STANDARISASI PENCERAMAH AGAMA (3)
STANDARISASI PENCERAMAH AGAMA (3)
Sedari awal Menteri Agama, Pak Lukman Hakim Saifuddin, tidak menyatakan bahwa yang akan dilakukannya adalah sertifikasi khatib akan tetapi yang diperlukan adalah standarisasi khatib. Tentu ada perbedaan yang sangat mendasar tentang makna sertifikasi dan standarisasi khatib dimaksud.
Di dalam penjelasannya di depan Komisi VIII DPR RI, bahwa yang dibutuhkan sekarang ialah standarisasi khatib agar khutbah sebagai persyaratan keabsahan shalat Jumat dan isi khutbah Jumat sebagai ajakan ke jalan Allah itu lebih baik. Sebagai persyaratan ibadah tentu haruslah memenuhi sejumlah standart agama, misalnya pemahaman agama, kualifikasi bacaan Al Qur’an dan hadits, penafsiran ajaran agama dan juga pengetahuan tentang keindonesiaan.
Beliau mewacanakan hal ini sebab ada banyak keluhan tentang khutbah Jumat yang lebih berorientasi kepada persoalan politik, terutama kritikan terhadap kebangsaan dan keindonesiaan serta banyak digunakan sebagai wahana agitasi dan provokasi untuk melakukan tindakan yang tidak relevan dengan kepentingan bangsa dan negara.
Secara factual harus diakui bahwa di Indonesia terdapat kebebasan untuk melakukan apa saja. Semenjak reformasi, maka siapa saja boleh bicara apa saja. Bahkan juga bisa mencaci maki siapa saja. Kemudian, akhir-akhir ini juga terjadi potensi untuk menjadikan ceramah agama sebagai wahana untuk mengembangkan pemahaman agama yang mengarah kepada fundamentalisme dan juga gerakan anti Pancasila dan NKRI. Banyak masjid yang dijadikan sebagai wahana untuk mengembangkan gerakan khilafah. Itulah sebabnya beliau menggagas bahwa diperlukan standarisasi khutbah tersebut.
Kementerian agama hakikatnya adalah pelayan masyarakat, sehingga di kala terjadi keluhan seperti itu, maka wajib baginya untuk meresponnya sebagai bukti kehadiran negara di dalam urusan fungsi agama. Kementerian agama bukan yang akan melakukan standarisasi dimaksud, akan tetapi tetap menjadi kewenangan organisasi keagamaan. Sejauh itu maka Kemenag hanya akan memfasilitasi keberadaannya. Dengan demikian, maka standart khatib tersebut akan dirumuskan oleh organisasi agama dengan para ulamanya dan kemudian pemerintah menfasilitasi kehadirannya.
Di dalam konteks ini, sama sekali tidak ada keinginan pemerintah untuk membatasi dakwah Islam apalagi mengintervensi terhadap materi dakwah Islam. Isi khutbah termasuk penyiaran agama Islam tentu sudah ada standartnya. Sumbernya sudah jelas, yaitu Al Qur’an dan hadits serta dilengkapi dengan qaul ulama dan kemudian memiliki relevansi dengan tujuan kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara.
Seharusnya, wacana kebijakan standarisasi khatib ini tidak dibelokkan arahnya untuk menjustifikasi bahwa pemerintah akan melakukan pembatasan dakwah Islam atau mengkebiri dan mengkerdilkan dakwah Islam. Wacana kebijakan itu merupakan respon agar semua khatib termasuk penceramah agama menyadari bahwa sebagai khatib atau penceramah agama tentu haruslah orang yang benar-benar memahami agama dan menyampaikan ajakannya dengan kebaikan dan kebenaran untuk semua anak bangsa Indonesia.
Jadi seharusnya upaya standarisasi tersebut haruslah dipersepsi sebagai upaya untuk memperbaiki kualitas pada khatib dan penyiar agama, sehingga kualitas penyiaran agama akan menjadi lebih lebih. Saya kira Al Qur’an juga menegaskan bahwa di dalam menyiarkan agama, seharusnya menggunakan konsep-konsep qaulan balighan atau perkataan yang jelas, qaulan sadidan atau pernyataan yang sopan, qaulan layyinan atau perkataan yang lemah lembut dan sederet pernyataan lain yang mengedepankan kebaikan dan kebenaran.
Dakwah Islam merupakan upaya untuk memperbaiki kehidupan umat Islam dalam berbagai variasinya. Tentu tidak hanya di dalam urusan pemahaman beragama akan tetapi juga bagaimana pemahaman agama tersebut memiliki relevansi dengan kehidupannya. Makanya, dakwah Islam harus disampaikan dengan cara-cara yang relevan dengan tujuan untuk memberdayakan masyarakat Islam.
Para khatib dan penyiar agama mestilah memiliki pemahaman bahwa yang akan diberdayakan itu adalah masyarakat Indonesia, yang secara sosiologis, antropologis dan politis adalah masyarakat Indonesia. Jadi mereka semua adalah orang Indonesia yang beragama Islam. Oleh karena itu, menjadikan mereka sebagai orang Islam yang baik sama artinya dengan menjadikan mereka sebagai orang Indonesia yang baik. Tidak bisa dipisahkan keislaman dan keindonesiaan itu.
Di tengah isu banyaknya penyiar agama yang melenceng dari standart Islam keindonesiaan itu, maka negara harus hadir bersama tokoh agama agar para khatib dan penyiar Islam kembali menyadari bahwa yang akan dipahamkan kepada agamanya itu adalah orang Indonesia yang beragama Islam. Jadi jangan dijadikan mereka itu untuk menjadi orang lain di negeri tercinta Indonesia ini.
Wallahu a’lam bi al shawab.
