• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

REVOLUSI PROGRAM PEMBELAJARAN

REVOLUSI PROGRAM PEMBELAJARAN

Pada acara yang diselenggarakan oleh IAIN Surakarta, 04/07/2019, saya sampaikan bahwa perlu ada perubahan yang sangat mendasar terkait dengan upaya pembelajaran di PTKIN. Hal ini disebabkan oleh perubahan yang terjadi terutama di era revolusi industry 4.0 yang sekarang sedang terjadi di tengah kehidupan masyarakat Indonesia.

Sebagaimana sering saya nyatakan bahwa generasi milenial itu memiliki cara belajar yang sungguh sangat berbeda dengan generasi sebelumnya. Ada beberapa cara belajar anak milenial yaitu: Belajar dari pengalaman, eksplorer, petualang, instan dan praktis, Kecenderungan tarhadap IT, kolaboratif, dan multitasking.

Generasi milenial itu senang belajar mengenai pengalaman dan bukan pengetahuan. Bagi mereka, pengetahuan bisa dibaca dari media TI, misalnya Google dan lain-lain, akan tetapi pengalaman hanya bisa didapatkan dari orang yang mengalami apa yang diceritakan. Gesture, gerak bibir, ungkapan, body language dan sebagainya tidak didapatkan dari penceritaan melalui media informasi. Dan itu hanya dimiliki oleh dosen atau guru.

Generasi muda sekarang itu menyukai temuan-temuan baru. Mereka menyukai petualangan dalam banyak hal termasuk petualangan ilmu pengetahuan. Channel discovery menjadi menarik sebab ada banyak petualangan ilmiah dan sebagainya yang menyajikan temuan-temuan baru dalam kehidupan masyarakat di berbagai belahan dunia.

Disebabkan oleh kenyataan bahwa generasi muda atau generasi milenial itu menyukai temuan baru berbasis pada petualangannya di media TI, maka Dosen harus mengimbanginya dengan kemampuan yang sama dengan generasi milenial itu, meskipun dalam kapastitas kurang lebih. Rasanya menjadi naïf jika seorang dosen sama sekali tidak memiliki sejumlah pengetahuan mengenai teknologi informasi, misalnya penguasaan email, chatting, membuka aplikasi-aplikasi atau searching informasi melalui media. Era sekarang menuntut dosen untuk terus menerus menemukan sesuatu baik teori, konsep atau hal-hal praksis bagi mahasiswanya

Generasi milenial juga menyukai kolaborasi atau kerja sama. Mereka sadar betul bahwa tidak ada yang bisa dilakukan dengan kemampuan diri sendiri. Keterbatasan yang dimilikinya menuntunnya untuk terus membangun kolaborasi dengan lainnya. Memang mereka memiliki banyak kemampuan, akan tetapi hal tersebut tidak cukup untuk menjadikannya sebagai upaya untuk mengembangkan kapasitas diri. Kapasitas diri akan lebih maksimal jika bergabung dalam kerja sama dengan lainnya.

Untuk menatap terhadap kecenderungan kolaborasi, maka program pendidikan harus disetting dengan cara pendidikan base on collaboration. Dosen dapat memberikan penugasan di dalam ruang kuliah atau di luar ruang kuliah tentang tema yang kemudian dicari jawabannya berdasar atas kemampuan kolaborasi.

Di era ketiadaan pakar atau the death of expertise, maka dosen harus tetap tampil dalam kapasitas yang lebih. Kita tidak bisa menyamai mesin pencari informasi, sebab mereka bisa menampilkan hasil searchingnya dalam hitungan detik. Manusia tidak bisa menyaingi hal ini, makanya menurut saya dosen harus menampilkan sesuatu yang berbeda. Dan yang berbeda tersebut ialah pengalaman, inisiatif, motivasi dan keteladanan dalam kajian-kajian keilmuan atau lainnya.

Program pembelajaran yang saya sebut sebagai discovery learning ialah program revolusioner dalam kerangka untuk “mengembalikan” peran para dosen atau guru dalam menghadapi era disruptif termasuk di dalam dunia pendidikan.

Discovery learning sangat mengedepankan nilai-nilai kebersamaan, nilai-nilai inovatif, nilai-nilai kejujuran dan nilai-nilai kerja keras. Mahasiswa diandaikan sebagai orang yang sedang di dalam proses pencarian menjadi “seseorang”. Dia sedang dalam perjalanan untuk menuju tangga “kesuksesan”. Ibarat seorang “salik” dalam dunia tasawuf, maka dia sedang berada di tangga untuk menemukan Tuhannya. Ada banyak nasehat, ada banyak cerita dan informasi dan ada banyak alternative yang dapat dipilih, tetapi ujung akhirnya ialah menemukan idamannya dan tujuan akhirnya.

Oleh karena itu, guru atau dosen harus menjadi penuntunnya agar dia tidak salah arah. Dosen adalah teman diskusi dan pengarah dalam naik tangga pengetahuan atau ilmu pengetahuan. Sebagaimana mursyid dalam dunia tarekat untuk membimbing “salik”dalam menggapai maqam-maqam atau stages di dunia tarekat. Jadi era kematian pakar, bukan berarti dosen tidak punya keahlian lain yang lebih strategis, sebab dengan kapasitas kecerdasan sosial, emosional dan spiritualnya, maka dia akan bisa menjadi pembimbing bagi para mahasiswanya untuk menggapai tujuan hidupnya.

Melalui discovery learning ini, maka dosen dan mahasiswa akan dapat bersama-sama menemukan temuan dan inovasi baru dan kemudian dapat didayagunakan dalam kerangka untuk menjadi alternative potensi pengembangan dirinya di masa depan. Mata kuliah tatap muka, saya kira haruslah diubah dengan pola baru yang lebih bersearah dengan cara belajar generasi milenial. Demikian juga kegiatan pembelajarn tatap muka individual atau kelompok yang berbasis pada problem solving. Dengan cara ini, maka keterlibatan pembelajran antara dosen dan mahasiswa lebih bercorak keterlibatan sosial dan emosional dan bukan hanya semata-mata rasional.

Jadi, rasanya memang diperlukan cara dan strategi baru di dalam program pembelajaran yang lebih beraksentuasi pada pencapaian tujuan bersama dengan pola baru yang lebih bersearah dengan cara belajar baru di kalangan generasi milenial.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

PTKIN HARUS FOKUS MEMBANGUN DISTINGSI

PTKIN HARUS FOKUS MEMBANGUN DISTINGSI

Saya berkesempatan hadir dalam acara seminar tentang Tata Kelola Pendidikan Tinggi dalam Menjawab Masa Depan” yang diselenggarakan oleh IAIN Surakarta, 04/07/2019 di Aula IAIN Surakarta. Acara ini memang sengaja diikuti oleh seluruh jajaran pejabat IAIN Surakarta mulai dari rector sampai pejabat eselon IV. Hadir Rektor IAIN Surakarta, Prof. Dr. Mudhafir, MAg., Wakil Rektor I, II dan III, Kabiro IAIN Surakarta, Fery Meldy, PhD., Direktur PPS IAIN Surakarta, Asisten Direktur, Para Dekan, Wakil Dekan dan juga Kepala Lembaga di IAIN Surakarta.

Kedatangan saya ke IAIN Surakarta adalah kali kedua, setelah tahun 2014 yang lalu saya juga sempat hadir pada acara yang sama. Dan saya senang melihat perkembangan IAIN Surakarta, yang diindikatori dengan banyaknya gedung-gedung berkualitas, di tiga kampus yang dimilikinya. Jika kita perjalanan dari Surakarta ke Jogjakarta atau sebaliknya, maka akan bisa kita lihat dua gedung megah, yang digentingnya terdapat tulisan “IAIN Surakarta”. Terlihat megah dan membanggakan.

Saya bersyukur dipercaya untuk menjadi nara sumber dalam acara yang bertajuk tata kelola. Mungkin saja Pak Rektor berasumsi bahwa pengalaman saya selama ini dapat dijadikan sebagai bahan untuk mendorong munculnya gagasan dalam pengembangan PTKIN. Makanya, para rector sering mengundang saya dalam kapasitas sharing pengalaman. Di dalam kesempatan ini saya sampaikan tantangan-tantangan tidak hanya tata kelola tetapi juga tantangan akademis dan tumbuhnya generasi milenial yang sudah di dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Ada beberapa hal yang saya sampaikan, yaitu:

PTKIN sedang menghadapi tantangan era disrupsi yang luar biasa. Zaman ketidakmenentuan dalam banyak hal, terutama di bidang ekonomi dan politik. Dan imbasnya sangat kuat termasuk terhadap lembaga pendidikan tinggi. Selama ini pendidikan tinggi termasuk institusi yang paling stabil dalam menghadapi perubahan sosial. Tetapi dalam menghadapi era disrupsi pada era revolusi industry 4.0, pendidikan pun mengalami problem yang luar biasa. Misalnya, sebagaimana diungkapkan oleh Prof. Clyton Christenson, guru besar Bisnis pada Harvard University, yang memprediksi bahwa dalam waktu 10-15 tahun ke depan, maka akan terdapat penutupan 50 persen college di Amerika Serikat. Dari sebanyak 4000 akan menyusut menjadi 2000 saja.

Di antara yang memicu perubahan ini ialah teknologi informasi. Ke depan sudah tidak lagi dibutuhkan kuliah tatap muka tetapi menggunakan sarana IT. Sudah tidak lagi dibutuhkan ruang besar dan banyak, akan tetapi cukup ruang yang kecil-kecil tetapi full ICT dan dimanfaatkan untuk perkuliahan jarak jauh atau distance learning.  Jadi model pembelajaran konvensional sudah akan kedaluwarsa di era revolusi industry 4.0 sekarang.

Lalu, apa yang bisa dilakukan oleh PTKIN, saya kira ada beberapa hal: Pertama, mempersiapkan perubahan kurikulum yang selaras dengan kebutuhan perubahan era revolusi industry 4.0. PTKN harus memetakan mana prodi dan mata kuliah yang harus dikembangkan seirama dengan kebutuhan industry 4.0 dimaksud. Mungkin tidak semua mata kuliah mestilah didesain untuk kepentingan ini, sebab tentu ada mata kuliah yang harus tetap dipertahankan sebagaimana ciri khasnya. Kita diskusikan dan kita temukan mana yang relevan dengan tuntutan era revolusi industry 4.0. PTKIN hendaknya melakukan perubahan secara mendasar terhadap peta mata kuliah dengan muatan kebutuhan. Prodi yang bercorak applied science dapat dicermati secara mendasar bangunan atau desain kurikulumnya yang mengarah ke pemenuhan kebutuhan era industry 4.0.

Di sinilah arti pentingnya membangun distingsi bagi program studi di PTKIN. Distingsi tersebut diperlukan dalam kerangka untuk membekali mereka semua dengan kemampuan hard skill dan sekaligus juga soft skill. Jika kita mengikuti hasil risetnya Dale Goleman, maka yang berpengaruh besar bagi kesuksesan individu ialah soft skill sebesar 80 persen dan hard skill sebesar 20 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa kepentingan distingsi ialah memperbesar soft skill. Saya bermimpi bahwa setiap prodi memiliki distingsinya dan hal ini menjadi andalan yang membedakannya antara prodi di PTKIN dan juga PTU.

Oleh karena itu ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk merumuskan kebijakan mengenai program distingtif tersebut, yaitu: Pertama, memetakan prodi mana yang bisa menjadi sasaran strategis untuk membangun distingsi dimaksud. Sebagaimana diketahui bahwa ada banyak prodi yang berbasis pada applied science, sehingga akan sangat berpotensi untuk membangun soft skill. Misalnya prodi pendidikan dan keguruan, prodi ilmu dakwah dan komunikasi, prodi fiqih dan ilmu hukum, prodi sains dan teknologi dan sebagainya.

Kedua, merumuskan soft skill pada masing-masing prodi berdasarkan atas potensi dan peluang pengembangan soft skill berbasis atas kesepakatan dan kesepahaman dengan civitas akademika dan stakeholder lainnya sehingga menghasilkan peta yang jelas mengenai soft skill sebagai distingsi tersebut.

Ketiga, merumuskan kebijakan yang implementatif tentang soft skill berbasis distingsi prodi. Saya kira pimpinan PTKIN harus menyusun kebijakan ini dalam kerangka memperkuat kapasitas mahasiswa dalam program pembelajaran. Tentu harus dimulai dengan review curriculum untuk memperkuat basis soft skill pada masing-masing prodi.

Keempat, mengimplementasikan kebijakan dimaksud dengan langkah-langkah yang kongkrit, misalnya dengan penguatan dosen, penguatan pembelajaran, penguatan kerja sama kelembagaan dan penguatan lulusan dengan kemampuan soft skill berbasis pada distingsi prodi masing-masing.

Di dalam konteks pengembangan PTKIN, saya kira harus ada revolusi terkait dengan upaya menciptakan distingsi baik dalam penguasaan soft skill maupun program pembelajaran bagi proses pendidikan di PTKIN dan pimpinan PTKIN memiliki peran besar dalam proses pencapaiannya.

Wallahu a’lam bi al shawab.

GENERASI MUDA BUDDHIS DAN KERUKUNAN KEBANGSAAN (2)

GENERASI MUDA BUDDHIS DAN KERUKUNAN KEBANGSAAN (2)

Saya bersyukur karena diberi kesempatan untuk memberikan petuah kepada generasi muda NSI dalam acara TGM ke 32. Selain Pak Suhadi, diberikan juga kesempatan untuk berbicara dalam forum ini ialah Pak Arif Harsono dan Pak Satimin, Pembimas Buddha pada Kakanwil Provinsi Jawa Timur.

Pak Arif Harsono, selalu Ketua Permabudhi membicarakan tentang bagaimana mendirikan Permabudhi, sebuah organisasi yang berada, dari dan untuk agama Buddha. Semula adalah didirikan LPTG atau Lembaga Pengembangan Tripitaka Gatha, yang salah satu acaranya ialah Sayemvara Tripitaka Gatha (STG) yang sudah dilakukan beberapa kali. Saat terakhir dilakukan di Candi Borobudur Magelang. Dan sesuai rencana untuk tahun 2019 akan dilaksanakan di Surabaya. Makanya, Pak Arif meminta dukungan dari semua umat Buddha untuk mendukung terselenggaranya acara STG tersebut.

Beliau berharap agar kehadiran Permabudhi bukanlah saingan siapapun termasuk Walubi, sebab organisasi ini hakikatnya ialah sebagai bentuk pengabdian kepada Sang Buddha. Organisasi ini bukan atasan dari majelis-majelis di dalam agama Buddha. Organisasi ini merupakan organisasi kebersamaan yang terdiri dari seluruh organisasi dalam agama Buddha. Makanya berkumpul di organisasi ini adalah Theravada, Mahayana, NSI, dan sebagainya. Semua berkhidmah dalam kerangka pengabdian kepada agama Buddha.   Jadi, kalau saya dipilih untuk menjadi ketua Permabuddhi, maka itu dilakukan atas dasar kesepakatan semua majelis untuk mengembangkannya. Hingga hari ini sudah terdapat 27 perwakilan Permabuddhi di Indonesia. hanya tinggal beberapa provinsi yang belum memiliki perwakilannya.

Pak Satimin, Pembimas Buddha juga menyampaikan apresiasinya atas acara yang hebat ini. Jika orang yang lain berpikir untuk mendapatkan uang dalam sebuah kegiatan meskipun itu kegiatan agama, akan tetapi TGM justru mengeluarkan agar acara ini sukses. Beliau membenarkan ungkapan Pak Suhadi, bahwa keruntuhan Majapahit bukanlah karena diserang oleh Kerajaan Islam, akan tetapi karena rebutan kekuasaan di dalam kerajaan tersebut. Konflik yang terus menerus tersebut kemudian melemahkan sendi-sendi kehidupan masyarakat dan akhirnya mereka memilih jalan lain untuk beragama.

Saya menyampaikan tiga hal terkait dengan penutupan acara ini. Pertama, adalah apresiasi atas terselenggaranya acara yang baik ini. pemuda se Indonesia menyatukan langkah dalam memandang apa yang sebaiknya dilakukan untuk masyarakat Indonesia. Para pemuda dari Parisadha NSI bertemu dan membicarakan dunia spiritulitas dan kebangsaan sekaligus.

Kedua, jagalah persatuan dan kesatuan bangsa. Tadi disampaikan bahwa konflik internal akan dapat melemahkan sendi-sendi kehidupan masyarakat, maka hal ini dapat menjadi acuan agar kita semua tidak tergoda untuk melakukan hal yang sama. Ingat betul bahwa persatuan adalah segala-galanya bagi kehidupan kita. Jika kita rukun dan harmoni maka persatuan dan kesatuan bangsa akan terwujud, dan sebaliknya, jika kita cerai berai dan konflik maka kita akan hancur berkeping-keping. Tentu kita tidak ingin Indonesia yang luar biasa ini menjadi bercerai berai di masa yang akan datang.

Indonesia adalah negara yang besar. Dengan sebanyak 17.000 pulau, maka Indonesia adalah negara dengan jumlah pulau terbesar.   Dengan sebanyak 1300 suku bangsa, maka menempatkan Indonesia sebagai negara dengan jumlah suku bangsa terbesar di dunia, dan dengan 500 bahasa, maka menempatkan Indonesia sebagai negara dengan bahasa terbesar di dunia. Oleh karena itu mari kita hargai kebinekaan kebangsaan ini dengan sikap terus membangun kerukunan dan harmoni untuk memperoleh keselamatan. Indonesia akan tetap jaya jika para pemudanya memiliki sikap beragama yang mengedepankan kerukunan. Anak muda yang hebat hanya akan dilahirkan oleh generasi sebelumnya yang hebat. Maka bersyukurlah kita semua karena memiliki generasi tua yang hebat sekarang ini.

Ketiga, jangan lupakan sejarah bangsa. Anak-anak muda adalah anak bangsa yang wajib tahu bagaimana bangsa ini dirumuskan dan kemudian dimerdekakakn. Tidak ada yang gratis di dalam memerdekakan Indonesia. Dimerdekakan dengan harta, dan bahkan nyawa sekaligus. Ada sangat banyak korban untuk memerdekakan Indonesia dari cengkeraman penjajah. Oleh karena itu pantaslah jika anak-anak muda terus menerus belajar sejarah bangsa.

Kita hidup di era milenial atau era revolusi industry 4.0 yang disebut sebagai era disruptif atau era ketidakmementuan, maka anak-anak semua harus memiliki pegangan yang kuat untuk meneruskan perjuangan mengisi kemerdekaan bangsa. Jangan pernah salah memilih dasar negara, jangan pernah salah memilih bentuk negara. Kita sudah diwarisi Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Kebinekaan sebagai pilar kebangsaan, makanya hal ini harus terus kita perjuangkan. Para founding fathers negeri ini bisa tersenyum di alam kuburnya karena kita sampai saat ini masih seperti yang dicita-citakan, tetapi jangan sampai kita yang tua-tua ini nanti menangis di alam kubur karena anak-anak ini tidak bisa mempertahankan pilar kebangsaan dimaksud.

Makanya marilah kita rajut kerukunan beragama, kerukunan kebangsaan dan kerukunan bermasyarakat untuk menjamin bahwa Indonesia akan selalu berada di dalam NKRI yang berdasar atas Pancasila dan berbasis pada kebinekaan yang merupakan rahmat Tuhan.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

GENERASI MUDA BUDDHIS DAN KERUKUNAN BANGSA (1)

GENERASI MUDA BUDDHIS DAN KERUKUNAN BANGSA (1)

Saya dengan Maha Pandita Utama (MPU) Suhadi Senjaya memiliki hubungan yang dekat di saat saya masih menekuni dunia birokrasi terutama di saat menjabat Sekretaris Jenderal Kementerian Agama dan dipercaya oleh Pak Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin, untuk menjadi Plt. Dirjen Bimbingan Masyarakat Buddha, selama setahun lebih. Dari sini, maka kedekatan hubungan secara personal itu terbentuk, misalnya dengan Pak Arif Harsono, pendiri Permabudhi, Pak David Hermansyah, pegiat Tridharma, Pak Suhadi, Ketua Parisadha Buddha, Niciren Syosyu Indonesia (NSI), Bu Hartati, Pimpinan Walubi, dan juga yang lain-lain.

Dalam waktu setahun lebih menjadi Plt. Dirjen Bimas Buddha tersebut, maka saya bisa melakukan relasi personal maupun organisasional dengan sahabat-sahabat saya, baik dalam momentum kegiatan maupun lainnya. Misalnya saya terlibat dalam perumusan Permabudhi, pemikiran pengembangan pendidikan Agama Buddha, pengembangan organisasi-organisasi di dalam agama Buddha dan menghadiri upacara-upacara keagamaan di dalam agama Buddha, misalnya menghadiri acara “Meruwat Rupang Buddha” di Vihara Pak Aguan, dan juga menghadiri acara Pertemuan Pimpinan Perguruan Tinggi Agama Buddha internasional, Seminar maupun acara lainnya. Waktu setahun lebih menjadi Plt. Dirjen Bimas Buddha menjadi momentum yang sangat monumental.

Setelah tidak lagi menjabat sebagai Plt. Dirjen Bimas Buddha, saya juga masih sering terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Sahabat-sahabat saya dari Agama Buddha ini. Rupanya persahabatan yang tulus itu ditandai bukan karena jabatan atau kepentingan sesaat, akan tetapi difasilitasi oleh bertemunya rasa kemanusiaan yang tulus dan ikhlas. Dan saya merasakan ketulusan tersebut di dalam relasi personal yang kami lakukan bersama.

Termasuk di saat saya diundang di dalam acara “Penutupan Temu Generasi Muda (TGM) Parisadha Niciren Sosyu Indonesia (NSI),” yang malam itu ditutup di Hotel Samator Surabaya, milik Pak Arif Harsono. Acara yang diikuti oleh kurang lebih 170 pemuda ini dilakukan dalam waktu yang panjang, 2-8 Juli 2019, dan merupakan putaran yang ke 32. Acara ini diikuti oleh pemuda se Indonesia dan semuanya harus berkumpul di Jakarta lalu baru ke lokasi-lokasi yang diperlukan.

Mereka harus datang ke Jakarta dulu, sebab perlu pembekalan spiritual. Perjalanan ini tidak hanya perjalanan wisata duniawi, akan tetapi merupakan perjalanan untuk menghadirkan nuansa spiritual yang memang diperlukan di era sekarang. Itulah sebabnya di dalam acara ini mereka dihadirkan di Pesantren, misalnya Pesantren Raudlatut Thalibin, asuhan Kyai Mustafa Bisri, di Pesantren An Nuqayah di Sumenep, di Vihara Trowulan, Mojokerto, dan juga Vihara di Surabaya. Selain itu mereka juga memperoleh asupan pengetahuan mengenai kebangsaan, oleh Prof. Dr. Mahfud MD, Radar Pancadahana, Pak Suhadi Senjaya dan beberapa tokoh kebangsaan lainnya.

Acara penutupan ini tentu sangat meriah. Nyaris tidak dijumpai bahwa mereka telah berjalan panjang dari Jakarta ke Jawa Timur. Mereka merasakan bahwa perjalanan ini begitu penting, tidak hanya untuk kepentingan masa depan Agama Buddha, akan tetapi juga untuk masa depan bangsa dan negara. Saya kira pilihan yang sangat cerdas dari Pak Suhadi untuk memilih acara terakhir di Hotel Bintang 5, Hotel Samator. Selain lokasi yang strategis juga sangat layak untuk dijadikan sebagai tempat untuk bernostalgia dan bertemu anak- anak muda mileneal.

Bagi saya acara penutupan ini padat tetapi berkesan. Misalnya dibuka dengan tarian-tarian kreasi baru, dan dilanjutkan dengan drama satu babak, yang mengisahkan tentang perjalanan karir music Chrisye, yang ternyata adalah anak Tionghoa yang berkarir di dunia music pop Indonesia. Para pemainnya memiliki talenta yang baik, misalnya yang memerankan Chrisye, saya mengagumi aktivitas perannya sebagai Chrisye. Lalu juga mengisahkan perjalanan karir seni Bunyamin Sueb, tokoh legendaris Betawi yang sukses dalam dunia music local dan juga pemain film. Tidak kurang 70 album music yang dihasilkannya dan lima puluhan film yang juga diperaninya. Pelakon Bunyamin Sueb juga sangat berbakat dan memiliki talenta yang baik untuk seni peran. Mereka dipilih oleh kawan-kawan mereka sendiri untuk tampil dalam acara ini, selain tentu masukan dari Pak Radar Pancadahana.

Saya mencermati terhadap sambutan-sambutan dari Pak Suhadi, selaku pimpinan NSI dan juga penggerak acara TGM ini. Beliau menyatakan bahwa acara ini memiliki keunikan tersendiri, sebab seluruh peserta TGM ini biaya sendiri. Mereka mengumpulkan uangnya sendiri sampai bisa berangkat mengikuti acara TGM. Tidak hanya yang beragama Buddha akan tetapi juga ada dua mahasiswa UIN Ar Raniri Aceh yang bersama-sama dalam perjalanan panjang. Mereka bisa menyatu dengan sangat baik, tidak hanya sesama peserta tetapi juga dengan para santri pondok pesantren yang didatanginya. Bahkan acara selalu tambah waktunya karena keakraban yang bisa dijalin. Misalnya di Rembang yang seharusnya acara selesai jam 15.00 WIB ternyata selesai yang 16.30 WIB. Para kyai sangat welcome atas kedatangan peserta TGM, misalnya bahkan di Pesantren An Nuqayah, seluruh peserta diberi makan gratis.

Agama masih diperlukan di era Revolusi Industri 4.0. Ada banyak hal yang bisa ditanyakan kepada Google, misalnya akan tetapi ada juga yang mesin pencari tersebut tidak mampu menjawabnya. Kita berangkat di kawal oleh Patwal untuk mengejar waktu agar bisa datang di Rembang tepat waktu, akan tetapi ternyata hal itu tidak sesuai dengan rencana. Ada factor di luar kemampuan manusia untuk memprediksinya. Itulah sebabnya mereka ini harus tetap berada di dalam keberagamaannya. Mereka harus memperoleh siraman rohani selain siraman wawasan kebangsaan. Peserta TGM ini datang di Surabaya jam 24.00 WIB. Akan tetapi mereka tidak langsung ke Islamic Center, sebab mereka harus lapor dulu kepada Buddha bahwa mereka sudah datang di Surabaya dalam bentuk ritual kepada Tuhan.

Pak Suhadi menyatakan bahwa kegiatan seperti ini sangat baik untuk membina generasi muda yang ke depan tentu akan menjadi penerus generasi tua yang tentu akan meninggalkannya. Dan kita berharap banyak terhadap para generasi muda yang memahami kebinekaan bangsa ini.

Wallahu a’lam bi al shawab,

 

MERESPON RADIKALISME MELALUI GERAKAN MODERASI BERAGAMA

MERESPON RADIKALISME MELALUI GERAKAN MODERASI BERAGAMA

Saya diminta oleh Prof. Dr. Babun Soeharto, MM., selaku Ketua Forum Pimpinan PTKIN, untuk menjadi pembahas dalam acara bedah Buku “Moderasi Beragama, Dari Indonesia untuk Dunia” yang ditulis oleh para rector PTKIN se Indonesia. Buku yang sangat menarik sebab para penulisnya adalah orang-orang yang paling bertanggungjawab terhadap pengembangan pendidikan di Indonesia, khususnya pendidikan di bawah Kementerian Agama. Hadir seluruh Rektor PTKIN, Direktur Diktis, Prof. Arsekal Salim, dan Kasubdit Pengabdian Masyarakat Diktis, Dr. Suwendi dan juga para pejabat di lingkungan IAIN Jember. Acara ini digelar di Hotel Ketapang Indah, Banyuwangi, 20-22 Juni 2019.

Para rector yang selama ini disibukkan oleh urusan adminitrasi pendidikan tinggi akhirnya tergerak juga untuk menulis dengan tulisan yang sangat akademis, berisi konsep-konsep dan teori-teori serta aplikasi dari gerakan moderasi beragama. Memang semenjak digulirkan oleh Pak Lukman Hakim Saifuddin, Menteri Agama RI, gebrakan untuk mengembangkan Moderasi Agama tersebut terus menuai penguatan. Dan tulisan para rector PTKIN ini membuktikan sebagai bagian dari komitmen para rector untuk terlibat secara partisipatif di dalam pengembangan gerakan moderasi beragama dimaksud.

Buku bagus ini ditulis oleh Prof. Babun Soeharto, Prof. TGS. Saidurrahman, Prof. KH. Ahmad Mujahidin, Prof. Mahmud, Prof. Syamsun Nizar, Prof. Muhibbin, Dr. Idrus al Hamid, Prof. Ibrahim Siregar, Dr. Mudzakir, Dr. Syarif, Dr. Andi Nuzul, Dr. Hasbullah Toisuta, Dr. Mudhofir Abdullah, Prof. Mujiburrahman, Prof. Segaff S Pettalongi, Dr. Muhammad Ilyasin, Prof. Moh. Mukri, Dr. Khairil Anwar, Prof. Fauzul Iman, dan Prof. Masdar Hilmy. Juga diberi kata pengantar oleh Prof. Kamaruddin Amin, Dirjen Pendidikan Islam Kemenag. Buku setebal 410 halaman ini dicetak oleh LKIS, penerbit yang selama ini memiliki reputasi sangat baik dalam percaturan penerbitan buku di Indonesia. Konon katanya, buku ini disiapkan dalam waktu yang singkat 2 (dua) pekan dan telah terbit dengan baik. Buku ini merupakan respon atas keinginan Pak Menteri Agama agar para rector merumuskan pijakan dalam kerangka Gerakan Moderasi Beragama yang menjadi tema sentral dalam Kementerian Agama.

Ketika saya membaca buku, maka yang saya lihat pertama ialah apakah referensinya banyak. Dan ternyata buku ini meskipun disiapkan dalam waktu yang pendek tetapi sangat ilmiah. Bagi saya ukuran ilmiah ialah jika di dalam setiap halaman terdapat banyak catatan footnote dan buku Moderasi Beragama ini telah memenuhi persyaratan akademis dimaksud. Tulisan Prof. Babun Soeharto, Prof. Saidurrahman, Prof. Mujahidin, Prof. Mujiburahman, Prof, Mukri, Dr. Idrus al Hamid, Dr. Mudhofir, Dr. Mudzakir, dan sebagainya telah memiliki kekayaan referensi sebagai persyaratan sebagai tulisan ilmiah. Selain itu juga didapatkan tulisan yang merupakan hasil perenungan mendalam mengenai gerakan moderasi beragama. Sungguh membaca buku ini sangat memenuhi harapan tentang what is Gerakan Moderasi Beragama dan wa ma adraka ma Gerakan Moderasi Beragama. Hanya saja tentu ada catatan kecil masih terdapat beberapa kesalahan ketik yang bisa mengganggu terhadap “kehebatan” buku ini.

Sambil gurau saya nyatakan: “jika para dosen menulis bisa menghasilkan buku, jika para birokrat menulis menghasilkan proyek, maka jika rector menulis bisa menghasilkan buku plus proyek”. Jadi buku ini tentu tidak akan berhenti menjadi bahan bacaan yang berharga saja, tentu akan ditindaklanjuti dengan program dan kegiatan yang sangat bermanfaat bagi para akademisi dan juga para mahasiswa.

Saya menyampaikan tiga hal di dalam forum ini: pertama, ucapan selamat atas terbitnya buku yang sangat berkualitas yang ditandai dengan banyak referensi yang digunakan sebagai pembangun “kepekaan” akademis. Buku ini memenuhi standart akademis karena hal tersebut. Meskipun para rector itu sibuk dengan urusan administrasi dalam berbagai jenisnya, ternyata masih bisa meluangkan waktu untuk menulis serius. Saya mengapresiasi sangat tinggi terhadap terbitnya buku ini.

Kedua, tantangan kita dewasa ini sangat besar, terutama dari kalangan radikalis dalam pemahaman ajaran agamanya. Pasca pilpres kita melihat ada hal mendasar yang penting diperhatikan ialah semakin menguatnya Islam politik dan identitas politik. Menjelang pilpres kita dibuat silang sengkarut karena Islam politik dan identitas politik yang luar biasa hingar bingarnya. Di media sosial perang wacana dengan basis agama itu sedemikian kuatnya.

Pilihan politik ke 01 dan 02 dibatasi dengan identitas politik keagamaan. Dan jumlahnya relative berimbang. Meskipun pemilahan ini tidak logis, akan tetapi inilah yang berkembang di media sosial dan memiliki banyak pengaruh kepada masyarakat kita. Orang memilih pasangan capres didasari oleh kuatnya pengaruh media sosial, bahwa pasangan capres 01 dan 02 dilegitimasi oleh keyakinan beragama. Meskipun pilpres sudahlah usai, akan tetapi proxy war akan terus berlangsung dengan tensi yang fluktuatif. Ada kalanya meningkat dan ada kalanya merendah. Itulah sebabnya, para rector harus terlibat di dalam perbincangan mengenai nasib bangsa ini ke depan, agar Pancasila dan NKRI akan terus berlanjut.

Radikalisme semakin kuat ditandai dengan hasil survey beberapa lembaga riset. Yang terakhir survey yang dilakukan oleh Kemenhan (JP,18/06/2019), sebagaimana disampaikan oleh Ryamizard Ryacudu, bahwa Survey yang dilakukan oleh Kemenhan, 2019: 3 (tiga) persen TNI terpapar gerakan radikalisme, Sebanyak 18,1 persen pegawai swasta terpapar radikalisme, 19,4 persen PNS terpapar radikalisme,  19,1 persen pegawai BUMN terpapar radikalisme, 23,4 persen mahasiswa terpapar radikalisme dan 23,3 persen siswa SMA terpapar virus setuju jihad untuk menegakkan negara Islam di Indonesia.

.Angka ini nyaris sama dengan survey Alvara (2017) bahwa ada sebanyak 22,2 persen PNS yang terpapar virus radikalisme. Kisaran angka 19-23 persen untuk PNS yang terjangkiti virus radikalisme tentu membahayakan bagi kelangsungan negeri ini. usia para radikalis juga semakin muda. Jika di masa lalu adalah kisaran usia di atas 30 tahun, maka sekarang kisaran 20 tahunan. Mereka adalah anak-anak muda yang terpengaruh oleh media sosial yang menawarkan solusi instan dalam menghadapi kehidupan.

Ketiga, lalu apa yang bisa dilakukan oleh para rector PTKIN? Menurut saya ada beberapa hal yang harus dilakukan percepatan, yaitu:

1) melanjutkan buku ini dengan kegiatan aplikatif. Kita harus bergerak. Dari wacana ke gerakan atau meminjam bahasa tentangga sebelah dari halaqah ke harakah. Jika menulis buku adalah bagian dari halaqah, maka perlu tindakan praksis untuk menggerakkan seluruh komponen dunia PTKIN untuk bersama satu visi dan misi membuat dan melaksanakan program dan kegiatan moderasi beragama.

2) diperlukan pemihakan anggaran untuk kepentingan mendidik seluruh mahasiswa dalam rangka gerakan moderasi beragama ini. Seluruh mahasiswa tahun pertama harus mendapatkan pendampingan dari seniornya untuk memahami tentang moderasi beragama. Tehnik dan caranya bisa didiskusikan lebih lanjut. Demiian pula anggaran negara (anggaran Kemenag) untuk membiayai proyek besar nasional dalam kerangka mempertahankan Pancasila dan NKRI bagi bangsa ini.

3) agar seluruh civitas akademika memberikan dukungan dan demikian pula Direktorat Pendidikan Tinggi Islam pada Diitjen Pendidikan Islam juga harus memprioritaskan program ini. Diperlukan pemihakan yang serius untuk kepentingan besar bagi bangsa Indonesia. Jangan sampai kita menyesal karena meninggalkan generasi yang akan datang yang tidak lagi mengenal falsafat bangsanya dan dasar ideologis bangsanya, sehingga mereka tertarik dengan percobaan untuk mendirikan falsafat dan dasar negara dengan lainnya. Dan saya kira semua pasti bisa.

Wallahu a’lam bi al shawab.