MERINDUKAN DISKUSI HANGAT KEBERAGAMAAN KITA (3)
MERINDUKAN DISKUSI HANGAT KEBERAGAMAAN KITA (3)
Kita tentu sangat bergembira sebab sangat banyak diskusi di level Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) di Indonesia. Baik diskusi berlevel lokal, nasional maupun internasional dengan berbagai tema dan topiknya. Berbagai diskusi ini tentu diprakarsai oleh pimpinan PTKIN, maupun oleh Kementerian Agama RI. Ada yang bersifat tahunan dan ada juga yang temporal.
Saya ingin melakukan pembahasan –meskipun tentu tidak tuntas—tentang diskusi dan seminar yang sifatnya nasional maupun internasional yang berupa konferensi tahunan atau annual conference yang telah menjadi agenda bagi PTKIN seluruh Indonesia. Pembahasan ringkas ini diperlukan sebagai bagian dari “perenungan” mengenai annual conference yang diikuti oleh banyak kalangan, terutama para professor, baik dari dalam maupun dari luar negeri.
Kita telah memiliki Annual International Conference on Islamc Studies atau disingkat AICIS. Ini hanya menunjuk sekedar contoh sebab di seluruah PTKIN tentunya terdapat seminar dan diskusi baik yang berlevel nasional maupun internasional dengan berbagai kepentingannya. Semua dilakukan tentu untuk kepentingan membangun imaje tentang perguruan tinggi dimaksud. Semua tentu memahami bahwa ruh perguruan tinggi ialah semaraknya diskusi atau seminar yang diselenggarakannya.
Sebagaimana diketahui bahwa AICIS adalah puncak dari perbincangan akademis di PTKIN. Semula adalah ACIS atau Annual Conference on Islamic Studies, akan tetapi semenjak diselenggarakan di UIN Sunan Ampel Surabaya (dulu IAIN), pada tahun 2013, maka diubah menjadi AICIS agar konferensi ini menjadi ajang bagi perbincangan akademik tidak hanya para professor dan doctor di dalam negeri tetapi juga di luar negeri.
Saya kira tema-tema yang dibahas juga sangat menarik, misalnya tentang Islam Nusantara, Islam Peradaban, Islam dan Sains, Islam dan pembangunan bangsa, integrasi ilmu dan sebagainya. Tema ini tentu menarik sebab memang menjadi perbincangan di banyak peluang dan kesempatan. Tentang Islam dan Sains, misalnya tentu dikaitkan dengan upaya untuk mendialogkan Islam dan Sains yang selama ini dianggap masih sering didikhotomikan. Demikian pula tentang Islam peradaban dan Islam Nusantara. Semua saya kira merupakan tema dari hasil pendalaman yang dilakukan di dalam kerangka mengangkat hal-hal yang urgen dan mendasar untuk dibicarakan di level internasional.
Sesungguhnya berbagai konferensi internasional merupakan ajang bagi proses pencarian dan penemuan solusi akademis atas permasalahan akademis atau sosial keagamaan dan kemasyarakatan, sehingga mestilah di dalamnya terdapat berbagai perdebatan yang berangkat dari berbagai perspektif dan sudut pandang. Ia merupakan bagian tidak terpisahkan dari upaya untuk mengembangkan konsepsi teruji dari para ahlinya. Semestinya bahwa setiap general concept yang akan diperbincangkan tersebut dikaji dari berbagai pemikiran murni atau hasil kajian mendasar dari para ahlinya, sehingga akan menjadi saling melengkapi.
Namun demikian, kata kuncinya adalah perdebatan intelektual atau perdebatan akademik. Jadi bukan hanya sekedar memaparkan hasil kajian atau pemikiran, akan tetapi benar-benar merupakan ajang bagi pematangan akademis terhadap suatu konsep yang akhirnya menjadi kekuatan utuh untuk dipublikasikan. Jadi bukan hanya menghasilkan kumpulan makalah, sebagaimana lazimnya yang kita lihat sekarang, akan tetapi benar-benar menghasilkan perdebatan yang terekam dan dapat dipublikasikan sebagai perbincangan akademis yang hangat.
Sesungguhnya kita memiliki iklim akademis yang sangat kental dengan “kebebasan”. Bayangkan jika di Malaysia, maka sebelum sebuah tulisan dipublikasikan, maka harus diperiksa terlebih dahulu oleh suatu dewan perbukuan –atau apapun namanya—yang memiliki tugas untuk melakukan “sensor” terhadap content buku atau bahkan khutbah Jum’at. Semua di dalam kendali negara. Sementara di Indonesia saya kira hal-hal seperti itu tidak didapatkan. Semua yang dipikirkan bisa ditulis dan semua yang ditulis dianggap layak untuk dipublikasikan.
Namun demikian, rasanya terdapat “keengganan” untuk mempublikasikan pikiran-pikiran “berbeda”. Tekanan itu bukan pada negara akan tetapi dari kelompok lain yang secara aktif “menguasai” media sosial. Akhirnya, hampir semuanya hanya akan mempublikasikan pikiran-pikiran yang standart yang tidak menimbulkan kegaduhan akademik, atau bahkan kegaduhan sosial sehingga terasa dunia akan lebih aman dari hiruk pikuk pikiran-pikiran yang dianggap sebagai “aneh”.
Media-media besar juga lebih cenderung menggambarkan informasi akademik yang “kurang” menggigit. Misalnya jika ada sebuah konferensi bahkan selevel internasional, maka yang diinformasikan kepada public bukan pada “perdebatan” akademik atau intelektualnya akan tetapi lebih pada gambaran tentang penyelenggaraannya. Makanya, inti dari konferensi tersebut terasa tidak menyentuh pada dimensi diskusi hangat tentang perbincangan intelektualitasnya. Dan masih untung jika diberitakan, sebab media juga tidak memiliki kepedulian terhadap perbincangan akademis. Lebih baik memberitakan para artis yang bagi mereka jelas pembacanya. Logika kaum kapitalis itu telah “mewabah” dan menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan media dewasa ini. ada kapitalisasi informasi.
Kita tentu mengharapkan bahwa “ruh” perguruan tinggi akan terus terjaga dinamikanya. Dan di antara yang sangat penting ialah bagaimana membangun dinamika perbincangan akademik dan intelektual yang mencerahkan dan menghasilkan karya-karya akademis unggul yang kelak kemudian hari akan menjadi penanda bagi generasi yang akan datang bahwa kita semua ada.
Wallahu a’lam bi al shawab.
