MERESPON RADIKALISME MELALUI GERAKAN MODERASI BERAGAMA
MERESPON RADIKALISME MELALUI GERAKAN MODERASI BERAGAMA
Saya diminta oleh Prof. Dr. Babun Soeharto, MM., selaku Ketua Forum Pimpinan PTKIN, untuk menjadi pembahas dalam acara bedah Buku “Moderasi Beragama, Dari Indonesia untuk Dunia” yang ditulis oleh para rector PTKIN se Indonesia. Buku yang sangat menarik sebab para penulisnya adalah orang-orang yang paling bertanggungjawab terhadap pengembangan pendidikan di Indonesia, khususnya pendidikan di bawah Kementerian Agama. Hadir seluruh Rektor PTKIN, Direktur Diktis, Prof. Arsekal Salim, dan Kasubdit Pengabdian Masyarakat Diktis, Dr. Suwendi dan juga para pejabat di lingkungan IAIN Jember. Acara ini digelar di Hotel Ketapang Indah, Banyuwangi, 20-22 Juni 2019.
Para rector yang selama ini disibukkan oleh urusan adminitrasi pendidikan tinggi akhirnya tergerak juga untuk menulis dengan tulisan yang sangat akademis, berisi konsep-konsep dan teori-teori serta aplikasi dari gerakan moderasi beragama. Memang semenjak digulirkan oleh Pak Lukman Hakim Saifuddin, Menteri Agama RI, gebrakan untuk mengembangkan Moderasi Agama tersebut terus menuai penguatan. Dan tulisan para rector PTKIN ini membuktikan sebagai bagian dari komitmen para rector untuk terlibat secara partisipatif di dalam pengembangan gerakan moderasi beragama dimaksud.
Buku bagus ini ditulis oleh Prof. Babun Soeharto, Prof. TGS. Saidurrahman, Prof. KH. Ahmad Mujahidin, Prof. Mahmud, Prof. Syamsun Nizar, Prof. Muhibbin, Dr. Idrus al Hamid, Prof. Ibrahim Siregar, Dr. Mudzakir, Dr. Syarif, Dr. Andi Nuzul, Dr. Hasbullah Toisuta, Dr. Mudhofir Abdullah, Prof. Mujiburrahman, Prof. Segaff S Pettalongi, Dr. Muhammad Ilyasin, Prof. Moh. Mukri, Dr. Khairil Anwar, Prof. Fauzul Iman, dan Prof. Masdar Hilmy. Juga diberi kata pengantar oleh Prof. Kamaruddin Amin, Dirjen Pendidikan Islam Kemenag. Buku setebal 410 halaman ini dicetak oleh LKIS, penerbit yang selama ini memiliki reputasi sangat baik dalam percaturan penerbitan buku di Indonesia. Konon katanya, buku ini disiapkan dalam waktu yang singkat 2 (dua) pekan dan telah terbit dengan baik. Buku ini merupakan respon atas keinginan Pak Menteri Agama agar para rector merumuskan pijakan dalam kerangka Gerakan Moderasi Beragama yang menjadi tema sentral dalam Kementerian Agama.
Ketika saya membaca buku, maka yang saya lihat pertama ialah apakah referensinya banyak. Dan ternyata buku ini meskipun disiapkan dalam waktu yang pendek tetapi sangat ilmiah. Bagi saya ukuran ilmiah ialah jika di dalam setiap halaman terdapat banyak catatan footnote dan buku Moderasi Beragama ini telah memenuhi persyaratan akademis dimaksud. Tulisan Prof. Babun Soeharto, Prof. Saidurrahman, Prof. Mujahidin, Prof. Mujiburahman, Prof, Mukri, Dr. Idrus al Hamid, Dr. Mudhofir, Dr. Mudzakir, dan sebagainya telah memiliki kekayaan referensi sebagai persyaratan sebagai tulisan ilmiah. Selain itu juga didapatkan tulisan yang merupakan hasil perenungan mendalam mengenai gerakan moderasi beragama. Sungguh membaca buku ini sangat memenuhi harapan tentang what is Gerakan Moderasi Beragama dan wa ma adraka ma Gerakan Moderasi Beragama. Hanya saja tentu ada catatan kecil masih terdapat beberapa kesalahan ketik yang bisa mengganggu terhadap “kehebatan” buku ini.
Sambil gurau saya nyatakan: “jika para dosen menulis bisa menghasilkan buku, jika para birokrat menulis menghasilkan proyek, maka jika rector menulis bisa menghasilkan buku plus proyek”. Jadi buku ini tentu tidak akan berhenti menjadi bahan bacaan yang berharga saja, tentu akan ditindaklanjuti dengan program dan kegiatan yang sangat bermanfaat bagi para akademisi dan juga para mahasiswa.
Saya menyampaikan tiga hal di dalam forum ini: pertama, ucapan selamat atas terbitnya buku yang sangat berkualitas yang ditandai dengan banyak referensi yang digunakan sebagai pembangun “kepekaan” akademis. Buku ini memenuhi standart akademis karena hal tersebut. Meskipun para rector itu sibuk dengan urusan administrasi dalam berbagai jenisnya, ternyata masih bisa meluangkan waktu untuk menulis serius. Saya mengapresiasi sangat tinggi terhadap terbitnya buku ini.
Kedua, tantangan kita dewasa ini sangat besar, terutama dari kalangan radikalis dalam pemahaman ajaran agamanya. Pasca pilpres kita melihat ada hal mendasar yang penting diperhatikan ialah semakin menguatnya Islam politik dan identitas politik. Menjelang pilpres kita dibuat silang sengkarut karena Islam politik dan identitas politik yang luar biasa hingar bingarnya. Di media sosial perang wacana dengan basis agama itu sedemikian kuatnya.
Pilihan politik ke 01 dan 02 dibatasi dengan identitas politik keagamaan. Dan jumlahnya relative berimbang. Meskipun pemilahan ini tidak logis, akan tetapi inilah yang berkembang di media sosial dan memiliki banyak pengaruh kepada masyarakat kita. Orang memilih pasangan capres didasari oleh kuatnya pengaruh media sosial, bahwa pasangan capres 01 dan 02 dilegitimasi oleh keyakinan beragama. Meskipun pilpres sudahlah usai, akan tetapi proxy war akan terus berlangsung dengan tensi yang fluktuatif. Ada kalanya meningkat dan ada kalanya merendah. Itulah sebabnya, para rector harus terlibat di dalam perbincangan mengenai nasib bangsa ini ke depan, agar Pancasila dan NKRI akan terus berlanjut.
Radikalisme semakin kuat ditandai dengan hasil survey beberapa lembaga riset. Yang terakhir survey yang dilakukan oleh Kemenhan (JP,18/06/2019), sebagaimana disampaikan oleh Ryamizard Ryacudu, bahwa Survey yang dilakukan oleh Kemenhan, 2019: 3 (tiga) persen TNI terpapar gerakan radikalisme, Sebanyak 18,1 persen pegawai swasta terpapar radikalisme, 19,4 persen PNS terpapar radikalisme, 19,1 persen pegawai BUMN terpapar radikalisme, 23,4 persen mahasiswa terpapar radikalisme dan 23,3 persen siswa SMA terpapar virus setuju jihad untuk menegakkan negara Islam di Indonesia.
.Angka ini nyaris sama dengan survey Alvara (2017) bahwa ada sebanyak 22,2 persen PNS yang terpapar virus radikalisme. Kisaran angka 19-23 persen untuk PNS yang terjangkiti virus radikalisme tentu membahayakan bagi kelangsungan negeri ini. usia para radikalis juga semakin muda. Jika di masa lalu adalah kisaran usia di atas 30 tahun, maka sekarang kisaran 20 tahunan. Mereka adalah anak-anak muda yang terpengaruh oleh media sosial yang menawarkan solusi instan dalam menghadapi kehidupan.
Ketiga, lalu apa yang bisa dilakukan oleh para rector PTKIN? Menurut saya ada beberapa hal yang harus dilakukan percepatan, yaitu:
1) melanjutkan buku ini dengan kegiatan aplikatif. Kita harus bergerak. Dari wacana ke gerakan atau meminjam bahasa tentangga sebelah dari halaqah ke harakah. Jika menulis buku adalah bagian dari halaqah, maka perlu tindakan praksis untuk menggerakkan seluruh komponen dunia PTKIN untuk bersama satu visi dan misi membuat dan melaksanakan program dan kegiatan moderasi beragama.
2) diperlukan pemihakan anggaran untuk kepentingan mendidik seluruh mahasiswa dalam rangka gerakan moderasi beragama ini. Seluruh mahasiswa tahun pertama harus mendapatkan pendampingan dari seniornya untuk memahami tentang moderasi beragama. Tehnik dan caranya bisa didiskusikan lebih lanjut. Demiian pula anggaran negara (anggaran Kemenag) untuk membiayai proyek besar nasional dalam kerangka mempertahankan Pancasila dan NKRI bagi bangsa ini.
3) agar seluruh civitas akademika memberikan dukungan dan demikian pula Direktorat Pendidikan Tinggi Islam pada Diitjen Pendidikan Islam juga harus memprioritaskan program ini. Diperlukan pemihakan yang serius untuk kepentingan besar bagi bangsa Indonesia. Jangan sampai kita menyesal karena meninggalkan generasi yang akan datang yang tidak lagi mengenal falsafat bangsanya dan dasar ideologis bangsanya, sehingga mereka tertarik dengan percobaan untuk mendirikan falsafat dan dasar negara dengan lainnya. Dan saya kira semua pasti bisa.
Wallahu a’lam bi al shawab.