MERINDUKAN DISKUSI HANGAT KEBERAGAMAAN KITA (1)
MERINDUKAN DISKUSI HANGAT KEBERAGAMAAN KITA (1)
Kala saya menjadi mahasiswa di IAIN Sunan Ampel tahun 1978-1985, maka suatu kesempatan ada diskusi yang diselenggarakan oleh Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel dengan tema filsafat yang menarik “Aku dilahirkan Tanpa Ibu dan Bapak” dengan motor diskusi Drs. Tarsan Hamin Rais. Waktu itu diplesetkan dengan THR. Tema ini menjadi perdebatan yang hangat dalam beberapa bulan karena memantik diskusi yang lama dengan pengkritik dan pembahas yang bervariasi. Di dalam konteks ini, maka yang dibahas itu adalah “Aku” dalam konteks Tuhan atau “Aku” dalam konteks kemanusiaan.
Perdebatan ini menjadi menarik karena diliput oleh Harian Memorandum, yang kala itu sangat pro dengan perdebatan-perdebatan filsafat dan agama. Adalah pimpinan redaksi Harian Memorandum, Agil H. Ali, yang memiliki kontribusi untuk mengangkat kajian filsafat dan agama ini ke ranah public sehingga menjadi menarik diperbincangkan. Kala itu tentu belum ada media sosial seperti sekarang, akan tetapi nuansa diskusi ini masih tetap terasa hingga sekarang bagi yang terlibat mengalaminya.
Yang lebih menarik tentu saja adalah diskusi di seputar sekularisme. Adalah Cak Nurkholis Madjid yang mengangkat isu ini di dalam Pidato Kebudayaan di Taman Ismail Marzuki (TIM), 02.01/1970, dan menuai pro dan kontra yang luar biasa. Pidato Cak Nur ini menjadi bahan diskusi berbulan-bulan dan memperoleh tanggapan yang sangat mendasar. Terdapat sejumlah intelektual yang terlibat di dalam diskusi tentang sekularisasi dan sekularisme dimaksud.
Perdebatan itu melibatkan Prof. HM. Rasyidi, mantan Menteri Agama dan seorang ahli di bidang Islamic Studies yang sangat otoritatif. Pak Prof. Rasyidi adalah penjaga “kemurnian” Islam yang sangat gigih. Perdebatan itu di seputar makna dan urgensi sekularisasi di kalangan masyarakat Islam Indonesia. Pak Prof. Rasyidi dengan gigihnya mempertahankan agar sekularisme tidak menjadi bagian dari kemajuan Indonesia. Sementara itu, Cak Nur dan para pendukungnya berpikir bahwa dengan sekularisasi maka kemajuan Indonesia akan dapat dipercepat.
Terlepas dari siapa yang memperoleh pembenaran, akan tetapi perdebatan intelektual ini berhasil mengangkat posisi Cak Nur di dalam konteks pemikir Islam Indonesia yang luar biasa, dan hingga sekarang “rasanya” tak tergantikan. Melalui perdebatan itu akhirnya dilahirkan beberapa karya yang monumental terkait dengan sekularisme baik yang pro maupun yang kontra.
Yang juga menarik adalah perdebatan tentang kontroversi Catatan Harian Ahmad Wahib. Dia adalah aktivis HMI semasa dengan Johan Effendi. Catatan hariannya menjadi bahan perdebatan yang actual karena pikiran-pikiran Ahmad Wahib yang sangat kontroversial. Misalnya tentang peluang masuk surga bagi para pendeta yang memiliki keikhlasan di dalam menjalani kehidupan dan pengabdian kepada masyarakat. Melalui karyanya ini kemudian memancing pro-kontra pemikiran keislaman yang sangat menarik dan kemudian berhasil dibukukan. Jadi, perdebatan akademis itu ujung akhirnya ialah menghasilkan karya-karya yang bisa menjadi bacaan bagi generasi berikutnya.
Yang sangat kontroversial tentunya adalah apa yang dilakukan oleh Gus Dur. Beliau tidak hanya mendiskusikan gagasannya tetapi juga melakukan perubahan. Menarik gerbong NU Tradisional ke NU Pos-tradisional merupakan proyek perubahan yang sangat menarik untuk dicermati. Pribumisasi Islam merupakan proyek yang kemudian bisa menarik gerbong yang luar biasa sebagaimana yang kita lihat pengaruhnya dewasa ini. Saya kira, banyaknya anak muda NU yang kemudian menjadi “orang” dalam berbagai status sosialnya sekarang merupakan buah dari gagasan perubahan yang dilakukan Gus Dur.
Booming sarjana NU dari kaum Sarungan dewasa ini, rasanya merupakan dorongan yang sangat kuat yang telah dilakukan oleh Gus Dur. Saya kira sangat banyak orang yang merasakan betapa pentingnya peran Gus Dur itu bagi banyak kalangan, tidak hanya kaum agamawan akan tetapi juga politisi dan birokrat. Orang bangga menjadi NU adalah salah satu contoh politik identitas yang sangat menarik. Masuknya wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq dalam wacana birokrasi saya kira merupakan bagian dari keberhasilan “proyek tarik gerbong NU” oleh Gus Dur.
Saya rasa memang ada perbedaan “nuansa” di dalam kerangka memahami tentang bagaimana di masa lalu terdapat begitu kuatnya diskusi tentang pemikiran keagamaan. Di masa lalu, orang bisa berdiskusi dengan kepala dingin. Mereka berdebat dengan menggunakan nalar dan karya intelektual. Maka dari setiap perdebatan itu, maka kemudian lahirlah karya-karya intelektual yang monumental.
Nuansa seperti ini yang rasanya tidak kita dapatkan di era cyber war ini. Orang harus menjadi sangat berhati-hati untuk menyampaikan gagasan. Bisa dibully habis-habisan. Kebanyakan penentang gagasan baru itu menggunakan kekuatan media sosial dan bahkan fisik. Makanya, jarang kita dapati perbincangan “hangat” untuk mempertanyakan kembali “keagamaan” kita itu, sebab khawatir akan dianggap sebagai kelompok “menyimpang”.
Jadi rasanya agak susah untuk mendapatkan ruang diskusi untuk membincang keberagamaan itu sebagaimana di masa lalu, seperti diskusi tentang sekularisme oleh Cak Nur, diskusi tentang Mu’tazilah oleh Pak Harun Nasution atau gagasan pribumisasi Islam ala Gus Dur di era sekarang. Bukannya tidak ada kemampuan untuk melakukannya, akan tetapi nuansanya yang memang berbeda. Jadi pertanyaannya, apakah masih ada agensi lain?
Wallahu a’lam bi al shawab.
