhasilan yang bisa dirasakan bersama-sama.
Wallahu a’lam bia al shawab.