Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

KE RAJA AMPAT: PERJALANAN LAUT YANG PANJANG (4)

KE RAJA AMPAT: PERJALANAN LAUT YANG PANJANG (4)
Pada waktu saya belajar Manajemen Pendidikan Tinggi, tahun 2007 di Mc-Gill University, maka saya pernah melakukan perjalanan panjang dari Mc-Gill ke Toronto dan melewati gugusan pulau-pulau kecil di sana. Saya sempat mengunjungi tempat wisata ini. Saya lupa namanya. Kita naik perahu dan mengelilingi pulau-pulau tersebut.
Tetapi saya kira keindahan gugusan pulau di Kanada itu tidak sama dengan gugusan kepuluan di Raja Ampat ini. Pahatan-pahatan alami di dinding batu yang sudah ratusan juta tahun itu tampak sangat indah. Deburan ombak yang mengenai batu-batu itu membuat ornament yang sangat menarik. Selain ada wisata bukit-bukit dengan aneka ragam hayati juga terdapat ragam wisata bawah laut yang luar biasa. Jadi Raja Ampat memang pantas menjadi ikon wisata Indonesia.
Saya juga ingat perjalanan panjang saya mengarungi samudra ialah di kala saya naik Kapal Fery dari Mataram ke Bali. Kira-kira 4 jam. Tetapi perjalanan di Raja Ampat ini saya kira yang terpanjang. Meskipun tidak langsung tetapi jumlah jam dan kilometernya lebih panjang. Jika dihitung nyaris tujuh jam. Selain itu, saya juga pernah menyeberang ke Singapura dari Batam dan menyeberang ke Paser di Kalimantan.
Saya tentu kagum dengan awak kapal. Mereka adalah anak muda Papua, dengan kulitnya yang hitam dan tubuhnya yang kokoh. Mereka ini selalu duduk di atas dek depan, seperti menantang samudra. Dengan pakaian kerjanya dia selalu mengunyah buah sirih, sehingga bibir dan giginya menjadi memerah. Saya tidak tahu apakah ini merupakan ritual para pelaut di sini. Gaji mereka sekali perjalanan sebesar Rp500.000,- dan sebulan rata-rata lima kali. Hanya di saat tertentu, misalnya liburan sekolah saja perjalanan ke Raja Ampat agak meningkat. Harga speed boat ini bervariasi. Untuk yang berkapasitas 10 orang harganya kisaran Rp400.000.000,- dan yang berkapasitas 30 orang kisaran harganya sebesar Rp700.000.000,-
Saya berkelililing di Kota Waisaki. Kota yang masih sederhana. Sarana perkantoran, rumah sakit, pelabuhan dan sarana-prasarananya juga sederhana. Ada banyak speed boat, kapal tangker dan kapal Phinisi yang tertambat di sini. Katanya, kapal-kapal phinisi itu dimiliki orang barat. Kapal penumpang cepat juga ada di sini. Bertepatan pulangnya ke Sorong saya menggunakan kapal cepat tersebut. Sebuah kapal yang baru, mungkin belum setahun operasional. Bahkan plastik-plastik penutup kursi di VIP juga masih utuh.
Saya lihat warna biru dominan di kota ini. Maka secara spontan saya tanyakan kepada Pak Hamid, “apakah bupatinya dari PAN?”. Dijawab Pak Hamid, “dari Demokrat Pak”. Pantaslah jika warna biru begitu dominan. Cat masjid, kantor pemerintahan, dan pagar-pagar kebanyakan berwarna biru. Memang kita bisa menebak ada keterkaitan warna dengan penguasa wilayah. Bupati atau walikota. Saya menjadi teringat ketika Pak Masjfuk menjadi bupati di Lamongan, Jawa Timur, maka nyaris semua bangunan pemerintah berwarna biru, sebab beliau adalah kader Muhammadiyah dan PAN. Sama juga ketika Bu Henny menjadi Bupati di Tuban, Jawa Timur, maka Masjid Agung Tuban pun dominan berwarna kuning. Nyaris semua bangunan berwarna kuning.
Jangan bandingkan kota Waisaki ini dengan kota-kota kabupaten di Jawa. Sarana prasaranya masih sangat sederhana dan jumlah penduduknya juga masih sangat sedikit. Populasi di Kabupaten Raja Ampat 60 persen beragama Islam. Mereka kebanyakan menempati dataran di bibir bukit. Saya kira sebuah tempat yang masih sehat untuk dihuni. Area hutan berhimpitan dengan rumah-rumah pemukiman. Saya kira 10 sampai 15 tahun lagi kota ini akan mengalami kemajuan.
Jam 14 kami kembali ke Sorong dengan menumpang kapal cepat. Ternyata penumpangnya cukup banyak. Baik dek bawah maupun dek atas penuh penumpang. Naik kapal cepat ini terasa nyaman. Nyaris tidak terdapat goncangan meskipun sebenarnya ombak lebih besar dibandingkan dengan keberangkatan saya. Beberapa kawan sudah mendahului ke Sorong dengan speed boat. Pak Hugo sudah sampai lebih dulu di Sorong.
Jika kota-kota lainnya cukup maju, misalnya Sorong, Manokwari, Fakfak, Bintuni dan beberapa lainnya, maka daerah pemekaran memang masih membutuhkan waktu untuk berkembang. Yang diperkirakan cepat berkembang adalah Kaimana. Meskipun kabupaten pemekaran akan tetapi akan lebih cepat berkembang. Selain itu juga Bintuni. Kota pelabuhan ini akan bisa berkembang lebih cepat, apalagi juga di sini terdapat pertambangan gas dan hasil budi daya laut yang lebih variatif.
Saya bertemu dengan seorang pemuda, namanya Ruska, alumni Fakultas Perkapalan UI, yang menjadi Direktur PT Juragan Kapal. Dia berminat mengembangkan usahanya di Bintuni karena sangat prospektif. Dia bersinergi untuk membangun usaha di bidang perkapalan dengan kawan-kawannya dari Universitas Hang Tuah Surabaya dan juga ITS. Produk ikan juga melimpah. Kata Pak Hamid, “pusat kepiting ialah di Bintuni.”

Papua dan Papua Barat adalah wilayah Indonesia yang terluas, setelah Kalimantan dan Sumatera. Di tempat ini bahan-bahan tambang luar biasa banyaknya. Kita masih ingat dengan Freeport yang terus menjadi bahan perbincangan di tingkat nasional. Kita juga masih ingat akan berbagai peristiwa relasi antar agama di sini. Relasi antar penganut agama ini seringkali fluktuatif. Ada kalanya memanas dan ada kalanya mendingin, meskipun yang dingin lebih dominan.
Ada masalah di Tolikara Papua antara umat Islam dengan GIDI tentang pelaksanaan shalat, lalu juga ada masalah pendirian masjid di Manokwari. Tetapi satu hal yang penting, bahwa setiap ada gejolak masalah antar umat beragama lalu bisa diselesaikan dengan memadai. Oleh karena itu tentu kita bersyukur atas terjalinnya kerukunan umat beragama yang menjadi ruh kebersamaan di antara umat beragama.
Jadi, sesungguhnya kita tetap mampu merajut kebersamaan dan kerja sama dalam kerangka meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat Indonesia.
Wallahu a’lam bi al sahwab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..