MEMBANGUN LITERASI UMAT ISLAM DI ERA CYBER WAR (1)
MEMBANGUN LITERASI UMAT ISLAM DI ERA CYBER WAR (1)
Kita sudah memasuki era post-industrial society, yang ditandai dengan semakin menguatnya era teknologi informasi. Tidak ada suatu wilayah pun yang tidak terjangkau dan kemudian memanfaatkan teknologi informasi sebagai bagian dari kehidupan masyarakat. Jika di era industralisasi masa lalu kita menggunakan teknologi konvensional, maka sekarang sudah menggunakan teknologi digital.
Di dalam teknologi digital itu, maka industri harus menggunakan teknologi canggih sebagai piranti untuk mengembangkan produk dan hasil-hasilnya. Melalui teknologi digital tersebut, maka dunia industri tentu akan diuntungkan dengan efektivitas dan efisiensi. Dunia industri tidak lagi berurusan dengan tenaga kerja manusia –kecuali dalam beberapa hal—dengan teknologi manual, akan tetapi telah beralih kepada teknologi yang lebih efisien dan efektif dengan kecepatan dan produk yang lebih massif.
Di era post-industrial society itu, maka yang terjadi ialah semakin besarnya tuntutan masyarakat untuk memanfaatkan teknologi informasi sebagai bagian dari kebutuhan hidup yang tidak bisa dihindari. Jika di masa lalu, pengguna teknologi informasi itu terbatas pada kalangan menengah ke atas, maka dewasa ini sudah tidak ada lagi perbedaan antara berbagai kelas sosial tersebut di dalam penggunaan teknologi informasi.
Jika di masa lalu, pengguna teknologi informasi tersebut hanyalah orang kota, maka sekarang juga sudah menjadi fenomena pedesaan. Masyarakat pedesaan juga sudah mengakses android dengan berbagai contentnya. Mereka sudah menggunakan WA, Instragram, Twitter, dan sebagainya. Selama sudah ada yang menjual pulsa dan selama di situ ada jaringan teknologi informasi atau penyedia layanan teknologi informasi, maka di situ dipastikan sudah ada pengguna piranti-piranti tersebut. Nyaris tidak ada wilayah yang kosong dari piranti teknologi informasi itu.
Era sekarang memang disebut sebagai era post-industrial society dengan penggunaan teknologi informasi sebagai bagian dari gaya hidup. Namun demikian, sesungguhnya masih banyak di antara pengguna teknologi informasi yang hanya sebagai follower. Mereka tidak memahami apa dampak dari penggunaan teknologi informasi dimaksud di dalam kerangka membangun jejaring sosial melalui media sosial yang bermanfaat.
Secara sosiologis, saya mencoba untuk membangun tipologi tentang pelaku sosial yang menggunakan teknologi informasi sebagai sarana membangun jejaring sosial. Yaitu: pertama, pengguna media sosial yang cerdas. Yang bersangkutan memahami secara mendasar tentang fungsi dan kegunaan media sosial sebagai medium membangun jejaring sosial. Kelompok ini terdiri dari para businessman, birokrat, kaum akademisi, kaum intelektual dan elit-elit masyarakat lain. Mereka ini memanfaatkan media sosial benar-benar sebagai medium jejaring sosial terhadap hal-hal yang dianggap penting. Mereka memahami mana yang bermanfaat dan mana yang sampah. Melalui kemampuannya untuk menyaring informasi, maka yang dimanfaatkan hanyalah yang positif saja. Di dalam memory otaknya sudah terdapat gudang inderawi yang akan menyimpan mana informasi yang berguna dan tidak. Sudah ada sensory storage yang bisa memilah dan memilih informasi yang bermanfaat atau tidak.
Mereka memiliki kemampuan kritis untuk menyaring tentang mana informasi yang dianggap penting untuk diketahui oleh khalayak dan mana yang tidak. Adakalanya, informasi yang disampaikan itu untuk memperoleh umpan balik atau feedback dari mitra media sosialnya. Ada agenda setting yang dikedepankan untuk membangun opini public. Mereka adalah orang yang sudah memiliki kemampuan literasi media sosial.
Kedua, pengguna media sosial cerdik. Yaitu pengguna sosial yang memang memiliki agenda setting untuk membangun opini dan mendukung terhadap tujuan-tujuan atau kepentingan-kepentingannya. Jumlah pengguna media sosial seperti ini jumlahnya sangat banyak. Di dalamnya ada kaum politisi, ada kelompok interest, ada juga kaum propagandis, dan kelompok lain yang sevisi. Mereka memanfaatkan media sosial untuk kepentingan membangun jejaring yang menguatkan kepentingan mereka. Bisa kepentingan politik dan bisa juga kepentingan ideology yang diperjuangkan. Kelompok ini sekarang sedang “menguasai” jejaring media sosial dan menggunakannya untuk kepentingannya.
Begitu kuatnya keinginan mereka untuk “menguasai” media sosial tersebut, maka seluruh jaringannya diaktifkan untuk membangun kekuatan dengan optimal. berkat kecerdikannya, maka content yang diunggah juga sangat variatif dan dengan menggunakan berbagai dalil untuk meyakinkan jejaringnya. Dalil berbasis logika dan agama juga digunakannya untuk memperkuat keinginan untuk mencapai tujuannya. Kelompok ini sangat sadar tentang betapa kuatnya pengaruh media terhadap masyarakat, sehingga apapun dilakukan untuk tujuan ini.
Ketiga, pengguna partisipatif. Pada kelompok ini sebenarnya tidak memiliki tujuan khusus yang terkait dengan apa yang akan diperjuangkannya. Mereka hanya ikut-ikutan saja. Apa yang trend di luar akan menjadi bagian yang juga menjadi trend di dalam mind setnya. Mereka adalah kelompok yang sering melakukan sharing apa saja yang diterima untuk dikirim secara viral kepada individu atau kelompok lainnya.
Kelompok ini nyaris tidak terpikir tentang “bahaya” yang ditimbulkan oleh sebaran informasi yang tidak diketahui benar tidaknya. Berita-berita hoax atau tipuan dan pembohongan bisa saja dishare tanpa melalui critical awareness yang memadai. Semua dianggap penting untuk disebarkan. Tidak dipikirkannya bahwa sebuah informasi yang diterima itu harus dilakukan check and recheck, sebelum dishare kepada lainnya. Sebuah informasi baru bisa disampaikan kepada orang lain, di kala berita itu memang layak untuk diviralkan. Kelompok seperti ini yang rasanya bisa menjadi penyebar berita-berita palsu atau hoax tanpa menyadari bahwa yang disampaikan tersebut mengandung kebohongan dan kepalsuan.
Mengamati terhadap ketiga penggolongan ini, kiranya juga patut untuk dipahami bahwa kita juga harus tahu tentang dunia di luar kita, apa dan bagaimana media sosial berceloteh tentang apa yang diinginkannya. Kita tidak boleh juga menjadi seperti “katak dalam tempurung” yang sama sekali buta terhadap perkembangan informasi dari luar diri kita.
Dan adakalanya, kita juga perlu memahami apa yang sedang terjadi dengan berbagai comment dan content dari “tetangga” sebelah, sehingga kita tahu apa yang sebenarnya menjadi “perbincangan” di kalangan mereka. Jika ini yang dimaksudkan, saya kira sah-sah saja kita membaca dan kemudian melakukan kritik dan pembahasan sesuai dengan agenda setting yang kita miliki.
Hanya saja memang kita harus menjadi pembaca cerdas dan kritis terhadap berbagai content yang lalu lalang sedemikian derasnya di dunia maya itu. Dan akhirnya kita harus menyatakan yang benar itu benar dan kita akan mengikutinya dan yang salah itu salah dan kita harus menjauh darinya.
Wallahu a’lam bi al shawab.
