MEMILIH PEMIMPIN DI ERA PERUBAHAN (1)
Saya tidak akan menggunakan dalil agama untuk memberikan penegasan tentang bagaimana seharusnya memilih pemimpin di era ini. Akan tetapi saya akan menggunakan logika murni saja. Biarlah urusan memilih pemimpin dari perspektif agama dilakukan oleh para ulama, para kyai, pendeta atau lainnya. Saya akan memberikan komentar tentang pilihan kepala daerah dalam kaitannya dengan dimensi sosial religious yang saya sedikit memahaminya.
Hari ini, 15/02/2017, diselenggarakan pilihan kepala daerah (pilkada) Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta dan juga secara serentak diselenggarakan pilkada di seluruh Indonesia. Begitu pentingnya pilkada ini, maka Presiden pun menjadikannya sebagai hari libur nasional di luar hari libur nasional yang sudah ditetapkan oleh pemerintah.
Saya tidak ikut memilih Gubernur DKI sebab KTP saya masih menjadi penduduk Jawa Timur. Makanya, hari ini saya bisa pergi ke Bali untuk memberikan ceramah pada acara Rapat Kerja (raker) Pendidikan Islam pada Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Bali. Tetapi sebagaimana biasanya tentu tidak bisa menginap di Denpasar untuk menikmati Bali yang crowded karena harus segera kembali ke Jakarta.
Sebagaimana pilkada di seluruh Indonesia, maka semua pilkada tentu terdapat hiruk pikuk sosial yang luar biasa. Ada rivalitas, pertentangan, konflik yang disebabkan oleh pilkada. Ada yang melibatkan aspek hukum, etnis dan juga agama. Semuanya menyatu menjadi bumbu sedap pilkada. Bahkan terkadang juga terjadi kerusuhan yang disebabkan oleh pilkada. Banyak kantor Pemda, Kantor DPRD dan fasilitas umum yang kemudian dirusak disebabkan oleh mereka yang tidak puas terhadap proses dan hasil pilkada. Ada peristiwa yang terus saya ingat, sebab terkait dengan tempat kelahiran saya di Tuban. Dan juga peristiwa pilkada di Mojokerto. Kerusuhan di Tuban yang terjadi pasca pilihan bupati dengan membakar Gedung Pendopo Kabupaten yang megah 17 tahun yang lalu, dan juga kerusuhan pasca pilkada di Mojokerto yang selain merusak gedung kabupaten juga merusak 55 mobil di tempat itu.
Saya kira pilkada dengan dinamika yang sangat kuat ialah pilkada DKI Jakarta. Pilkada di DKI tidak hanya melibatkan rivalitas antar calon, tetapi juga melibatkan aspek agama, etnis dan tokoh-tokoh besar di Indonesia. Sebagaimana diketahui bahwa pilkada ini diikuti oleh Basuki Cahaya Purnama (yang dipanggila Ahok) yang beragama Kristen dan beretnis Cina berpasangan dengan Djarot Saiful Hidayat melawan pasangan Dr. Anies Baswedan berpasangan dengan Sandiaga Uno serta Agus Harimuri Yudhoyono berpasangan dengan Sylviana Murni.
Ahok-Djarot didukung oleh PDI-P dengan Ibu Megawati dan Presiden Jokowi, Agus-Silvi didukung oleh Demokrat tentu dengan Mantan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, dan Anis-Sandiaga didukung oleh Gerindra dengan back up dari Prabowo Subiyanto. Itulah sebabnya pertarungan politik tersebut melibatkan tokoh-tokoh besar negeri ini dengan segala kekuatannya.
Bahkan juga didapatkan sentiment etnis dan agama yang sangat kuat. Di dalam hal ini maka kemudian dikenal gerakan aksi damai 411, 212 dan 112 yang melibatkan jutaan orang untuk melakukan unjuk rasa damai dimulai dari Masjid Istiqlal ke bundaran Monas dan seterusnya. Sentiment keagamaan dan etnis ini muncul sebagai reaksi atas beberapa ucapan Pak Ahok yang ditafsirkan sebagai “penodaan” terhadap ajaran agama. Bahkan juga sudah memasuki ruang pengadilan di dalam kasus penodaan agama tersebut.
Pilkada di DKI memang sangat kompleks. Berbeda dengan pilkada di daerah lain yang tidak menjadi barometer Indonesia dan sekaligus wajah Indonesia, akan tetapi pilkada DKI benar-benar menjadi taruhan bagi masyarakat Indonesia. Sebagai ibukota negara, maka DKI menjadi barometer tentang bagaimana demokrasi berlangsung dan juga masa depan para pemimpinnya untuk “berkuasa” di Indonesia. Orang seringkali menjadikan Pak Jokowi sebagai contoh bagaimana produk pilkada di DKI dapat meneruskan kepemimpinnannya di tingkat Nasional, menjadi presiden.
Sentiment keagamaan dan etnis saya kira menjadi sangat menonjol di pilkada DKI. Di tempat lain tidak sesensitif di DKI dalam urusan etnis dan agama dalam pilkada. Penolakan terhadap pasangan Ahok-Jarot sebenarnya bukan disebabkan oleh ketidakberhasilan pandangan incumbent ini di dalam memimpin Jakarta, akan tetapi karena sentiment agama. Mereka yang menggunakan sentiment agama tentu saja berpandangan bahwa keyakinan seseorang tentang agama akan sangat menentukan terhadap tindakan, perilaku atau kebijakan-kebijakannya.
Jika saya mengamati terhadap berbagai informasi yang berkembang di kalangan masyarakat Islam, maka kekhawatiran itu sangatlah menonjol. Ada semacam phobia yang tinggi tentang keterpilihan Ahok-Jarot di dalam pilkada DKI. Kekhawatiran ini tentu menjadi rasional di kalangan sebagian umat Islam, sebab dipahami bahwa Ahok-Jarot tentu didukung oleh para pengusaha yang luar biasa kekuasaannya.
Semua upaya itu dilakukan sebab sangat dipahami bahwa sebagian masyarakat Islam itu permisif di dalam menentukan para pemimpinnya. Nyaris tidak ada dimensi keyakinan yang digunakan sebagai referensi memilih pemimpin. Hal ini tentu berbeda dengan masyarakat agama lain, yang kebanyakan adalah kelas menengah, maka kesadaran memilih pemimpin itu sudah mendarah daging. Dengan kata lain, bahwa nyaris tidak ada umat Kristen atau Katolik yang tidak memilih Ahok-Jarot di dalam demokrasi pilkada ini.
Dengan demikian, maka menggunakan dalil agama –khususnya Islam—untuk menjadi referensi di dalam pilkada belumlah sangat signifikan untuk menggerakkan umat Islam di dalam memilih pemimpin. Akan tetapi usaha yang dilakukan oleh sebagian kecil umat Islam tentu juga harus diapresiasi sebab dari merekalah sesungguhnya kesadaran tentang Islam dan kepemimpinan itu terjadi.
Wallahu a’lam bi al shawab.
TINGKATKAN PELAYANAN DEMI CITRA KEMENAG
Hari Jumat (10/02/2017) saya melantik pejabat eselon tiga dan empat Kemenag di Aula HM. Rasyidi Kantor Kementerian Agama RI. Ada sebanyak 140 orang pejabat yang dilantik, baik yang rotasi maupun yang promosi. Suatu jumlah yang besar di dalam pelantikan kali ini. Yang dilantik tersebut tidak hanya dari setjen, tetapi juga itjen, balitbangdiklat dan juga Ditjen Bimas Islam. Acara ini dihadiri oleh pejabat eselon II Kemenag.
Di dalam kesempatan memberikan sambutan dan pengarahan, saya sampaikan dua hal mendasar, yaitu: Pertama, bahwa di dalam dunia birokrasi itu, bagi ASN ada dua hal mendasar ialah rotasi atau mutasi dan promosi. Jadi rotasi adalah hal yang sangat biasa terjadi di dalam dunia birokrasi dan demikian pula promosi. Jika rotasi tidak dikaitkan dengan apapun kecuali tour of duty, namun untuk promosi memang mengandung makna kenaikan jabatan yang juga sangat lazim di dunia birokrasi. Oleh karena itu, rotasi dan promosi merupakan suatu yang lazim yang tidak harus dikaitkan dengan dimensi lain di dalam kehidupan birokrasi.
Bagi pejabat yang sudah menduduki jabatan dalam waktu yang relative lama, misalnya lebih dari empat tahun, saya kira memang sudah saatnya untuk menjalani tour of duty. Tidak etis jika kemudian harus dipertahankan di dalam satu jabatan. Seseorang tentu harus merasa bahwa jabatan yang terlalu lama akan memiliki konsekuensi yang kurang baik. Di Kepolisian, Kejaksaan, TNI dan sebagainya sudah menerapkan rotasi jabatan itu dengan durasi yang sangat pendek. Bahkan terkadang tidak sampai dua tahun.
Di dalam konteks ASN, Undang-Undang No 5 Tahun 2014 memang mensyaratkan bahwa rotasi bisa dilakukan sekurang-kurangnya dalam waktu dua tahun dalam jabatan yang setara, terkecuali ada urusan yang sangat mendasar untuk dirotasi dalam waktu yang kurang dari dua tahun. Oleh karena itu, bagi para pejabat Kemenag yang sudah melebihi empat tahun kiranya juga bisa mempersiapkan diri jika seandainya terjadi tour of duty bagi yang bersangkutan.
Marilah kita berkeyakinan bahwa tujuan tour of duty adalah untuk menyegarkan para ASN agar tidak hanya berkutat pada jabatan yang sama dalam kurun waktu yang panjang. Semuanya harus memiliki kesadaran kolektif, bahwa tour of duty merupakan kelaziman di dalam dunia birokrasi, sehingga tidak ada maksud lain kecuali untuk kepentingan peningkatan pelayanan pada umat.
Kedua, pelayanan kita harus optimal. Semua ASN harus memiliki mental untuk pelayanan terbaik. Kita harus memiliki virus mental untuk berprestasi. Semua harus memiliki need for achievement di dalam pelayanan kepada umat atau rakyat. Jika kita berbuat dan melakukan banyak hal di dalam Kemenag, maka targetnya tidak lain dan tidak bukan adalah untuk melayani dengan sebaik-baiknya kepada rakyat. Pelayanan yang baik tentu ditandai dengan kepuasan pelanggan bahkan loyalitas pelanggan. Kita telah memiliki Undang-Undang No 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, sebagai dasar untuk menentukan kualitas pelayanan public bagi Kementerian/Lembaga. Berdasarkan hasil laporan Ombudsman Republik Indonesia (ORI), maka kita belum optimal di dalam pelayanan kepada masyarakat. Hal itu terbukti dari capaian prestasi kita yang masih berwarna kuning dan berada di peringkat 21 dari 87 Kementerian/Lembaga. Nilai kita baru mencapai 65,90 meskipun telah berada di atas Kementerian Kelautan yang mendapatkan nilai 60,58 dan Kementerian Sosial dengan perolehan nilai 58,88.
Kita tentu bersyukur sebab masih ada beberapa kementerian dan lembaga yang memperoleh nilai merah. Capaian ini tentu juga menjadi indicator bahwa sudah ada perbaikan pelayanan yang dilakukan oleh kemenag. Hanya saja memang semua ASN harus turut serta untuk terus berupaya meningkatkan pelayanan dimaksud.
Tentu ada beberapa indicator yang digunakan oleh ORI untuk memberikan penilaian tersebut, yaitu: 1) ada atau tidak adanya persyaratan pelayanan. Untuk bisa memberikan pelayanan kepada rakyat dengan pelayanan yang optimal tentu berbasis pada persyaratan yang telah dirumuskan. Persyaratan yang simple, tidak memberatkan tetapi memenuhi kaidah dasar sebuah persyaratan. 2) Kepastian waktu dan biaya. Selama ini yang dikeluhkan oleh masyarakat adalah tentang durasi waktu yang lama untuk mengurus kepentingannya. Pastikan bahwa di setiap unit layanan memiliki Standart Operation Procedures (SOP) dan Standart Pelayanan Minimal (SPM). Melalui standarisasi pelayanan ini, maka akan dipastikan bahwa orang yang mengurus kepentingannya akan dapat memperoleh kepastian mengenai pelayanan yang diberikan oleh birokrasi. Pemerintah telah menggalakkan Program Sapu Bersih Pungutan liar (saberpungli) di dalam kerangka menjaga kepastian dana yang harus dikeluarkan oleh rakyat di dalam berhubungan dengan pelayanan birokrasi. 3) prosedur dan alur pelayanan yang jelas. Business process di dalam pelayanan juga harus menggambarkan transparansi dan kemudahan. Jangan lagi ada pelayanan birokrasi bawah meja, pelayanan birokrasi banyak meja dan pelayanan birokrasi meja pingpong. 4) pelayanan yang ramah dan nyaman. Pelayanan kita harus berbasis tiga S, yaitu: Senyum, Salam dan Sapa. Tetapi juga harus didukung oleh sarana prasarana pelayanan yang bermutu dan baik. Melalui pelayanan yang ramah dan menyenangkan, ramah dan nyaman, maka orang yang dilayani juga akan merasa puas atas pelayanan yang kita berikan. 5) pelayanan pengaduan juga harus ada. Setiap ada pengaduan tentu menjadi kewajiban kita untuk meresponnya. Jangan sampai orang yang kurang atau tidak puas mengadukan pelayanan kita itu kepada instansi lain. Semua harus bisa dihandle oleh suatu tim yang kuat untuk merespon semua keluhan dan pengaduan masyarakat.
Kita tentu bersyukur bahwa di awal tahun 2017 sudah terdapat pelayanan satu pintu, yang kita sebut sebagai Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP). Harapan kita tentu untuk meningkatkan kualitas pelayanan. Jika tujuan ini tercapai, maka kita semua berharap bahwa citra Kemenag akan menjadi semakin baik di kemudian hari.
Wallahu a’lam bi al shawab.
PARTAI KOMUNIS DI INDONESIA ANTARA REALITA DAN FIKSI
Di dalam acara yang Pro-Kontra yang diselenggarakan oleh JakTV, di mana saya hadir sebagai narasumber, terdapat perdebatan yang cukup keras antara Pak Shodiq Mujahid (Fraksi Partai Gerindra) dengan Prof. Hamka Haq (Fraksi Partai PDI-P) tentang eksistensi PKI di Indonesia. Perdebatan yang tentu tidak selesai, sebab durasi waktu yang sangat terbatas di acara tersebut.
Perbincangan tentang Partai Komunis di Indonesia kembali merebak akhir-akhir ini seirama dengan hiruk pikuk dan dinamika politik yang terus bergulir. Hadirnya perbincangan tentang Partai Komunis tentu terkait dengan semakin terbukanya akses informasi di tengah kebebasan berpendapat atau kebebasan mengekspresikan ide, gagasan atau pendapat. Era keterbukaan dan demokratisasi memang memberikan nuansa untuk “merdeka” dalam banyak hal, termasuk “perayaan” ide di tengah public.
Sesungguhnya ada beberapa isme yang tidak akan pernah mati. Ada dua isme yang secara sosiologis tidak akan pernah hilang di muka bumi, yaitu: kapitalisme dan komunisme, dan ada juga yang menganggap isme agama-agama. Pertarungan kapitalisme dan komunisme nyaris menguasai dunia ini. Meskipun secara sosiologis komunisme telah bisa dikalahkan oleh kapitalisme, akan tetapi sesungguhnya komunisme ini sedang mati suri.
Komunisme telah bermetamorfosis dengan sangat baik di Cina. Melalui model ekonomi unik yang dikembangkannya, maka komunisme menjadi eksis di tengah masyarakat Cina. Bahkan dengan jumlah penduduk yang nyaris setengah jumlah penduduk dunia, maka Cina bisa menjadi “penguasa” terhadap dunia ini. Amerika Serikat dan Masyarakat Uni Eropa saja kedodoran menghadapi ekspansi perekonomian Cina yang luar biasa. Jika negara lain berlepotan dengan tenaga kerja yang semakin mahal, maka Cina dengan kebijakan komunisnya bisa menjadikan SDM yang melimpah dengan mengatur upah dan produktivitasnya.
Produk Cina membanjiri seluruh dunia dengan harga murah disebabkan oleh kepasitas pemerintah komunis yang bisa menekan terhadap upah buruh, sehingga produk Cina mampu bersaing dengan produk negara lain dalam kualitas yang kurang lebih sama. Produk seperti kereta api cepat, telah mengalahkan Jepang dan Korea Selatan. Suatu lompatan teknologi dan ekonomi yang luar biasa.
Keberhasilan Cina untuk mengembangkan ideology komunisme di era kapitalisme itu kemudian tentu saja mengilhami ideology lain di dunia untuk tetap setia dan berpikir ke depan, bahwa komunisme akan tetap menjadi ideology alternative yang berhasil menguasai panggung politik dan ekonomi dunia. Itulah sebabnya, komunisme akan tetap eksis di dalam benturan peradaban yang akan terus terjadi. Tidak terkecuali para fanatisme ideology komunis dari Indonesia.
Perbincangan tentang komunisme di Indonesia juga menjadi semakin menarik. Ada semakin banyak informasi yeng bertebaran di era “perayaan” berpendapat. Ada semakin banyak upaya untuk “merayakan” kebebasan tersebut, di antaranya ialah penyebaran paham pro dan kontra komunisme di media sosial. Sebagai ideology latent, maka mereka yang pro-komunisme tentu tidak secara terang-terangan menyebarkan gagasan, ide atau pikirannya secara terbuka. Mereka tetap menjadi silent circle yang secara diam-diam bertemu dan berkumpul dalam komunitasnya.
Sementara itu, sekelompok orang yang kontra gerakan komunisme secara terang-terangan menolak kehadiran kembali komunisme di bumi Indonesia. Bisa didengarkan atau dibaca di media sosial tentang bagaimana penolakan terhadap komunisme yang dilakukan oleh Habib Riziq, Kivlan Zein dan sebagian lainnya. Mereka dengan sangat bersemangat menolak kembalinya komunisme di Indonesia melalui ceramah atau diskusi yang dilakukannya.
Jika dipetakan maka terdapat kelompok-kelompok yang melakukan pertarungan di Indonesia, yaitu kelompok pendukung secara diam-diam. Mereka sesungguhnya ada di berbagai institusi. Ada di LSM, birokrasi dan juga parlemen. Mereka tidak terdeteksi secara nyata, akan tetapi sesungguhnya mereka ada. Sebagai organisasi bawah tanah atau organisasi tanpa bentuk, maka sesungguhnya Partai Komunis telah mengembangkan dirinya dalam pola metamorphosis yang strategic.
Mereka secara individual memasuki berbagai elemen sosial kemasyarakatan namun memiliki ciri khas yang sama. Yaitu mengembangkan tema-tema perjuangan “kerakyatan” yang mengusung topic-topik “kemanusiaan, keadilan, kesamaan” dan sebagainya. Tentu yang dimaksudkan adalah dalam perspektif sosialisme atau komunisme.
Mereka memang tidak secara terang-terangan untuk mengadaptasi berbagai program yang secara langsung terkait dengan gerakan komunisme baru, akan tetapi sekurang-kurangnya mengkritisi terhadap berbagai kebijakan di masa lalu, terutama yang terkait dengan kebijakan pemerintah di masa Orde Baru. Mereka tentu memperoleh momentum untuk bermanuver di era keterbukaan dan demokratisasi ini. Jika di masa lalu mereka nyaris tidak berkutik karena kebijakan pemerintah yang sangat otoriter terhadap semua bentuk gagasan, pikiran atau apapun yang datang dari suara minoritas terlarang, maka sekarang mereka memperoleh momentumnya.
Mereka bisa bertarung untuk memperoleh keanggotaan di legislative, mereka bisa mempengaruhi Komnas HAM dan juga bisa mendirikan LSM yang memiliki jejaring internasional untuk mengembangkan paham sosialisme atau komunisme baru. Sayangnya sebagai organisasi terlarang tentu tidak bisa dilacak sejauh mana mereka telah eksis di tengah pemerintahan sekarang, akan tetapi sesungguhnya mereka ada.
Bagi saya, kelompok komunisme baru di Indonesia telah eksis. Hanya saja tidak diketahui dengan jelas siapa sesungguhnya mereka dan di mana saja mereka. Makanya, eksistensi komunisme baru di Indonesia itu bergerak di antara ada dan tiada. Ilusi tetapi realitas. Fiksi tetapi kenyataan. Dengan demikian, organisasi Islam tetap diperlukan kewaspadaannya di dalam kerangka untuk mengamati pergerakan kelompok atau individu yang memiliki gagasan atau ide yang tercetus di ruang-ruang public.
Wallahu a’lam bi al shawab.
SEKALI LAGI STANDARISASI PENCERAMAH AGAMA (4)
Saya diundang di dalam acara Pro-Kontra JakTV Jakarta (07/02/2017) untuk membahas tentang “Sertifikasi Khotib” dengan nara sumber Prof. Dr. Hamka Haq dari Fraksi PDI-Perjuangan (PDI-P), Dr. Shodiq Mujahid (Fraksi Gerindra) dan Dahnil Azhar Simanjuntak (Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah). Acara ini menjadi menarik tidak hanya karena judulnya Pro-Kontra, akan tetapi memang didesain agar terjadi perdebatan yang mendasar. Meskipun waktunya satu jam, tetapi saya rasa cukup untuk menjadikan perdebatan itu menarik.
Presenter JakTV, Fessy Alwi, saya rasa pintar juga untuk memancing perdebatan dan terkadang juga membiarkan perdebatan itu berlangsung. Pertama yang diungkapkan adalah berbagai perdebatan di media yang terjadi akhir-akhir ini, misalnya yang menolak terhadap konsep “sertifikasi”, misalnya Shodiq Mujahid, pimpinan Muhammadiyah, dan lainnya serta yang menyetujuai tentang “standarisasi” seperti MUI, NU dan sebagainya. Pertanyaan lalu ditujukan kepada saya, tentang bagaimana sesungguhnya perdebatan tentang sertifikasi itu berlangsung. Maka saya jelaskan bahwa perlu ada klarifikasi tentang istilah sertifikasi dan standarisasi. Dua kata ini adalah dua hal yang berbeda. Sertifikasi suatu hal yang lain dan standarisasi adalah hal yang lain pula. Di dalam hal ini Pak Menteri menyatakan dalam banyak penjelasan tentang standarisasi. Jadi bukan perkara sertifikasi sebagaimana yang banyak diungkap oleh media. Di dalam standarisasi itu terdapat konsep edukasi. Di dalam konteks ini, maka yang perlu diedukasi tidak hanya para khatib tetapi juga masyarakat kita. Masalahnya ialah banyak di antara para khatib bahkan para pendakwah yang tidak menguasai dengan baik tentang ajaran Islam. Para khatib juga harus tahu diri jika di dalam dirinya tidak terdapat pengetahuan agama yang bagus, sebaiknya jangan menjadi khatib. Khatib itu harus bagus bacaan Qur’annya, ilmu tafsirnya, ilmu haditsnya, dan lain-lain.
Prof. Hamka menyetujuai konsepsi standarisasi ini, beliau menyatakan bahwa yang menentukan baik atau buruknya perbuatan itu niatnya. Beliau menceritakan tentang bagaimana kiprah yang dilakukan bersama Pak JK ketika melakukan upaya perbaikan kesejahteraan para da’i di Sulawesi Selatan. Di dalam kata standarisasi itu ada upaya untuk perbaikan, penguatan dan pemberdayaan para khatib. Hal ini dilakukan agar para khatib menjadi semakin baik. Tidak hanya kualitas pengetahuan agamanya tetapi juga kesehatannya, ekonominya dan sebagainya.
Dr. Shadiq Mujahid menyatakan hal lain, dinyatakannya bahwa jika yang diinginkan adalah sertifikasi maka saya menolaknya, namun jika standarisasi itu bisa dipahami akan tetapi waktunya yang tidak tepat. Di saat sedang terjadi persoalam yang terjadi akhir-akhir ini, bagaimana Menteri Agama membuat statement tentang perlunya sertifikasi khatib. Hal ini oleh masyarakat bisa dipahami sebagai pembatasan terhadap kegiatan ceramah agama. Apalagi hal ini seakan-akan hanya dikenakan terhadap agama Islam saja, bagaimana dengan yang lain. Lalu juga di saat bersamaan juga oleh Polda Jawa Timur dilakukan pendataan para ulama. Hal ini menimbulkan trauma, sebab di masa lalu pendataan ulama itu memiliki implikasi negative.
Saya menyanggah terhadap apa yang dinyatakan oleh Pak Shodiq, bagi saya antara standarisasi khotib dan pendataan ulama oleh Polda Jawa Timur adalah dua hal yang berbeda. Standarisasi khotib diperlukan di dalam kerangka agar para khotib menjadikan masjid sebagai tempat untuk menyebarkan ajaran agama dengan penuh kerahmatan, tidak ada ujaran kebencian, tidak menolak Pancasila dan NKRI dan menjadikan masjid sebagai tempat bersama di dalam beragama. Di sisi lain, pendataan terhadap ulama itu sesuatu yang sangat berbeda. Di dalam ilmu metodologi penelitian, maka hal itu adalah dua variabel yang berkorelasi secara simetris, tidak ketemu di antara keduanya.
Dahnil menyatakan bahwa dia menolak sertifikasi meskipun kemudian menerima konsepsi standarisasi khotib dengan catatan bahwa hal itu tentu harus didasarkan atas pemikiran yang mendalam dan tidak pada saat umat Islam merasa dipojokkan seperti sekarang ini. Masyarakat akan menilai apa yang diiinginkan oleh Kementerian Agama ini. jangan-jangan ini merupakan upaya untuk membatasi kegiatan keagamaan. Kita memiliki perasaan traumatic terkait dengan hal-hal seperti ini. Hal tersebut akan mengingatkan memori kolektif masyarakat tentang kenyataan di masa lalu, misalnya kasus pembunuhan dukun santet di Banyuwangi beberapa saat yang lalu dimulai dengan pendataan terlebih dahulu. Jika diperlukan pendataan ulama sehatusnya Kemenag yang melakukannya dan bukan polisi. Sekarang ini jamaah organisasi di Indonesia sudah melakukan pertimbangan untuk mengundang seorang pencveramah dengan meminta masukan dari induk organisasinya.
Prof. Hamka menambahkan bahwa harus diketahui bahwa di dalam masjid itu tidak hanya berdiri dari satu organisasi saja. Di masjid NU maka jamaahnya tidak hanya orang NU saja. Demikian pula di masjid Muhammadiyah, maka yang menjadi jamaahnya juga banyak orang lain. Makanya, di masjid jangan membicarakan hal-hal yang terkait dengan khilafiyah. Masjid harus digunakan untuk membahas hal yang mendasar dari ajaran agama saja. Jika ingin membicarakan hal-hal yang khusus maka harus dilakukan di tempat yang khusus pula.
Dahnil juga menyatakan bahwa yang mendasar sebenarnya adalah mencermati terhadap penyebab mengapa terjadi ujaran-ujaran yang menyakitkan, keras dan kebencian. Hal ini tentu terkait dengan ketidakadilan di dalam banyak hal. Ketidakadilan ekonomi, politik, hukum dan sebagainya. Inilah akar masalahnya. Jika ini masih terus terjadi, maka jangan berharap ujaran kebencian itu akan hilang. Jadi harus dicari penyebabnya agar masalahnya bisa tuntas.
Sebagaimana program JakTV –Pro-Kontra—maka perdebatan juga bisa melebar, salah satu di antaranya ialah mengenai ketidakadilan secara politis, misalnya dengan kentaranya pemerintah mendukung terhadap calon gubernur DKI. Selain itu menurut Pak Shodiq juga masalah PKI di Indonesia. Baginya pemerintah tidak tegas menyikapi PKI di Indonesia. Secara spontan Prof. Hamka menolak keras tentang anggapan ketidaktegasan pemerintah terhadap PKI di Indonesia.
Tentu karena waktu dan tema perdebatan tentang PKI itu kurang relevan, maka harus terpaksa dihentikan. Namun diakhir saya nyatakan bahwa sudah saatnya kita melakukan aksi dan bukan hanya wacana. Oleh presenter dinyatakan apakah Pak Menteri hanya berwacana, maka saya jawab dengan mantap bahwa menteri harus mewacanakan sesuatu yang penting. Menteri harus menyatakannya. Hanya saja yang perlu adalah bagaimana kita semua melakukan aksi untuk memperbaiki keadaan. Pimpinan NU, Muhammadiyah, dan lain-lain dan juga ASN Kemenag harus menjalankan perannya untuk menjaga kebaikan bagi kita semua. Para khatib hatus memahami agamanya dengan baik, memahamai kebangsaan dan memahami masyarakatnya.
Wallahu a’lam bi al shawab.
STANDARISASI PENCERAMAH AGAMA (3)
Sedari awal Menteri Agama, Pak Lukman Hakim Saifuddin, tidak menyatakan bahwa yang akan dilakukannya adalah sertifikasi khatib akan tetapi yang diperlukan adalah standarisasi khatib. Tentu ada perbedaan yang sangat mendasar tentang makna sertifikasi dan standarisasi khatib dimaksud.
Di dalam penjelasannya di depan Komisi VIII DPR RI, bahwa yang dibutuhkan sekarang ialah standarisasi khatib agar khutbah sebagai persyaratan keabsahan shalat Jumat dan isi khutbah Jumat sebagai ajakan ke jalan Allah itu lebih baik. Sebagai persyaratan ibadah tentu haruslah memenuhi sejumlah standart agama, misalnya pemahaman agama, kualifikasi bacaan Al Qur’an dan hadits, penafsiran ajaran agama dan juga pengetahuan tentang keindonesiaan.
Beliau mewacanakan hal ini sebab ada banyak keluhan tentang khutbah Jumat yang lebih berorientasi kepada persoalan politik, terutama kritikan terhadap kebangsaan dan keindonesiaan serta banyak digunakan sebagai wahana agitasi dan provokasi untuk melakukan tindakan yang tidak relevan dengan kepentingan bangsa dan negara.
Secara factual harus diakui bahwa di Indonesia terdapat kebebasan untuk melakukan apa saja. Semenjak reformasi, maka siapa saja boleh bicara apa saja. Bahkan juga bisa mencaci maki siapa saja. Kemudian, akhir-akhir ini juga terjadi potensi untuk menjadikan ceramah agama sebagai wahana untuk mengembangkan pemahaman agama yang mengarah kepada fundamentalisme dan juga gerakan anti Pancasila dan NKRI. Banyak masjid yang dijadikan sebagai wahana untuk mengembangkan gerakan khilafah. Itulah sebabnya beliau menggagas bahwa diperlukan standarisasi khutbah tersebut.
Kementerian agama hakikatnya adalah pelayan masyarakat, sehingga di kala terjadi keluhan seperti itu, maka wajib baginya untuk meresponnya sebagai bukti kehadiran negara di dalam urusan fungsi agama. Kementerian agama bukan yang akan melakukan standarisasi dimaksud, akan tetapi tetap menjadi kewenangan organisasi keagamaan. Sejauh itu maka Kemenag hanya akan memfasilitasi keberadaannya. Dengan demikian, maka standart khatib tersebut akan dirumuskan oleh organisasi agama dengan para ulamanya dan kemudian pemerintah menfasilitasi kehadirannya.
Di dalam konteks ini, sama sekali tidak ada keinginan pemerintah untuk membatasi dakwah Islam apalagi mengintervensi terhadap materi dakwah Islam. Isi khutbah termasuk penyiaran agama Islam tentu sudah ada standartnya. Sumbernya sudah jelas, yaitu Al Qur’an dan hadits serta dilengkapi dengan qaul ulama dan kemudian memiliki relevansi dengan tujuan kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara.
Seharusnya, wacana kebijakan standarisasi khatib ini tidak dibelokkan arahnya untuk menjustifikasi bahwa pemerintah akan melakukan pembatasan dakwah Islam atau mengkebiri dan mengkerdilkan dakwah Islam. Wacana kebijakan itu merupakan respon agar semua khatib termasuk penceramah agama menyadari bahwa sebagai khatib atau penceramah agama tentu haruslah orang yang benar-benar memahami agama dan menyampaikan ajakannya dengan kebaikan dan kebenaran untuk semua anak bangsa Indonesia.
Jadi seharusnya upaya standarisasi tersebut haruslah dipersepsi sebagai upaya untuk memperbaiki kualitas pada khatib dan penyiar agama, sehingga kualitas penyiaran agama akan menjadi lebih lebih. Saya kira Al Qur’an juga menegaskan bahwa di dalam menyiarkan agama, seharusnya menggunakan konsep-konsep qaulan balighan atau perkataan yang jelas, qaulan sadidan atau pernyataan yang sopan, qaulan layyinan atau perkataan yang lemah lembut dan sederet pernyataan lain yang mengedepankan kebaikan dan kebenaran.
Dakwah Islam merupakan upaya untuk memperbaiki kehidupan umat Islam dalam berbagai variasinya. Tentu tidak hanya di dalam urusan pemahaman beragama akan tetapi juga bagaimana pemahaman agama tersebut memiliki relevansi dengan kehidupannya. Makanya, dakwah Islam harus disampaikan dengan cara-cara yang relevan dengan tujuan untuk memberdayakan masyarakat Islam.
Para khatib dan penyiar agama mestilah memiliki pemahaman bahwa yang akan diberdayakan itu adalah masyarakat Indonesia, yang secara sosiologis, antropologis dan politis adalah masyarakat Indonesia. Jadi mereka semua adalah orang Indonesia yang beragama Islam. Oleh karena itu, menjadikan mereka sebagai orang Islam yang baik sama artinya dengan menjadikan mereka sebagai orang Indonesia yang baik. Tidak bisa dipisahkan keislaman dan keindonesiaan itu.
Di tengah isu banyaknya penyiar agama yang melenceng dari standart Islam keindonesiaan itu, maka negara harus hadir bersama tokoh agama agar para khatib dan penyiar Islam kembali menyadari bahwa yang akan dipahamkan kepada agamanya itu adalah orang Indonesia yang beragama Islam. Jadi jangan dijadikan mereka itu untuk menjadi orang lain di negeri tercinta Indonesia ini.
Wallahu a’lam bi al shawab.