PUASA; MENJAGA NIAT SHALAT DAN PUASA (4)
PUASA; MENJAGA NIAT SHALAT DAN PUASA (4)
Pada hari keempat atau tarawih yang ke empat, Ramadlan 1440 H., Ustadz Khobirul Amru yang memberikan taushiyah pada jamaah Shalat Tarawih di Mushalla Al Ihsan Perumahan Lotus Regency Ketintang Surabaya. Saya bersama para jamaah tentu saja menyimak dengan seksama penjelasan yang diberikannya. Kali ini, Ustadz Khobir menjelaskan tentang relasi antara niat, shalat dan murtad.
Ceramah ini dibuka dengan satu statemen, “banyak orang yang mengira bahwa murtad itu hanya orang yang menyatakan keluar dari agama Islam”. Pernyataan ini tentu saja benar, sebab secara teologis bahwa orang dinyatakan murtad jika menyatakan dirinya keluar dari agama Islam. Namun demikian tentu harus hati-hati sebab menurut Syekh Abdullah bin Hussein bin Thohir Ba’alawi dalam Kitab Sullamut Taufiq, dinyatakannnya bahwa murtad itu memiliki cakupan yang luas. Beliau ini adalah keturunan Nabi Muhammad saw yang berasal dari Hadramaut. Di Indonesia ada banyak nama yang merupakan dzurriyah Nabi Muhammad saw, misalnya Al Haddad, Jindan, Ba’alawi dan sebagainya. Beliau termasuk ulama yang memiliki pandangan mendasar tentang murtad dalam konsepsi Islam.
Murtad dalam pandangannya dinyatakan bahwa jika orang meyakini bahwa ada satu ayat saja di dalam Al Qur’an yang diragukan kebenarannya, atau meragukan ayat-ayat tertentu di dalam Al Qur’an karena berbeda teksnya, atau mempertanyakan apakah Al Qur’an itu wahyu Allah atau karangan Nabi Muhammad saw., maka yang seperti ini sudah dianggap sebagai murtad. Itulah sebabnya ada beberapa ulama yang karena kehati-hatiannya “melarang” belajar filsafat, sebab filsafat itu mendasarkan premisnya pada keraguan, termasuk juga meragukan tentang kalam Tuhan. Namun demikian, jika filsafat itu produknya justru memperkuat keimanan atau keislaman kita, maka tentu tidak ada larangan mempelajarinya.
Bahkan jika orang dengan sengaja meninggalkan salah satu saja dari rukun Islam, misalnya meninggalkan shalat tetapi melaksanakan puasa dan zakat, maka oleh Beliau dianggap telah keluar dari ajaran Islam. Orang sering menyepelekan tentang amalan-amalan wajib yang harus dilakukannya. Jika hal ini dilakukan dengan sengaja, maka dipastikan Beliau dihukumi sebagai murtad. Termasuk misalnya kita bicara bahwa tidak ada takdir Allah, tidak ada hari kiamat dan sebagainya, maka pernyataan itu telah membawanya kepada kemurtadan.
Setiap ibadah yang kita lakukan haruslah berdasarkan atas niat yang ikhlas. Syekh Imam Nawawi –pengarang banyak buku—selalu menyelipkan pada Bab awal tentang niat. Hal ini menandakan bahwa niat itu sangat penting untuk menandai amal ibadah kita kepada Allah. Niat itu ialah keinginan pikiran, hati dan fisik untuk melakukan ibadah. Jadi kalau kita akan shalat, tentu hati, pikiran dan fisik kita siap melakukannya. Sama dengan shalat, jika kita niat shalat, maka hati, pikiran dan fisik kita juga harus siap melakukan shalat. Makanya, niat memegang peranan penting sebagai dasar ibadah.
Kalau misalnya kita akan shalat, maka juga harus dimulai dengan rangkaian shalat. Dimulai dari wudlu’ yang benar, lalu shalat yang benar, dengan mengikuti gerakan dan bacaan shalat yang benar, sehingga shalat kita menjadi absah. Terkadang ada orang yang cara wudlunya dalam membasuh tangan tidak benar, maka wudlunya menjadi tidak benar, jika yang wudlunya seperti itu, maka keabsahan shalatnya tentu bisa diragukan. Tentu Allah saja yang tahu tentang diterima atau tidaknya shalat yang bersangkutan, akan tetapi secara lahiriyah tentu kita masing-masing bisa menilainya.
Niat menjadi penentu keabsahan ritual keagamaan kita. Jangan sampai misalnya saya datang ke ritual shalat tarawih karena hanya ingin menggugurkan kewajiban atau karena khawatir dianggap oleh jamaah tidak bertanggungjawab. Maka niat yang benar hanyalah untuk menjalankan perintah Allah dan ingin memperoleh keridlaannya karena kita melakukan amalan ibadah tersebut. Jadi benar-benar harus lillahi ta’ala. Hanya untuk Allah semata.
Rukun Islam, tentu tidak hanya shalat –meskipun shalat menjadi yang sangat utama—akan tetapi rukun Islam lainnya juga harus diperhatikan. Yang wajib harus dijalankan dan jangan ada yang ditinggalkan. Puasa juga harus diniati yang ikhlas sehingga puasa kita akan menjadi puasa yang imanan wa ihtisaban, puasa yang ujung akhirnya akan memperoleh maghfiroh dari Allah swt.
Wallahu a’lam bi al shawab.