MEMILIH PEMIMPIN DI ERA PERUBAHAN (1)
MEMILIH PEMIMPIN DI ERA PERUBAHAN (1)
Saya tidak akan menggunakan dalil agama untuk memberikan penegasan tentang bagaimana seharusnya memilih pemimpin di era ini. Akan tetapi saya akan menggunakan logika murni saja. Biarlah urusan memilih pemimpin dari perspektif agama dilakukan oleh para ulama, para kyai, pendeta atau lainnya. Saya akan memberikan komentar tentang pilihan kepala daerah dalam kaitannya dengan dimensi sosial religious yang saya sedikit memahaminya.
Hari ini, 15/02/2017, diselenggarakan pilihan kepala daerah (pilkada) Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta dan juga secara serentak diselenggarakan pilkada di seluruh Indonesia. Begitu pentingnya pilkada ini, maka Presiden pun menjadikannya sebagai hari libur nasional di luar hari libur nasional yang sudah ditetapkan oleh pemerintah.
Saya tidak ikut memilih Gubernur DKI sebab KTP saya masih menjadi penduduk Jawa Timur. Makanya, hari ini saya bisa pergi ke Bali untuk memberikan ceramah pada acara Rapat Kerja (raker) Pendidikan Islam pada Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Bali. Tetapi sebagaimana biasanya tentu tidak bisa menginap di Denpasar untuk menikmati Bali yang crowded karena harus segera kembali ke Jakarta.
Sebagaimana pilkada di seluruh Indonesia, maka semua pilkada tentu terdapat hiruk pikuk sosial yang luar biasa. Ada rivalitas, pertentangan, konflik yang disebabkan oleh pilkada. Ada yang melibatkan aspek hukum, etnis dan juga agama. Semuanya menyatu menjadi bumbu sedap pilkada. Bahkan terkadang juga terjadi kerusuhan yang disebabkan oleh pilkada. Banyak kantor Pemda, Kantor DPRD dan fasilitas umum yang kemudian dirusak disebabkan oleh mereka yang tidak puas terhadap proses dan hasil pilkada. Ada peristiwa yang terus saya ingat, sebab terkait dengan tempat kelahiran saya di Tuban. Dan juga peristiwa pilkada di Mojokerto. Kerusuhan di Tuban yang terjadi pasca pilihan bupati dengan membakar Gedung Pendopo Kabupaten yang megah 17 tahun yang lalu, dan juga kerusuhan pasca pilkada di Mojokerto yang selain merusak gedung kabupaten juga merusak 55 mobil di tempat itu.
Saya kira pilkada dengan dinamika yang sangat kuat ialah pilkada DKI Jakarta. Pilkada di DKI tidak hanya melibatkan rivalitas antar calon, tetapi juga melibatkan aspek agama, etnis dan tokoh-tokoh besar di Indonesia. Sebagaimana diketahui bahwa pilkada ini diikuti oleh Basuki Cahaya Purnama (yang dipanggila Ahok) yang beragama Kristen dan beretnis Cina berpasangan dengan Djarot Saiful Hidayat melawan pasangan Dr. Anies Baswedan berpasangan dengan Sandiaga Uno serta Agus Harimuri Yudhoyono berpasangan dengan Sylviana Murni.
Ahok-Djarot didukung oleh PDI-P dengan Ibu Megawati dan Presiden Jokowi, Agus-Silvi didukung oleh Demokrat tentu dengan Mantan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, dan Anis-Sandiaga didukung oleh Gerindra dengan back up dari Prabowo Subiyanto. Itulah sebabnya pertarungan politik tersebut melibatkan tokoh-tokoh besar negeri ini dengan segala kekuatannya.
Bahkan juga didapatkan sentiment etnis dan agama yang sangat kuat. Di dalam hal ini maka kemudian dikenal gerakan aksi damai 411, 212 dan 112 yang melibatkan jutaan orang untuk melakukan unjuk rasa damai dimulai dari Masjid Istiqlal ke bundaran Monas dan seterusnya. Sentiment keagamaan dan etnis ini muncul sebagai reaksi atas beberapa ucapan Pak Ahok yang ditafsirkan sebagai “penodaan” terhadap ajaran agama. Bahkan juga sudah memasuki ruang pengadilan di dalam kasus penodaan agama tersebut.
Pilkada di DKI memang sangat kompleks. Berbeda dengan pilkada di daerah lain yang tidak menjadi barometer Indonesia dan sekaligus wajah Indonesia, akan tetapi pilkada DKI benar-benar menjadi taruhan bagi masyarakat Indonesia. Sebagai ibukota negara, maka DKI menjadi barometer tentang bagaimana demokrasi berlangsung dan juga masa depan para pemimpinnya untuk “berkuasa” di Indonesia. Orang seringkali menjadikan Pak Jokowi sebagai contoh bagaimana produk pilkada di DKI dapat meneruskan kepemimpinnannya di tingkat Nasional, menjadi presiden.
Sentiment keagamaan dan etnis saya kira menjadi sangat menonjol di pilkada DKI. Di tempat lain tidak sesensitif di DKI dalam urusan etnis dan agama dalam pilkada. Penolakan terhadap pasangan Ahok-Jarot sebenarnya bukan disebabkan oleh ketidakberhasilan pandangan incumbent ini di dalam memimpin Jakarta, akan tetapi karena sentiment agama. Mereka yang menggunakan sentiment agama tentu saja berpandangan bahwa keyakinan seseorang tentang agama akan sangat menentukan terhadap tindakan, perilaku atau kebijakan-kebijakannya.
Jika saya mengamati terhadap berbagai informasi yang berkembang di kalangan masyarakat Islam, maka kekhawatiran itu sangatlah menonjol. Ada semacam phobia yang tinggi tentang keterpilihan Ahok-Jarot di dalam pilkada DKI. Kekhawatiran ini tentu menjadi rasional di kalangan sebagian umat Islam, sebab dipahami bahwa Ahok-Jarot tentu didukung oleh para pengusaha yang luar biasa kekuasaannya.
Semua upaya itu dilakukan sebab sangat dipahami bahwa sebagian masyarakat Islam itu permisif di dalam menentukan para pemimpinnya. Nyaris tidak ada dimensi keyakinan yang digunakan sebagai referensi memilih pemimpin. Hal ini tentu berbeda dengan masyarakat agama lain, yang kebanyakan adalah kelas menengah, maka kesadaran memilih pemimpin itu sudah mendarah daging. Dengan kata lain, bahwa nyaris tidak ada umat Kristen atau Katolik yang tidak memilih Ahok-Jarot di dalam demokrasi pilkada ini.
Dengan demikian, maka menggunakan dalil agama –khususnya Islam—untuk menjadi referensi di dalam pilkada belumlah sangat signifikan untuk menggerakkan umat Islam di dalam memilih pemimpin. Akan tetapi usaha yang dilakukan oleh sebagian kecil umat Islam tentu juga harus diapresiasi sebab dari merekalah sesungguhnya kesadaran tentang Islam dan kepemimpinan itu terjadi.
Wallahu a’lam bi al shawab.
