PUASA: DIMANA TINGKATAN KITA (5)
PUASA: DIMANA TINGKATAN KITA (5)
Pada pelaksanaan tarawih hari ke lima, yang memberikan ceramah atau kuliah tujuh menit (kultum) ialah Muh. Yusrol Fahmi, S.Sos.I, MSi, alumnus Program Studi Politik Islam pada UIN Sunan Ampel dan Program Magister Ilmu Sosial Politik Universitas Airlangga. Tema yang dibawakan pada kultum ini ialah mengenai tingkatan atau kategori puasa Ramadlan.
Ada sebuah hadits yang patut disimak dalam kaitannya dengan pelaksanaan puasa pada bulan Ramadlan, yaitu Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Buchari dan Muslim, yang matannya berbunyi: “Kam min Shaimin laisa min shiayamihi illa al ju’ wal athasy”, yang artinya kurang lebih ialah: “Berapa banyak orang-orang yang berpuasa akan tetapi tidak mendapatkan makna puasa kecuali lapar dan dahaga”. Hadits ini memberikan gambaran bahwa ada orang-orang yang berpuasa akan tetapi tidak mendapatkan pahala puasa –keberkahan, pengampunan dan ketaqwaan—namun hanya memperoleh rasa lapar dan rasa dahaga.
Gambaran puasa sebagaimana dinyatakan dari Hadits Nabi Muhammad saw ini ialah orang yang berpuasa tetapi hanya puasa fisiknya saja, yaitu puasa yang hanya menahan lapar dan dahaga. Memang mereka tidak makan dan minum selama fajar terbit sampai matahari terbenam, namun rohaninya tidak berpuasa. Artinya masih ada tindakan-tindakan yang tidak bisa dihindarinya, misalnya belum memuasakan mata, tangan, dan juga lesannya. Mungkin mata kita masih sering memandang hal-hal yang seharusnya ditahan, mungkin tangan kita masih digunakan untuk melakukan hal-hal yang dilarang atau membatalkan puasa dan bahkan lisan kita masih sering menggunjing (ghibah) atau membicarakan hal-hal yang membatalkan puasa.
Mungkin tindakan ini tidak kita sadari atau muncul begitu saja di dalam kehidupan kita, karena bisa saja selama ini memang sering kita lakukan. Perilaku ini yang semestinya bisa dikurangi atau bahkan dinihilkan di dalam melaksanakan puasa. Yang sesungguhnya diajarkan di dalam puasa ialah menghilangkan perilaku kurang atau tidak baik menjadi perilaku yang baik dan terpuji. Atau dari akhlakul madzmumah atau jelek ke akhlakul karimah atau terpuji.
Oleh Imam Ghazali, pengarang kitab yang sangat terkenal dan menjadi rujukan di lembaga-lembaga pendidikan Islam: “Ihya Ulumiddin”, dijelaskan bahwa ada tiga kategori pelaku puasa, yaitu: Pertama, puasa bagi orang awam atau puasa berkategori biasa, yaitu puasa yang dilakukan hanya dengan memuasakan fisiknya saja dan belum memuasakan rohaninya. Yang berkategori ini ialah seseorang yang berpuasa tetapi belum bisa meninggalkan larangan puasa secara total. Mungkin masih ada satu atau dua larangan puasa yang dilakukan.
Kedua, puasa bagi orang khusus, yaitu puasa yang dilakukan dengan sudah meninggalkan semua larangan berpuasa, fisiknya sudah dipuasakan, tangan, kaki, mata dan lesan sudah semua berpuasa, akan tetapi masih ada yang kurang yaitu pendakian spiritual yang luar biasa. Termasuk di dalamnya ialah sudah melakukan tarawih, witir, dzikir dan sebagainya namun tingkatannya belum sangat optimal. Masih ada yang dirasa kurang ialah taqarrubnya kepada Allah swt. Jika kita bisa masuk ke dalam kategori kedua ini saya kira sudah baik, sebab kita sudah meninggalkan puasa fisik dan menuju kepada puasa batin. Artinya puasa yang sudah melibatkan batin kita untuk berpuasa.
Ketiga, ialah puasa bagi orang yang khusus fil khusus. Atau puasa bagi orang yang istimewa. Saya kira yang sudah bisa memasuki puasa dalam tahap ketiga ialah para ahli tasawwuf, atau orang khusus yang sudah bisa memasuki alam taqarrub ila Allah. Maqam ini hanya bisa dilakukan oleh orang yang sudah menjalankan Islam secara kaffah atau secara menyeluruh, seluruh hidupnya sudah diabdikan hanya kepada Allah saja dan sudah tidak lagi memikirkan keduniaan. Seluruh pikiran, hati, lesan dan tindakannya sudah berada di dalam kedekatan dengan Allah. Jika kita runut secara historis, maka puasa dalam kategori ini adalah misalnya puasa yang dilakukan oleh Imam Ghazali, Dzunnun al Mishri, Rabiah al Adawiyah, Hasan al Basri, Imam Syaf’ii, Imam Hambali, Imam Hanafi, Imam Maliki dan sebagainya. Saya kira di zaman-zaman sesudahnya juga didapati orang-orang yang berpuasa dalam kategori ini, misalnya para Wali Songo di Nusantara, dan sebagainya. Pastilah juga ada orang yang bisa memasuki puasa dalam konteks puasa khusus fil khusus.
Kita semua tentu berkeinginan untuk bisa menjadi bagian dari puasanya orang dalam kategori ketiga. Jika ini memang sangat sulit dicapai, maka paling tidak kita bisa berpuasa dalam kategori kedua. Yaitu orang yang sudah melakukan puasa dengan fisiknya dan sekaligus juga dengan batinnya. Dan mestinya kita bisa.
Wallahu a’lam bi al shawab.