• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

PUASA: INSTRUMEN PENGAMPUNAN DOSA (26)

PUASA: INSTRUMEN PENGAMPUNAN DOSA (26)

Di dalam setiap agama diajarkan tentang pertobatan dan pengampunan. Tobat ialah suasana kembali dalam kebenaran dan kebaikan. Jika orang sudah melakukan kesalahan, kekhilafan atau dosa, maka agama menyediakan satu instrument untuk melakukan pertobatan. Secara lughowi, taubatan atau tobat ialah kembali kepada jalan yang benar, jalan yang diridlai Tuhan dan jalan yang akan mengantarkan kepada kebaikan. Di dalam tobat tersebut harus diniatkan dengan kuat dan tanpa pantang menyerah untuk melakukan kebaikan, dan juga harus dilakukan dengan tulus dan ikhlas.

Manusia adalah makhluk Allah yang rentan terhadap kesalahan dan kekhilafan. Bahkan juga rentan dalam menghadapi perbuatan dosa. Sesungguhnya manusia memiliki dua potensi, yaitu berbuat baik dan berbuat jelek. Di dalam keadaan tertentu, manusia bisa jatuh dalam perbuatan jelek, baik disadari atau tidak disadarinya. Ada perbuatan jahat yang disengaja dan ada perbuatan jahat yang tidak dikehendakinya. Perbuatan jelek yang dikehendaki, misalnya ialah tindakan melakukan pencurian, perampokan, pembunuhan, korupsi dan sebagainya. Sedangkan perbuatan jahat yang tidak dikehendaki, misalnya ialah seseorang dalam ancaman untuk melakukan perbuatan tercela, seperti meminum alkohol, melecehkan, terpaksa melakukan pembunuhan karena factor terdesak, dan sebagainya.

Manusia bisa berada di dalam konteks kal malaikat atau seperti malaikat yang selalu berbuat baik karena terus menerus mengembangkan potensi dirinya untuk berbuat baik, dan ada kalanya manusia itu kasy syaithan atau seperti syaithan karena selalu berbuat jahat yang disengajanya. Manusia bisa juga berada di antara dua posisi tersebut, sekali waktu baik dan sekali waktu jahat. Di sinilah Allah memberikan instrument pertobatan, yang sesungguhnya sangat banyak, tetapi yang istimewa ialah menjalankan puasa pada Bulan Ramadlan.

Hanya Nabi Muhammad saw yang mendapatkan gelar “manusia ma’shum” atau manusia yang tidak berdosa di hadapan Allah swt. Beliau adalah manusia teladan di dalam kehidupannya, sebab memang dijadikan oleh Allah sebagai manusia tanpa dosa. Apa yang dilakukannya adalah manifestasi wahyu dan dengannya Nabi Muhammad saw dibimbingnya. Makanya, seluruh kehidupannya adalah teladan agung yang semestinya diikuti oleh hambanya.

Manusia lain secara pasti memiliki kesalahan, kekhilafan atau dosa baik besar atau kecil. Melihat kenyataan ini, maka Allah dengan sifat dasarnya ialah Rahman dan Rahim, maka memberikan peluang bagi hambanya untuk bertaubat atau lebih mendalam taubatan nashuha yaitu taubat yang optimal dan tidak ada sedikitpun keinginan untuk mengulanginya.

Momentum untuk bertaubat selalu diberikan oleh Allah melalui ucapan atau tindakan. Dengan ucapan misalnya selalu melafalkan kalimat taubat ialah astaghfirullah al adzim atau doa-doa yang senada dengan ucapan tersebut. Banyak sekali doa yang memberikan gambaran tentang pertobatan. Yang paling sering dibaca ialah: “Rabbigh firli waliwalidayya warhamhuma kama Rabbayani shaghira,” yang artinya kurang lebih ialah: “Ya Allah ampunilah aku dan kedua orang tuaku dan rahmati keduanya sebagaimana mereka mengasuhku di kala kecil”. Doa ini adalah bentuk ajaran Allah agar kita selalu meminta ampunan dan juga ampunan untuk kedua orang tua kita.

Sudahkah hal ini kita lakukan? Pertanyaan ini saya anggap penting sebab terkadang kita ini lupa seirama dengan kesibukan demi kesibukan yang terus mendera kita setiap hari. Doa ini yang sesungguhnya menjadi “penyambung” relasi kita dengan orang tua kita dan Allah swt. Jika orang tua kita sudah meninggal, maka hanya lantunan doa yang bisa menyambung relasi kita dengannya dan dengan Allah swt. Tiada lagi media lainnya yang bisa menyambungkannya. Allah memberikan instrument kepada kita tentang bagaimana membangun hablum minan nas, khususnya dengan orang tua kita.

Dan sebagaimana yang kita yakini, bahwa Allah adalah dzat yang tidak akan ingkar janji, sehingga jika Allah berjanji akan mengampuni kita dan kita berupaya secara optimal pastilah Allah akan mengampuninya. Sekali lagi hal itu sangat tergantung kepada upaya kita.

Wallahu a’lam bi aal shawab.

 

PUASA: ALAM SEBAGAI MEDIUM PERSAKSIAN KEBESARAN ALLAH (25)

PUASA: ALAM SEBAGAI MEDIUM PERSAKSIAN KEBESARAN ALLAH (25)

Di antara Rukun Islam yang paling fundamental ialah persaksian bahwa tiada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Kalimat ini yang kemudian dikenal sebagai syahadat atau persaksian manusia kepada Tuhan. Syahadat itu secara lughawi ialah berasal dari kata syahada atau menyaksikan. Artinya menyaksikan tentang sesuatu.

Dinyatakan menyaksikan apabila seseorang melihat dengan inderanya sendiri atau merasakannya sendiri. Di dalam pandangan kaum positivistic, maka dinyatakan menyaksikan ialah apabila obyeknya bercorak empiris sensual atau dapat diamati dengan penginderaan. Jadi merupakan sesuatu yang empirical being.

Tentu sangat berbeda antara menyaksikan dalam konsepsi kaum positivistic dengan kaum agamawan. Bagi kaum agamawan, terutama yang menyangkut dimensi keyakinan kepada kegaiban, maka tidak bisa diukur dengan penglihatan fisikal atau seuatu yang empiric sensual. Bagi kaum agamawan, kegaiban merupakan aspek rohani atau dimensi kegaiban yang tidak mungkin alat-alat inderawi yang terbatas kemampuannya untuk mengetahui yang gaib atau nonfisik.

Mata, misalnya tidak bisa melihat sesuatu dibalik dinding atau sesuatu di dalam kegelapan. Kapasitas mata sangat terbatas. Sangat situasional dan kondisional. Makanya, kemampuan mata untuk melihat juga sangat terbatas. Yang bisa melihat sesuatu yang lebih mendalam atau hal-hal yang tidak terlihat dari dimensi lahiriyah ialah mata batin. Meskipun kenyataannya juga tidak semua batin manusia memiliki kemampuan untuk melihat yang bercorak batini atau immaterial. Namun juga bisa dipastikan bahwa ada manusia yang diberi kemampuan oleh Allah karena usahanya untuk melihat hal-hal yang gaib dan mustahil terlihat oleh orang lain. al Qur’an dalam surat Al An’am 6: (103): “dia tidak dapat dicapai oleh mata”.

Di dalam hadits Nabi Muhammad saw, dengan lugas dinyatakan bahwa “jika engkau tidak bisa melihatnya, yakinlah bahwa Allah melihatmu”. Untuk bisa merasakan “kehadiran” Allah yang gaib tersebut maka diperlukan kekuatan batin yang terlatih. Bagi kaum awam dalam beragama, rasanya yang paling relevan ialah dengan menghadirkan keyakinan bahwa Allah dipastikan melihat apa yang kita perbuat. Jika kita ingin yang lebih dari itu, maka tentu ada pelatihan yang terstruktur dan sistematis dalam olah rasa. Tetapi juga harus hati-hati, sebab jangan sampai kita terjerumus pada “penghayatan” tentang Tuhan yang justru keliru. Dikira menghayati kehadiran Tuhan, padahal kita sedang dihadapan makhluk halus lain yang memang sengaja membelokkan keyakinan kita. Di sinilah pentingnya guru pembimbing yang akan mengantarkan seseorang pada tujuan memasuki Keharibaan Tuhan. Bahkan di kalangan kaum sufi dinyatakan, bahwa orang yang mencari sendiri untuk memasuki misteri ketuhanan, maka dikhawatirkan akan mengalami proses dan produk yang salah. Makanya ada pernyataan: “barang siapa yang akan memasuki ajaran tasawuf dalam Islam tanpa seorang guru, maka bisa jadi gurunya ialah syetan”. Inilah kehati-hatian jangan sampai kita terbelokkan oleh godaan dari dunia gaib yang kita tidak mampu melawannya.

Setiap agama selalu menghadirkan sesuatu yang misteri. Dan yang misteri itu ialah keyakinan-keyakinan terhadap kegaiban, termasuk keyakinan kepada Allah swt. Agama harus menghadirkan misteri, tanpa misteri maka agama akan kehilangan esensinya. Agama harus berurusan dengan sesuatu yang “Mysterium Tremendum et Fascinosum”. Yaitu misteri yang mempersona dan menakutkan. Dan agama selalu memiliki dua hal ini ialah keterpesonaan akan kegaiban itu sendiri dan ketakutan akan siksa yang diceritakannya. Ambivalensi ini selalu hadir di dalam agama, dan menunjukkan betapa kekaguman atau keterpesonaan dan ketakutan itu merupakan cici khas setiap agama. Agama yang tidak memilikinya tentu akan kehilangan aura spiritualitasnya. Disebabkan oleh eksistensi misteri ini, maka agama menjadi unik dan menarik untuk diamalkan dan bahkan dikaji secara akademik.

Di antara cara untuk mengetahui keberadaan Allah ialah melalui perenungan terhadap ciptaannya. Di dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Thabrani, Baihaqi dan Nasa’i menjelaskan: “Berfikirlah tentang ciptaan Allah dan Janganlah berfikir tentang dzat Allah”.

Di antara cara untuk mengenal Allah ialah dengan menggunakan logika yang tepat dan pasti, yaitu: memikirkan bahwa tata surya yang berjalan dengan teratur pastilah ada Dzat yang sangat berkuasa dan memiliki otoritas tunggal yang menciptakannya. Sebab tidak mungkin tata surya ini terjadi dengan sendirinya atau tanpa ada yang menciptakannya. Pastilah Dzat yang mencipta tersebut memiliki kemampuan yang sangat berbeda dengan makhluknya, dan Dia adalah Allah swt, sebagaimana yang diceritakan oleh para Rasulnya, sebagai manusia yang diberi kewenangan untuk memberikan informasi tentang kebenaran ini.

Sudah saatnya kita menggunakan mata batin kita untuk menyaksikan alam sebagai bentuk keberadaan Allah, sebab alam sebagai ciptaannya inilah yang sungguh-sungguh menjadi saksi akan keberadaan dan kebesaran Allah swt.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

PUASA: MARI PERBANYAK DOA (24)

PUASA: MARI PERBANYAK DOA (24)

Pada tulisan sebelumnya, saya ungkapkan bahwa terdapat doa yang luar biasa cakupannya, dan sudah saya bahas tentang berdoa untuk keselamatan, kesehatan fisik dan rizki yang berkah. Maka saya sekarang akan membahas tentang kelanjutan doa tersebut, yaitu taubat sebelum meninggal, kerahmatan sewaktu meninggal, pengampunan sesudah kematian, dan kemudahan pada waktu meninggal serta dijauhkan dari siksa api neraka.

Meninggal atau mati adalah peristiwa perpindahan dari alam menjalankan perintah Allah ke alam barzakh atau alam mengetahui hasil menjalankan perintah Allah. Jadi sesungguhnya yang mati hanyalah fisiknya sementara ruhnya terus hidup dalam alam lainnya. Alam barzakh adalah alam penantian antara kehidupan di alam dunia dengan alam akherat. Di alam ini, sesungguhnya sudah ditunjukkan tentang apa balasan yang diberikan kepada manusia terkait dengan tindakan atau perilakunya di dalam dunia. Jadi sudah memperoleh gambaran sa’idun atau saqiyyun atau bahagia atau sengsara.

Yang selalu diinginkan oleh umat Islam ialah bagaimana bisa memperoleh pengampunan Allah sebelum meninggal. Doa yang banyak dibaca ialah “Allahummagh firli wa liwalidaiyya warhamhuma kama rabbayani shaghira”. Yang artinya: “Ya Allah ampuni kami dan kedua orang tua kami, dan rahmati kedua orang tua tersebut sebagaimana beliau telah mengasuh kami di kala kecil”. Doa ini yang saya kira banyak dilantunkan oleh anak untuk kedua orang tuanya. Betapa agungnya doa ini, dan doa ini insyaallah akan dikabulkan oleh Allah. Salah satu cara kita menyantuni orang tua kita yang sudah meninggal ialah mendoakannya di kala beliau sudah wafat.

Lalu, memperoleh kerahmatan pada waktu meninggal. Adakah yang lebih hebat dibandingkan dengan diberikannya rahmat oleh Allah pada saat kita menghembuskan nafas yang terakhir atau “khusnul khatimah”. Kita semua berharap bahwa keluarnya ruh dari badan kita itu seperti keadaan orang tertidur, sehingga tidak dirasakan sebagai peristiwa yang menyakitkan. Itulah sebabnya kita berdoa agar dirahmati Allah saat kematian menjemput.

Terdapat cerita dari Ensiklopedi Shirah Nabi Muhammad saw (yang saya ringkas), bahwa pada saat Nabi Muhammad saw sedang sakit dan ditunggui oleh Fathimah puteri kesayangannya dan beberapa sahabatnya, maka datanglah Malaikat Izrail, yang disuruh Allah untuk menjemput Nabi Muhammad menghadap ke hadirat-Nya dengan pesan jika Nabi mengizinkan, maka lakukan perintah ini tetapi jika Nabi Muhammad keberatan agar kembali saja.

Malaikat Izrail berpakaian layaknya orang biasa dan mengetuk pintu sambil mengucapkan salam. Fathimah keluar memberitahu jika Ayahnya sedang sakit. Fathimah kembali ke dalam dan ditanya siapa yang di luar rumah. Fathimah memberitahu ada orang yang mencarinya. Lalu Muhammad menyatakan itu Malaikat Izrail yang akan menjemputnya. Menangislah Fathimah mendengar ucapan ayahnya ini. Malaikat Izrail masuk ke rumah menjumpai Rasulullah saw. Malaikat Izrail menyampaikan pesan Allah untuk menjemputnya. Rasulullah menyatakan siap untuk dijemput. Lalu Rasulullah saw bertanya: “di manakah Malaikat Jibril”, lalu dinyatakan, Malaikat Jibril berada di Langit dunia”. Tiba-tiba Jibril datang. Lalu Rasulullah bertanya tentang apa yang disediakan untuk di sisi-Nya. Maka Jibril menjawab: “semua Malaikat dan Bidadari sudah siap menjemput di langit dunia, dan semua surga sudah dibuka pintunya, dan segala kebahagiaan sudah disiapkan”. Rasul bertanya, apa lagi yang disiapkan oleh Allah untukku?. Malaikat Jibril menjawab: “Aku membawa kabar gembira bahwa Engkau adalah Rasul Allah yang diberikan pertama kali untuk memberi syafaat di hari kiamat. Lalu Rasulullah bertanya lagi, “wahai Malaikat Jibril beritahu aku kabar gembira apa yang Allah akan berikan kepadaku”. Jibril menyatakan: “apa yang sesungguhnya engkau inginkan ya Kekasih Allah”. Lalu Muhammad menyatakan: “apakah yang akan diperoleh orang yang membaca Al Qur’an sesudahku, apa yang diperoleh orang yang berpuasa sesudahku dan apa yang didapatkan orang yang berziarah ke Baitul Haram sesudahku”. Jibril menyatakan: “saya membawa kabar gembira untuk Rasulullah, sesungguhnya Allah telah berfirman: “Aku telah mengharamkan surga bagi semua Nabi dan umat sampai engkau dan umatmu memasukinya terlebih dahulu”. Nabi kemudian menyatakan: “sekarang tenanglah hati dan perasaannku. Wahai Malaikat Maut dekatlah kepadaku”. Di saat itu Ali bertanya: “wahai Rasulullah, siapakah yang akan memandikanmu,” Rasulullah menjawab, “Engkau yang memandikan aku, Ibnu Abbas yang menyiramkan airnya, dan Malaikat Jibril yang akan menuangkan minyak wangi dari surga.” Malaikat Maut lalu secara perlahan-perlahan mencabut ruh Rasulullah saw, dan ketika sampai di perut, Rasulullah berkata: “Wahai Jibril alangkah pedihnya maut”. Jibril lalu memalingkan mukanya, sehingga Rsulullah menyatakan: “Wahai Jibril apakah engkau sudah tidak lagi mau melihat wajahku”. Jibril menyatakan: “wahai Rasulullah, siapa yang tega melihat kekasih Allah kesakitan”. Lalu ruh Rasulullah terlepas dari jasadnya, dan beliau meninggal pada usia 63 tahun.

Doa yang kita baca itu adalah bagian dari upaya agar kita mendapatkan rahmat dari Allah saat ajal tiba. Selanjutnya “Allahumma hawwin alaina fi sakaratil maut, wanajatam minan nar wal ‘afwa ‘indal hisab”. Yang artinya: “Ya Allah mudahkanlah bagi kami saat sakaratil maut, dan jauhkan kami dari siksa neraka dan ampuni kami waktu dihisab”.

Memperhatikan doa ini, maka sudah selayaknya jika kita selalu berdoa dengan doa yang komplit ini, dan kita meyakini bahwa doa kita akan diterima oleh Allah swt. Jika Rasul Muhammad saw saja merasakan betapa beratnya menahan sakit waktu sakaratul maut, maka kita perlu untuk merenung bagaimana dengan kita di saat itu. Makanya doa ini menjadi relevan untuk kita lantunkan.

Wallahu a’lam bi al shawb.

PUASA: MARI PERBANYAK DOA (23)

PUASA: MARI PERBANYAK DOA (23)

Saya selalu menyatakan bahwa pada bulan puasa itu, yang terbaik ialah memohon kepada Allah swt dengan sungguh-sungguh, yaitu memohon ampunan dan pertolongan agar Allah meridloi perbuatan kita dalam rangka pengabdian kepada-Nya. Sebaik-baik perbuatan ialah beribadah kepada Allah swt.

Puasa itu identic dengan bulan permohonan kepada Allah swt. Di antaranya ialah memohon agar dijauhkan dari api neraka dan diberikan keridlaannya. Saya menyatakan bahwa jika Allah ridla maka semua hal pasti diselesaikannya. Iman kita mengajarkan agar kita selalu memohon keridlaannya. Kita harus meminta ampunan dan juga maaf atas segala tindakan kita yang tidak sesuai dengan perintah dan larangan Allah.

Saya ingin menyampaikan suatu doa yang sebenarnya banyak kita baca terutama pada saat shalat-shalat wajib. Doa itu berbunyi: “Allahumma inna nas’aluka salamatan fiddin, wa ‘afiyatan fil jasad, wa jiyadatan fil ‘ilmi wa barakatan fir rizqi, wa taubatan qablal maut, wa rahmatan ‘indal maut, wa maghfiratan ba’dal maut, Allahumma hawwin ‘alaina fi sakaratul maut, wa najatan minan nar wal afwa ‘indal hisab”.

Mari kita coba untuk terjemahkan dan kemudian kita pahami maknanya. Doa itu artinya: “Ya Allah sesungguhnya kami memohon kepadamu keselamatan di dunia, dan kesehatan fisik, dan tambahan ilmu, dan keberkahan dalam rizki, dan pertobatan sebelum meninggal, dan kerahmatan ketika meninggal, dan ampunan setelah meninggal, Ya Allah mudahkan kami saat menjelang kematian, dan jauhkan dari api neraka dan ampunan ketika dihisab”.

Jika kita pahami betapa doa ini adalah doa yang sangat komplit dan mendasar. Mulai urusan dunia, urusan kematian dan pasca kematian berada di dalam doa ini. Kita meminta keselamatan kepada Allah. Adakah yang lebih hebat dari keselamatan itu. Saya selalu menyatakan bahwa keselamatan adalah segala-galanya di dalam kehidupan ini. Islam mengajarkan bahwa keselamatan itu tidak hanya di dunia tetapi yang lebih penting ialah keselamatan di akherat. Keselamatan di dunia adalah washilah keselamatan di akherat. Untuk menjadi selamat, maka syarat selamat itu harus dilakukan. Syarat itu ialah menjaga kebaikan pada semua aspek kehidupan. Menjaga kebaikan kepada Allah dengan melakukan perintahnya dan menjauhi larangannya, lalu juga menjaga kebaikan dengan sesama manusia dengan tindakan yang menyenangkan dan bukan menyakitkan, membahagiakan dan bukan menyengsarakan. Bukankah menggembirakan hati orang adalah sedekah. Jika kita sering mengajak tersenyum orang lain, maka kita sudah bersedekah secara gratis. Sedekah dengan kebaikan melalui senyuman.

Hadits Nabi Menyatakan: “ashshadaqatu tadfa’u bala’.” yang artinya “shadaqah dapat menghindarkan diri dari bala’.” Maka agar kita terhindar dari mara bahaya, dan sebagainya maka dianjurkan kita untuk bersedekah dengan macam apapun yang kita miliki.

Doa itu juga menyatakan permohonan kita agar kita dikaruniai kesehatan. Bukankah kesehatan juga menjadi aspek penting di dalam kehidupan. Pada badan yang sehat akan terdapat rohani yang sehat. Sebuah pernyataan: “qalbun salim fi jismin salim” yang artinya: “hati yang sehat terletak pada badan yang sehat”. Orang akan bisa berpikir positif jika badannya sehat, dan sebaliknya orang bisa berpikir negative jika badannya sakit. Meskipun banyak juga orang sehat badannya tetapi pikirannya negative, akan tetapi sesungguhnya dengan badan yang sehat maka akan bisa berpikir sehat. Dengan badan yang sakit maka akan banyak mengeluh dan bahkan suudz dzan pada Allah, tetapi dengan badan yang sehat maka akan sedikit mengeluh dan bisa husnudz dzan kepada Allah. Makanya, memohon kesehatan kepada Allah merupakan keniscayaan bagi manusia di dalam kehidupannya.

Lalu doa memohon ilmu yang bertambah. Di dalam peribahasa Indonesia dinyatakan bahwa: “orang berilmu itu seperti pohon padi, yaitu semakin tua semakin merunduk.” Jadi dengan terus bertambahnya ilmu yang kita miliki maka semakin akan menjadikan kita semakin arif, semakin memahami kehidupan dan semakin menundukkan kepala kita kepada Allah swt. Ilmu yang makin banyak bukan menjadikannya semakin sombong dan tinggi hati, akan tetapi justru mengarahkannya untuk semakin rendah hati. Semakin menghargai orang lain dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Kita patut merenung, apakah dengan ilmu kita yang semakin banyak menjadi penyebab semakin tinggi tingkat ketawadluan kita itu atau justru kebalikannya.

Kemudian, memohon rizki yang berkah. Rizki itu memang haknya Allah. Diberikan sedikit atau banyak itu sangat tergantung kepada Allah. Rizki adalah bagian dari takdir yang Allah tentukan. Kaya atau miskin merupakan ketentuan Allah. Tetapi kaya yang berkah atau miskin yang berkah adalah bagian dari doa kita. Doa yang terbaik bukan terletak pada permohonan kekayaan tetapi kecukupan. Ada banyak orang kaya tetapi hidupnya tidak nyaman karena banyak penyakit. Ada orang miskin atau memiliki harta yang sangat sedikit tetapi dikaruniai kesehatan yang baik. Jadi, kekayaan atau kemiskinan bukanlah variabel penting di dalam kebahagiaan, akan tetapi adalah keberkahan rizki yang Allah berikan kepada kita itu. Makanya, kita juga berdoa: “Allahummar zuqna rizqan halalan, wasi’an wa mubarakan”, yang artinya: “Ya Allah berikan rizki yang halal, luas dan berkah”.

Dengan demikian, yang kita harapkan dari Allah adalah keselamatan hidup di dunia dan akherat, badan kita yang sehat dan rizki yang berkah. Jika ketiganya ini kita dapatkan maka urusan berikutnya ialah kita pasrah dan syukur kepada-Nya. Inilah makna dari doa yang terus kita lantunkan kepada Allah swt.

Wallahu a’lam bi al shawab.

PUASA: TIGA INDIKATOR IMAN (22)

PUASA: TIGA INDIKATOR IMAN (22)
Oleh: Muh. Yusrol Fahmi

Ramadhan 1440H sudah memasuki malam ke-23, pada kesempatan ini di Musholla Al-Ihsan, Perumahan lotus Regency, Ketintang Baru selatan IA, mendapat tamu kehormatan, yakni Dr. Candidate. KH. Cholil Umam, M.Pd.I. Beliau selain pengajar Pada Fakultas Dakah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, juga pengasuh di beberapa majlis ta’lim di wilayah Sidoarjo dan Surabaya.
Pada kesempatan itu, beliau mengawali tausiyahnya dengan menukil kitab klasik Nahsoihul Ibad karya Syekh Nawawi Al-Bantany, tentang tiga indikator keimanan. Dikisahkan dalam kitab itu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bertanya kepada sahabat Maa ‘Alamatu Iimaanikum (apa indikator kalian benar-benar dalam keadaan iman)?”, menanggapi pertanyaan tersebut, sahabat memberikan jawaban dengan tiga indikator. Pertama, Nashbiru ‘Alal Balaa (sabar dengan semua ujian Allah). Sebagai manusia beriman, siapapun itu: baik dari golongan orang kaya maupun miskin, pejabat atau orang biasa, ulama atau ustadz sekalipun. Semuanya pasti akan diuji. Dalam konteks ini, patut kiranya jika melihat pada firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah: 214, yang berbunyi:

أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُمْ مَثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ ۖ مَسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّىٰ يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ مَتَىٰ نَصْرُ اللَّهِ ۗ أَلَا إِنَّ نَصْرَ اللَّهِ قَرِيبٌ
Artinya: Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.
Ayat di atas memberikan gambaran kepada kita semua, bahwa setiap orang muslim pasti mendapatkan bermacam-macam cobaan baik berupa cobaan harta, penyakit, dan bencana. Dengan demikian, setiap hamba seyogyanya mengambil hikmah dari setiap kejadian tersebut, sebab kualitas seorang hamba jika mampu melewati ujian tersebut akan semakin meningkat.
Kedua, Nasykuru ‘Alar Rakhooi (bersyukur atas semua karunia Allah). Syukur ini merupakan amal dari bagian kasih sayang Allah kepada hambanya, sebagaimana ditegaskan dalam firmanNya:

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

Artinya: Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih” (QS. Ibrahim: 7).
Maka setiap hamba allah yang beriman hendaknya selalu bersyukur atas apa yang didapatkannya, sebab jika kita tidak mensyukuri nikmat yang didapatkan maka Allah akan memberikan azab yang pedih bagi kita. Sebagai contoh -pengamalan syukur dalam kehidupan kita sehari-hari- , jika kita mempunyai hewan peliharaan -ayam dan sejenisnya- jika ada yang mati lima ekor atau lebih kita tetap bersyukur dengan megucap alhamdulillah yang mati hanya lima ekor dan yang tersisa masih lebih dari cukup.
Dalam kondisi tertentu, lebih baik kita tidak perlu minta dan berdo’a kepada Allah meminta ini-itu tetapi kita bisa bersyukur. Sebab jika kita meminta dan berdo’a kepada Allah namun sikap dan hati kita masih saja mengeluh, maka tiada artinya do’a yang kita panjatkan kepada Allah. Akan tetapi lebih sempurna sikap syukur kita diimbangi dengan do’a yang proporsional.
Ketiga, Wanardhoo Bil Qodari (Ridha atas Takdir-Nya). Ikhlas dan kerelaan atas peristiwa dan kejadian yang menimpa kita, hal ini menjadi bukti atas keimanan kita di hadapan-Nya. Sebab apa yang terjadi pada diri kita merupakan ketentuan dan kehendakNya yang sudah ditetapkan dan atas izinNya.

Semoga kita semua mampu dan dimudahkan dalam mencapai kesempurnaan iman, sebab betapun takdir Allah adalah takdir Allah. Kita tidak mungkin menolak takdirNya. Mudah-mudahan kita diberi kesabaran dan kekuatan dalam menerima takdir Allah serta diberi kecerdasan mengambil hikmah atas setiap takdirnya.

Wallahu a’lam bi al shawab.