• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

GENERASI BARU PENGKAJI ILMU SOSIAL DAN BUDAYA DI PTKIN

GENERASI BARU PENGKAJI ILMU SOSIAL DAN BUDAYA DI PTKIN
Dahulu, kala berbicara tentang antropologi atau sosiologi, maka pikiran kita pastilah akan terbayang UI, UA, UGM dan sebagainya. Di kala itu, di perguruan tinggi umum memang sudah berkembang dengan pesat kajian antropologi dan sosiologi dan bahkan juga kajian multidisipliner tentang ilmu dimaksud.
Di UI dikenal ada Prof. Kuntjaraningrat, Begawan antropologi Indonesia, Prof. Parsudi Suparlan, Prof. Harsya Bachtiar dan sebagainya. Di UGM dikenal nama-nama seperti Prof. Tengku Yakub, Prof. Selo Soemardjan, Prof. Syafri Sairin, Prof. Kuntowijoyo dan sebagainya. Di Universitas Airlangga dikenal nama Prof. Sutandyo Wignjosoebroto, Prof. Ramlan Surbakti, Dede Oetomo dan sebagainya. Nama-nama mereka sangat dikenal di blantika ilmu sosial di Indonesia.
Saya teringat bahwa di masa lalu, memang ada semacam kesepakatan tidak tertulis, bahwa masing-masing Program Pascasarjana (PPs) di PTKIN akan memiliki ciri khasnya masing-masing. UIN Sunan Ampel Surabaya akan mengembangkan kajian Keislaman Multidispliner, baik dalam coraknya yang inter-disipliner ataupun yang cross-disipliner. Yang interdisipliner ialah penggabungan dua disiplin ilmu dalam satu pembidangan, misalnya sosiologi komunikasi, antropologi politik dan sebagainya. Penggabungan ilmu ini berada di dalam satu bidang ilmu sosial. Lalu ada yang cross-disipliner, yaitu penggabungan dua disiplin ilmu dalam dua bidang yang berbeda, misalnya sosiologi agama, antropologi agama, sosiologi santra dan sebagainya. Penggababungan ilmu ini berasal dari dua bidang ilmu, yaitu ilmu sosial dan ilmu humaniora.
Pada tahun 2004 di saat saya mulai mengajar pada Program Doktoral di UIN Sunan Ampel (kala itu masih IAIN), maka saya perkenalkan teori-teori sosial sebagai pendekatan baru di dalam mengkaji ilmu keislaman. Kajian tentang Islam yang hidup di masyarakat kita dekati dengan teori atau konsep di dalam ilmu sosial. Maka lahirlah banyak disertasi yang bercorak seperti itu. Bahkan ada yang menyatakan bahwa saya mengarahkan ilmu keislaman menjadi ilmu sosial. Tentu saja saya senang, meskipun juga harus hati-hati.
Saya tentu merasa senang, sebab banyak kajian di UIN Sunan Ampel yang menggunakan pendekatan ilmu sosial dan budaya untuk kajian keislaman tersebut. Ada yang menggunakan pendekatan sosiologis, budaya dan juga politik. Saya merasakan bahwa pengembangan integrasi ilmu itu sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari berbagai disertasi di UIN Sunan Ampel Surabaya.
Beberapa hari yang lalu, 27/07/18, saya dipercaya untuk menguji disertasi di UIN Walisongo Semarang. Ujian disertasi Tri Astutik Haryati dengan bimbingan Promotor Prof. Dr. Achmad Gunaryo, M.Soc.Sc., dan Prof. Dr. Mudjahirin Thohir, MA. Disertasinya berjudul “Kaline Buthek Wetenge Wareg: Studi tentang Pandangan Hidup dan Perilaku Ekonomi Santri Pelaku Usaha Batik di Pekalongan”. Hadir sebagai penguji di dalam Ujian Terbuka ini ialah Prof. Dr. Muhibbin, Prof. Dr. Ahmad Rofiq, Prof. Dr. Ahmad Gunaryo, Prof. Dr. Mudjahirin Thohir, Prof. Dr. Nur Syam, Dr. M. Muhsin Jamil, Dr. Sholihan dan Dr. Hasan Asy’ari Ulama’i.
Saya tentu mengapresiasi disertasi ini karena 3 (tiga) hal: pertama, masukan saya dalam ujian tertutup agar lebih focus pada penggunaan teori fenomenologi atau konstruksi sosial bisa dipenuhi. Bagi saya penggunaan teori yang terlalu banyak, misalnya Giddens dengan teori strukturasinya dirasa kurang tepat untuk menggambarkan dunia pandangan hidup dan perilaku ekonomi santri. Atau juga penerapan teori Parsons tentang social actions juga kurang tepat. Dan akhirnya dipilihkah ancangan Berger dan Luckmann untuk pendekatan terhadap ajaran agama Islam yang hidup pada komunitas santri di Pekalongan.
Kedua, pengungkapan datanya sangat memadai dengan penggunaan bahasa naratif yang baik. Saya kira secara metodologis dan konten sangat memadai dan bisa mengungkapkan fenomena kehidupan para santri di Pekalongan dari konteks pemahaman dan perilaku ekonominya. Bahasanya cukup mengalir dan relevan dengan kajian antropologis dalam pendekatan kualitatif. Emic viewnya memadai.
Ketiga, saya juga mengapresiasi keberanian penulisnya untuk mengungkapkan implikasi teoritiknya dengan baik. Dinyatakannya bahwa temuan konseptualnya ialah “Islam dialektis bercorak spiritual”, yaitu Keislaman khas Jawa pesisiran dengan unsur spiritualtas yang menonjol, sebagai letak geografis pesisiran sebagai basis pertumbuhan Islam.
Disertasi memang harus menghasilkan teori baru atau konsepsi baru. Saya sering menyatakan bahwa disertasi harus berbeda dengan tesis apalagi skripsi. Disertasi harus menghasilkan konsepsi baru yang memungkinkan peneliti lain merujuknya, baik membantah atau menerimanya. Yang jelas peneliti disertasi harus menonjolkan temuan teoretiknya agar yang bersangkutan bisa masuk dalam blantika akademik yang diperhitungkan. Konsep spiritualisme simbolik dimaksudkan sebagai ekspressi sufistik yang tidak hanya dalam kepentingan pendekatan kepada Tuhan sesuai dengan kepentingan keakheratan semata akan tetapi juga untuk kepentingan bisnis batiknya. Keberhasilan ekonomi di dunia secara simbolik akan menggambarkan keberhasilan secara spiritual untuk kepentingan akherat.
Hanya saja, jika di dalam penelitian ini pengertian santri digunakan dalam makna generic, maka ke depan kiranya diperlukan pendalaman tentang santri ini, sebab bisa jadi bahwa di varian santri tentu juga akan memiliki varian di dalam pemahaman dan perilakunya. Jadi masih ada peluang untuk melakukan kajian lebih lanjut tentang santri dimaksud.
Di atas itu semua, kegembiran saya tentu saja adalah bahwa ke depan akan semakin banyak para pengkaji ilmu keislaman multidisipliner ini sebagai mandate dari pengembangan IAIN menjadi UIN yaitu tidak hanya mengembangkan Islamic studies saja tetapi juga Islamic studies multidicipliner. Dan itu artinya, di UIN harus semakin banyak ahli ilmu sosial dam humaniora yang terus menerus berusaha untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang menjadi mandate perguruan tingginya.
Wallahu a’lam bi al shawab.

PENDIDIKAN DI ERA MILENIAL (2)

PENDIDIKAN DI ERA MILENIAL (2)
Ada yang menarik kala saya membaca tulisan Hermawan Kertajaya, “Indonesia Now, Empowering Millenial”. Beliau menggambarkan bahwa di Indonesia, era industry itu dimulai dengan kemerdekaan Indonesia, 1945. Era industry 1.0 dimulai tahun 1945-1965. Era industry 2.0 dimulai tahun 1966-1997. Era industri 3.0 dimulai tahun 1998-2018, dan sekarang kita akan memasuki generasi 4.0.
Pada era generasi 3.0, maka yang terjadi ialah terkait dengan politik hukum, business dan pengembangan sosiokultural. Pada era generasi 4.0, maka yang terjadi ialah besarnya pengaruh teknologi di dalam semua aspek kehidupan dan yang penting ialah memperkuat generasi muda.
Terlepas dari indicator-indikator yang digunakan oleh Pak Hermawan Kertajaya di dalam menentukan tahun dan indikatornya, akan tetapi yang penting ialah bagaimana kita menyiapkan generasi muda Indonesia dalam menghadapi era industry 4.0 yang tentu tidak bisa dihindari.
Kita sedang menghadapi era baru industrialisasi, baik yang bercorak ancaman maupun peluang. Yang menjadi ancaman ialah secara global, digitalisasi akan menggerus peluang kerja sebesar 1-1,5 muliar jenis pekerjaan sepanjang tahun 2015-2025 disebabkan semakin kuatnya penggunaan mesin (robot) di dalam dunia kerja. Dengan mesin-mesin otomatis, maka luar biasa banyaknya pekerjaan yang digantikannya. Lalu juga diestimasikan bahwa di masa depan terdapat sebanyak 65 persen anak-anak sekolah dasar yang akan bekerja di sector baru yang sekarang belum terjadi.
Tetapi di sisi lain juga ada peluang bahwa pada tahun 2025 akan terdapat peluang kerja baru sebesar 2,5 juta dan juga berkurangnya emisi karbon kira-kira 26 Milyar ton dari tiga industry, yaitu industri elektronik, industry logistic dan industry otomotif. Inilah keunikannya. Di satu sisi bisa saja kita kehilangan peluang kerja karena munculnya mesin atau robot tetapi manusia juga memiliki kemampuan untuk menciptakan pekerjaan baru.
Masyarakat Indonesia tentu saja tidak bisa melawan terhadap perkembangan teknologi yang demikian kuat. Kita tentu akan terus mengikuti perkembangan teknologi tersebut sambil mencoba untuk menemukan solusi yang memadai. Saya tetap berkeyakinan bahwa manusia dengan kemampuan pikirannya akan bisa keluar dari bayangan buruk terkait dengan teknologi ciptaannya.
Manusia memiliki kecerdasan yang sangat komplit. Sedangkan robot, misalnya hanya akan mampu bekerja sesuai dengan perintah dan kapasitas dirinya. Tidak lebih dan kurang. Bisa saja pekerjaan yang memerlukan kecepatan dan keakurasian bisa dikerjakan oleh robot, akan tetapi tentu tetap ada pekerjaan yang mengharuskan menggunakan kecerdasan lebih komplit yang hanya dimiliki oleh manusia.
Kita tidak harus pesimis menghadapi revolusi industry 4.0. kita justru akan dapat memanfaatkannya untuk kepentingan dunia kerja untuk menciptakan kesejahtaraan dan kebahagiaan. Ketika dunia transportasi dikuasai oleh perusahaan aplikasi transportasi, maka perusahaan transportasi kemudian mengembangkan dirinya menjadi lebih variatif. Demikian pula ketika penjualan barang dikuasai oleh aplikasi belanja, maka banyak pengusaha pertokoan yang juga mengembangkan aplikasi baru untuk mempertahankan dan mengembangkan usaha tokonya.
Dunia pendidikan juga mengalami kegerahan dengan semakin banyaknya aplikasi yang menawarkan pengajaran dan penambahan pengetahuan melalui system aplikasi. Dengan mesin pencari seperti Google, maka apa saja bisa disajikannya. Kita bisa menemukan apa saja untuk hal-hal yang ingin kita ketahui. Mesin pencari ini sungguh luar biasa dalam menemukan hal-hal yang dahulu membutuhkan waktu untuk menemukannya.
Namun demikian, tetap ada peran guru yang tidak bisa digantikan oleh mesin canggih apapun. Mesin pencari yang canggih itu tidak mampu menyediakan perasaan, hati dan empathi apapun. Tetapi guru memiliki kecerdasan yang lebih komplit. Manusia memiliki kecerdasan rasional, emosional, sosial dan spiritual. Melalui empat kecerdasan ini, maka manusia memiliki kemampuan yang tidak bisa dimiliki oleh robot ciptaan manusia. Memang kita tidak bisa berkompetisi dengan robot dalam ketelitian, kecepatan dan kekuatan, akan tetapi kita bisa memiliki yang jauh lebih baik dalam relasi dengan sesama manusia.
Oleh karena itu, kita tidak perlu pesimis menghadapi tantangan pendidikan yang besar di masa depan. Hanya memang kita harus berusaha lebih kuat dalam menghadapi tantangan tersebut agar kita keluar menjadi pemenang. Manusia dengan kreativitasnya, dengan kemampuan relasi sosialnya dan bahkan juga kemampuan relasi spiritualnya akan dapat menghadapi tantangan dunia ini dengan sigap dan bermartabat.
Wallahu a’lam bi al shawab.

PENDIDIKAN DI ERA MILENIAL (1)

PENDIDIKAN DI ERA MILENIAL (1)
Di tengah sempitnya waktu yang tersedia, saya akhirnya juga harus memilih untuk datang pada acara yang diselenggarakan oleh Program Studi Bahasa Arab pada Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan UIN Sunan Ampel Surabaya. Acara tahunan tentang halaqah pembelajaran bahasa Arab ini tentu dimaksudkan sebagai sarana untuk memberikan tambahan wawasan bagi mahasiswa Fakultas program studi bahasa Arab. Hadir pada acara ini ialah Wakil Rektor Bidang Akademik, Ibu Wahidah Siregar, MA, PhD., Wakil Rektor Bidang Administrasi umum, Prof. Dr. Abu Azam, Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, Prof. Dr. Ali Mas’ud, Dekn Fakultas Ilmu Ekonomi dan Bisnis Islam, Dr. Ah. Ali Arifin, Prof. Dr. HM. Ridlwan Nasir, Prof. Dr. Ali Mufrodi, dan lain-lain.
Saya tentu mengapresiasi terhadap program halaqah ini, sebab menghadirkan narasumber dari penutur asli bahasa Arab, yaitu Dr. Abdullah Al Hulaibi dan Dr. Najla Al Bunyani dari Universitas King Fahd Arab Saudi. Saya hadir dalam kapasitas sebagai pemerhati pendidikan di Indonesia, selain sebagai professor di UIN Sunan Ampel. Saya tentu tidak membicarakan tentang pembelajaran Bahasa Arab, sebab hal ini bukanlah keahlian saya, akan tetapi saya membicarakan mengenai tantangan pendidikan di era Milenial dan secara khusus dunia pendidikan dalam menghadapi terhadap era industry 4.0 yang sekarang sedang berlangsung.
Kita sedang memasuki era industry 4.0. Era industry secara tipologis bisa dibagi ke dalam empat kategori, yaitu industry 1.0, yang ditandai dengan penemuan mesin uap, yang dapat mendorong muculnya kapal, kereta api dan lain-lain. Industry 2.0 ditandai dengan penemuan listrik dan teknologi perakitan (assembly line) yang dapat meningkatkan produksi barang. Industry 3.0 yang ditandai dengan inovasi teknologi informasi, komersialisasi personal computer dan lain-lain, dan era industry 4.0 yang ditandai dengan kegiatan manufaktur terintegrasi melalui penggunaan teknologi wireless dan big data secara massif.
Perubahan era ini semakin cepat seirama dengan perubahan demi perubahan yang dilakukan oleh pengembangan teknologi informasi. Coba kita lihat perubahan penggunaan telepon. Pada tahun 2000-an awal masih dikenal teknologi informasi telepon melalui warnet. Bagi yang tidak memiliki telepon sambungan di rumah, maka bisa pergi ke warnet untuk menelpon atau berinternet, tetapi di akhir 2000-an kita sudah melihat penggunaan handphone pintar untuk menjadi sarana komunikasi jarak jauh. Bisa ditenteng di mana-mana dan digunakan di mana saja. Selama ada signal yang menghubungkan dengan layanan hand phone maka dapatlah kita menggunakannya. Tetapi dalam waktu singkat, teknologi android bisa menjawab semua hal yang kita butuhkan. Jika di masa sebelumnya hand phone hanya memiliki tiga fitur saja, yaitu telephone, SMS dan aplikasi lain seperti music, dan lain-lain, maka sekarang teknologi hand phone sudah sedemikian canggih. Hand phone dapat digunakan untuk media sosial dengan layanan yang sangat komplit.
Wajah teknologi dunia sekarang ini sudah merambah pada keseluruhan kehidupan manusia. Misalnya, sharing economy, yaitu munculnya industry berbasis IT yang saling bekerja sama untuk menghasilkan produk dan melayani kebutuhan masyarakat, misalnya NETFLIX, swap, dan sebagainya. Lalu, e-Education, ialah pengembangan teknologi untuk kepentingan pendidikan. Melalui teknologi informasi maka berbagai industry menawarkan paket-paket program pembelajran yang lebih mudah dan terjangkau. Misalnya canvas network, Future learn dan sebagainya. Sekarang ini sudah banyak perguruan tinggi yang menawarkan daring system dalam program pembelajaran.
Kemudian e-Government. Sebagaimana diketahui bahwa era sekarang adalah era elektronik, sehingga dunia birokrasi juga harus mengikutinya. Pemerintahan yang efektif dan efisien ditandai dengan kecepatan merespon terhadap perubahan sosial yang terjadi. Cloud collaborative ialah dengan ditemukannya Google sebagai mesin pencari yang sangat hebat. Melalui Google maka semua kebutuhan manusia tentang informasi akan dapat dilayaninya. Tidak hanya informasi mengenai bisnis dan investasi, akan tetapi juga tempat rekreasi, kuliner dan bahkan informasi agama. Semua tersedia di dalam mesin pencari ini. Selain juga ada misalnya, Microsoft Office 365 dan sebagainya. Lalu, Marketplace, yaitu dengan ditemukannya aplikasi untuk pengembangan bisnis melalui media IT. Munculnya star up, Gojek, bukalapak, tokopedia dan sebagainya. Gojek, Grab misalnya dapat mengubah perusahaan transportasi yang selama ini menggunakan sarana mobil dan sebagainya menjadi cukup dengan aplikasi. Perusahaan taksi tanpa taksi. Dengan aplikasi bukalapak juga mengubah performance toko yang selama ini identic dengan barang dan jasa menjadi cukup jasa saja. Bukalapak dan Tokopedia adalah toko tanpa barang yang dijajakan di toko. Melalui teknologi ternyata bisa mengubah life style masyarakat secara mendasar. Selain itu juga ada online Health services, Smart Manufacturing, Smart City dan sebagainya.
Bagaimana kita harus menghadapinya? Kita harus mengembangkan cara berpikir kita dengan 4 (empat) Competency, yaitu: critical thinking and problem solving, creativity and innovation, communication and collaboration. Kita harus belajar berpikir kritis, yaitu berpikir responsive dan antisipatif terhadap perubahan dan kemungkinan perubahan yang akan terjadi. Dengan kata lain, kita harus berpikir lateral dan bukan konvensional. Perusahaan-perusahaan start up yang kita jumpai sekarang adalah hasil dari berpikir lateral atau blue sky thinking. Kita harus menghadapi setiap perubahan dengan menyajikan solusi yang tepat.
Kreativitas dan inovasi memegang peran penting di era disruptive ini. Jika kita tidak berani melakukan lompatan kreativitas dan inovasi maka dipastikan kita akan ketinggalan. Kantor bank tanpa bangunan, toko tanpa bangunan dan barang, perusahaan taksi tanpa mobil dan sebagainya adalah contoh lompatan inovasi yang luar biasa. Dengan teknologi informasi, maka semuanya bisa dilakukan.
Kita juga harus memiliki kemampuan komunikasi yang memadai. Saya merasa senang karena para mahasiswa ini memiliki kemampuan Bahasa Arab yang baik. Jadi sudah memiliki dasar penting untuk bisa berkomunikasi dengan dunia internasional khususnya bagi yang berada di Timur Tengah. Sekarang hanya dibutuhkan kemampuan berkomunikasi baik yang bercorak intrapersonal maupun inter personal. Saya kira kita perlu menambah tata cara dan menambah keberanian untuk menggunakan kemampuan komunikasi tersebut untuk kemaslahatan.
Dan yang terakhir ialah kemampuan kolaborasi. Dunia ini dibangun di atas kerja sama. Maka siapa yang memiliki kerjasama yang baik, maka dialah yang menguasai dunia ini. Oleh karena itu kuasai kerja sama dengan kompetensi di bidang bahasa, teknologi informasi dan kemampuan hard skill dan soft skill lainnya untuk meraih masa depan.
Wallahu a’lam bi al shawab.

REKONSTRUKSI PENDIDIKAN ANAK

REKONSTRUKSI PENDIDIKAN ANAK
Suatu pagi saya memperoleh pesan melalui Whatsapp (WA) dari Ibu Hurriyah El Islamy, anggota Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), tentang pesan Jack Ma, pengusaha China yang sukses dan luar biasa keberhasilannya. Makanya, pesan itu lalu saya sampaikan kepada grup WA Eselon I Kemenag, terutama kepada Pak Dirjen Pendis, Prof. Kamaruddin Amin, sebab sangat relevan untuk direspon.
Pesan Jack Ma itu ialah: “kita harus mengubah cara kita untuk mendidik anak-anak. Kita tidak dapat berkompetisi dengan mesin. Robot dapat mengganti 800 juta pekerjaan pada tahun 2030. Makanya, pendidikan memiliki tantangan besar pada masa yang akan datang. Jika kita tidak mengubah cara kita mendidik anak, maka 30 tahun ke depan kita akan memiliki masalah besar. Kita harus mengubah cara kita mengajar anak. Kita harus berhenti mengajarkan pengetahuan sebagaimana 200 tahun yang lalu. Para guru agar berhenti mengajar untuk melawan mesin. Dia sangat cepat. Kita memiliki sesuatu yang unik. Guru harus mengajarkan tentang soft skill. Guru harus mengajarkan tentang nilai, keyakinan, berpikir independent, team work dan menghargai manusia. Guru harus berhenti mengajarkan pengetahuan. Guru harus mengajarkan tentang hal-hal yang tidak dimiliki oleh mesin. Guru harus mengajarkan tentang olahraga, music, melukis, dan seni. Inilah yang membedakan antara manusia dengan mesin.”
Apa yang dinyatakan oleh Jack Ma, saya kira benar. Kita sekarang sedang menghadapi era industry 4.0, di mana semakin menguat peran mesin, khususnya robot dalam dunia pekerjaan. Manusia sesungguhnya akan melawan terhadap teknologi hasil ciptaannya sendiri. Artificial intelligent yang merupakan ciptaan manusia ke depan akan menjadi lawan tangguh bagi manusia di dunia kerja. Dan dipastikan manusia akan kalah melawan mesin artifisial intelligent tersebut. Robot memiliki ketangguhan, kecepatan dan akurasi yang sangat tinggi.
Itulah sebabnya Jack Ma memberikan atau membagi pengetahuannya agar dunia pendidikan melakukan perubahan terkait dengan program pengajaran. Pembelajaran harus mengangkat keunikan manusia dengan pengetahuan, keterampilan dan keyakinannya. Manusia harus diajarkan sesuatu yang lebih dari sekedar pengetahuan. Dia harus diajarkan tentang nilai, yaitu seperangkat standart kebenaran dan kebaikan yang diyakini dapat menjadi pedoman di dalam kehidupannya. Manusia harus diajari tentang keyakinan, bahwa dia akan bisa melakukan sesuatu yang benar berdasarkan atas nilai-nilai ketuhanan, nilai-nilai sosial dan budaya yang baik. Manusia harus diajarkan tentang agama yang dapat dijadikan sebagai pedoman di dalam kehidupannya. Di dalam agama tentu selalu ada aspek kejujuran atau integritas, keadilan, kerukunan, keharmonisan dan juga keselamatan. Manusia harus yakin bahwa dengan ajaran agama itu maka dirinya akan bisa menyelamatkan kehidupannya sendiri, masyarakat dan juga lingkungannya.
Anak-anak juga harus dididik untuk berpikir independent, berpikir bebas dan bahkan juga berpikir kritis tetapi solutif. Dengan berpikir bebas, maka dia akan mampu untuk menghasilkan karya-karya inovatif yang berguna bagi manusia dan kemanusiaan serta masyarakat. Karya inovatif hanya akan muncul ketika seseorang bisa berpikir kritis, independent dan terbuka. Era sekarang mengajarkan bahwa siapa yang paling inovatif, maka dialah yang akan menguasai banyak hal di dalam kehidupan ini.
Anak-anak juga harus diajari untuk bekerja sama dan bukan hanya berpikir kompetitif. Kemampuan kompetisi penting tetapi harus berbasis pada kerja sama. Saya kira ke depan kita membutuhkan kemampuan bekerja sama di tengah semakin terdiferensiasinya kehidupan yang semakin kompleks. Hanya dengan teamwork maka kerja yang sulit akan bisa diurai dan dipecahkan melalui solusi yang cerdas.
Yang tidak kalah penting ialah agar anak didik diajar agar memiliki cinta kasih dan penghormatan kepada orang lain. Di dalam dirinya harus ditanamkan dengan kuat untuk menghargai manusia. Manusia itu tidak hanya terdiri dari daging dan tulang, akan tetapi juga dengan hati dan emosi. Makanya, manusia harus ditempatkan di dalam mitra kehidupan yang saling menghormati dan menghargai, sehingga akan tercipta keharmonisan, kerukunan dan keselamatan.
Anak didik juga harus diajarkan tentang olahraga agar sehat badannya. Men sana in corpore sano, di dalam badan yang sehat akan terletak jiwa yang sehat. Selain itu juga harus dididik dengan seni agar jiwanya sensitive terhadap kebaikan dan kesalehan. Seni akan mengasah kepekaan rohani dan menjaga ritme spiritualitas.
Jadi kita harus berani melakukan lompatan untuk kembali melakukan rekonstruksi dalam proses pembelajaran, dalam konteks kembali mengajarkan nilai-nilai kebaikan yang dahulu menjadi pedoman bagi kehidupan. Saya kira era revolusi industry 4.0 tetap perlu didampaingi dengan nilai moralitas dan spiritualitas yang agung.
Wallahu a’lam bi al shawab.

KE RAJA AMPAT: PERJALANAN LAUT YANG PANJANG (4)

KE RAJA AMPAT: PERJALANAN LAUT YANG PANJANG (4)
Pada waktu saya belajar Manajemen Pendidikan Tinggi, tahun 2007 di Mc-Gill University, maka saya pernah melakukan perjalanan panjang dari Mc-Gill ke Toronto dan melewati gugusan pulau-pulau kecil di sana. Saya sempat mengunjungi tempat wisata ini. Saya lupa namanya. Kita naik perahu dan mengelilingi pulau-pulau tersebut.
Tetapi saya kira keindahan gugusan pulau di Kanada itu tidak sama dengan gugusan kepuluan di Raja Ampat ini. Pahatan-pahatan alami di dinding batu yang sudah ratusan juta tahun itu tampak sangat indah. Deburan ombak yang mengenai batu-batu itu membuat ornament yang sangat menarik. Selain ada wisata bukit-bukit dengan aneka ragam hayati juga terdapat ragam wisata bawah laut yang luar biasa. Jadi Raja Ampat memang pantas menjadi ikon wisata Indonesia.
Saya juga ingat perjalanan panjang saya mengarungi samudra ialah di kala saya naik Kapal Fery dari Mataram ke Bali. Kira-kira 4 jam. Tetapi perjalanan di Raja Ampat ini saya kira yang terpanjang. Meskipun tidak langsung tetapi jumlah jam dan kilometernya lebih panjang. Jika dihitung nyaris tujuh jam. Selain itu, saya juga pernah menyeberang ke Singapura dari Batam dan menyeberang ke Paser di Kalimantan.
Saya tentu kagum dengan awak kapal. Mereka adalah anak muda Papua, dengan kulitnya yang hitam dan tubuhnya yang kokoh. Mereka ini selalu duduk di atas dek depan, seperti menantang samudra. Dengan pakaian kerjanya dia selalu mengunyah buah sirih, sehingga bibir dan giginya menjadi memerah. Saya tidak tahu apakah ini merupakan ritual para pelaut di sini. Gaji mereka sekali perjalanan sebesar Rp500.000,- dan sebulan rata-rata lima kali. Hanya di saat tertentu, misalnya liburan sekolah saja perjalanan ke Raja Ampat agak meningkat. Harga speed boat ini bervariasi. Untuk yang berkapasitas 10 orang harganya kisaran Rp400.000.000,- dan yang berkapasitas 30 orang kisaran harganya sebesar Rp700.000.000,-
Saya berkelililing di Kota Waisaki. Kota yang masih sederhana. Sarana perkantoran, rumah sakit, pelabuhan dan sarana-prasarananya juga sederhana. Ada banyak speed boat, kapal tangker dan kapal Phinisi yang tertambat di sini. Katanya, kapal-kapal phinisi itu dimiliki orang barat. Kapal penumpang cepat juga ada di sini. Bertepatan pulangnya ke Sorong saya menggunakan kapal cepat tersebut. Sebuah kapal yang baru, mungkin belum setahun operasional. Bahkan plastik-plastik penutup kursi di VIP juga masih utuh.
Saya lihat warna biru dominan di kota ini. Maka secara spontan saya tanyakan kepada Pak Hamid, “apakah bupatinya dari PAN?”. Dijawab Pak Hamid, “dari Demokrat Pak”. Pantaslah jika warna biru begitu dominan. Cat masjid, kantor pemerintahan, dan pagar-pagar kebanyakan berwarna biru. Memang kita bisa menebak ada keterkaitan warna dengan penguasa wilayah. Bupati atau walikota. Saya menjadi teringat ketika Pak Masjfuk menjadi bupati di Lamongan, Jawa Timur, maka nyaris semua bangunan pemerintah berwarna biru, sebab beliau adalah kader Muhammadiyah dan PAN. Sama juga ketika Bu Henny menjadi Bupati di Tuban, Jawa Timur, maka Masjid Agung Tuban pun dominan berwarna kuning. Nyaris semua bangunan berwarna kuning.
Jangan bandingkan kota Waisaki ini dengan kota-kota kabupaten di Jawa. Sarana prasaranya masih sangat sederhana dan jumlah penduduknya juga masih sangat sedikit. Populasi di Kabupaten Raja Ampat 60 persen beragama Islam. Mereka kebanyakan menempati dataran di bibir bukit. Saya kira sebuah tempat yang masih sehat untuk dihuni. Area hutan berhimpitan dengan rumah-rumah pemukiman. Saya kira 10 sampai 15 tahun lagi kota ini akan mengalami kemajuan.
Jam 14 kami kembali ke Sorong dengan menumpang kapal cepat. Ternyata penumpangnya cukup banyak. Baik dek bawah maupun dek atas penuh penumpang. Naik kapal cepat ini terasa nyaman. Nyaris tidak terdapat goncangan meskipun sebenarnya ombak lebih besar dibandingkan dengan keberangkatan saya. Beberapa kawan sudah mendahului ke Sorong dengan speed boat. Pak Hugo sudah sampai lebih dulu di Sorong.
Jika kota-kota lainnya cukup maju, misalnya Sorong, Manokwari, Fakfak, Bintuni dan beberapa lainnya, maka daerah pemekaran memang masih membutuhkan waktu untuk berkembang. Yang diperkirakan cepat berkembang adalah Kaimana. Meskipun kabupaten pemekaran akan tetapi akan lebih cepat berkembang. Selain itu juga Bintuni. Kota pelabuhan ini akan bisa berkembang lebih cepat, apalagi juga di sini terdapat pertambangan gas dan hasil budi daya laut yang lebih variatif.
Saya bertemu dengan seorang pemuda, namanya Ruska, alumni Fakultas Perkapalan UI, yang menjadi Direktur PT Juragan Kapal. Dia berminat mengembangkan usahanya di Bintuni karena sangat prospektif. Dia bersinergi untuk membangun usaha di bidang perkapalan dengan kawan-kawannya dari Universitas Hang Tuah Surabaya dan juga ITS. Produk ikan juga melimpah. Kata Pak Hamid, “pusat kepiting ialah di Bintuni.”

Papua dan Papua Barat adalah wilayah Indonesia yang terluas, setelah Kalimantan dan Sumatera. Di tempat ini bahan-bahan tambang luar biasa banyaknya. Kita masih ingat dengan Freeport yang terus menjadi bahan perbincangan di tingkat nasional. Kita juga masih ingat akan berbagai peristiwa relasi antar agama di sini. Relasi antar penganut agama ini seringkali fluktuatif. Ada kalanya memanas dan ada kalanya mendingin, meskipun yang dingin lebih dominan.
Ada masalah di Tolikara Papua antara umat Islam dengan GIDI tentang pelaksanaan shalat, lalu juga ada masalah pendirian masjid di Manokwari. Tetapi satu hal yang penting, bahwa setiap ada gejolak masalah antar umat beragama lalu bisa diselesaikan dengan memadai. Oleh karena itu tentu kita bersyukur atas terjalinnya kerukunan umat beragama yang menjadi ruh kebersamaan di antara umat beragama.
Jadi, sesungguhnya kita tetap mampu merajut kebersamaan dan kerja sama dalam kerangka meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat Indonesia.
Wallahu a’lam bi al sahwab.