• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

SEKALI LAGI STANDARISASI PENCERAMAH AGAMA (4)

SEKALI LAGI STANDARISASI PENCERAMAH AGAMA (4)
Saya diundang di dalam acara Pro-Kontra JakTV Jakarta (07/02/2017) untuk membahas tentang “Sertifikasi Khotib” dengan nara sumber Prof. Dr. Hamka Haq dari Fraksi PDI-Perjuangan (PDI-P), Dr. Shodiq Mujahid (Fraksi Gerindra) dan Dahnil Azhar Simanjuntak (Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah). Acara ini menjadi menarik tidak hanya karena judulnya Pro-Kontra, akan tetapi memang didesain agar terjadi perdebatan yang mendasar. Meskipun waktunya satu jam, tetapi saya rasa cukup untuk menjadikan perdebatan itu menarik.
Presenter JakTV, Fessy Alwi, saya rasa pintar juga untuk memancing perdebatan dan terkadang juga membiarkan perdebatan itu berlangsung. Pertama yang diungkapkan adalah berbagai perdebatan di media yang terjadi akhir-akhir ini, misalnya yang menolak terhadap konsep “sertifikasi”, misalnya Shodiq Mujahid, pimpinan Muhammadiyah, dan lainnya serta yang menyetujuai tentang “standarisasi” seperti MUI, NU dan sebagainya. Pertanyaan lalu ditujukan kepada saya, tentang bagaimana sesungguhnya perdebatan tentang sertifikasi itu berlangsung. Maka saya jelaskan bahwa perlu ada klarifikasi tentang istilah sertifikasi dan standarisasi. Dua kata ini adalah dua hal yang berbeda. Sertifikasi suatu hal yang lain dan standarisasi adalah hal yang lain pula. Di dalam hal ini Pak Menteri menyatakan dalam banyak penjelasan tentang standarisasi. Jadi bukan perkara sertifikasi sebagaimana yang banyak diungkap oleh media. Di dalam standarisasi itu terdapat konsep edukasi. Di dalam konteks ini, maka yang perlu diedukasi tidak hanya para khatib tetapi juga masyarakat kita. Masalahnya ialah banyak di antara para khatib bahkan para pendakwah yang tidak menguasai dengan baik tentang ajaran Islam. Para khatib juga harus tahu diri jika di dalam dirinya tidak terdapat pengetahuan agama yang bagus, sebaiknya jangan menjadi khatib. Khatib itu harus bagus bacaan Qur’annya, ilmu tafsirnya, ilmu haditsnya, dan lain-lain.
Prof. Hamka menyetujuai konsepsi standarisasi ini, beliau menyatakan bahwa yang menentukan baik atau buruknya perbuatan itu niatnya. Beliau menceritakan tentang bagaimana kiprah yang dilakukan bersama Pak JK ketika melakukan upaya perbaikan kesejahteraan para da’i di Sulawesi Selatan. Di dalam kata standarisasi itu ada upaya untuk perbaikan, penguatan dan pemberdayaan para khatib. Hal ini dilakukan agar para khatib menjadi semakin baik. Tidak hanya kualitas pengetahuan agamanya tetapi juga kesehatannya, ekonominya dan sebagainya.
Dr. Shadiq Mujahid menyatakan hal lain, dinyatakannya bahwa jika yang diinginkan adalah sertifikasi maka saya menolaknya, namun jika standarisasi itu bisa dipahami akan tetapi waktunya yang tidak tepat. Di saat sedang terjadi persoalam yang terjadi akhir-akhir ini, bagaimana Menteri Agama membuat statement tentang perlunya sertifikasi khatib. Hal ini oleh masyarakat bisa dipahami sebagai pembatasan terhadap kegiatan ceramah agama. Apalagi hal ini seakan-akan hanya dikenakan terhadap agama Islam saja, bagaimana dengan yang lain. Lalu juga di saat bersamaan juga oleh Polda Jawa Timur dilakukan pendataan para ulama. Hal ini menimbulkan trauma, sebab di masa lalu pendataan ulama itu memiliki implikasi negative.
Saya menyanggah terhadap apa yang dinyatakan oleh Pak Shodiq, bagi saya antara standarisasi khotib dan pendataan ulama oleh Polda Jawa Timur adalah dua hal yang berbeda. Standarisasi khotib diperlukan di dalam kerangka agar para khotib menjadikan masjid sebagai tempat untuk menyebarkan ajaran agama dengan penuh kerahmatan, tidak ada ujaran kebencian, tidak menolak Pancasila dan NKRI dan menjadikan masjid sebagai tempat bersama di dalam beragama. Di sisi lain, pendataan terhadap ulama itu sesuatu yang sangat berbeda. Di dalam ilmu metodologi penelitian, maka hal itu adalah dua variabel yang berkorelasi secara simetris, tidak ketemu di antara keduanya.
Dahnil menyatakan bahwa dia menolak sertifikasi meskipun kemudian menerima konsepsi standarisasi khotib dengan catatan bahwa hal itu tentu harus didasarkan atas pemikiran yang mendalam dan tidak pada saat umat Islam merasa dipojokkan seperti sekarang ini. Masyarakat akan menilai apa yang diiinginkan oleh Kementerian Agama ini. jangan-jangan ini merupakan upaya untuk membatasi kegiatan keagamaan. Kita memiliki perasaan traumatic terkait dengan hal-hal seperti ini. Hal tersebut akan mengingatkan memori kolektif masyarakat tentang kenyataan di masa lalu, misalnya kasus pembunuhan dukun santet di Banyuwangi beberapa saat yang lalu dimulai dengan pendataan terlebih dahulu. Jika diperlukan pendataan ulama sehatusnya Kemenag yang melakukannya dan bukan polisi. Sekarang ini jamaah organisasi di Indonesia sudah melakukan pertimbangan untuk mengundang seorang pencveramah dengan meminta masukan dari induk organisasinya.
Prof. Hamka menambahkan bahwa harus diketahui bahwa di dalam masjid itu tidak hanya berdiri dari satu organisasi saja. Di masjid NU maka jamaahnya tidak hanya orang NU saja. Demikian pula di masjid Muhammadiyah, maka yang menjadi jamaahnya juga banyak orang lain. Makanya, di masjid jangan membicarakan hal-hal yang terkait dengan khilafiyah. Masjid harus digunakan untuk membahas hal yang mendasar dari ajaran agama saja. Jika ingin membicarakan hal-hal yang khusus maka harus dilakukan di tempat yang khusus pula.
Dahnil juga menyatakan bahwa yang mendasar sebenarnya adalah mencermati terhadap penyebab mengapa terjadi ujaran-ujaran yang menyakitkan, keras dan kebencian. Hal ini tentu terkait dengan ketidakadilan di dalam banyak hal. Ketidakadilan ekonomi, politik, hukum dan sebagainya. Inilah akar masalahnya. Jika ini masih terus terjadi, maka jangan berharap ujaran kebencian itu akan hilang. Jadi harus dicari penyebabnya agar masalahnya bisa tuntas.
Sebagaimana program JakTV –Pro-Kontra—maka perdebatan juga bisa melebar, salah satu di antaranya ialah mengenai ketidakadilan secara politis, misalnya dengan kentaranya pemerintah mendukung terhadap calon gubernur DKI. Selain itu menurut Pak Shodiq juga masalah PKI di Indonesia. Baginya pemerintah tidak tegas menyikapi PKI di Indonesia. Secara spontan Prof. Hamka menolak keras tentang anggapan ketidaktegasan pemerintah terhadap PKI di Indonesia.
Tentu karena waktu dan tema perdebatan tentang PKI itu kurang relevan, maka harus terpaksa dihentikan. Namun diakhir saya nyatakan bahwa sudah saatnya kita melakukan aksi dan bukan hanya wacana. Oleh presenter dinyatakan apakah Pak Menteri hanya berwacana, maka saya jawab dengan mantap bahwa menteri harus mewacanakan sesuatu yang penting. Menteri harus menyatakannya. Hanya saja yang perlu adalah bagaimana kita semua melakukan aksi untuk memperbaiki keadaan. Pimpinan NU, Muhammadiyah, dan lain-lain dan juga ASN Kemenag harus menjalankan perannya untuk menjaga kebaikan bagi kita semua. Para khatib hatus memahami agamanya dengan baik, memahamai kebangsaan dan memahami masyarakatnya.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..