PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN SEBAGAI PARADIGMA PENGAWASAN
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN SEBAGAI PARADIGMA PENGAWASAN
Dalam dua hari terakhir, saya memperoleh kesempatan untuk memberikan pembinaan ASN Inspektorat Jenderal Kementerian Agama (Kemenag) dalam kapasitas sebagai Plt. Inspektur Jenderal Kemenag menggantikan Pak Dr. Moh. Jassin yang mengakhiri masa jabatannya. Beliau menjadi dosen pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Salah satu acara yang penting diselenggarakan di Hotel Pajajaran Bogor, 18/01/2017, dengan tema Lokakarya Pengawasan (lokwas) pada Inspektorat Jenderal Kemenag. Acara ini dihadiri oleh semua pejabat eselon II, tiga dan empat serta seluruh auditor pada Irjen Kemenag. Acara ini merupakan acara tahunan untuk membahas berbagai hal yang terkait dengan pengawasan dan pada seluruh program dan kegiatan pengawasan dan pendampingan.
Sebagaimana biasanya, maka saya sampaikan tiga hal mendasar sebagai bagian tidak terpisahkan dari upaya untuk membenahi, memperbaiki dan mengembangkan lima nilai budaya kerja pada Kemenag. Pertama, inspektorat Jenderal memiliki kapasitas untuk melakukan pengawasan dan pemeriksaan sebagai bagian dari tupoksi utama di dalam penyelenggaraan pemerintahan, khususnya untuk penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Good governance dan clean government. Peran inspektorat menjadi sangat mendasar agar roda pemerintahan terus berjalan di atas rel atau on the track. Jika ada yang belok maka harus diluruskan. Jangan sampai yang belok meskipun sedikit lalu dibiarkan sehingga kemudian menjadi kesalahan yang besar.
Inspektorat jenderal memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap program-program atau kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan oleh seluruh ASN Kemenag. Harapannya tentu saja adalah agar seluruh ASN menegakkan transparansi dan akuntabilitas. Jika ada yang salah di dalam penyelenggaraan pemerintah, misalnya korupsi, kolusi dan nepotisme atau melakukan abuse of power, maka dengan kewenangan inspektorat adalah untuk memberikan sangsi sesuai dengan tingkat kesalahannya. Hanya saja bahwa setiap pengambilan keputusan maupun proses pemeriksaannya haruslah melalui cara-cara yang obyektif dan manusiawi. Bukti-bukti yang akurat dan valid tentu menjadi ukuran untuk menentukan apakah seseorang dihukum atau harus dibebaskan.
Makanya, seorang auditor harus menguasai regulasi dengan baik dan harus menjadi penafsir yang baik. Upayakan bahwa kita memiliki tafsir yang dipahami sama oleh orang lain. Jangan membuat tafsiran sendiri-sendiri sehingga akan membuat kesulitan di dalam melakukan eksekusinya. Melalui pemahaman atas tafsir regulasi yang sama dan share pada semua jajaran, maka akan dihasilkan keputusan yang akan dapat diterima oleh semua kalangan.
Kedua, fungsi Inspektorat Jenderal juga mengalami metamorphosis. Jika di masa lalu, paradigma irjen itu adalah pengawasan dan pemeriksaan, maka sekarang berubah menjadi pencegahan dan pengendalian. Yang arus utamanya ialah pencegahan. Jadi bukan semata-mata untuk pemeriksaan. Pencegahan harus didahulukan agar tidak terjadi “penyelewengan atau kesalahan”. Semua upaya harus dilakukan agar semuanya menjadi lebih baik. Pemantapan dan penegakan terhadap lima nilai budaya kerja harus ditegaskan. Nilai integritas yang selama ini menjadi problem yang krusial harus ditanamkan benar-benar agar menjadi pedoman dalam melakukan tindakan. Sebagaimana sering dinyatakan Pak Menteri Agama, Bapak Lukman Hakim Saifuddin, bahwa semua tindakan harus dilihat dari niatnya. Jika memang ada kesengajaan di dalam melakukan kesalahan, maka yang seperti itu tidak bisa ditoleransi, akan tetapi jika ternyata tidak ada niat untuk melakukan kesalahan, maka tentu bisa dicari jalan keluar yang lebih baik.
Di dalam konteks ini, maka seluruh ASN harus tahu akan tupoksinya dan juga kendala dan tantangan untuk melakukannya. Diperlukan upaya yang jelas agar setiap ASN pasti memahami tugasnya dan cara-cara yang benar untuk melakukannya. Pengetahuan yang benar dan cara melakukan yang benar menjadi kata kunci untuk mengabdi kepada Kemenag.
Ketiga, tuntutan era reformasi birokrasi adalah terwujudnya clean government dan good governance dan juga transparansi dan akuntabilitas. Oleh karena itu, keberhasilan reformasi birokrasi akan ditentukan oleh sekurang-kurang empat hal yaitu: 1) semakin sedikitnya temuan tentang KKN. Indikatornya ialah seberapa besar compliance kita terhadap regulasi yang dijadikan sebagai pedoman untuk melakukan tindakan. Makin besar kepatuhan, maka makin kecil temuan tentang kecurangan dan kesalahan dalam melakukan program dan kegiatan. 2) makin besarnya relevansi antara perencanaan, pelaksanaan dan serapan anggaran. Sasaran program yang benar, dengan indicator yang benar serta serapan yang baik tentu menjadi indicator bahwa reformasi birokrasi berjalan dengan baik. 3) semakin meningkatnya transparansi dan akuntabilitas. Ukuran keberhasilan reformasi sangat ditentukan oleh dua kata ini, jadi semua ASN harus berupaya untuk menjadikan kementeriannya semakin transparan dan akuntabel.
4) semakin baik serapan yang diikuti dengan laporan keuangan yang baik juga menentukan terhadap kinerja yang baik dan menjadi indicator keberhasilan reformasi birokrasi.
Kita tentu bersyukur bahwa pelaksanaan Zona Integritas (ZI) untuk menuju Wilayah Bebas Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM) sudah kita terapkan di sejumlah satker kemenang. Ke depan harus dirumuskan roadmap tentang bagaimana seluruh satker kita sudah menerapkannya.
Tugas jangka pendek kita (triwulan pertama dan kedua) adalah melakukan review atas hutang Tunjangan Profesi Guru (TPG) tahun 2015-2016. Makanya, di dalam acara ini agar dirumuskan bagaimana caranya agar persoalan TPG yang selalu heboh ini bisa diselesaikan atas peran kita semua.
Wallahu a’lam bi al shawab.
