• November 2024
    M T W T F S S
    « Oct    
     123
    45678910
    11121314151617
    18192021222324
    252627282930  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

PUASA; JIBRIL MENGAJAR TENTANG ISLAM (6)

PUASA; JIBRIL MENGAJAR TENTANG ISLAM (6)

Pada acara shalat jamaah Tarawih ke enam, saya menjadi penceramah untuk kuliah tujuh menit (kultum) di Mushalla Al Ihsan, Perumahan Lotus Regency Ketintang Surabaya. Saya tentu sangat bersyukur sebab minat untuk menjalankan shalat Isya’ dan tarawih berjamaah masih terjaga sedemikian rupa. Saya menyampaikan ceramah dengan tema “Jibril mengajari tentang Islam, Iman dan Ihsan”. Suatu pelajaran yang kemudian menjadi dasar, bagi Rukun Islam, Rukun Iman dan juga amalan mendalam (esoteric) di dalam Islam.

Di dalam sebuah Hadits Nabi Muhammad saw, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim, terdapat dialog yang sangat mendasar tentang ajaran Islam. Dalam sebuah Hadits tersebut dinyatakan (yang saya terjemahkan dalam bahasa Indonesia secara general dalam bentuk cerita) ialah: “pada suatu ketika Nabi Muhammad saw duduk bersama para sahabatnya, lalu tiba-tiba datang seorang lelaki yang sangat tampan, kulitnya putih bersinar, rambutnya hitam legam, dan tidak ada tanda-tanda baru saja bepergian, lalu lelaki tersebut duduk dengan pahanya saling beradu dengan paha Rasulullah dan tangan lelaki tersebut ditempatkan pada paha Rasulullah. Lelaki itu terus bertanya kepada Nabi tentang Islam. Maka Nabi Menjawab, bahwa “Islam ialah bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad sebagai utusan Allah, menjalankan shalat, mengeluarkan zakat, menjalankan puasa Ramadlan dan pergi haji jika berkemampuan.” Lalu, lelaki tersebut menyatakan: “engkau benar”. Kemudian apakah iman itu?. Nabi Menjawab: Iman ialah mempercayai tentang Allah, meyakini tentang Malaikat Allah, mempercayai Kitab Allah, mempercayai Rasul Allah, mempercayai hari akhir dan mempercayai takdir baik dan buruk”. Lelaki itu menyatakan: “Engkau benar”. Kemudian lelaki tersebut bertanya, apa yang dimaksud dengan Ihsan, kemudian Nabi menjawab: “an ta’budallah ka annaka tarah, fain lam takun tarah fainnahu yaraka”. “Engkau menyembah Allah seakan-akan engkau mengetahuinya, dan jika engkau tidak mengetahuinya maka yakinlah bahwa Allah mengetahui kamu.”

Hadits ini yang kemudian menjadi pijakan bagi para jumhur ulama untuk memahami tentang Rukun Iman dan Rukun Islam. Bahwa ada 5 (lima) rukun Islam dan ada 6 (enam) rukun iman. Dan yang tidak kalah menarik ialah diajarkannya tentang bagaimana kita menyembah Allah swt, yang didasarkan pada keyakinan bahwa Allah mengetahui semua yang kita lakukan. Al Ihsan ini menjadi pijakan bagi kaum muslimin –khususnya kaum Tasawuf—untuk menjalankan Islam dalam coraknya yang esoteric (mendalam) melalui cara bertaqarrub kepada Allah melalui rumus-rumus tertentu.

Inti dari keberislaman ialah totalitas pengabdian, totalitas penyerahan diri dan totalitas kepasrahan kepada Allah semata. Sedangkan inti dari keimanan ialah totalitas keyakinan hanya kepada Allah saja tanpa ada satu keyakinan lain yang menyekutukannya. Allah yang memiliki seluruh system tata surya dan yang menguasainya tanpa ada sekutu baginya. Dan implikasi dari keyakinan ini ialah terwujudnya keyakinan kepada yang diperintahkan untuk diyakini oleh manusia.

Inti dari al Ihsan ialah kepasrahan total kepada Allah dalam pengabdian untuk mendapatkan keridlaannya. Di dalam doa yang seringkali kita lantunkan: “Allahumna inna nas’aluka ridlaka wal jannah, wa naudzu bika min sakhatika wan nar”. Yang arti secara generalnya ialah “Ya Allah sesungguhnya kami memohon ridlamu dan surgamu dan jauhkan kami dari siksamu dan nerakamu”. Doa ini kita lantunkan sebagai bentuk permohonan tertinggi kepada Allah swt agar kita memperoleh keselamatan fid dini wal akhirah. Adakah yang melebihi keselamatan dan ridla Allah untuk kita semua. Jika Allah sudah meridlai hidup kita, maka kehidupan akan menjadi nyaman dan bahagia. Tidak hanya kebahagiaan di dunia akan tetapi yang lebih penting ialah kebahagiaan di akherat.

Tujuan hidup sesungguhnya ialah untuk mendapatkan cinta dan ridla Allah swt. Sepeti para ahli tasawuf, misalnya Rabiah al Adawiyah yang mengembangkan tasawuf Cinta atau hubullah, atau Hasan Al Basri yang mengembangkan tasawuf ridla atau ridlallah. Jika Allah sudah mencintai dan meridlai hambanya, maka apa yang dilakukannya ialah “pancaran” ketuhanan yang mewujud di dalam diri manusia.

Itulah sebabnya, Mushalla kita ini dinamai sebagai Mushalla al Ihsan, dengan dasar filosofis agar mushalla ini dapat menjadi tempat untuk pengabdian kepada Allah swt dengan totalitas kepasrahan berbasis pada keyakinan bahwa apapun yang kita lakukan pasti Allah mengetahuinya. Tempat ini masjidnya Allah tempat beribadah dengan sungguh-sungguh. Mushalla ini adalah miliknya Allah untuk kita berubadah kepadanya.

Di tempat ini ada radarnya Allah, ada CCTV-nya Allah selain CCTV yang bertebaran di seluruh jagad kehidupan kita. Jauh sebelum ditemukan CCTV sebagai piranti untuk melihat apa yang dilakukan orang di dalamnya, Allah sudah membuat CCTV sebagai mahakarya untuk melihat seluruh amalan kita. Itulah sebabnya Hadits Nabi menyatakan: “ittaqillaha haitsuma kunta” yang artinya: “bertaqwalah kepada Allah di mana saja berada”, artinya kita harus bertaqwa kepada Allah di segala waktu, tempat dan keadaan kita.

Puasa ini menjadi momentum untuk semakin mengenal bahwa ada radar Allah yang maha besar yang menjadi piranti untuk mengamati tentang apa yang kita lakukan. Semoga  Allah menjadikan puasa kita untuk instrument yang dapat meningkatkan amal ibadah kita.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..