• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

PUASA; JIBRIL MENGAJAR TENTANG ISLAM (6)

PUASA; JIBRIL MENGAJAR TENTANG ISLAM (6)

Pada acara shalat jamaah Tarawih ke enam, saya menjadi penceramah untuk kuliah tujuh menit (kultum) di Mushalla Al Ihsan, Perumahan Lotus Regency Ketintang Surabaya. Saya tentu sangat bersyukur sebab minat untuk menjalankan shalat Isya’ dan tarawih berjamaah masih terjaga sedemikian rupa. Saya menyampaikan ceramah dengan tema “Jibril mengajari tentang Islam, Iman dan Ihsan”. Suatu pelajaran yang kemudian menjadi dasar, bagi Rukun Islam, Rukun Iman dan juga amalan mendalam (esoteric) di dalam Islam.

Di dalam sebuah Hadits Nabi Muhammad saw, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim, terdapat dialog yang sangat mendasar tentang ajaran Islam. Dalam sebuah Hadits tersebut dinyatakan (yang saya terjemahkan dalam bahasa Indonesia secara general dalam bentuk cerita) ialah: “pada suatu ketika Nabi Muhammad saw duduk bersama para sahabatnya, lalu tiba-tiba datang seorang lelaki yang sangat tampan, kulitnya putih bersinar, rambutnya hitam legam, dan tidak ada tanda-tanda baru saja bepergian, lalu lelaki tersebut duduk dengan pahanya saling beradu dengan paha Rasulullah dan tangan lelaki tersebut ditempatkan pada paha Rasulullah. Lelaki itu terus bertanya kepada Nabi tentang Islam. Maka Nabi Menjawab, bahwa “Islam ialah bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad sebagai utusan Allah, menjalankan shalat, mengeluarkan zakat, menjalankan puasa Ramadlan dan pergi haji jika berkemampuan.” Lalu, lelaki tersebut menyatakan: “engkau benar”. Kemudian apakah iman itu?. Nabi Menjawab: Iman ialah mempercayai tentang Allah, meyakini tentang Malaikat Allah, mempercayai Kitab Allah, mempercayai Rasul Allah, mempercayai hari akhir dan mempercayai takdir baik dan buruk”. Lelaki itu menyatakan: “Engkau benar”. Kemudian lelaki tersebut bertanya, apa yang dimaksud dengan Ihsan, kemudian Nabi menjawab: “an ta’budallah ka annaka tarah, fain lam takun tarah fainnahu yaraka”. “Engkau menyembah Allah seakan-akan engkau mengetahuinya, dan jika engkau tidak mengetahuinya maka yakinlah bahwa Allah mengetahui kamu.”

Hadits ini yang kemudian menjadi pijakan bagi para jumhur ulama untuk memahami tentang Rukun Iman dan Rukun Islam. Bahwa ada 5 (lima) rukun Islam dan ada 6 (enam) rukun iman. Dan yang tidak kalah menarik ialah diajarkannya tentang bagaimana kita menyembah Allah swt, yang didasarkan pada keyakinan bahwa Allah mengetahui semua yang kita lakukan. Al Ihsan ini menjadi pijakan bagi kaum muslimin –khususnya kaum Tasawuf—untuk menjalankan Islam dalam coraknya yang esoteric (mendalam) melalui cara bertaqarrub kepada Allah melalui rumus-rumus tertentu.

Inti dari keberislaman ialah totalitas pengabdian, totalitas penyerahan diri dan totalitas kepasrahan kepada Allah semata. Sedangkan inti dari keimanan ialah totalitas keyakinan hanya kepada Allah saja tanpa ada satu keyakinan lain yang menyekutukannya. Allah yang memiliki seluruh system tata surya dan yang menguasainya tanpa ada sekutu baginya. Dan implikasi dari keyakinan ini ialah terwujudnya keyakinan kepada yang diperintahkan untuk diyakini oleh manusia.

Inti dari al Ihsan ialah kepasrahan total kepada Allah dalam pengabdian untuk mendapatkan keridlaannya. Di dalam doa yang seringkali kita lantunkan: “Allahumna inna nas’aluka ridlaka wal jannah, wa naudzu bika min sakhatika wan nar”. Yang arti secara generalnya ialah “Ya Allah sesungguhnya kami memohon ridlamu dan surgamu dan jauhkan kami dari siksamu dan nerakamu”. Doa ini kita lantunkan sebagai bentuk permohonan tertinggi kepada Allah swt agar kita memperoleh keselamatan fid dini wal akhirah. Adakah yang melebihi keselamatan dan ridla Allah untuk kita semua. Jika Allah sudah meridlai hidup kita, maka kehidupan akan menjadi nyaman dan bahagia. Tidak hanya kebahagiaan di dunia akan tetapi yang lebih penting ialah kebahagiaan di akherat.

Tujuan hidup sesungguhnya ialah untuk mendapatkan cinta dan ridla Allah swt. Sepeti para ahli tasawuf, misalnya Rabiah al Adawiyah yang mengembangkan tasawuf Cinta atau hubullah, atau Hasan Al Basri yang mengembangkan tasawuf ridla atau ridlallah. Jika Allah sudah mencintai dan meridlai hambanya, maka apa yang dilakukannya ialah “pancaran” ketuhanan yang mewujud di dalam diri manusia.

Itulah sebabnya, Mushalla kita ini dinamai sebagai Mushalla al Ihsan, dengan dasar filosofis agar mushalla ini dapat menjadi tempat untuk pengabdian kepada Allah swt dengan totalitas kepasrahan berbasis pada keyakinan bahwa apapun yang kita lakukan pasti Allah mengetahuinya. Tempat ini masjidnya Allah tempat beribadah dengan sungguh-sungguh. Mushalla ini adalah miliknya Allah untuk kita berubadah kepadanya.

Di tempat ini ada radarnya Allah, ada CCTV-nya Allah selain CCTV yang bertebaran di seluruh jagad kehidupan kita. Jauh sebelum ditemukan CCTV sebagai piranti untuk melihat apa yang dilakukan orang di dalamnya, Allah sudah membuat CCTV sebagai mahakarya untuk melihat seluruh amalan kita. Itulah sebabnya Hadits Nabi menyatakan: “ittaqillaha haitsuma kunta” yang artinya: “bertaqwalah kepada Allah di mana saja berada”, artinya kita harus bertaqwa kepada Allah di segala waktu, tempat dan keadaan kita.

Puasa ini menjadi momentum untuk semakin mengenal bahwa ada radar Allah yang maha besar yang menjadi piranti untuk mengamati tentang apa yang kita lakukan. Semoga  Allah menjadikan puasa kita untuk instrument yang dapat meningkatkan amal ibadah kita.

Wallahu a’lam bi al shawab.

PUASA: DIMANA TINGKATAN KITA (5)

PUASA: DIMANA TINGKATAN KITA (5)

Pada pelaksanaan tarawih hari ke lima, yang memberikan ceramah atau kuliah tujuh menit (kultum) ialah Muh. Yusrol Fahmi, S.Sos.I, MSi, alumnus Program Studi Politik Islam pada UIN Sunan Ampel dan Program Magister Ilmu Sosial Politik Universitas Airlangga. Tema yang dibawakan pada kultum ini ialah mengenai tingkatan atau kategori puasa Ramadlan.

Ada sebuah hadits yang patut disimak dalam kaitannya dengan pelaksanaan puasa pada bulan Ramadlan, yaitu Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Buchari dan Muslim, yang matannya berbunyi: “Kam min Shaimin laisa min shiayamihi illa al ju’ wal athasy”, yang artinya kurang lebih ialah: “Berapa banyak orang-orang yang berpuasa akan tetapi tidak mendapatkan makna puasa kecuali lapar dan dahaga”. Hadits ini memberikan gambaran bahwa ada orang-orang yang berpuasa akan tetapi tidak mendapatkan pahala puasa –keberkahan, pengampunan dan ketaqwaan—namun hanya memperoleh rasa lapar dan rasa dahaga.

Gambaran puasa sebagaimana dinyatakan dari Hadits Nabi Muhammad saw ini ialah orang yang berpuasa tetapi hanya puasa fisiknya saja, yaitu puasa yang hanya menahan lapar dan dahaga. Memang mereka tidak makan dan minum selama fajar terbit sampai matahari terbenam, namun rohaninya tidak berpuasa. Artinya masih ada tindakan-tindakan yang tidak bisa dihindarinya, misalnya belum memuasakan mata, tangan, dan juga lesannya. Mungkin mata kita masih sering memandang hal-hal yang seharusnya ditahan, mungkin tangan kita masih digunakan untuk melakukan hal-hal yang dilarang atau membatalkan puasa dan bahkan lisan kita masih sering menggunjing (ghibah) atau membicarakan hal-hal yang membatalkan puasa.

Mungkin tindakan ini tidak kita sadari atau muncul begitu saja di dalam kehidupan kita, karena bisa saja selama ini memang sering kita lakukan. Perilaku ini yang semestinya bisa dikurangi atau bahkan dinihilkan di dalam melaksanakan puasa. Yang sesungguhnya diajarkan di dalam puasa ialah menghilangkan perilaku kurang atau tidak baik menjadi perilaku yang baik dan terpuji. Atau dari akhlakul madzmumah atau jelek ke akhlakul karimah atau terpuji.

Oleh Imam Ghazali, pengarang kitab yang sangat terkenal dan menjadi rujukan di lembaga-lembaga pendidikan Islam: “Ihya Ulumiddin”, dijelaskan bahwa ada tiga kategori pelaku puasa, yaitu: Pertama, puasa bagi orang awam atau puasa berkategori biasa, yaitu puasa yang dilakukan hanya dengan memuasakan fisiknya saja dan belum memuasakan rohaninya. Yang berkategori ini ialah seseorang yang berpuasa tetapi belum bisa meninggalkan larangan puasa secara total. Mungkin masih ada satu atau dua larangan puasa yang dilakukan.

Kedua, puasa bagi orang khusus, yaitu puasa yang dilakukan dengan sudah meninggalkan semua larangan berpuasa, fisiknya sudah dipuasakan, tangan, kaki, mata dan lesan sudah semua berpuasa, akan tetapi masih ada yang kurang yaitu pendakian spiritual yang luar biasa. Termasuk di dalamnya ialah sudah melakukan tarawih, witir, dzikir dan sebagainya namun tingkatannya belum sangat optimal. Masih ada yang dirasa kurang ialah taqarrubnya kepada Allah swt. Jika kita bisa masuk ke dalam kategori kedua ini saya kira sudah baik, sebab kita sudah meninggalkan puasa fisik dan menuju kepada puasa batin. Artinya puasa yang sudah melibatkan batin kita untuk berpuasa.

Ketiga, ialah puasa bagi orang yang khusus fil khusus. Atau puasa bagi orang yang istimewa. Saya kira yang sudah bisa memasuki puasa dalam tahap ketiga ialah para ahli tasawwuf, atau orang khusus yang sudah bisa memasuki alam taqarrub ila Allah. Maqam ini hanya bisa dilakukan oleh orang yang sudah menjalankan Islam secara kaffah atau secara menyeluruh, seluruh hidupnya sudah diabdikan hanya kepada Allah saja dan sudah tidak lagi memikirkan keduniaan. Seluruh pikiran, hati, lesan dan tindakannya sudah berada di dalam kedekatan dengan Allah. Jika kita runut secara historis, maka puasa dalam kategori ini adalah misalnya puasa yang dilakukan oleh Imam Ghazali, Dzunnun al Mishri, Rabiah al Adawiyah, Hasan al Basri, Imam Syaf’ii, Imam Hambali, Imam Hanafi, Imam Maliki dan sebagainya. Saya kira di zaman-zaman sesudahnya juga didapati orang-orang yang berpuasa dalam kategori ini, misalnya para Wali Songo di Nusantara, dan sebagainya. Pastilah juga ada orang yang bisa memasuki puasa dalam konteks puasa khusus fil khusus.

Kita semua tentu berkeinginan untuk bisa menjadi bagian dari puasanya orang dalam kategori ketiga. Jika ini memang sangat sulit dicapai, maka paling tidak kita bisa berpuasa dalam kategori kedua. Yaitu orang yang sudah melakukan puasa dengan fisiknya dan sekaligus juga dengan batinnya. Dan mestinya kita bisa.

Wallahu a’lam bi al shawab.

PUASA; MENJAGA NIAT SHALAT DAN PUASA (4)

PUASA; MENJAGA NIAT SHALAT DAN PUASA (4)

Pada hari keempat atau tarawih yang ke empat, Ramadlan 1440 H., Ustadz Khobirul Amru yang memberikan taushiyah pada jamaah Shalat Tarawih di Mushalla Al Ihsan Perumahan Lotus Regency Ketintang Surabaya. Saya bersama para jamaah tentu saja menyimak dengan seksama penjelasan yang diberikannya. Kali ini, Ustadz Khobir menjelaskan tentang relasi antara niat, shalat dan murtad.

Ceramah ini dibuka dengan satu statemen, “banyak orang yang mengira bahwa murtad itu hanya orang yang menyatakan keluar dari agama Islam”. Pernyataan ini tentu saja benar, sebab secara teologis bahwa orang dinyatakan murtad jika menyatakan dirinya keluar dari agama Islam. Namun demikian tentu harus hati-hati sebab menurut Syekh Abdullah bin Hussein bin Thohir Ba’alawi dalam Kitab Sullamut Taufiq, dinyatakannnya bahwa murtad itu memiliki cakupan yang luas. Beliau ini adalah keturunan Nabi Muhammad saw yang berasal dari Hadramaut. Di Indonesia ada banyak nama yang merupakan dzurriyah Nabi Muhammad saw, misalnya Al Haddad, Jindan, Ba’alawi dan sebagainya. Beliau termasuk ulama yang memiliki pandangan mendasar tentang murtad dalam konsepsi Islam.

Murtad dalam pandangannya dinyatakan bahwa jika orang meyakini bahwa ada satu ayat saja di dalam Al Qur’an yang diragukan kebenarannya, atau meragukan ayat-ayat tertentu di dalam Al Qur’an karena berbeda teksnya, atau mempertanyakan apakah Al Qur’an itu wahyu Allah atau karangan Nabi Muhammad saw., maka yang seperti ini sudah dianggap sebagai murtad. Itulah sebabnya ada beberapa ulama yang karena kehati-hatiannya “melarang” belajar filsafat, sebab filsafat itu mendasarkan premisnya pada keraguan, termasuk juga meragukan tentang kalam Tuhan. Namun demikian, jika filsafat itu produknya justru memperkuat keimanan atau keislaman kita, maka tentu tidak ada larangan mempelajarinya.

Bahkan jika orang dengan sengaja meninggalkan salah satu saja dari rukun Islam, misalnya meninggalkan shalat tetapi melaksanakan puasa dan zakat, maka oleh Beliau dianggap telah keluar dari ajaran Islam. Orang sering menyepelekan tentang amalan-amalan wajib yang harus dilakukannya. Jika hal ini dilakukan dengan sengaja, maka dipastikan Beliau dihukumi sebagai murtad. Termasuk misalnya kita bicara bahwa tidak ada takdir Allah, tidak ada hari kiamat dan sebagainya, maka pernyataan itu telah membawanya kepada kemurtadan.

Setiap ibadah yang kita lakukan haruslah berdasarkan atas niat yang ikhlas. Syekh Imam Nawawi –pengarang banyak buku—selalu menyelipkan pada Bab awal tentang niat. Hal ini menandakan bahwa niat itu sangat penting untuk menandai amal ibadah kita kepada Allah. Niat itu ialah keinginan pikiran, hati dan fisik untuk melakukan ibadah. Jadi kalau kita akan shalat, tentu hati, pikiran dan fisik kita siap melakukannya. Sama dengan shalat, jika kita niat shalat, maka hati, pikiran dan fisik kita juga harus siap melakukan shalat. Makanya, niat memegang peranan penting sebagai dasar ibadah.

Kalau misalnya kita akan shalat, maka juga harus dimulai dengan rangkaian shalat. Dimulai dari wudlu’ yang benar, lalu shalat yang benar, dengan mengikuti gerakan dan bacaan shalat yang benar, sehingga shalat kita menjadi absah. Terkadang ada orang yang cara wudlunya dalam membasuh tangan tidak benar, maka wudlunya menjadi tidak benar, jika yang wudlunya seperti itu, maka keabsahan shalatnya tentu bisa diragukan. Tentu Allah saja yang tahu tentang diterima atau tidaknya shalat yang bersangkutan, akan tetapi secara lahiriyah tentu kita masing-masing bisa menilainya.

Niat menjadi penentu keabsahan ritual keagamaan kita. Jangan sampai misalnya saya datang ke ritual shalat tarawih karena hanya ingin menggugurkan kewajiban atau karena khawatir dianggap oleh jamaah tidak bertanggungjawab. Maka niat yang benar hanyalah untuk menjalankan perintah Allah dan ingin memperoleh keridlaannya karena kita melakukan amalan ibadah tersebut. Jadi benar-benar harus lillahi ta’ala. Hanya untuk Allah semata.

Rukun Islam, tentu tidak hanya shalat –meskipun shalat menjadi yang sangat utama—akan tetapi rukun Islam lainnya juga harus diperhatikan. Yang wajib harus dijalankan dan jangan ada yang ditinggalkan. Puasa juga harus diniati yang ikhlas sehingga puasa kita akan menjadi puasa yang imanan wa ihtisaban, puasa yang ujung akhirnya akan memperoleh maghfiroh dari Allah swt.

Wallahu a’lam bi al shawab.

PUASA; INSTRUMEN PENGAMPUNAN DOSA (3)

PUASA; INSTRUMEN PENGAMPUNAN DOSA (3)

Pada hari ke tiga Bulan Ramadlan 1440 H, saya memperoleh kesempatan untuk memberikan kuliah tujuh menit (kultum) pada Jamaan Mushalla Al Ihsan di Perumahan Lotus Regency Ketintang Surabaya. Saya sampaikan beberapa hal terkait dengan puasa sebagai instrument pengampunan dosa.

Pertama, Betapa Allah itu menyayangi hambanya sedemikian rupa. Allah itu sungguh-sungguh menyayangi dan mengasihi hambanya secara luar biasa. Allah Maha Mengetahui tentang apa yang diperbuat oleh hambanya, baik tindakan kebaikan maupun keburukan, maka Allah menyediakan kesempatan dan peluang untuk memohon ampunan atas kekhilafan, kesalahan dan dosa yang diperbuat hambanya. Di dalam Islam, maka yang menjadi instrument untuk memohon ampunan itu ialah puasa pada Bulan Ramadlan. Di dalam Hadits Nabi Muhammad saw disebutkan: “man shama ramadlana imanan wa ihtisaban ghufiro lahu ma taqaddama li dzanbihi”. Yang artinya secara generic ialah “Sesiapaun yang menjalankan puasa Ramadlan secara sungguh-sungguh dengan keimanan dan perhitungan yang matang atau keikhlasan, maka Allah akan mengampuni dosa-dosa sebelumnya”. Subhanallah, alangkah indahnya hadits ini bagi kita. Allah berjanji akan mengampuni dosa kita sebelum pelaksanaan puasa sekarang. Maknanya, bisa dosa sebulan yang lalu, setahun yang lalu dan bahkan beberapa tahun yang lalu. Masyaallah, subhanallah.

Puasa hakikatnya ialah menahan dari segala yang membatalkannya. Misalnya, makan, minum, melakukan hubungan seksual dan menjauhi segala perilaku yang membatalkannya pada siang hari. Jika puasa hanya seperti ini, maka puasa kita itu semakna dengan puasa fisikal. Secara fisik kita berpuasa. Akan tetapi yang dikehendaki dengan puasa yang imanan wa ihtisaban itu melebihi takaran puasa fisik. Orang mengembangkan olah batin untuk bertaqarrub kepada Allah. Puasanya itu dijadikan sebagai medium untuk melakukan “kemenyatuan” dzikir kepada Allah. Mungkin bisa dinyatakan bahwa keluar masuknya nafas adalah gerak dzikir kepada Allah. Makanya, puasa bagi para perindu Tuhan adalah medium untuk melatih kejiwaan atau rohani untuk bersama Allah dalam perbuatan. Apa yang dilakukan adalah dalam rangka ibadah kepada Allah semata. Jadi bukan hanya fisiknya yang berpuasa tetapi juga batinnya atau spiritualnya. Dan ujung dari semua itu ialah ampunan Allah swt.

Di dunia ini, saya kira tidak ada orang yang tidak bersuka cita memperoleh ampunan Allah, sama dengan kita melakukan kesalahan kepada orang lain dan orang itu mengampuni kekhilafan kita. Sungguh kita akan merasakan kebahagiaan yang luar biasa. Dengan memperoleh ampunan Allah, maka sungguh-sungguh kita telah terbebas dari belenggu dosa yang kita lalukan. Dengan menurunkan ritual ibadah berupa puasa, maka Allah memberikan suatu kesempatan dalam setahun untuk manusia memperoleh ampunannya. Namun, sekali lagi bahwa perolehan ampunan itu sangat tergantung kepada usaha yang kita lakukan. Puasa dengan imanan wa ihtisaban merupakan medium untuk memperoleh ampunan tersebut.

Kedua, pada bulan puasa ini kita harus memperbanyak permohonan ampunan kepada Allah melalui pernyataan “astaghfirullah”, yang artinya: “Wahai Allah ampuni dosa kami”. Para ulama menyatakan bahwa ampunan tersebut berada di dalam 2 (dua) kategori, yaitu maghfirah dan afwun. Maghfirah ialah ampunan Allah yang diberikan kepada manusia tetapi catatan kesalahannya itu masih tertulis, sedangkan afwun ialah pengampunan oleh Allah atas kesalahan manusia dan catatan tersebut dihapusnya. Jadi ada kesalahan yang diampuni tetapi catatannya masih dilestarikan dan ada ampunan yang diberikan kepada manusia dan catatan kesalahan tersebut dihapus. Sama dengan ibarat, kita punya hutang pada seseorang tetapi catatan hutang tersebut masih disimpan, sedangkan ada hutang yang dibebaskan dan catatan hutangnya juga dihapuskan.

Allah menjadikan puasa sebagai instrument untuk menghapus dosa dan catatan dosa juga dihapusnya. Makanya, doa kita ialah “Allahumma innaka ‘afwun karim, tuhibbul afwa fa’fuanna ya karim”, yang pengertian secara bebasnya ialah Wahai Allah Engkau adalah Maha Pengampun yang Agung, Engkau menyukai ampunan maka ampuni kami, Wahai Dzat yang Mulya”. Subhanallah, sesungguhnya kita diberi peluang oleh Allah untuk mendapatkan pemaafan yang agung ini, khususnya pada bulan Ramadlan. Jadi kita perbanyak membaca istighfar dan doa di atas. Dengan harapan agar dosa kita diampuni tanpa catatan, atau sekurang-kurangnya diampuni dengan masih ada catatan. Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang sehingga peluang untuk diampuni dengan tanpa catatan tentu sangat terbuka.

Sungguh kita merasa sangat beruntung, sebab bisa berjumpa lagi dengan bulan puasa, bulan penuh berkah, bulan penuh maghfirah sehingga kita masih berpeluang untuk memohon ampunan kepada Allah. Peluang ini saya kira harus kita manfaatkan sebesar-besarnya dengan melakukan permohonan yang serius dan melakukan amal kebaikan.   Yang kita harapkan ialah kelak kita akan dapat memperoleh kebahagian, khususnya ialah kebahagiaan di akherat sebab kita termasuk golongan ashabul yamin, atau golongan orang yang menerima catatan amal ibadah dengan tangan kanan dan masuk ke dalam surganya Allah swt.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

PUASA; RELASI ANTARA SHALAT DAN PUASA (2)

PUASA; RELASI ANTARA SHALAT DAN PUASA (2)

Rasa syukur saya menjadi bertambah sebab jamaah shalat tarawih yang diselenggarakan di Mushalla Al Ihsan di Perumahan Lotus Regency Ketintang ternyata cukup banyak. Meskipun jumlah penghuni perumahan Lotus Regency tidak banyak, akan tetapi yang mengikuti shalat tarawih lumayan memadai. Ke depan, saya kira akan semakin banyak di kala Mushalla Al Ihsan sudah dikenal oleh lingkungan masyarakat sekitar.

Pada bulan Ramadlan 1440 H ini, kami memang sengaja meminta kepada Direktur Ma’had Al Jami’ah UIN Sunan Ampel –KH. Drs. Abd. Mujib Adnan, MAg—untuk menugaskan mahasiswa UIN Sunan Ampel, khususnya yang hafal Al Qur’an dan mahasiswa Jurusan tafsir Hadits untuk menjadi imam tetap selama bulan Ramadlan. Dan akhirnya, dikirimkan Sdr. Khobirul Amru, S.Th.I., mahasiswa program Pascasarjana UIN Sunan Ampel Program Studi Tafsir Hadits untuk menjadi imam tetap selama bulan Ramadlan. Dan selain itu juga diminta untuk memberikan ceramah agama –kuliah tujuh menit, kultum—sesuai dengan tema yang diberikan kepadanya. Pada malam ini (tarawih kedua) dia menyampaikan tema tentang shalat dan puasa di dalam Islam.

Dia memulai ceramahnya dengan pernyataan: “apa yang sesungguhnya diharapkan dari orang yang sudah meninggal?”. Sebuah pertanyaan sufistik yang biasanya menjadi bahan perbincangan di kalangan ahli-ahli tasawuf atau ahli “ngelmu” tentang kehidupan sesudah mati. Ternyata, yang diinginkan oleh mereka yang sudah wafat ialah agar diberikan kesempatan oleh Allah agar bisa berkesempatan untuk melakukan sujud. Hal ini menandakan betapa pentingnya melakukan sujud sebagai inti dari pengabdian manusia kepada Allah swt. Dengan demikian, shalat menjadi sangat penting dan memberikan pemahaman bahwa shalat adalah inti dari ajaran agama.

Shalat menempati posisi penting di dalam ajaran Islam. Betapa pentingnya shalat dapat dilihat dari perintahnya yang sangat special. Yaitu dengan cara Allah memanggil langsung kepada Nabi Muhammad saw., untuk menghadap keharibaannya. Nabi Muhammad saw mendapatkan Surat Keputusan (SK) langsung tentang pelaksanaan shalat wajib sehari semalam sejumlah 5 (kali) kali. Hal ini sangat berbeda dengan perintah untuk mengamalkan rukun Islam lainnya yang cukup dengan Malaikat Jibril untuk menyampaikannya. Perintah tentang zakat, puasa dan haji dan lainnya dicukupkan melalui wahyu Allah di dalam Al Qur’an.

Shalat merupakan ibadah yang sangat penting sehingga Nabi Muhammad saw diminta langsung untuk menghadapnya. Bahkan begitu pentingnya, maka yang akan dihisab pada tahap awal sebelum amal-amal lainnya ialah shalatnya. Makanya, jika seseorang telah menjalankan amalan shalatnya dengan baik, maka peluang untuk dibebaskan dari semua tuduhan atasnya akan bisa dihapuskan. Itulah sebabnya shalat menempati posisi penting di dalam ajaran Islam. Shalat menjadi instrument agar manusia bisa berkomunikasi secara langsung kepada Allah. Shalat merupakan instrument agar hablum minallah bisa dilakukan secara seimbang. Di dalam bacaan-bacaan surat Al Fatihah, maka di dalamnya terdapat dialog antara manusia dengan Allah. Seluruh bacaan di dalam surat Al Fatihah, memiliki konsepsi dialog dengan Allah swt.

Di dalam kitab-kitab yang membahas tentang shalat, dinyatakan bahwa orang yang menjalankan puasa tetapi tidak melakukan shalat adalah orang yang murtad. Dan sama sebaliknya jika ada orang yang shalat tetapi tidak mau melakukan puasa, maka juga dikategorikan sebagai orang yang mengingkari ajaran Islam. Tentu terkecuali mereka yang udzur syar’i atau memang menderita sakit atau dalam perjalanan yang diperkenankan untuk tidak berpuasa tetapi menggantinya pada kesempatan lainnya. Artinya, bahwa menjadi orang Islam itu mesti harus mengamalkan ajaran Islam secara utuh, misalnya mengamalkan ajaran Islam mulai dari syahadat, shalat, zakat, puasa dan menjalankan haji jika mampu secara ekonomi. Jadi tidak boleh ditinggalkan antara satu dengan lainnya.

Bahkan ada ulama yang lebih keras menyatakan, Syekh Abdullah bin Hussein bin Thohir Ba’alawi dalam Kitab Sullamut Taufiq, yang menyatakan bahwa orang yang melakukan puasa tetapi tidak melakukan shalat adalah orang murtad (keluar dari ajaran Islam), sebab mengabaikan perintah Allah di dalam beragama. Hal ini memberikan identifikasi bahwa menjadi orang Islam yang sempurna ialah dengan mengamalkan ajaran Islam secara utuh tanpa meninggalkan semua yang diwajibkan oleh Allah swt melalui percontohan yang dilakukan Nabi Muhammad saw.

Sebagai konsekuensi orang yang murtad, maka puasa yang dilakukan juga tidak dapat diterima oleh Allah swt. Tentu saja kita tidak menginginkan menjadi orang yang murtad itu. Kita semua ingin menjadi orang Islam yang sebenar-benarnya. Orang Islam yang menjalankan seluruh ajaran agama yang diwajibkan, dan bahkan yang disunnahkan oleh Rasulullah Muhammad saw.

Di tengah masyarakat kita terkadang ada yang berpendapat bahwa beribadah itu nanti kalau sudah tua saja. Artinya di kala masih muda tidak perlu menjalankan ajaran agama. Pernyataan begini tentu harus dikoreksi, sebab kita semua tidak tahu kapan kita akan meninggal. Urusan kematian adalah urusan Allah swt, sehingga kita tidak bisa memprediksi kapan kematian itu akan datang. Orang bisa mati pada usia tua dan bisa juga meninggal pada waktu usia muda. Oleh karena ketika sudah ada kesadaran untuk melakukan amal ibadah yang relevan dengan ajaran Islam, maka harus segera dilakukan.

Dan insyaallah kita semua telah menjadi orang Islam sebagaimana yang dikehendaki oleh Nabi Muhammad saw. Tiada kebahagiaan yang melebihi posisi bahwa kita dinyatakan sebagai pengikut dan umat Muhammad saw yang menjalankan amalan agama secara benar.

Wallahu a’lam bi al shawab.