PUASA: ALAM SEBAGAI MEDIUM PERSAKSIAN KEBESARAN ALLAH (25)
PUASA: ALAM SEBAGAI MEDIUM PERSAKSIAN KEBESARAN ALLAH (25)
Di antara Rukun Islam yang paling fundamental ialah persaksian bahwa tiada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Kalimat ini yang kemudian dikenal sebagai syahadat atau persaksian manusia kepada Tuhan. Syahadat itu secara lughawi ialah berasal dari kata syahada atau menyaksikan. Artinya menyaksikan tentang sesuatu.
Dinyatakan menyaksikan apabila seseorang melihat dengan inderanya sendiri atau merasakannya sendiri. Di dalam pandangan kaum positivistic, maka dinyatakan menyaksikan ialah apabila obyeknya bercorak empiris sensual atau dapat diamati dengan penginderaan. Jadi merupakan sesuatu yang empirical being.
Tentu sangat berbeda antara menyaksikan dalam konsepsi kaum positivistic dengan kaum agamawan. Bagi kaum agamawan, terutama yang menyangkut dimensi keyakinan kepada kegaiban, maka tidak bisa diukur dengan penglihatan fisikal atau seuatu yang empiric sensual. Bagi kaum agamawan, kegaiban merupakan aspek rohani atau dimensi kegaiban yang tidak mungkin alat-alat inderawi yang terbatas kemampuannya untuk mengetahui yang gaib atau nonfisik.
Mata, misalnya tidak bisa melihat sesuatu dibalik dinding atau sesuatu di dalam kegelapan. Kapasitas mata sangat terbatas. Sangat situasional dan kondisional. Makanya, kemampuan mata untuk melihat juga sangat terbatas. Yang bisa melihat sesuatu yang lebih mendalam atau hal-hal yang tidak terlihat dari dimensi lahiriyah ialah mata batin. Meskipun kenyataannya juga tidak semua batin manusia memiliki kemampuan untuk melihat yang bercorak batini atau immaterial. Namun juga bisa dipastikan bahwa ada manusia yang diberi kemampuan oleh Allah karena usahanya untuk melihat hal-hal yang gaib dan mustahil terlihat oleh orang lain. al Qur’an dalam surat Al An’am 6: (103): “dia tidak dapat dicapai oleh mata”.
Di dalam hadits Nabi Muhammad saw, dengan lugas dinyatakan bahwa “jika engkau tidak bisa melihatnya, yakinlah bahwa Allah melihatmu”. Untuk bisa merasakan “kehadiran” Allah yang gaib tersebut maka diperlukan kekuatan batin yang terlatih. Bagi kaum awam dalam beragama, rasanya yang paling relevan ialah dengan menghadirkan keyakinan bahwa Allah dipastikan melihat apa yang kita perbuat. Jika kita ingin yang lebih dari itu, maka tentu ada pelatihan yang terstruktur dan sistematis dalam olah rasa. Tetapi juga harus hati-hati, sebab jangan sampai kita terjerumus pada “penghayatan” tentang Tuhan yang justru keliru. Dikira menghayati kehadiran Tuhan, padahal kita sedang dihadapan makhluk halus lain yang memang sengaja membelokkan keyakinan kita. Di sinilah pentingnya guru pembimbing yang akan mengantarkan seseorang pada tujuan memasuki Keharibaan Tuhan. Bahkan di kalangan kaum sufi dinyatakan, bahwa orang yang mencari sendiri untuk memasuki misteri ketuhanan, maka dikhawatirkan akan mengalami proses dan produk yang salah. Makanya ada pernyataan: “barang siapa yang akan memasuki ajaran tasawuf dalam Islam tanpa seorang guru, maka bisa jadi gurunya ialah syetan”. Inilah kehati-hatian jangan sampai kita terbelokkan oleh godaan dari dunia gaib yang kita tidak mampu melawannya.
Setiap agama selalu menghadirkan sesuatu yang misteri. Dan yang misteri itu ialah keyakinan-keyakinan terhadap kegaiban, termasuk keyakinan kepada Allah swt. Agama harus menghadirkan misteri, tanpa misteri maka agama akan kehilangan esensinya. Agama harus berurusan dengan sesuatu yang “Mysterium Tremendum et Fascinosum”. Yaitu misteri yang mempersona dan menakutkan. Dan agama selalu memiliki dua hal ini ialah keterpesonaan akan kegaiban itu sendiri dan ketakutan akan siksa yang diceritakannya. Ambivalensi ini selalu hadir di dalam agama, dan menunjukkan betapa kekaguman atau keterpesonaan dan ketakutan itu merupakan cici khas setiap agama. Agama yang tidak memilikinya tentu akan kehilangan aura spiritualitasnya. Disebabkan oleh eksistensi misteri ini, maka agama menjadi unik dan menarik untuk diamalkan dan bahkan dikaji secara akademik.
Di antara cara untuk mengetahui keberadaan Allah ialah melalui perenungan terhadap ciptaannya. Di dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Thabrani, Baihaqi dan Nasa’i menjelaskan: “Berfikirlah tentang ciptaan Allah dan Janganlah berfikir tentang dzat Allah”.
Di antara cara untuk mengenal Allah ialah dengan menggunakan logika yang tepat dan pasti, yaitu: memikirkan bahwa tata surya yang berjalan dengan teratur pastilah ada Dzat yang sangat berkuasa dan memiliki otoritas tunggal yang menciptakannya. Sebab tidak mungkin tata surya ini terjadi dengan sendirinya atau tanpa ada yang menciptakannya. Pastilah Dzat yang mencipta tersebut memiliki kemampuan yang sangat berbeda dengan makhluknya, dan Dia adalah Allah swt, sebagaimana yang diceritakan oleh para Rasulnya, sebagai manusia yang diberi kewenangan untuk memberikan informasi tentang kebenaran ini.
Sudah saatnya kita menggunakan mata batin kita untuk menyaksikan alam sebagai bentuk keberadaan Allah, sebab alam sebagai ciptaannya inilah yang sungguh-sungguh menjadi saksi akan keberadaan dan kebesaran Allah swt.
Wallahu a’lam bi al shawab.