PUASA: INSTRUMEN PENGAMPUNAN DOSA (26)
PUASA: INSTRUMEN PENGAMPUNAN DOSA (26)
Di dalam setiap agama diajarkan tentang pertobatan dan pengampunan. Tobat ialah suasana kembali dalam kebenaran dan kebaikan. Jika orang sudah melakukan kesalahan, kekhilafan atau dosa, maka agama menyediakan satu instrument untuk melakukan pertobatan. Secara lughowi, taubatan atau tobat ialah kembali kepada jalan yang benar, jalan yang diridlai Tuhan dan jalan yang akan mengantarkan kepada kebaikan. Di dalam tobat tersebut harus diniatkan dengan kuat dan tanpa pantang menyerah untuk melakukan kebaikan, dan juga harus dilakukan dengan tulus dan ikhlas.
Manusia adalah makhluk Allah yang rentan terhadap kesalahan dan kekhilafan. Bahkan juga rentan dalam menghadapi perbuatan dosa. Sesungguhnya manusia memiliki dua potensi, yaitu berbuat baik dan berbuat jelek. Di dalam keadaan tertentu, manusia bisa jatuh dalam perbuatan jelek, baik disadari atau tidak disadarinya. Ada perbuatan jahat yang disengaja dan ada perbuatan jahat yang tidak dikehendakinya. Perbuatan jelek yang dikehendaki, misalnya ialah tindakan melakukan pencurian, perampokan, pembunuhan, korupsi dan sebagainya. Sedangkan perbuatan jahat yang tidak dikehendaki, misalnya ialah seseorang dalam ancaman untuk melakukan perbuatan tercela, seperti meminum alkohol, melecehkan, terpaksa melakukan pembunuhan karena factor terdesak, dan sebagainya.
Manusia bisa berada di dalam konteks kal malaikat atau seperti malaikat yang selalu berbuat baik karena terus menerus mengembangkan potensi dirinya untuk berbuat baik, dan ada kalanya manusia itu kasy syaithan atau seperti syaithan karena selalu berbuat jahat yang disengajanya. Manusia bisa juga berada di antara dua posisi tersebut, sekali waktu baik dan sekali waktu jahat. Di sinilah Allah memberikan instrument pertobatan, yang sesungguhnya sangat banyak, tetapi yang istimewa ialah menjalankan puasa pada Bulan Ramadlan.
Hanya Nabi Muhammad saw yang mendapatkan gelar “manusia ma’shum” atau manusia yang tidak berdosa di hadapan Allah swt. Beliau adalah manusia teladan di dalam kehidupannya, sebab memang dijadikan oleh Allah sebagai manusia tanpa dosa. Apa yang dilakukannya adalah manifestasi wahyu dan dengannya Nabi Muhammad saw dibimbingnya. Makanya, seluruh kehidupannya adalah teladan agung yang semestinya diikuti oleh hambanya.
Manusia lain secara pasti memiliki kesalahan, kekhilafan atau dosa baik besar atau kecil. Melihat kenyataan ini, maka Allah dengan sifat dasarnya ialah Rahman dan Rahim, maka memberikan peluang bagi hambanya untuk bertaubat atau lebih mendalam taubatan nashuha yaitu taubat yang optimal dan tidak ada sedikitpun keinginan untuk mengulanginya.
Momentum untuk bertaubat selalu diberikan oleh Allah melalui ucapan atau tindakan. Dengan ucapan misalnya selalu melafalkan kalimat taubat ialah astaghfirullah al adzim atau doa-doa yang senada dengan ucapan tersebut. Banyak sekali doa yang memberikan gambaran tentang pertobatan. Yang paling sering dibaca ialah: “Rabbigh firli waliwalidayya warhamhuma kama Rabbayani shaghira,” yang artinya kurang lebih ialah: “Ya Allah ampunilah aku dan kedua orang tuaku dan rahmati keduanya sebagaimana mereka mengasuhku di kala kecil”. Doa ini adalah bentuk ajaran Allah agar kita selalu meminta ampunan dan juga ampunan untuk kedua orang tua kita.
Sudahkah hal ini kita lakukan? Pertanyaan ini saya anggap penting sebab terkadang kita ini lupa seirama dengan kesibukan demi kesibukan yang terus mendera kita setiap hari. Doa ini yang sesungguhnya menjadi “penyambung” relasi kita dengan orang tua kita dan Allah swt. Jika orang tua kita sudah meninggal, maka hanya lantunan doa yang bisa menyambung relasi kita dengannya dan dengan Allah swt. Tiada lagi media lainnya yang bisa menyambungkannya. Allah memberikan instrument kepada kita tentang bagaimana membangun hablum minan nas, khususnya dengan orang tua kita.
Dan sebagaimana yang kita yakini, bahwa Allah adalah dzat yang tidak akan ingkar janji, sehingga jika Allah berjanji akan mengampuni kita dan kita berupaya secara optimal pastilah Allah akan mengampuninya. Sekali lagi hal itu sangat tergantung kepada upaya kita.
Wallahu a’lam bi aal shawab.